Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arabel menoleh ke belakang. Saat ini mereka sedang melaju kencang di atas motor. Langit kelabu menggantung dan menciptakan kesan suram. Suasana sepi dini hari itu mendadak gaduh oleh suara senjata dan ledakan. Terdengar pula suara deru mesin jet. Dalam hati, gadis berambut pendek itu hanya bisa berdoa kalau para relawan bisa bertahan dan tetap hidup.

"Ara, beberapa humanoid mengikuti kita!" Einstein memekik nyaring, lupa bahwa Aleksei tidak tahu kalau dia pandai bicara.

Aleksei yang kaget mendengar suara Einstein pasti pintar mengendalikan diri. Dia tetap tenang mengendarai motor, meskipun terus menambah kecepatan. Saat itu mereka sedang melewati perbukitan dengan perumahan sepi di kejauhan. Kaj sengaja menjauh dari jalanan supaya tidak menarik perhatian.

Sejujurnya, Arabel merasa lelah. Dia lapar dan sangat ingin minuman hangat sambil menikmati embusan hangat. Informasi dari Einstein membuatnya merasa takut. Di zaman ini, pesawat hanya digunakan oleh militer dan untuk kebutuhan warga sipil. Jika ada pesawat jet, maka sudah pasti humanoid militer juga terlibat.

"Kita harus masuk ke dalam hutan!" Kaj berteriak dan memimpin laju motor. Mereka berbelok dan masuk ke dalam hutan. Persis saat itu terdengar suara tembakan dan desingan laser.

Aleksei berbelok tajam sampai nyaris membuat Arabel terpental. Einstein memekik kaget dan mulai terbang rendah. Mereka menghindari pesawat jet dengan terus masuk ke dalam hutan yang lebat sampai tidak ada matahari yang bisa menembusnya.

Sebenarnya dulu sekali ini adalah hutan kota. Bencana-bencana yang mengurangi banyak populasi dunia memang membuat banyak tempat ditinggalkan. Manusia kemudian membentuk semacam tempat baru dimana segala sesuatu berdekatan.

Bunyi deru jet perlahan terdengar menjauh saat mereka semakin dalam masuk ke dalam hutan kota dan membuat Arabel bisa bernapas lega. Di sebuah persimpangan dengan banyak daun basah bertebaran, Kaj mengambil jalan berliku, lalu masuk ke dalam lorong gelap.

"Bagaimana dia tahu ada tempat ini?" Aleksei bertanya heran.

Sebelum hutan berakhir, Kaj memimpin mereka melewati sebuah lorong yang mungkin sudah puluhan tahun tidak dilewati. Deru mesin motor terdengar nyaring dan lampu memendarkan cahaya suram. Einstein sudah ada di dalam pelukan Arabel sejak mereka berbelok masuk ke dalam lorong.

Jantung Arabel berdentam kencang saat mereka akan hampir tiba di ujung lorong. Entah apa yang menunggu mereka di sana. Kaj menghentikan laju motor, lalu turun. Dia meminta Aleksei untuk menyembunyikan motor di tempat aman, kemudian memimpin perjalanan mereka.

"Di mana kita?" tanya Aleksei.

"Ara tahu kita dimana," jawab Kaj singkat. Dia sibuk dengan perangkat di tangannya.

"Ini jalur lama yang menghubungkan kedua sisi kota. Sudah puluhan tahun tidak digunakan dan dilupakan," sahut Arabel. Dia tahu tempat ini setelah mempelajari peta.

"Lorong ini buntu!" Aleksei memaki ketika mereka tiba di ujung lorong yang tertutup oleh batu.

"Jangan percaya apa yang kamu lihat." Kaj terkekeh mendengar umpatan Aleksei yang tidak patut didengar. Laki-laki itu meyusurkan jemari sampai menemukan sesuatu.

Salah satu bagian dari batu itu terdorong. Seperti pintu yang terbuka dengan mudah. Mereka masuk ke salah satu jalanan perumahan yang sudah ditinggalkan. Namun, masih ada beberapa terlihat nyala lampu.

"Ini ... dimana?" Arabel berusaha mengingat-ingat peta yang dia hapalkan, tetapi tidak ada satu pun ingatan tentang perumahan ini. Einstein sudah mengembangkan sayapnya dan terbang rendah.

"Ini perumahan tempat aku tinggal sebelum gempa. Banyak warga yang direlokasi, tetapi banyak pula yang tetap tinggal. Terlupakan. Mereka bekerja seperti orang kebanyakan. Namun, beberapa membuka ladang sehingga untuk makan, mereka nggak ada kesulitan." Kaj mengarah ke jalanan yang merekah akibat gempa, lalu berdiri di sebuah rumah usang dan mengetuk pintu.

Seseorang membuka pintu dan berseru senang saat melihat Kaj. Salah satunya adalah seorang nenek yang tersenyum hangat dan langsung menarik Arabel serta Aleksei masuk. Bagian dalam rumah tidak semengerikan yang Arabel bayangkan. Ada penghangat manual di sana. Hal yang lebih penting adalah tercium harum sup hangat.

"Lama nggak mampir dan kamu datang membawa dua teman." Si nenek tersenyum senang dan langsung menyiapkan mangkuk-mangkuk makanan.

"Kalian pasti lapar setelah perjalanan jauh. Mari kita mengobrol sambil makan. Kebetulan aku terbangun di tengah malam karena lapar dan langsung memanaskan sup tadi. Kalau Ben, sih, jangan tanya. Dia selalu lapar." Nenek itu tertawa sambil menunjuk pasangannya.

Usulan nenek itu langsung diterima oleh Arabel. Dia duduk di meja makan yang sepertinya sudah diperkuat berkali-kali. Pasangan yang tinggal di rumah itu adalah Jan dan Ben. Mereka menolak relokasi karena Ben tidak suka tinggal di kota. Jadi, setelah kondisi stabil, mereka kembali ke rumah lama yang ajaibnya masih cukup utuh.

Ben adalah seorang arsitektur dan Jan merupakan seorang teknik sipil. Merekalah yang merancang pintu masuk dari lorong agar tidak sembarangan terbuka. Selain itu, mereka juga membuka kebun kecil. Jan bercerita bahwa dalam kondisi normal, cahaya matahari yang mereka sangat cukup.

Sampai beberapa tahun lalu, Ben juga masih bekerja di kota sampai dia pensiun dan memutuskan hidup mandiri. Ada empat pasangan lainnya di sana dan mereka semua hidup mandiri dengan bantuan Kaj.

Setiap beberapa bulan, Kaj akan datang untuk membawa suplai pil makanan dan minuman sehingga mereka bisa menyimpan untuk digunakan dalam kondisi darurat. Di kompleks ini tidak pernah ada humanoid yang masuk. Itu sebabnya, Kaj merasa cukup aman untuk beristirahat di sini.

Sup yang dihidangkan Jan sebenarnya sederhana. Itu hanya sup dengan potongan wortel dan kentang. Namun, kehangatan yang dirasakan oleh Arabel nyaris membuat gadis itu menitikkan mata. Einstein tidak dilupakan oleh Jan. Kakatua Afrika itu mendapat jagung untuk makan malam yang terlalu malam.

Ben banyak bercerita tentang apa yang terjadi di luar sana dan disiarkan melalui berita. Rupanya humanoid tidak hanya merusak dan membahayakan manusia. Mereka juga menghalangi stasiun televisi untuk menyiarkan kabar.

"Lalu bagaimana kalian bisa tahu semua berita ini?" tanya Arabel seraya mengerutkan kening. Ben tertawa dengan suaranya yang berat dan dalam.

"Apa kalian tahu radio atau walkie talkie?" Ben kembali terkekeh setelah melihat raut wajah Arabel yang seakan membayangkan kalau benda yang disebutkan itu adalah benda purba. Ben berdiri dan keluar ruangan lalu kembali dengan dua benda di tangannya.

Terdengar suara gemerisik pada radio dan seseorang memanggil nama Ben. Laki-laki berusia 60 tahun itu bergegas duduk dan mereka semua mendengarkan dengan seksama.

"Ben? Kamu mendengarku? Humanoid saat ini sedang memburu tiga orang yang katanya berbahaya. Informasi terbaru, mereka memasuki kawasan hutan kota dekat dengan tempat tinggalmu. Hati-hati, Ben. Mereka diburu para humanoid entah dengan alasan apa."

Persis setelah kata-kata itu berakhir, radio mati. Mereka semua saling berpandangan. Mata Arabel membelalak seolah tidak percaya dengan pendengarannya. Humanoid memburu mereka, mungkin karena Kaj memegang kunci yang dapat mengendalikan mereka. Namun, bagaimana para humanoid itu tahu? Gadis itu memandang Aleksei yang tercenung menatap radio.

Bagaimanapun mereka tidak terlalu mengenal Aleksei. Laki-laki itu muncul begitu saja, menawarkan bantuan dan menceburkan diri dalam bahaya bersama mereka. Kepandaian Aleksei terhadap teknologi juga tidak terbantahkan. Bagaimana jika laki-laki itu adalah mata-mata?

"Kita harus pergi," ucap Kaj tiba-tiba seraya berdiri.

"Tidak! Kalian istirahat di sini. Tidak ada gunanya terus berlari. Kalian beristirahat sejenak, lalu pergi setelah matahari terbit esok hari." Ben berkata tegas.

"Kami membahayakan kalian," protes Kaj.

"Kaj Demitri! Kalian disini untuk beristirahat sebentar. Tidak ada protes." Kembali Ben berkata tegas. Kaj kembali mengempaskan tubuhnya ke sebuah sofa. Tidak ada gunanya mencoba protes pada Ben.

Aleksei langsung tertidur setelah Jan memberikan selimut tua. Tubuh jangkungnya bergelung seperti kucing. Rambut peraknya berpendar di bawah temaram. Pasokan listrik di daerah ini hanya mengandalkan panel surya dan untuk menghemat listrik, Jan menggunakan lilin yang dia buat sendiri.

"Belum bisa tidur? Beberapa jam lagi pagi dan kita harus pergi. Istirahatlah." Kaj duduk di samping Arabel yang masih tercenung.

"Aku masih bertanya-tanya, siapa Aleksei sebenarnya? Bagaimana humanoid itu mendadak berubah dan kenapa mereka memburu kita? Bagaimana kondisi Kapten Ray dan yang lainnya? Terlebih lagi, aku mengkhawatirkan ayah dan Biyan." Arabel mengalihkan pandang pada Kaj. Laki-laki itu menepuk punggung tangan Arabel seolah menenangkan.

"Entahlah. Kita akan tahu semua hal itu perlahan-lahan. Sekarang, istirahatlah." Kaj menyandarkan tubuh dan menarik Arabel agar dapat bersandar pada bahunya.

Jika tadi gadis itu tidak dapat tidur karena banyak pertanyaan berputar dalam benaknya, kini dia tidak bisa tidur karena dapat mencium aroma Kaj yang serupa hutan. Belum lagi dia bisa merasakan detak jantung laki-laki di sampingnya hingga lelah akhirnya menang. Perlahan kantuk menguasai Arabel dan dia tertidur tanpa pertahanan lebih lanjut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro