Bab 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pandangan mata Arabel yang buram perlahan menjadi fokus dan jelas. Arabel mengerang saat dia mencoba menggerakkan badan dan duduk. Dia langsung teringat pada Biyan. Mengabaikan rasa sakit, Arabel langsung duduk.

"Hei! Pelan-pelan."

Arabel menoleh pada Kaj yang menahan tubuhnya agar tidak bergerak tiba-tiba. Rambut Kaj sebagian lengket ke wajahnya, mungkin karena darah yang mulai mengering. Gadis itu mengalihkan pandang ke yang lain.

Aleksei terlihat sama parahnya dengan Kaj. Satu matanya lebam dan ada ruam memanjang di bagian lengan. Kondisi Dio yang paling tidak parah di antara mereka, tetapi anak itu mengalami shock. Beberapa kali matanya terlihat tidak fokus dan dia seolah ingin kabur dari tempat itu.

"Kenapa kamu nggak lempar bom itu?" tanya Aleksei sambil menyodorkan pil minuman pada Arabel.

"Mereka bicara omong kosong kalau aku juga bisa membunuh ibuku." Arabel menerima pil minuman itu sambil berkata masam.

"Jadi yang di dalam tabung itu adalah ibumu. Humanoid itu mengincar kalian tapi bukan untuk dibunuh. Apa yang kamu dan Biyan bawa, Ara?" Kali ini Aleksei berkata penuh kecurigaan.

"Aku tidak membawa apa pun." Arabel mendesah lelah. Dia sangat mengkhawatirkan Biyan dan Aleksei membuat suasana berubah menjadi canggung.

Selain itu, ada pertanyaan besar yang menggantung dalam benak Arabel. Dia melihat sendiri ibunya sudah dikuburkan. Jika ibunya terbaring dalam tabung, siapa jasad yang masuk ke liang lahat saat itu? Semua pertanyaan itu menggunung dalam otak Arabel. Dia ingin seklai bertemu dengan ayah angkatnya dan bertanya segala hal yang membuatnya bingung.

Semua yang berada dalam ruangan itu juga kini memandang Arabel dengan rasa curiga bahwa gadis itu membawa sesuatu yang diinginkan oleh humanoid. Terlebih lagi, ada jasad ibu angkat Arabel di gedung ini. Sepertinya memang ada sesuatu yang ditutupi.

"Sudahlah. Kita hanya berempat. Nggak ada gunanya saling curiga sekarang. Kita bahkan nggak tahu siapa yang memicu kondisi ini." Kaj berkata dengan suara rendah.

"Omong-omong, aku nggak lihat Einstein sejak kita masuk ke gedung ini. Kamu tahu dia kemana, Ara?" Kaj bertanya penuh rasa ingin tahu.

Arabel juga tidak mengetahui keberadaan Einstein. Dia masih bingung dengan semua kondisi yang terjadi saat ini. Tiba-tiba saja, sekelebat bulu berwarna hijau dan merah masuk. Einstein mendarat dengan tergesa-gesa sampai tergelincir.

"Cuaca di luar sangat mengerikan. Badai petir yang memicu kebakaran di mana-mana." Einstein mengepakkan sayap dan melompat-lompat mendekati mereka.

"Apa yang terjadi? Mana Biyan?" Kakatua itu terus saja mengoceh.

"Mereka menangkap Biyan. Tapi yang lebih penting lagi adalah badai petir? Ini bisa mengganggu sinyal kalau antivirus itu kita luncurkan. Kemungkinan besar tidak semua humanoid bisa kembali normal." Kaj berkata dengan khawatir.

Ruangan ini memang berada di tengah gedung sehingga tidak bisa melihat kondisi cuaca di luar. Ditambah lagi pertempuran yang baru saja berlangsung membuat mereka melupakan cuaca luar.

Einstein menggigil dan bulunya terlihat basah. Arabel mengambil burung peliharaannya dan mencoba mengeringkan bulu Einstein sebisanya. Dia heran kenapa kakatua ini malah pergi ke luar di tengah badai.

"Kenapa kamu tetap di luar? Kupikir kamu mengikutiku masuk ke gedung." Arabel bertanya. Keberadaan Einstein saat ini cukup mampu menenangkannya meskipun rasa khawatir masih membayang.

"Aku hanya melihat situasi." Einstein berkata dengan ambigu.

"Ti-tidakkah sebaiknya kita pergi dari sini?" Dio bertanya ragu-ragu. Dia resah harus berada di ruangan dengan bercak darah dan potongan humanoid di mana-mana.

"Dio benar. Sebaiknya kita pergi sekarang. Kaj, berapa lama sampai antivirus itu bekerja?" tanya Aleksei, lalu langsung terdiam saat melihat wajah muram Kaj.

"Aku gagal mengaktifkan sistem auto-recovery dan antivirus. Mereka masuk tepat saat sistem akan berjalan dan merusaknya." Dagu Kaj terangkat menunjuk layar-layar tipis yang sudah retak dan sebagian hancur.

"Mereka mengetahui rencana kita, menyergap dan mengambil Biyan. Pasti ada pengkhianat di sini." Ucapan itu keluar dari mulut Aleksei yang terlihat sangat marah.

"Tidak ada pengkhianat di sini, bodoh." Arabel menepuk bahu Aleksei dan bersiap untuk pergi dari ruangan itu.

"Ada ruangan lain yang bisa mengontrol sistem?" tanya gadis itu pada Kaj yang mengangguk.

"Di lantai paling atas ada ruangan direksi. Mereka bisa mengontrol sistem dari sana." Kaj menjawab dan memimpin jalan.

Hanya tiga lantai dari tempat mereka berada. Seharusnya semua akan berjalan cepat asalkan mereka waspada akan kemuculan humanoid. Pintu tempat tangga darurat ditahan agar tidak menimbulkan suara bising.

Arabela sudah meminta pada semuanya agar mengubah sepatu yang mereka kenakan agar tidak menimbulkan suara saat berjalan. Selain itu, Aleksei juga sudah memberikan dua buah bom EMP pada Arabel untuk berjaga-jaga. Mereka memang saling menyimpan kecurigaan, tetapi nyawa saat ini lebih penting daripada kecurigaan itu.

Sepanjang perjalanan, Einstein hinggap di bahu atau lengan Arabela dan sibuk menyundulkan kepalanya untuk menenangkan gadis itu. Arabela sendiri tidak keberatan. Dia berulang kali mengusap leher Einstein dan memastikan burung itu tidak kedinginan setelah terkena air hujan.

Berbeda dengan laboratorium, tangga darurat memiliki kaca di sebagian sisinya. Melalui kaca itu, mereka semua bisa melihat bagaimana di luar keadaan menjadi kacau. Benar kata Einstein, badai petir menciptakan api yang mulai menyebar perlahan walaupun hujan masih turun.

Beberapa kali mata mereka silau saat petir menyambar-nyambar. Entah bagaimana nasib para manusia yang ada di luar sana. Terjebak di antara api dan humanoid yang akan langsung membunuh saat mereka meninggalkan rumah. Arabel tidak mampu membayangkan kondisi mereka.

Mereka baru saja tiba di lantai delapan ketika petir sangat besar menyambar sampai gedung itu bergetar. Alarm kebakaran terdengar dari lantai bawah. Alat-alat pemadam api ringan mulai menyala. Tanpa harus dibicarakan keempat orang yang sedang berusaha naik ke lantai tertinggi itu tahu bahwa nyawa mereka sedang dipertaruhkan.

Terdengar suara pintu darurat dari lantai bawah. Mungkin beberapa lantai di bawah mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar juga suara pintu terbuka dari lantai atas. Mereka terjebak di tengah-tengah.

Arabel membisikkan kata-kata pada Einstein yang mengangguk-angguk. Gadis itu juga memperbaiki letak kalung Einstein yang agak miring. Setelahnya burung kakatua itu mengudara. Mereka bisa melihat sinar laser yang mencoba menebas Einstein tetapi gagal di lantai atas.

Kedua pasukan sampai di lantai delapan dalam waktu nyaris bersamaan. Arabel sudah siap untuk melemparkan bom EMP kapan saja. Dia hanya bisa berdoa kalau jarak dirinya dengan laboratorium cukup jauh dan tidak akan memengaruhi ibunya.

Namun, belum sempat bom EMP itu dilemparkan, tiba-tiba saja salah satu humanoid militer berusaha menebas Kaj yang berdiri di paling depan. Gerakan Kaj yang menghindari laser membuat bom EMP yang dipegang Arabel menggelinding tetapi tidak meledak.

Sambil mengumpat, Arabel berusaha menangkap bom EMP itu. Dia melompat dan mendorong humanoid paling depan yang naik dari lantai bawah. Sambil melompat, dia berusaha menggorok leher humanoid dan merusak kabel-kabel sirkuit utama.

Dio mengikuti di belakang Arabel sementara Aleksei membantu Kaj. Sekali lagi mereka bertarung dengan para humanoid yang terus mengalir masuk. Arabel murka dengan kondisi ini. Dia lelah, ketakutan dan khawatir. Semua hal ini membuat emosinya memuncak.

Gadis itu melompati sambil menebas leher satu humanoid lagi sebelum mengambil bom EMP yang dia jatuhkan. Satu detik sebelum niat itu terjadi, di atas sana tiga humanoid berhasil menangkap Aleksei.

Aleksei bertubuh besar, tingginya bahkan melebihi Kaj. Satu humanoid menusuk Aleksei di bagian dada kanan. Tusukan itu menembus tubuh Aleksei dan dia roboh. Dua humanoid menahan tubuh Aleksei sehingga laki-laki itu tidak terguling.

Arabel mengamuk dan langsung melemparkan bom EMP. Seluruh humanoid di area itu seolah kehabisan daya dan terpuruk jatuh. Gadis itu melompati beberapa humanoid untuk melihat kondisi Aleksei.

Laki-laki itu masih hidup, tetapi terluka sangat parah. Darah mengalir sementara jemari Arabel berusaha menutup luka itu. Anehnya, Aleksei terlihat tersenyum tenang. Mungkin kematian sudah sedemikian dekat sampai dia pasrah menerima nasib.

Di tengah situasi itu, Dio bergerak maju. Dia mengatakan bahwa pernah mengikuti pelatihan relawan. Arabel yang mati rasa melihat kondisi Aleksei, menyerahkan laki-laki itu pada Dio.

"Pergilah bersama Kak Kaj. Biar aku yang merawatnya di sini," ujar Dio yang langsung disetujui oleh Kaj.

"Baiklah. Setidaknya kita pindahkan Aleksei dan cari tempat aman." Arabel akhirnya setuju. Apapun yang terjadi pada mereka, misi harus dituntaskan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro