Bab 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini seperti mimpi buruk yang datang berulang-ulang. Bahkan jika Arabel memejamkan mata, ingatan pada hari itu akan terus berulang bagaikan kaset kusut. Semua seakan berjalan dalam gerak lambat ketika Affandra mengamuk untuk terakhir kalinya.

Ayah angkat Arabel itu, menyabetkan laser ke mana-mana dan puncaknya mengenai tabung tempat ibunya terbaring. Asap tipis yang secara berkala disemprotkan secara otomatis dalam tabung, menguap.

"Tidak! Tidak!" Affandra berteriak nyaring saat meyadari kalau dia telah merusak pembaringan orang yang paling dicintainya.

Asap itu rupanya menyemprotkan pengawet agar jasad tidak membusuk. Arabel melihat dengan ketakutan ketika saat udara bebas masuk ke dalam tabung itu, kulit ibunya mengkerut dan berubah warna menjadi kecokelatan seperti terbakar.

Affandra berteriak-teriak histeris sambil memukul-mukul dadanya. Dia menendang humanoid yang mematung karena proses recovery system. Arabel perlahan beringsut menuju pintu keluar, tidak sanggup melihat kegilaan ini.

Mendadak Affandra berhenti berteriak dan kembali menyalakan laser. Laki-laki itu berputar menghadap Arabel. Awalnya gadis itu mengira bahwa sang Ayah akan menusuknya, tetapi yang terjadi di luar bayangannya.

Pemandangan itu seolah terjadi dalam gerak lambat. Arabel masih melihat senyum ayahnya yang begitu lembut. Senyum yang selalu ditampilkan sang ayah ketika gadis itu pulang dari sekolah membawa banyak berita bagus.

Arabel melihat laser itu dinyalakan dan seketika menusuk dada kiri Affandra. Tubuh laki-laki itu tumbang dalam hitungan detik. Ini adalah mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan sedikit pun.

Rasanya waktu membeku untuk selamanya. Bahkan air mata pun tidak mampu turun dengan bebas. Arabel merasakan hatinya pedih dan terluka. Untuk kedua kalinya dia kembali yatim piatu dengan cara mengenaskan.

Seseorang menggamit lengan gadis yang masih terpaku itu, lalu langsung memeluknya. Arabel bisa menghirup aroma darah bercampur dengan keringat. Pada bahu itu, Arabel menangis pilu selama beberapa waktu.

"Kita harus pergi, Ara. Tempat ini berbahaya. Kebakaran di mana-mana." Kaj sedikit mengguncang bahu Arabel untuk menyadarkan gadis itu.

Barulah Arabel sadar kalau sedari tadi alarm kebakaran berbunyi kencang sementara air mulai mengucur dari langit-langit ruangan dan Einstein terbang mondar-mandir sambil berteriak.

"Ara ...." Biyan berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. Darah yang mengering di wajahnya terlihat mengerikan. Sekuat tenaga Arabel berusaha menutupi pemandangan mengerikan di belakangnya.

Di luar dugaan, Biyan langsung menghampiri dan memeluk kakaknya. Biyan berbisik pada Arabel agar merelakan kepergian sang ayah meski dengan cara yang menyakitkan. Selama beberapa menit keduanya menangis bersama.

"Ayo! Api sudah mulai menyebar di bagian bawah!" Einstein berteriak nyaring.

Arabel sempat menoleh ke belakang. Menatap jasad orang tua angkatnya yang saling mencintai. Sayangnya kisah mereka berakhir tragis. Menit berikutnya, dia sudah berlari menuruni tangga.

Meski agak sempoyongan, Biyan masih sanggup berlari. Arabel tidak sempat bertanya bagaimana Kaj bisa mengeluarkan adiknya dari tabung, mereka harus berusaha menyelamatkan diri.

Api berkobar dengan begitu hebat di lantai dasar. Mereka berusaha untuk menutup hidung dan mulut sambil mencari jalan keluar. Kaj memasukkan Einstein ke dalam bajunya agar kakatua itu tidak panik melihat api yang semakin menggila.

Di pertengahan jalan, Arabel melihat dua sosok berpakaian hitam-hitam. Sosok itu sepertinya lemas karena asap saat mereka akan keluar dari gedung. Gadis itu baru saja akan melanjutkan langkah, ketika melihat rambut keperakan yang sebelumnya tertutup.

"Aleksei!" Tanpa pikir panjang, Arabel berlari ke arah Aleksei dan Dio. Diperiksanya denyut nadi kedua laki-laki itu lalu dia langsung lega saat menyadari keduanya masih hidup.

Kaj memapah Aleksei sementara Arabel nyaris menyeret Dio. Mereka terbatuk-batuk hebat saat berhasil keluar dari gedung. Arabel bahkan tidak ingat bagaimana mereka bisa sampai di luar tanpa luka berarti.

Tepat saat mereka berada di luar gedung, terdengar dentuman mengerikan. Suhu yang terlalu tinggi melelehkan rangka bangunan dan bagian dalamnya mulai runtuh.

"Kita harus menjauh dari sini," ujar Arabel yang langsung disetujui oleh Kaj. Sekali lagi mereka berjuang membawa Dio dan Aleksei. Biyan sendiri tertatih-tatih mengikuti langkah kakaknya.

Badai petir masih berkecamuk. Hampir seluruh bangunan di wilayah itu terbakar. Beberapa orang mulai terlihat menyelamatkan diri. Humanoid yang telah dikembalikan sistemnya oleh Kaj dan Einstein, tidak lagi mengancam umat manusia.

"Awas!" teriak Kaj.

Sebuah bangunan hancur tidak tersisa dilalap oleh api. Kaki Arabel kram, tangannya kebas dan dia merasa pusing. Sementara di sebelahnya, Kaj juga mengalami kondisi yang kurang lebih sama.

"Biar kubantu." Biyan mengambil posisi dan membagi beban Dio. Tindakan Biyan membuat Arabel terharu. Meskipun terluka, adiknya tetap mau berusaha membantu.

Baru saja mereka sampai dua blok jauhnya dari Pusat Data Humanoid, terdengar dentuman dan kaca pecah. Secara reflek, mereka semua seolah terbanting ke bumi. Mereka bertiga memandang tempat mengerikan yang baru saja mereka tinggalkan.

"Sial! Lari!" Teriak Kaj sambil kembali berlari.

Gedung itu perlahan runtuh ke arah mereka. Arabel kembali menarik napas dalam-dalam kemudian berlari sekuat tenaga mengejar Kaj. Debu mulai berterbangan ke arah mereka tanda gedung runtuh.

Arabel merasa sudah tidak lagi berlari. Kakinya yang kram terasa kebas dan sakit. Mereka melewati pertigaan dimana Arabel melihat sekilas rumah yang terbakar bersama tiga penghuninya. Manusia yang ada di dalam rumah itu sepertinya berusaha akan keluar ketika petir menyambar karena posisi mereka terbakar dalam keadaan berdiri di dekat pintu.

Pemandangan itu membuat Arabel mual. Dia kembali mengusahakan fokus agar mereka bisa selamat. Bunyi gemuruh terdengar ketika gedung Pusat Data mulai runtuh.

"Jangan lihat ke belakang! Terus lari!" teriak Kaj.

Detik itu juga, Arabel teringat akan kejadian gempa besar sepuluh tahun lalu. Momen ketika kakinya berlari seolah terulang. Mereka sudah berlari jauh sekali dan ketika Arabel merasa sudah tidak sanggup bahkan untuk berdiri, gedung Pusat Data mengalami keruntuhan total.

Angin yang berhembus membawa aroma barang gosong dan Arabel terbatuk-batuk saat gulungan debu menerpanya. Mereka terdiam melihat alam yang hari ini mengambil alih kekuatan dari tangan manusia.

Petir kembali menyambar, menampakkan siluet-siluet di tengah kepulan debu. Kaj berteriak untuk menyuruh Arabel dan Biyan agar terus fokus. Biyan sendiri nyaris pingsan karena terluka dan kelelahan. Mereka sudah di ambang batas dan berada di tengah mata badai.

"A-aku nggak sanggup lagi," sengal Arabel.

Dio merosot ke jalanan ketika Arabel membungkuk sambil tersengal. Mata gadis itu pedih, tangannya penuh jelaga dan dia seperti akan tumbang kapan saja. Seraya memejamkan mata, Arabel bersikap seolah pasrah. Mungkin inilah akhir dari segalanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro