Bab 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arabel merasa inilah hari terakhirnya. Matanya tertutup debu dan jelaga. Gadis itu jatuh berlutut. Dia memandang orang-orang yang ada di sekelilingnya, merasa menyesal atas keadaan mereka sekarang.

"Tidak sekarang! Kalian, bantu aku membawa mereka!" Suara yang terdengar akrab terdengar. Suara itu dalam dan menenangkan.

Sedikit membuka matanya, Arabel melihat siluet beberapa orang yang membantunya berdiri. Merasa mendapatkan sedikit kekuatan, Arabel mulai melangkahkan kaki. Seraya mengerjapkan mata untuk menghilangkan debu, dia mendengar percakapan pendek di sampingnya.

Orang-orang itu membawa mereka ke sebuah tempat yang masih cukup utuh. Arabel langsung terpuruk ketika sampai di tempat itu. Seorang wanita membantunya untuk berbaring di lantai dan gadis itu langsung tidak ingat apa-apa.

Ketika membuka mata dengan perlahan, Arabel bisa melihat dia berada di rumah yang masih sedikit berdiri utuh. Setidaknya hanya ada satu dinding yang runtuh. Perlahan dia berusaha untuk bangkit dan menemukan sebuah kain di sampingnya. Mungkin ini dimaksudkan untuk menyeka wajah yang masih sedikit berdebu itu.

Arabel duduk dan memerhatikan sekelilingnya. Beberapa manusia sedang duduk di sudut sambil saling menyandar satu sama lain dan mengusap air mata yang turun saat mereka berbicara. Di sudut yang lain, dia juga melihat dua orang sibuk memeriksa mereka yang terluka.

"Biyan ...," bisik Arabel.

Gadis berambut pendek itu berusaha untuk berdiri dan langsung merasa goyah. Seseorang menangkap lengannya tepat waktu. Arabel melihat siapa yang menangkapnya dan melihat senyuman seorang laki-laki.

"Perlahan-lahan. Kamu sudah tertidur satu hari penuh dan tubuhmu kekurangan nutrisi." Kaj memberikan dua buah pil.

"Beruntung di saat seperti ini, pil tersedia cukup banyak," kata Kaj lagi.

Pil makanan dan minuman memang diproduksi di pabrik dengan formula-formula yang dipatenkan. Untunglah kondisi yang terjadi belakangan ini tidak berlarut-larut. Arabel tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika pil makanan dan minuman menjadi barang yang langka.

Sesudah merasa sedikit pulih, Arabel melihat wajah Kaj yang lebam di beberapa tempat. Tangan laki-laki itu juga terluka cukup dalam. Kaj melihat arah pandangan Arabel, lalu tersenyum.

"Ini nggak boleh ditutup karena akan memperlambat penyembuhannya. Kamu mau melihat kondisi yang lain?" Kaj berdiri dan membantu Arabel.

Mereka berjalan menuju tempat yang tadi Arabel lihat. Dua orang dokter dan satu relawan sedang mengecek kondisi mereka yang terluka. Sekali lagi, ini mengingatkan Arabel pada ibu angkatnya. Hatinya kembali pedih seketika.

"Para dokter dan relawan berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin manusia yang mereka temui. Tempat ini hanya satu dari beberapa yang dijadikan tempat pengungsian sementara. Biyan dalam kondisi baik. Aleksei, walaupun aku sempat pesimis, tapi kata dokter akan membaik perlahan. Dio juga dalam kondisi stabil. Anak itu terlalu banyak menghirup asap sehingga pingsan."

Kaj memegangi lengan Arabel, khawatir gadis itu akan jatuh karena kondisinya masih lemah. Arabel menatap wajah Biyan yang dipenuhi luka. Detik berikutnya, gadis itu menangis. Dia merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup.

"Jangan menangis, Ara. Aku masih hidup." Biyan membuka matanya dan tersenyum.

"Aku menangis karena bahagia." Arabel langsung memeluk adiknya yang mengaduh.

"Ara! Rusukku ini retak di beberapa tempat!"

Arabel tidak peduli dengan omelan Biyan. Sambil tertawa dan melepaskan pelukan, Arabel kembali menangis. Belum pernah dia merasa sangat bersyukur seperti sekarang. Seumur hidupnya, dua kali dia mengalami kejadian mengerikan yang nyaris merenggut nyawa.

Butuh beberapa jam berikutnya agar Arabel bisa mendapatkan berita tentang apa yang terjadi setelah Kaj dan Einstein me-restart system. Bicara tentang Einstein, burung kakatua itu sekarang sangat sibuk mencari berbagai macam informasi, tentu saja untuk bahan gosip.

Satelit Pengendali Cuaca meledak di langit-langit tepat sesudah mengamuk dan menciptakan badai petir. Pemerintah di seluruh dunia tidak mempermasalahkan hal tersebut dan malah bersiap untuk membuat satelit baru.

Orang yang menyelamatkan dan membawa mereka ke tempat aman adalah Kapten Ray. Laki-laki itu berhasil bertahan dari penyergapan humanoid dan melawan. Beberapa relawan yang juga ada di sana, adalah orang-orang yang diselamatkan Kapten Ray saat harus bergerilya melawan humanoid.

"Arabel! Aku dengar kamu sudah bangun. Maaf aku baru sempat melihat kondisimu lagi." Kapten Ray berjalan ke arah Arabel dengan sumringah. Wajah yang dulu terlihat dingin dan muram, kini dipenuhi oleh senyuman.

"Terima kasih, Kapten. Untuk semuanya. Terima kasih sudah menyelamatkan kami sampai dua kali." Arabel tersenyum berterima kasih.

"Itu memang tugasku." Kapten Ray menaruh tangan kanan di dada kiri dan sedikit membungkuk.

Sepanjang sisa hari itu, kepala Arabel dipenuhi banyak hal. Dia mengetahui bahwa Kaj berhasil melakukan recovery dengan cara me-restart system. Einstein adalah yang berjasa dalam hal ini. Burung kakatua itu menginstruksikan banyak hal pada Kaj yang berusaha memulihkan sistem humanoid.

"Bagaimana kamu mengajari Einstein?" tanya Kaj.

"Sebenarnya sistem dan komputer yang digunakan, sama dengan milik ayah di rumah," jelas Arabel sementara Kaj mengangguk.

"Oh, Ara. Hari ini para relawan akan fokus di gedung Pusat Data Humanoid untuk mengeluarkan jasad mereka yang meninggal."

Mendengar keterangan Kaj, Arabel langsung mau ikut untuk melihat jasad kedua orang tuanya dibawa keluar dari reruntuhan. Sebenarnya Kaj menentang, tetapi tekad Arabel sudah bulat.

Bersama dengan Kapten Ray, gadis itu berjalan kembali ke gedung tempat dimana semuanya terbongkar. Affandra Sukesh yang menjadi dalang dari segala keagresifan humanoid memilih hukumannya sendiri yang paling menyakitkan.

"Mereka akan dikuburkan dalam satu tempat, jika kamu nggak keberatan." Kapten Ray kemudian menjelaskan tempat para korban akan dikuburkan. Arabel tidak keberatan selama ayah bersama dengan ibu.

Raut wajah gadis itu semakin muram ketika melihat dada kiri ayahnya yang berlubang. Semua kejadian kemarin masih terus berputar dalam ingatan Arabel. Kepedihan itu akan terus hanya dan waktulah yang mungkin akan mengurangi penderitaannya.

"Selama kamu tidur, Kaj adalah orang yang paling khawatir. Dia berulang kali mengecek apakah badanmu hangat atau memastikan bahwa dia adalah orang pertama yang kamu lihat ketika sadar." Kapten Ray tersenyum hangat terlebih melihat wajah Arabel yang sedikit memerah.

Setelah menyaksikan prosesi pengeluaran jasad dari gedung-gedung, Arabel kembali ke tempat pengungsian. Dalam perjalanan itulah Kapten Ray bercerita bagaimana dia dan teman-temannya selamat.

Rupanya mereka sempat mengendarai mobil ke arah sebaliknya dari tempat Arabel dan teman-temannya kabur. Mereka kemudian tinggal di hutan, sampai badai datang. Entah mengapa, badai itu hanya timbul di kota. Mereka kemudian memutuskan untuk kembali untuk menyelamatkan manusia-manusia lainnya.

Arabel menatap matahari yang bersinar lembut tanpa bantuan satelit pengendali cuaca. Sore hari dengan angin sejuk menyapa kulit, gadis itu menghirup udara yang masih bercampur dengan bau gosong dan debu.

Kondisi itu tidak menyurutkan niat Arabel mengucapkan rasa syukur dan kehilangan. Seberapa parah kondisi manusia, bumi terus berputar. Sementara waktu akan menyembuhkan kehilangan.

***

Jadi, inilah akhir dari perjuangan Arabel. Tapi, gimana nasib Biyan, Aleksei dan Dio? Tenang masih ada satu bab lagi, yaitu epilog yang akan tayang segera. Ditunggu, ya. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro