Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sinar matahari musim semi yang hangat menembus tirai lipat berwarna putih di kamar Arabel. Gadis itu membuka mata dan langsung meringis. Tulang selangkanya masih terasa nyeri meskipun paramedis sudah menyemprotkan obat pereda nyeri dan memar.

Mata Arabel mengitari kamar dan menyadari bahwa Einstein berada di kamarnya. Biasanya burung kakatua Afrika itu tidur semaunya di seluruh penjuru rumah. Suara musik klasik terdengar dan Arabel menyadari kalau dia bangun sebelum alarm berbunyi.

Beberapa menit berlalu dan gadis berambut hitam sekelam malam itu menyadari kalau dia menunggu kedatangan humanoid 331. Lama sekali Arabel merenung tentang kejadian yang bagaikan mimpi.

Biyan tidak berhasil menangkap siapa pun yang memporakporandakan rumah. Ayah yang pulang beberapa menit setelah petugas keamanan datang, memutuskan untuk mengganti sandi pintu rumah dan menanamkan beberapa pengamanan baru.

"Ara, kamu sudah bangun? Aku membuatkan roti panggang kacang untukmu," ucap Biyan di depan pintu kamar Arabel.

Biyan memang hafal kalau kakaknya itu sangat menyukai roti panggang kacang, terutama setelah mengalami kejadian yang mengagetkan.

"Ara?"

"Ya, aku sudah bangun. Terima kasih, adikku yang paling baik sedunia," balas Arabel yang disambut suara tawa di luar sana.

Arabel bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Dia bisa melihat di bahu telanjangnya, memar kebiruan memanjang di bagian dada dan tulang selangka. Semalam dia merasa orang yang mendadak menyerangnya membawa sesuatu.

Seraya membuka katup udara untuk mandi, Arabel tiba-tiba teringat sesuatu. Orang itu membawa sebuah benda dari ruang baca ayah. Sebuah tabung yang berisi entah apa karena ayah selalu melarangnya membuka tabung itu. Arabel merasa tabung itulah yang membuat tubuh bagian atasnya memar hebat saat dia terpelanting.

Setelah membersihkan diri, gadis itu keluar dari kamar. Saat melewati ruang baca, dia melihat bahwa seseorang sudah merapikan ruangan itu. Tidak ada sisa-sisa humanoid 331 atau buku-buku yang bertebaran, seolah tidak ada kejadian apa-apa.

Dapur dipenuhi aroma kopi. Belakangan ini setiap ayah di rumah, selalu ada aroma kopi. Arabel sendiri lebih menyukai jus, yang tentu saja semakin langka. Sedangkan Biyan lebih menyukai air putih.

Biyan sedang sibuk di island dapur untuk membuat roti lapis. Arabel tersenyum ketika melihat porsi roti lapis yang akan Biyan makan. Adiknya itu selalu bertekad untuk diet, tetapi tidak pernah berhasil.

Suara langkah kaki Arabel membuat Biyan menoleh. Laki-laki itu menyodorkan piring kepada kakaknya. Mereka saling melempar senyum.

"Apa tidurmu nyenyak?" Sepertinya Biyan lebih gugup dari biasanya.

"Tentu. Paramedis memberiku obat juga untuk pereda nyeri. Sepertinya obat itu membuatku mengantuk luar biasa. Aku tidur tanpa mimpi semalam." Arabel mengambil piring sarapan seraya mengucapkan terima kasih.

"Ayah di mana?" tanya Arabel setelah suapan ketiga.

Mereka jarang sekali sarapan bersama. Selain karena kesibukan, ayah lebih suka meminum pil dengan alasan kepraktisan dan hanya meminum kopi di pagi hari. Ditambah lagi setelah kematian ibu, ayah lebih suka mengubur diri dalam pekerjaan di kantor dan jarang pulang.

"Tadi sedang berjalan-jalan pagi."

Mata Arabel langsung memicing. Bukan hanya tingkah Biyan yang masih saja terlihat gugup, tetapi juga karena selama sepuluh tahun tinggal bersama, Arabel tidak pernah melihat ayah berjalan-jalan pagi kecuali ditemani ibu.

"Ayah jalan pagi?" tanya gadis berambut pendek yang sedang mengunyah sarapannya itu sekali lagi untuk memastikan.

Belum sempat Biyan menjawab, terdengar kode pintu dari luar. Lalu, tidak lama ayah masuk. Wajahnya kemerahan terkena udara pagi yang sejuk. Selain itu, tidak ada keanehan apa-apa. Arabel melirik Biyan yang terlihat bertambah gugup.

"Selamat pagi, anak-anak." Ayah memasuki dapur dan langsung menuang kopi.

Sikap santai ayah membuat bahu Biyan yang sedikit tegang mengendur dan gugupnya pun perlahan menghilang. Ayah duduk di kursinya sambil menanyakan kondisi Arabel dan perlahan mencoba mencari tahu apa saja yang gadis itu ketahui.

Sampai di sini, barulah Arabel sadar kenapa Biyan sangat gugup. Ayah bersikap seperti petugas keamanan yang mencecar untuk mendapatkan jawaban. Kalimat-kalimat yang dilontarkannya begitu dingin dan tegas.

"Ayah, aku minta maaf kalau berbuat kesalahan. Namun, sungguh kami tidak melihat apa-apa karena kondisi yang gelap dan perhatian kami teralihkan pada 331 yang rusak. Maaf kalau orang itu berhasil membawa kabur benda milik Ayah." Arabel mencoba menjawab dengan tenang.

Demi mendengar ucapan Arabel kalau orang itu berhasil membawa sebuah benda, wajah ayah semakin tegang. Dia melompat berdiri dan bergegas ke ruang baca untuk mengonfirmasi ucapan Arabel.

Terdengar makian dari ruang baca dan tidak lama kemudian, ayah bergegas turun serta langsung memakai jaket. Wajah ayah yang tadi kemerahan, kini terlihat pucat pasi. Bisa dipastikan benda apa pun itu, pasti merupakan hal yang penting.

"Ayah harus kembali ke kantor. Ara, kamu jangan lupa kontrol ke petugas kesehatan dan tidak usah beraktivitas hari ini. Ayah akan menginformasikan ke akademi kalau kamu harus beristirahat. Biyan, kamu masih libur, kan? Temani Ara di rumah, ya. Pastikan dia pergi ke petugas kesehatan." Ayah mengucapkan kata-kata itu dengan cepat. Nyaris seperti yang akan Ibu lakukan jika terjadi kondisi darurat.

Tidak ada yang bisa dilakukan kedua bersaudara itu selain mengangguk dan menyaksikan kepergian ayah. Sunyi sejenak setelah pintu depan tertutup dan terkunci otomatis. Beberapa menit setelahnya, baru Arabel menghela napas.

"Aku penasaran, itu tabung berisi apa, ya?" gumam gadis itu.

"Tabung? Semalam orang itu berhasil membawa tabung?" Biyan terhenyak di kursinya.

"Pantas saja ayah terlihat aneh sejak tadi pagi. Mungkin dia sadar ada yang tidak ada tapi tidak bisa memastikan benda apa itu. Menurutmu, isi tabung itu apa, Ra?" tanya Biyan lagi pada kakaknya.

"Entahlah. Kita pernah dihukum ayah saat mencoba mencari tahu apa isi tabung itu, kan?" Arabel menggeleng seraya mencoba mengingat bentuk tabung itu.

Saat ini, tidak ada tempat penyimpanan serupa tabung yang hilang. Biasanya orang-orang menyimpan data dalam benda pipih kecil berupa hard disk seperti yang pernah diberikan mamma sebelum kematiannya pada Arabel. Sementara untuk benda besar biasanya dimasukkan ke dalam wadah kecil dengan teknologi melipat benda tanpa merusaknya.

"Tunggu! Kamu ingat seberapa besar ukuran tabung ayah?" Arabel tiba-tiba tersentak saat ingat sesuatu.

"Sebesar ini mungkin," jawab Biyan dengan tangan yang mereka-reka ukuran tabung.

"Bagaimana ... bagaimana jika tabung itu adalah wadah dengan teknologi tingkat tinggi yang dapat melipat benda dengan ukuran jauh lebih besar tanpa harus merusaknya?" Mata Arabel membelalak sementara Biyan menatap kakaknya seolah dia sudah gila.

"Kalau benar begitu, apa yang disimpan ayah sampai kita tidak boleh tahu?" Biyan masih menatap Arabel dengan heran.

"Entahlah ... itu juga aku tidak tahu." Arabel menopangkan kepalanya dengan kedua tangan. Ada rahasia pada tabung itu, Arabel yakin. Tidak mungkin ayah bersikap aneh jika bukan karena tabung itu.

Arabel menghela napas. Matanya melirik ke arah foto keluarga yang terlihat dari ruang makan. Foto keluarga itu sebenarnya adalah video singkat yang dimasukkan ke dalam frame digital. Sehingga bisa terlihat wajah ibu yang tersenyum.

Mengingat ibu, hati Arabel mencair dan berubah melankolis. Dia akan selalu ingat kebaikan sang ibu angkat untuknya dan Biyan. Ibu tanpa ragu mengadopsi mereka berdua yang bingung akan masa depan setelah gempa besar. Ketika ibu menyadari kalau rahimnya tidak akan pernah bisa memberikan anak, ibu malah semakin menyayangi Arabel dan Biyan.

Ada sesuatu yang disembunyikan ayah dari mereka berdua. Batin Arabel dapat merasakan itu. Hanya saja, bagaimana cara mencari tahu rahasia itu yang belum mereka ketahui.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro