Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedai mie Kakek San ramai dengan pengunjung. Arabel harus melewati sekelompok orang-orang yang sepertinya mampir setelah bekerja. Dia menemukan Biyan sedang menikmati secangkir teh manis hangat ditemani oleh Kakek San. Sementara Einstein berada di meja makan, sibuk makan pisang yang diberikan oleh Kakek San.

"Halo, Kakek San. Apa kabar?" Arabel menyapa laki-laki tua yang masih terlihat segar itu dan mencium tangannya. Warisan dari kedua orang tua kandungnya untuk selalu menghormati mereka yang lebih tua.

"Halo, Arabel. Kabar Kakek baik. Kamu yang kelihatannya makin kurus, ya? Ini berarti kamu harus banyak makan." Kakek San tertawa dengan ramah.

Kakek San selalu mengatakan Arabel terlalu kurus. Padahal memang metabolisme gadis itu yang mungkin terlampau cepat. Sebanyak apa pun makanan yang dia makan, tidak pernah membuatnya gemuk.

Arabel meringis mendengar ucapan Kakek San. Sementara itu, Kakek San sudah memberikan kode pada karyawannya untuk mengantarkan semangkuk mie hangat berkuah kaldu kesukaan Arabel.

Gadis itu lalu duduk dan mengelus kepala Einstein sementara burung itu berkedip dan menyundulkan kepala ke tangan Arabel dengan sayang. Di depan umum, Einstein biasanya tidak banyak bicara. Bisa dibilang perilaku burung itu seperti burung kebanyakan lainnya. Kecuali bahwa dia bisa hidup bebas tanpa kandang.

"Kamu telat, Ra," ujar Biyan. Anak itu sedang menyeruput kaldu hangat dengan semangat sampai menimbulkan suara gaduh.

"Makan yang sopan." Arabel menepuk punggung tangan Biyan yang dibalas dengan cengiran.

"Aku datang ke acara diskusi di akademi dulu. Omong-omong, apakah tadi ada keanehan? Seperti lampu berkedip atau panel-panel hologram yang mengalami gangguan?" Arabel bertanya pada kedua laki-laki beda generasi di hadapannya.

"Iya. Sepertinya solar flare datang lebih cepat dari perkiraan, ya. Tapi pemerintah bilang tidak perlu khawatir." Kakek San menjawab pertanyaan Arabel.

Mendengar ucapan Kakek San, Arabel menghela napas lega. Berarti tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Pesanan mie berkuahnya datang dan Arabel segera melupakan kejadian sore hari yang sebelumnya mengganjal di benak.

Setelah puas menikmati mie Kakek San sampai perut rasanya mau meletus, Arabel dan Biyan pamit pulang. Mereka berdua memutuskan untuk berjalan kaki. Selain jarak yang tidak terlalu jauh, Biyan berkata kalau dia terlalu kenyang. Mungkin dia merasa bersalah sudah makan terlalu banyak. Berbeda dengan Arabel, Biyan cenderung mudah gemuk. Itu sebabnya, dia selalu berolahraga secara rutin dan menjaga pola makan.

Mereka berdua mengobrol tentang berbagai macam hal secara acak. Sesuatu hal yang disukai oleh Arabel. Ini membuatnya dapat memahami Biyan. Einstein hinggap di bahu Arabel dan mulai mengoceh ketika orang-orang yang berpapasan dengan mereka mulai sedikit.

"Aku dengar gosip .... " Einstein memulai sementara Biyan memutar bola mata sambil tertawa.

"Kalau nggak mau dengar, jalan duluan sana," ucap Einstein sebal melihat kelakuan Biyan.

Biyan hanya tertawa. Meskipun dia sering menggoda Einstein yang suka bergosip, tapi harus diakui kalau burung itu selalu membawa berita panas yang banyak dibicarakan orang. Dia mengusap paruh Einstein sebagai tanda damai yang dibalas dengan sundulan berbulu di telapak tangan.

"Jadi, apa beritanya?" tanya Arabel sambil meregangkan tangan. Dia merasa pegal-pegal padahal tidak banyak bergerak hari ini.

"Katanya tahun ini akan ada badai radiasi terbesar yang pernah ada. Aku nggak paham apa itu radiasi, tapi sepertinya kata yang menakutkan." Einstein melebarkan sayapnya sambil mengangguk-angguk.

Badai radiasi yang dikatakan Einstein pasti maksudnya adalah gelombang radiasi magnetik yang melintasi spektrum elektromagnetik. Seharusnya itu bukan masalah besar. Solar flare biasanya tidak pernah mencapai permukaan bumi dan hanya mengganggu gelombang radio pendek. Arabel bertanya-tanya, apakah gangguan magnetik pada jalur bus dan panel hologram itu adalah akibat dari solar flare.

"Aku mau telepon Ayah nanti," ucap Biyan tiba-tiba.

Tanpa banyak kata, Arabel tahu bahwa pikiran Biyan sama persis dengannya. Ada anomali yang terjadi, tetapi mereka tidak tahu itu tentang apa. Seperti ada kesalahan dalam ujian yang membuat mereka cemas bukan main.

"Aku ikut."

Biyan mengangguk mendengar permintaan kakaknya. Sepanjang sisa perjalanan mereka kembali mengobrol hal-hal ringan sambil sesekali menggoda Einstein. Memasuki area perumahan, mereka melihat kalau lampu teras belum dinyalakan.

Arabel memandang Biyan. Ini suatu keanehan. Tidak biasanya humanoid 331 melakukan kesalahan seperti lupa menyalakan lampu. Keanehan kedua adalah adanya lampu berkedip di bagian atas rumah.

"Apa aku perlu memanggil bantuan?" tanya Biyan pelan. Sementara Einstein yang juga melihat kejadian aneh itu mulai melayang mendekati jendela rumah. Sayangnya seluruh jendela dalam kondisi tertutup sehingga tidak bisa dia masuki.

"Kita cek dulu. Jangan-jangan hanya kesalahan kecil saja."

Perlahan mereka menaiki undakan teras. Arabel menelan saliva dan bersiap untuk meletakkan telapak tangannya untuk membuka pintu. Teknologi saat itu memang menyimpan kode suara atau sidik jari dan telapak tangan pemilik rumah. Kondisi sekarang tidak memungkinkan bagi Arabel untuk membuka pintu dengan suara. Jika ada orang lain di rumah mereka dan bermaksud jahat, maka akan membahayakan Arabel dan Biyan.

Pintu terbuka tanpa suara. Suasana yang gelap membuat jantung Arabel berdebar. Dia tidak tahu apa yang akan ditemukan dalam kegelapan. Seseorang menyambar telapak tangannya dan hampir saja membuat gadis itu berteriak sebelum menyadari bahwa itu adalah tangan Biyan.

Mereka berdua memasuki rumah dan langsung menuju lantai atas dengan cahaya berkedip-kedip. Tidak terdengar suara humanoid 331 meluncur atau suara ribut saat humanoid itu melakukan kesibukan.

Cahaya berkedip berasal dari ruang baca di lantai dua. Sebagai ilmuwan, ayah angkat mereka memang menyimpan berbagai macam buku dan hasil penelitian di ruang baca. Baru saja Arabel berniat menyalakan lampu dari jamnya, ada sesuatu yang menabraknya hingga terpelanting dan genggaman tangannya dengan Biyan terlepas.

Arabel mengaduh sambil berusaha berdiri. Napasnya megap-megap karena kaget dan benturan yang keras. Sementara itu, Biyan sudah menyalakan lampu dari jamnya dan terlihat humanoid 331 berada di pojok ruangan dalam kondisi terduduk. Tidak menyia-nyiakan waktu, Biyan langsung berlari mengejar apa pun yang menabrak Arabel hingga terpelanting.

"Ara, kamu nggak apa-apa?" Einstein terus menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Burung itu terbang bolak-balik dan terdengar khawatir.

"Aku baik-baik saja. Tapi sepertinya kakiku terkilir saat jatuh tadi." Wajah Arabel pucat pasi karena kaget.

"Syukurlah. Bisakah kamu menyalakan lampu rumah terlebih dulu?" Einstein bertanya sambil mengepakkan sayap.

Arabel menyentuh jam yang dia kenakan, menekan beberapa tombol kemudian lampu di seluruh rumah menyala. Kondisi ruang baca sangat berantakan. Meja kerja ayah seperti baru terkena puting beliung.

Setelah terdiam beberapa saat, gadis itu mencoba berdiri dan menghampiri humanoid 331 yang tergeletak di pojok ruangan. Humanoid itu seperti dirusak secara paksa. Kepala besinya hancur separuh dan panel manual di dadanya tercabut begitu saja.

Melihat kondisi humanoid itu, Arabel bergegas mengecek kotak kecil di bagian pinggang yang juga hancur. Menghela napas lega karena memory card humanoid itu masih ada meskipun kotaknya sudah hancur.

Terdengar suara orang memasuki rumah yang membuat Arabel bersiaga penuh. Einstein yang sudah melayang turun berteriak mengatakan bahwa Biyanlah yang datang. Kaki Arabel lemas bukan main. Dia juga masih merasakan nyeri di sekujur tubuh terutama di area dada.

"Aku tidak berhasil mengejar siapa pun yang tadi ada di sini." Biyan terlihat sangat kecewa dan merasa bersalah. Keringat mengucur di dahi dan Arabel bisa merasakan kalau adiknya itu sedikit gemetar.

Mereka memanggil petugas keamanan yang langsung mengambil alih pemeriksaan di seluruh penjuru rumah dan memanggil petugas kesehatan. Untunglah kondisi Arabel tidak parah. Dia mendapat memar di bagian dada dan kaki yang terkilir.

Ayah angkat mereka juga bergegas datang setelah menerima pesan dari Biyan. Laki-laki paruh baya itu terlihat sangat khawatir. Arabel bahkan bisa melihat kalau ayahnya masih mengenakan jubah laboratorium.

Di antara pertanyaan para petugas dan ayahnya, Arabel merasa semua ini berlangsung bagaikan dalam mimpi. Pertanyaan paling besarnya adalah siapa yang mengacak-acak ruang baca ayah? Siapakah yang menabraknya sampai terpelanting? Segala pertanyaan tumpang tindih dalam otak Arabel. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro