Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bumi Tahun 2037

Ruangan bergetar begitu hebat ketika Arabel mendadak terbangun dari tidurnya. Lampu tidur di kamarnya berkedip-kedip dan gemeretak barang-barang di meja semakin keras. Guncangan tidak juga reda dalam sepuluh detik, sehingga gadis berusia sepuluh tahun itu berteriak memanggil kedua orang tuanya.

"Ara! Jangan takut! Ayo kita harus segera keluar mencari tempat aman." Pintu kamar Arabel terbuka dan menampakkan siluet Tasia Bawana, Ibu Arabel, yang memegang senter.

Arabel menggenggam jemari ibunya dengan erat. Terlalu takut dengan kondisi yang baru pertama kali ini dialaminya.

"Mana, Papap?" Bahkan suara Arabel terdengar aneh. Guncangan yang masih belum reda itu membuat suaranya semakin bergetar. Apalagi mulai terdengar suara benda pecah di dapur dan ruang makan.

"Sedang membawa Biyan." Sang Ibu menjawab sambil menyerahkan sesuatu ke tangan gadis kecil yang ketakutan itu. Arabel baru saja akan bertanya kemana ayahnya membawa Biyan, sang adik yang berusia enam tahun, sambil mengantongi benda yang diberikan oleh Ibunya, ketika guncangan semakin keras. Kali ini disertai dengan bunyi mengerikan yang berasal dari tanah.

"Lari, Ara!" perintah sang Ibu sambil membuka pintu menuju jalanan gelap yang mulai dipenuhi orang-orang yang keluar dari rumah masing-masing.

Sepanjang sepuluh tahun hidup bersama kedua orang tua dan adiknya, Arabel tahu kapan harus menuruti perintah dan kapan harus bertanya. Hal ini karena kedua orang tuanya adalah sedikit dari para ilmuwan yang paling berpengaruh di Indonesia. Itu sebabnya Arabel lebih mandiri dari usianya karena sejak kecil dia belajar untuk melihat situasi dan kondisi agar tidak merepotkan orang tuanya.

Arabel melihat rambut keriting Biyan di antara orang. Papap pasti sedang menggendong anak itu karena rambut keriting Biyan terlihat jelas sekali di antara bayang-bayang senter.

"Biyan!" teriak Arabel. Adiknya menoleh dan tersenyum sambil mengulurkan tangan sekaligus berteriak pada ayahnya agar berhenti.

Tepat saat itu, Bumi seolah mengamuk. Tanah seakan bergelombang seperti ombak di lautan yang diterpa angin. Arabel tersandung dan hampir saja terjatuh ketika seseorang menarik pinggangnya agar dapat tetap berdiri.

"Ara! Kamu harus terus berlari apa pun yang terjadi! Lindungi Biyan! Jangan melihat ke belakang!" Ibunya berteriak kencang mengalahkan jeritan orang-orang yang terluka karena pergerakan tanah yang luar biasa.

Arabel mengangguk gemetar sambil berlari bersama Ibunya. Papap bergabung dengan mereka. Getaran tanah semakin kencang. Saat itu Ara tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya dan melirik ke belakang.

Itu adalah pemandangan yang mengerikan. Tanah yang bergerak bergelombang itu mulai menelan rumah-rumah. Gadis itu bisa melihat lambaian tangan disertai teriakan minta tolong seorang nenek yang menjadi tetangga mereka sejak dia lahir. Disusul mobil-mobil yang tenggelam ke dalam tanah diiringi raungan kesakitan tetangga yang lain.

"Jangan melihat ke belakang, Ara!" sentak sang Ibu yang melihat Arabel melirik ke belakang.

"Tapi ... tapi ...." Belum sempat gadis kecil itu bicara, gelombang tanah tiba di kaki mereka.

Pekikan kencang terdengar dari sang Ibu saat dia terpeleset dan masuk ke dalam lubang yang tercipta. Masih terasa di punggung Arabel ketika sentakan dari sang Ibu mendorong tubuhnya menjauh dari lubang.

"Tasia!" suara Papap terdengar putus asa.

Gelombang tanah berhenti sejenak. Nara Bawana, sang Ayah, menurunkan Biyan dan menitipkannya pada Arabel. Laki-laki itu berusaha untuk menolong ibunya yang ternyata masih bergelantungan pada potongan aspal.

Biyan mulai menangis, terlalu ketakutan melihat kondisi kedua orang tua mereka. Arabel berinisiatif menggendong Biyan dan menggumamkan kata-kata menenangkan. Baru saja isak tangis Biyan berhenti, tanah kembali bergerak. Sekarang retakan memanjang terbentuk.

"Lari, Ara, Biyan!"

Arabel kembali berlari dengan ketakutan. Teriakan ayahnya yang terus menyuruh berlari tanpa melihat ke belakang, terus terdengar sampai beberapa saat. Tangannya kebas karena harus membawa sang adik laki-laki seberat 25 kilogram dalam gendongannya. Namun, dia tidak berhenti. Adrenalin mendorong kakinya untuk bergerak cepat.

Jantung yang berdetak cepat juga menciptakan kekuatan pada Arabel. Dia terus berlari dan berlari. Menuruti perintah, menjaga adiknya dari segala hal yang dapat membahayakan nyawa mereka.

Menit demi menit berlangsung dengan lamban. Terdengar ledakan di kejauhan. Kemungkinan karena saluran gas di perumahan yang meledak karena pergerakan tanah. Sorot senter yang kacau di sekitar mereka, erangan dan teriakan yang terus terdengar. Sampai kemudian, getaran dari tanah berhenti dan sunyi menyergap.

Kaki Arabel gemetar saat dia menghitung detik yang lewat. Memastikan bahwa tidak ada pergerakan tanah ekstrem yang akan melukai mereka. Dia melihat kondisi Biyan yang sudah tidak mampu menangis dengan suara kencang.

Malam itu, di antara retakan tanah yang berhenti, di antara sirine ambulans yang mulai terdengar dan erang kesakitan, kedua bersaudara itu tersadar. Kini mereka hanya saling memiliki satu sama lain. Orang tua mereka pergi bersama dengan ribuan nyawa lainnya.

Arabel menggandeng Biyan pergi untuk mencari bantuan. Kakinya sudah berdarah-darah karena sandal kamar yang tadi sempat dipakainya terlepas entah di mana. Gadis itu melihat kekacauan di sekelilingnya. Di luar kompleks perumahan, dia melihat gedung-gedung dan apartemen yang separuh atau bahkan sepenuhnya runtuh.

Orang-orang lalu lalang di sekitarnya, mengabaikan dua anak kecil dengan air mata mengalir di pipi. Berjam-jam berjalan, sampai akhirnya Arabel menemukan sebuah kantor polisi kecil yang disadari gadis itu berada sekitar lima kilometer dari kediamannya.

Kantor polisi sudah separuh runtuh, tetapi penuh orang-orang, baik yang terluka maupun tidak. Mereka semua seolah berbicara bersamaan dan rata-rata melaporkan kehilangan keluarga mereka. Awalnya Arabel hanya menatap keramaian di hadapannya dengan bingung sampai matanya bertemu dengan mata seorang polisi muda yang terlihat kelelahan tetapi tetap meladeni laporan dari orang di hadapannya.

Polisi itu berdiri, membiarkan rekannya melanjutkan pembicaraan dengan orang yang sedang melapor, lalu berlutut di hadapan Arabel agar tidak ada perbedaan tinggi di antara mereka. Sekali melihat saja, Arabel tahu kalau laki-laki itu juga telah kehilangan keluarga, tetapi tetap berusaha tegar dan menolong penduduk kota.

"Papap dan Mamma ...." Suara Arabel melirih saat air mata kembali menggenang.

Tanpa banyak bicara, laki-laki itu menepuk bahu Arabel dan membawa Biyan dalam gendongannya. Dia melihat kondisi kaki Arabel dan mengajak mereka menuju tempat medis darurat berupa tenda besar yang didirikan militer satu jam setelah gempa bumi besar melanda.

Tenda itu dilimpahi cahaya dari genset-genset darurat yang dinyalakan untuk melakukan operasi dan merawat pasien. Arabel dan Biyan dibawa menuju tenda seorang dokter yang baru saja selesai membalut perban dan memeriksa kondisi pasien lain.

"Mereka kehilangan kedua orang tua, Dok. Gadis kecil ini terluka kakinya dan anak laki-laki ini terlihat shock." Polisi itu menerangkan pada dokter yang ternyata seorang perempuan.

Dokter itu berdiri, mengucapkan terima kasih pada polisi yang tersenyum lalu kembali ke posnya. Hal pertama yang dilakukan dokter itu adalah memeluk Biyan. Dia mengusap pipi anak laki-laki itu yang basah dan kotor. Detik itu juga, mungkin karena tersentuh dengan ketulusan sang Dokter, Biyan menangis tersedu-sedu.

Arabel tidak akan pernah melupakan kebaikan hati dokter perempuan itu. Selama pengobatan, dia memberikan makanan dan minuman pada Arabel dan Biyan. Kemudian, dia membawa mereka berdua ke penampungan sementara. Di sinilah Arabel bisa melihat dampak dari gempa bumi terhebat. Mereka yang kehilangan sanak keluarga. Mereka yang menjadi yatim, piatu atau yatim piatu dalam sekejap.

Hari Arabel nyeri dengan rasa kehilangan dan ketakutan akan masa depan yang dihadapi tanpa kedua orang tua. Tangannya merogoh saku, mengambil benda pipih yang sempat diselipkan Mamma sebelum mereka keluar dari rumah.

Air mata menetes saat Arabel menyadari apa benda pipih itu. Ini adalah hard disk keluarga mereka. Setiap kenangan, video dan foto keluarga, semua dimasukkan Ibunya ke dalam hard disk dengan kapasitas ratusan terra itu. Ini adalah warisan berharga keluarga mereka melebihi harta benda.

"Jangan menangis, Ara. Nanti aku juga ikut nangis." Sebuah suara kanak-kanak terdenger disertai genggam tangan yang semakin erat.

Detik itu Arabel bersumpah akan selalu menjaga Biyan selamanya. 

***

Annyeong :)

Ini adalah cerita terbaruku setelah hiatus sekian lama. Flame adalah cerita tentang dunia after big earthquake dan climate crisis di masa depan. Kenapa Flame aku berikan redflag "mature"? karena isi di dalamnya akan lebih dark daripada ceritaku kebanyakan.  Selain itu, akan ada bahasan-bahasan yang menuntut kebijakan dari teman-teman saat membaca yang mungkin akan menimbulkan sedikit ketidaknyamanan. Mengingat genre thriller bisa jadi ada hal-hal sadis yang terbayang saat kalian membaca.

Namun, semoga hal ini nggak menyurutkan niat kalian untuk terus menekan tombol "next" saat membaca Flame, ya. :)

Love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro