SAN~01

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


AKU TERTOLAK. Padahal baru saja ingin kuungkapkan semua padanya. Tapi sekarang yang kutatap hanyalah punggung kokoh seorang pemuda yang menjauh menuju kelasnya.

Aku gugur, bahkan sebelum memulai. Padahal tinggal selangkah lagi sampai aku bisa mengeluarkan suara. Tapi pita suaraku malah tersendat dan mengeluarkan dengkingan serupa hewan tercekik.

Aku malu! Tentu saja! Orang itu sampai menampilkan ekspresi mau muntah hanya karena melihat wajahku sekarang!

Gigiku menggertak, aku meremat bungkusan yang kugenggam, hendak melempar dan menginjaknya tapi aku ingat betapa banyak usaha dan uangku yang turut lenyap bersamanya. Lagi pula, pecahan kaca dari figuranya hanya akan melukai sepatuku. Kuputuskan untuk memeluk benda itu, melesakkannya dalam jaket lalu pergi.

"Sania!"

Aku malas menoleh, ingin rasanya langsung melesat sampai halte. Lagi pula mendung sudah menggumpal di atas sana, hujan bisa turun tiba-tiba. Langkah kupercepat, tanpa memedulikan ocehan Alifah yang terus memanggilku. Gadis itu pasti sedang mengejar sekarang, aku yakin karena suaranya kian mendekat.

"Sania!" Alifah meraih pundakku, membuatku berhenti tanpa berbalik padanya. "Kamu tadi ngapain?"

"Aku bodoh." gumamku, jemariku meremat bungkusan kian erat.

"Bukan!" Alifah berjingkrak, "maksudku, kamu tadi-"

"-tolol sekali!" aku hampir menjerit histerus. "Benar, kan? Kamu melihat semuanya, kan?'

Alifah tersentak mundur, dia terbelalak sebelum berdeham. "Iya sih," menyadari raut mukaku yang menahan tangis dia buru-buru menepukkan tangan, "Nggak, maksudku, tadi itu keberanian yang luar biasa." ujarnya sambil mengerjap.

Aku membersit hidung, dibalas dengan gerutuan Alifah soal aku yang jorok sekali. "Habisnya...ini nggak sesuai rencana!"

"Jangan bilang kamu membuat rencana ini dengan Santos?"

Aku mengangguk mantap, "Sayangnya iya! Dan dia malah pulang duluan!"

Alifah menepuk jidat. Dia hendak berkata kasar sebelum banyak-banyak mengucap istigfar. "Ya sudah, ayo ke halte. Aku juga nggak tahu apa yang harus dilakukan."

Aku menurut, berjalan bersama Alifah yang kini menepuk-nepuk punggungku sambil melontarkan berbagai nasihat dan kalimat motivasi yang semuanya tak bisa menembus telingaku.

*

*

*

Hampir semua remaja pasti punya idola, atau yang biasa disebut gebetan. Tentu saja aku masuk ke golongan remaja itu. Aku mengidolakan seorang senior, sudah lama aku memujanya seperti orang bodoh. Mungkin, sejak kali pertama aku menginjakkan kaki di sekolah ini dan menemukannya di antara lusinan murid. Dan aku mempertanyakan apa yang membuatku sampai jatuh hati padanya.

Dia bukan orang yang terkenal, apalagi bintang sekolah. Dia cuma orang yang bersekolah, serius, itu saja. Entahlah, ini memang dia yang seperti itu atau hatiku saja yang terlalu getir untuk menerima namanya lagi. Aku tidak membencinya walau dia telah melakukan penolakan, tapi aku benci diriku sendiri.

Siapa juga orang yang akan menerima hadiah dari orang yang bahkan belum pernah bicara dengannya? Tidak ada! Dan kenapa aku tidak sadar itu?! Perasaan terkutuk itu memang membutakan segalanya, bahkan otakku ikut tumpul mendadak.

Emosiku menandak-nandak, bahkan ketika Alifah sampai di pemberhentiannya. Aku hampir mengabaikannya yang melambai dan menjeritkan namaku sampai seisi bus menoleh pada kami. Masih limabelas menit sampai aku berhenti di pemberhentianku, jadi kuputuskan untuk termenung saja sambil menunggu waktu berlalu.

Nama pemuda itu Gaelen, dia senior, sekarang kelas sebelas, dan aku baru kelas sepuluh. Seperti yang kubilang tadi, dia bukan orang terkenal, dia cuma murid biasa yang bahkan tak semua orang mengenalnya. Aku punya alasan konyol untuk menyukai orang itu, padahal kami sama sekali belum pernah bicara. Orang itu mungkin baru menyadari kalau makhluk bernama Sania ini hidup sejak seminggu yang lalu. Sejak hari upacara, di mana aku berlari ke UKS untuk piket dan malah tersandung sampai wajahku mencium lantai dengan mesra tepat di hadapannya. Seketika itu, kemanapun aku pergi dan berpapasan dengannya sorot mata itu selalu menghunusku. Setidaknya dia tahu aku hidup, dan aku senang, itu yang minggu lalu aku pikirkan.

"Kalau begitu beri dia sesuatu. Aku bisa bantu." kata Santos beberapa hari lalu. "Mending mencoba dan gagal dari pada tidak dan menyesal."

Otakku tercuci oleh kalimat terakhirnya. Lalu aku mulai membuat potret lukisan sang senior hingga kepalaku sakit saking lamanya menatap monitor. Setelah itu, aku mengambil uang tabunganku untuk membeli bingkai foto paling estetik dan terbaik menurutku yang bisa kutemukan di kotaku tanpa perlu beli secara online.

Rencananya, Santoslah yang akan menjadi perantara tanpa perlu menyebut namaku karena dia sudah mengenal Gaelen. Tapi sialnya, dia malah pergi duluan dan aku terlanjur bertemu dengannya di dekat parkiran motor. Seolah sensorku berbunyi, sontak aku memanggil namanya dan dia menoleh! Kami canggung selama semenit penuh. Sialnya, dengkingan yang keluar dari mulutku saat wajahnya mulai berkerut heran. Aku mengajukan bungkusan yang kubawa, dan dia menatapku jijik, kemudian pergi.

Drama yang indah.

Setelah kurang lebih limabelas menit, bus yang kutumpangi berhenti di sebuah terminal yang tak lain adalah pemberhentianku. Aku bergegas turun dari bus dan menemui Kak Sora yang biasanya menjemputku sepulang sekolah.

"Pucat kali kau ini?" Kak Sora menatapku dari ujung rambut sampai sepatu. "Kenapa?"

"Nggak tahu. Ayo pulang." kataku, bergegas naik ke motor.

"Mamamu lagi pergi, mungkin pulang agak malam." kata Kak Sora saat motor mulai berjalan. "Kamu nggak bakalan kesepian lagi besok." dia terbahak sendiri.

Dahiku berkerut, tapi aku malas bertanya detailnya. Yang kuinginkan hanyalah tidur di kasurku yang empuk, tidak lebih dari itu.

*

*

*

Aku bilang cuma ingin tidur, itu permintaan yang sangat sangat sederhana. Tapi, sekarang, rasanya aku ingin menjerit histeris, menangis, dan berguling di lantai.

Semua barang di kamarku sudah diganti. Ranjang kayu jati milikku berubah menjadi ranjang modern nan estetik bernuansa hitam putih. Lemari kayu super besar yang pagi tadi masih ada di pojokan kini lenyap, berganti rak buku yang masih kosong dan meja belajar lengkap dengan kursi gaming seperti di youtube. Aku tak pernah bermimpi punya kamar estetik, barangku terlalu banyak dan mustahil itu terwujud karena gaya hidupku yang serampangan. Dan sekarang... Dalam hitungan jam, kamarku disulap menjadi kamar cowok gamer profesional.

"Kemana barang-barangku?!" aku menjerit histeris, mengacak rambutku yang awalnya sudah kusut. "Luc diam dulu!" ujarku sambil menyingkirkan moncong Lucas yang terus menyundul lenganku.

"Kak Sora!!"

"Di belakang, San! Kamar belakang!" balas Kak Sora.

Aku mengikuti suara itu bersama Lucas yang masih menggoyangkan ekornya dengan semangat.

Kak Sora ada di kamar belakang, tepat di bagian paling belakang rumah ini yang dulunya digunakan oleh keluarga Tante Yumna sementara waktu sebelum rumah mereka selesai dibangun. Salah satu pintunya terbuka, ada bagian karpet yang menyembul keluar dari sana. Bergegas aku menuju ruangan itu, dan mendapati Kak Sora sedang merapikan koleksi novelku ke dalam rak kecil.

"Wah.." rahangku jatuh, tak kupedulikan Lucas yang melolong dan menyusul Kak Sora. Ekornya yang masih bergoyang membuatku jengkel tanpa sebab.

"Sekarang kamarmu di sini." Kak Sora tersenyum, "bagaimana? Rapi kan? Barang-barangmu banyak jadi Kakak bingung mau menatanya."

"Terus...kamar yang depan punya siapa?" aku bertanya sambil menjatuhkan tas dan bungkusan yang tadi kugenggam ke atas karpet.

Kak Sora mengerling ke sekitar, dia tersenyum lalu mengedikkan bahu, "Entahlah. Kakak nggak punya tanggung jawab buat ngejelasin itu. Nanti tanya Mamamu sendiri." ujarnya sebelum mengelus Lucas dan berlalu keluar kamar.

Aku mendengus pelan. Mendudukan diri di ranjang rendah yang kini jadi milikku. Lucas mendekat, meletakkan kepalanya di pangkuanku sementara mata birunya menatapku. Anjing husky itu menjilati hidungnya saat aku mengelus bagian atas kepalanya.

"Hari ini kacau sekali." kataku, "Aku ditolak, setelah itu diusir. Untung ada kamu di sini." aku mengacak bulu hitam Lucas sambil memainkan telinganya yang bergerak-gerak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro