17* Not Sensitive

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sina memandangku seolah aku tidak peka. Perkataan Promy juga menyindirku yang tidak peka. Lalu celetukan Hayno, bilang aku ini tidak peka. Apa mereka sedang meledekku? Sejak kapan aku tidak peka heh? Aku ini super perasa tahu—

Ingatan Yui yang suka pada Kuni menampar pipiku. Aku bahkan tidak ngeh mantan teman sebangkuku menyukai si biang kerok Yishitori Sakuni.

Baiklah. Bukannya aku tidak peka, aku cuman kurang sensitif saja. Maksudku, ayolah, kan bisa bicara langsung ke inti sari. Jangan pakai kode tak jelas, sialan. Aku bukan hacker yang paham ilmu perkodean. Aku tidak pintar seperti Kuni.

Aku jongkok, menatap rumput hijau. "Bukan begitu, teman-teman? Aku sangat perasa pada apa pun. Mereka berlebihan."

"Kalau begitu inisiatif lah mencari Kala."

Mencari Kala, heh? Benar juga. Aku sudah bertemu (hampir) dengan semua kenalanku di Fairyda, kecuali cowok itu. Aku tidak melihatnya dari pagi. Aku juga lupa bertanya pada Cleon—aku baru saja habis silahturahmi dengannya yang lagi mengajari Newbie bernama Stonara.

Aku berdiri tegak. "Yosha! Mencari Kala tidak sesulit ujian fisika, kimia, atau matematika. Aku pede untuk ini."

"Ini dia! Ini dia orangnya! Sosok yang akan memakan kotoran jika ada yang menyuruh. Nona Verdandi, kau bukannya tidak peka. Tapi begonya tidak ketolong."

"Apa?!" Katakan saja aku orang gila karena membentak dan memelototi rerumputan. "Bego kata kalian? Heh, kayak kalian punya akal pikiran saja."

"Ekhem." Aku tersentak mendengar dehaman itu, beranjak bangkit. Seorang cowok rambut putih, bola mata cokelat, kulit putih, jubah putih. Aku mengerjap melihat nimbus ring di kepalanya berwarna biru menyala. "Sedang apa kau? Bicara dengan rumput?" katanya diselingi intonasi nada ngeri, menatapku aneh.

Ah, benar juga. Hampir lupa menjelaskan kalau sudah banyak malaikat-malaikat yang dilahirkan oleh Amaras. Pasang Nimbus Ring di kepala, maka selamat, kau seorang malaikat. Lalu, aku rasa aku mengenal pria ini. Ya, aku ingat. Dia peri yang mendapatkan kekuatan cahaya saat aku masih jadi Newbie dulu.

"Kau... Light, bukan?" Aku mengingat-ingat. Wow, aku masih takjub dengan nama-nama peri yang harfiah dengan kekuatan yang mereka peroleh.

"Lhoo, kau mengingatku?" Light terkejut. Dua detik kemudian, dia tergelak pelan. "Ah, tentu saja kau ingat. Bagaimanapun kau memiliki sayap malaikat."

"Apa hubungannya dengan sayap itu?"

"Orang-orang yang ingin menukar identitas dari Peri ke Malaikat, ingatan tentang dirinya selama menjadi peri otomatis terhapus. Kau pengecualian karena setengah peri setengah malaikat."

Bisa-bisanya dia mengatakan itu dengan suara riang. Aku menatap Light tidak paham. "Kalau begitu teman-temanmu tidak ingat padamu dong? Kau gak sedih?"

"Tidak apa, tidak apa." Light menyengir. "Lagian aku tidak punya banyak teman."

Pantas saja aku merasa ganjil dengan Cleon tadi. Biasanya dia selalu bersama Tanny. Pas kusebut nama Tanny, dia malah mengernyit bingung, bertanya siapa itu Tanny. Kuberitahu pun dia tetap bingung, tidak mengenal siapa Tanny dan lanjut membimbing Stonara yang berkemampuan sama dengannya—kekuatan batu.

Itu artinya Tanny menjadi malaikat?

"Jadi, kau sedang apa?" tanya Light mempereteli cahaya matahari. Aku berdecak kagum melihatnya menarik cahaya ke pekarangan bunga yang layu.

"A-aku sedang menimang-nimang mencari Kala," kataku tak sengaja bicara kagok. Astaga, dia menyentuh cahaya matahari dan menggesernya seperti mengusap layar handphone. Praktisnya.

"Ah, mencari Tuan Eskrim ya..." Light memperbesar ukuran cahaya supaya bisa menyinari bunga-bunga lainnya.

Kenapa mereka memanggilnya begitu sih? Apa Kala menukar profesi penyihirnya menjadi pedagang eskrim?

"Apa kau lihat dia, Light?"

"Coba cari di Ngarai Lalipopa nomor L068." Ng? Tunggu dulu. Kalau tidak salah... Light menoleh cepat ke arahku yang membuka sayap. "Aku tidak menyarankan kau—"

"Terima kasih, Light. Permisi dulu!"

Light menelan ludah. "Aduh, gawat nih."

.

.

Aku mendarat dalam diam, bahkan suara pijakanku tidak terdengar. Aku harus bilang terima kasih pada Light nanti. Dia memberiku lokasi yang akurat.

Kala benar-benar ada di sini.

Aku menatap punggung lelaki itu. Selalu... angin selalu berembus sejuk ketika ada Kala. Dia berdiri sendirian seolah menunggu seseorang atau gabut di depan mata air. Aku dapat mengenalinya dari sini hanya lewat rambut aquamarine-nya yang terang dan jubah penyihir yang khas.

Aku masih menjaga jarak seratus meter darinya, tersenyum kecil memandangi laki-laki minim emosi itu. Tampaknya tinggi Kala bertambah. Dilihat dari samping, pahatan wajahnya menuju kematangan membuatnya menjadi tam—

Sungguh? Apa aku barusan ingin bilang dia 'tampan'? Heol! Nasib baik Kala masih belum menyadari kehadiranku. Aku bisa malu karena wajahku sedang menghangat seperti kepiting rebus. Apakah kelas dua SMA bikin otakku jadi mesum?

Lupakan. Aku akan menyapanya. Dengan begitu, takkan ada lagi yang meledekku tidak peka. Aku harus melindungi imej-ku!

"SENIOR KALA!" pekik seseorang lebih dulu, memotong langkahku. Gadis berambut kuncir dua itu melesat cepat dan memeluk Kala. "Astaga! Apa Senior menungguku?"

Aku mengerjap. Dia sudah punya pacar?

"Jangan mengebut." Bahkan cetakan suaranya berubah agak berat. Kalau menuruti tahun, dia 19 kan sekarang? Kami beda dua tahun (aku kini 17 tahun).

Gadis itu nyengir. "Khawatir padaku?"

Menilai situasi, sepertinya bukan waktu yang pas untuk menegur Kala. Aku bisa merusak momen mereka berdua. Baiklah. Aku akan undur diri. Kapan-kapan saja kusapa cowok itu... Kres! Kakiku menginjak sebuah ranting yang rapuh.

Sebelum mereka menoleh, seseorang datang menyentuh lenganku. Tubuhku sempurna menghilang. Gadis di sebelah Kala menggaruk kepala tak gatal. "Apa itu barusan? Senior mendengarnya?"

"Entahlah," kata Kala malas. "Ayo."

Mereka berlalu pergi. Kurasa semakin kemari, Kala semakin irit dalam bicara.

"Raibi! Ternyata kau. Lama tak berjumpa," kataku sesaat tubuh kami berdua kembali terlihat. "Bagaimana kabarmu?"

Raibi menatapku datar, menoleh ke arah Kala pergi, kembali menatapku. Syok. "Kau... apa kau baik-baik saja dengan yang barusan itu? Kau takkan bertindak?"

Aku mengerjap polos. "Maksudmu?"

"Haah..." Raibi menepuk dahi, tersenyum simpul. "Kabarku baik-baik saja. Senang melihatmu kembali, Verdandi. Jangan terlalu lama di sini ya. Mata Air Perenungan sering dikatakan angker lho."

Raibi pun terbang meninggalkanku.

Angker? Eits, itu tidak mempan bagiku.

Aku jongkok di depan mata air yang tenang. Pantulan awan yang bergerak di permukaan air membuatku tersenyum.

FLY Academy sangat menyenangkan. Bakal seru kalau belajar di sini. Aku akan puas menyaksikan panorama akademi sampai muak. Dan aku yakin aku takkan bosan.

Tapi... keberadaan Araganal merebut setengah semangatku. Kata Tuan Alkaran mereka berkekuatan hebat...

Aku menumbuhkan kelopak bunga maehwa, menebarkannya ke mata air. Tersenyum.

"Hehehe, ingat bias mood langsung naik."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro