16* Reunion (II)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengeluh dalam hati. Kenapa harus ketua jablay itu orang yang kutemui pertama kali? Kan aku maunya Sina atau teman-temanku yang lain, tidak harus dia. Aku dan Parnox tidak begitu dekat ataupun berteman. Dia seperti Kuni yang versi sombongnya. Kami tidak cocok.

"Aku tahu kau sedang mengumpatiku dalam hati, Verdandi. Berhenti menatapku seperti itu. Aku juga tidak tertarik dengan bocil sepertimu," sahut Parnox tajam, merapikan bros jubahnya yang timpang.

Apa katanya? Bocil? Keterlaluan!

"Parnox, apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kelangsungan acaranya?"

"Selesai lebih awal, kepala sekolah. Nona Amaras memintaku untuk memindahkan semua peri kembali ke Ngarai Lalipopa. Separuh memilih istirahat, separuh lagi mungkin sedang menuju FLY Academy," katanya sambil menatapku sinis.

Apa ini? Apa dia sedang kode lewat mata?

"HAH?! Mereka lagi menuju ke sini?! A-aku harus kabur—Duk!" Kepalaku mengantuk dada Parnox karena dia tiba-tiba berteleportasi ke depanku. Aku melotot. "Minggir, Parnox! Jangan ganggu aku!"

"Kenapa?" Parnox menyeringai, menahan lenganku. "Kau takut bertemu dengan yang lain? Oh, atau mentalmu belum siap bertemu mereka? Berhenti bermain sembunyi-sembunyi, Verdandi."

Tuan Alkaran memijat kepala. Bilang saja dia tidak mau melihat Sebille sedih lagi.

"Parnox, tolong." Aku menggelepar seperti cacing kepanasan demi mendengar derap langkah kaki dan kepakan sayap, memasang wajah memelas yang selalu berhasil meluluhkan Mama dan Papa.

"Sudahlah, Parnox. Verdandi masih membutuhkan waktu. Lepaskan dia," kata Tuan Alkaran kasihan melihat raut wajahku yang ingin menangis.

Parnox menghela napas datar, beralih melepaskan cengkeramannya terhadap lenganku. Aku pun bergegas membuka sayap, berniat melenting ke lantai dua.

Aku tidak siap dikerubungi mereka dan ditanyai ke mana saja aku selama ini. Aku akan terdesak kemudian tak sengaja menyebut kata 'Bumi' nanti. Kacau sudah.

"Itu hanya Melusina, Sebille dan Rissa lho. Kau tidak mau bertemu mereka? Dasar penakut!" kata susuran tangga.

Eh, Sina? Sebille? Rissa? Aku menoleh ke arah pintu berhuruf U, batal terbang melarikan diri. Ugh. Sahabat-sahabatku. Haruskah aku pergi...?

Parnox yang bersiap-siap kembali ke ruangannya, mengernyit melihatku menutup sayap, menundukkan kepala. Dia tersenyum miring. "Oh, tidak jadi kabur? Bagus, bagus. Selamat bernostalgia."

Tuan Alkaran hanya geleng-geleng kepala, sulit memahami kepribadian mantan ketua akademi itu... Eh, atau jangan-jangan dia masih menjabatnya? Bisa jadi kan Parnox ketos juga di sini.

"V-Verdandi? Kaukah itu?"

Aku terperanjat mendengar namaku dipanggil. Perlahan namun pasti, aku pun membalikkan badan. Sina, Sebille, dan Rissa berbinar-binar kaget. Aku menelan ludah. Baiklah. Tak ada yang perlu aku takutkan. Mereka teman-temanku.

"K-kau benar-benar Dandi? Apa aku bermimpi, Sina?" Salivaku kering mendadak mendengar suara Sebille tercekat.

Parnox memutar bola mata malas. Dia lebih bagus enyah dari sana daripada melihat reunian para gadis.

Aku mengangkat tangan kanan, melambai pelan sembari cengengesan canggung. "H-hai Sebille, Sina, Rissa! Aku datang. Bagaimana kabar kalian?"

Kupikir aku akan dicecar, ternyata aku salah. Sebille sudah duluan memelukku, disusul oleh Rissa. "ASTAGA! Benar-benar Verdandi! Kau Dandi yang asli! Kami sangat merindukanmu!" tutur mereka menatap wajahku sekali lagi. "Astaga!!!"

Aku membalas pelukan mereka. "Aku juga rindu kalian. Maaf aku pergi terlalu lama."

Sina melirikku di belakang. Matanya berlinang air mata, berusaha tersenyum. Aku ikut tersenyum, menganggukkan kepala. Dia tahu aku dari Bumi.

"Banyak yang ingin kami ceritakan, Dandi!"

"Aku tidak sabar mendengarnya."

Benar kata Mama. Menghindar bukanlah pilihan bagus. Masalah lebih baik dihadapi dan perasaan lega akan mendatangi setelah amukan badai.

.

.

"SERIUS?!" pekikku membuat satu dua peri di kapsul lalipopa melirik ke arah kami. Mereka ber-oh ria melihat Sebille, Rissa, dan Sina, namun mengernyit ketika memandangiku. Newbie sudah mengenal semua Elderly. Lalu siapa aku? Tiba-tiba muncul dan akrab dengan para Elderly.

"Sst!!" Rissa meletakkan telunjuk ke jari, malu di dengar peri-peri di sekitar kami. Wajahnya merah. "Aduh Melusina, dari sekian banyaknya topik obrolan, masa kau harus membicarakanku sih?"

"Soalnya kau yang paling gercep, Rissa. Kau sudah jadian dengan Houri, sementara hubungan Sebille dan Parnox tak kunjung tampak titik terangnya." Sina menjelaskan, tersenyum jenaka. "Dandi tentu saja tak mau ketinggalan berita."

Aku berdecak kagum. Aku tahu kalau ada sesuatu di antara Rissa dan Houri dari dulu, tapi astaga, mereka sungguhan menjalin hubungan asmara!

Sebille merungut. "Parnox tidak tertarik denganku sama sekali. Dia cocoknya dengan Psyche. Kau tahu dia kan, Dandi? Si Face Changers cantik itu."

Aku mengangguk. Aku masih ingat Psyche.

"Ngomong-ngomong, Dandi, kau ke mana saja selama ini?" tanya Rissa ganti topik. Percakapan tentang doi nanti-nanti saja. Kan kami lagi reunian ceritanya.

Aku dan Sina saling tatap. Mungkin aku percaya pada Sina, tapi bukan berarti aku meragui Sebille dan Rissa. Masalahnya, aduh, takutnya terjadi paradoks atau apalah kalau banyak yang tahu tentang Bumi. Itu poin kekhawatiranku.

"Ah, Dandi!" Untungnya Sina peka dengan gestur tubuhku, mengalihkan topik. "Aku bisa melakukan sihir lho. Aku magang tiga bulan di Klan Penyihir. Meski tidak sehebat Kala dan Kahina, aku hapal sedikit mantra-mantra pokok. Susahnya minta ampun. Jadi penyihir tidak mudah."

Mantra dasar sesusah itu? Lalu Kuni dalam sehari menguasai semuanya? Si tuyul itu tak membual soal kepintarannya. Tapi tetap saja tidak membenarkan fakta bahwa dia biang kerok kepoan sepertiku.

"Akan aku perlihatkan padamu!" Sina terbang menjauh sejengkal di depan kami. "Keluarlah Pouch!" Dia mengeluarkan tongkat sihirnya dari sana.

Sepertinya setiap penyihir diberi kantong ajaib, maksudku poket magis yang bisa menyimpan banyak barang, termasuk pada penyihir magang.

Sina mulai merapal sihir air, namun bola air itu makin membesar melewati ukuran yang Sina inginkan. Sebille dan Rissa manyun. "Sudah kami duga kau belum begitu mahir menyihir, Sina."

"Wahai! Lakukan sesuatu dong, Sina! Kami kena getahnya nih!" Kan tidak lucu kami ditelan gelembung air tak terkendali.

Seseorang bergumam.

Sekejap, sihir gagal Sina meletus. Kami menoleh. Senyumku kembang. "Kahina! Dan..." Aku melirik pria yang berdiri di sampingnya. "Hayno," sapaku ramah.

Di mana ada Kahina, di situ ada Hayno.

Kami berpelukan sebentar. "Selamat datang, Verdandi. Aku yakin kau akan kembali ke Fairyda walau banyak yang menentang kepulanganmu."

Adakah yang lebih mengharukan dari mereka yang menantikan kedatanganku? Sebegitu percayanya mereka aku akan kembali? Tuan Alkaran benar. Aku tidak menyesal datang lagi ke dunia ini.

"Bagaimana kabarmu, Dandi?"

Aku dan Hayno berjabatan tangan. "Baik. Kau sama Kahina makin cocok saja," godaku tersenyum manis. Lihatlah, mereka langsung salah tingkah.

"VERDANDI! Yuhuuu!" Belum sempurna kepalaku menoleh, Aquara sudah merangkul bahuku. Tersenyum. "Ini dia, pahlawan Fairyda. Datang paling terakhir. Kau satu-satunya peri yang bertahan tidak datang ke FA. Padahal banyak yang datang di hari pertama begitu Tuan Alkaran mengirim surat undangan pada kita. Dandi kita ini punya kepala batu."

"Sifatnya masih saja begitu."

Aquara melotot sebal. "Tidak ada yang mengajakmu bicara, Flamex."

Aku menoleh ke rombongan Aquara, senyum lagi. Reunian ini membuatku terus tersenyum. Ada Promy, Flamex, dan Holy. "Lama tak berjumpa." Teman-temanku yang merupakan mantan musuh.

Holy mengangguk. "Halo, Verdandi."

"Kau kembali heh," ucap Flamex sedikit ketus. Aku memaklumi kepribadiannya yang gimana gitu (membara-bara).

"Dari awal aku percaya seratus persen Verdandi akan kembali ke Fairyda. Dengan begini, Tuan Eskrim takkan murung lagi. Si rese itu akan berhenti menggangguku."

Tiba di giliran jabat tangan dengan Promy, alisku menukik mendengar celotehnya. Tuan Eskrim? Siapa yang dia maksud?

Holy melipat tangan ke dada, memicing menatap Promy yang menggerundel. "Di saat semua peri Newbie yang perempuan ngefans dengan Kala, kau justru terang-terangan bilang tidak suka dia."

Jadi mereka sedang membicarakan Kala.

"Kuakui, Kala memang cukup ganteng atau entahlah. Tapi sifatnya yang main perintah orang, itulah minusnya. Pokoknya aku tidak suka dia. Kasihan para Newbie itu, dibutakan ketampanan."

"Memang dia minta tolong apa padamu?"

Nah, inilah yang membuatku gagal paham. Begitu Holy melontarkan pertanyaan itu, kenapa Promy justru menatapku? Alhasil semua orang di sana menoleh ke arahku.

"A-apa? Kenapa melihatku?"

Satu menit hening, Promy pun tergelak seakan ada pelawak lucu numpang lewat. "Ini nih, karma untuk Kala. Kuharap kedepannya dia mau memperbaiki sifatnya yang menjengkelkan. Aku pergi dulu."

"Tungguin! Aku pamit dulu, Verdandi." Kahina melambaikan tangan, mengendalikan sapunya untuk menyusul Promy. "Kita bicara lagi nanti."

"Karma? Apa maksudnya?" Sebille bingung.

"Aku tidak tahu ini sebenarnya perihal apa, namun sepertinya Kala malang sekali nasibnya," gumam Aquara menggaruk kepala. Sama bingungnya. 

Aku menyikut lengan Sina, meminta penjelasan. Sahabatku itu malah menatapku prihatin. Kutatap Holy. Dia hanya mengedikkan bahu. Aih, tidak ada yang mau menjelaskan apa yang terjadi?

Hayno mendesah. "Gadis-gadis tak peka."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro