27* PADATORAS Race

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalian diserang Mista? Astaga, Araganal satu itu sangat aktif menyerang kita."

Rapat darurat diadakan. Yang hadir ialah Tuan Alkaran, Amaras, aku, Kala, Hayno, dan Rinvi. Aku menceritakan penyerangan Mista secara singkat beserta token kayu (aku putuskan menyebutnya begitu) berbentuk jaring laba-laba.

"Masalahnya, entah kenapa benda ini menyakiti Kala." Aku mengatakannya blakblakan, tidak mau menutup-nutupi.

Hayno melirik Kala yang diam. Orang mengerikan seperti dia bisa disakiti? Malahan Araganal lah yang dibuat terbang jauh ke ujung dunia oleh anginnya.

"Bagaimana, Rinvi?" tanya Tuan Alkaran menyerahkan soal penelitian pada Rinvi merujuk dia kutu buku. Pasti dia tahu.

"Ada kekuatan tidak biasa di dalam benda ini," ucap Rinvi mengatupkan rahang. "Semacam energi yang tercemar dan kotor. Sepertinya sangat berefek pada entitas murni yang terikat dengan alam."

Tuan Alkaran berpikir. "Entitas murni? Apa maksudnya? Amaras, tahu sesuatu?"

"Deskripsi Rinvi barusan mengingatkanku pada ras buangan yang dijauhi. Hanya ras itu yang akrab dengan pencemaran."

"Apa kau membicarakan Ras Padatoras?"

Aku mengernyit melihat Kala mematung. Hah? Ada apa dengannya? Sepertinya dia tahu apa yang dimaksud Tuan Alkaran.

"Apa itu Ras Padatoras?" tanya Hayno.

"Di Klan Iblis memiliki dua ras yaitu ras Iblis Merah dan Iblis Hitam. Tapi, sebenarnya dulu ada empat ras di sana. Yang terbuang adalah ras Vamparax bangsa vampir dan ras Padatoras bangsa predator atau homunculus. Karena dua suku ini merusak ekosistem, mereka pun diusir meninggalkan ibukota."

"Apa mereka berbahaya?"

Amaras mengangguk. Wajahnya serius. "Padatoras tidak memiliki tubuh yang utuh. Mereka hanya bayang-bayang yang bisa lenyap oleh cahaya. Makanya mereka memangsa makhluk yang punya energi putih karena identik dengan kemurnian."

Oh, ini ibarat Ying dan Yang.

"Tapi... apa hubungannya dengan Kala?"

"Karena dia seorang roh yang dibentuk oleh alam. Kala, apa kau ingat bagaimana kau terlahir?" Tuan Alkaran menatap Kala yang diam menyimak dari tadi.

Kala menggaruk kepalanya, sementara aku sedikit merona. Aku ingin tahu...

"Waktu itu bulan purnama biru. Angin menghembus hutan. Sehelai bulu burung jatuh ke tanah berumput. Lalu, Sabaism melintasi area tersebut. Lingkaran dengan simbol kincir tercipta begitu saja dan aku pun lahir. Hanya itu yang kuingat," ucap Kala menarik napas. Sepertinya masih sulit baginya bicara panjang lebar.

"Tunggu dulu." Hayno mengelus dagu. "Itu berarti Kala sejatinya berasal dari bulu??"

"Aku rasa bulu itu tak ada hubungannya..."

Kala mengirim tatapan maut. Hayno hanya cengengesan, berbisik 'sori'.

Amaras mengangguk-angguk. "Begitu rupanya. Angin yang berkumpul di hutan itu menjadi satu-kesatuan karena Sabaism menyalurkan segelintir kekuatannya."

Lagi-lagi ada sangkut pautnya dengan Sabaism, Rumah Dewa. Seberapa dahsyatnya sih kekuatan katedral itu?

"Lantas tubuh manusia Kala diberikan oleh Penyihir Agung Life-Fe yang menghilang entah ke mana," tambah Tuan Alkaran, mengatupkan rahang. "Apakah aku boleh berasumsi jika Araganal mengincar spirit sejenis Kala? Semua poinnya cocok."

"Tunggu, Aran. Jangan asal menyimpulkan. Araganal ya Araganal. Padatoras ya Padatoras. Yang seharusnya kita cari tahu sekarang yaitu bagaimana cara Araganal mendapatkan kekuatan Padatoras."

"Dari celah!"

Kami menoleh ke pintu masuk. Raibi datang bersama Parnox dalam keadaan... terluka?! Apa yang terjadi padanya?

Rinvi sigap mengaktifkan kekuatannya. "Ada apa, Parnox? Kenapa Raibi begini?"

Parnox mendesah jengkel. "Raibi, kau sungguh keras kepala. Misi membuntuti Araganal sudah gagal, tapi kau tetap melakukannya diam-diam tanpa izinku. Nasibmu berakhir di tangan Araganal kalau aku tidak kebetulan di sana."

"Paling tidak kekeraskepalaanku membuahkan hasil, Ketua," tukas Raibi, sedikit mendingan berkat Rinvi.

"Apa maksudmu barusan, Raibi? Celah?"

"Ya, Nona Amaras! Ada semacam celah di dekat pengunungan. Kurasa celah ini adalah koridor penghubung antara dunia duplikat dengan Asfalis yang asli."

Tuan Alkaran dan Amaras saling tatap. "Kalau tidak salah Utusan Halca mengatakan dunia duplikat ini dibuat terburu-buru oleh Sang Dewa. Bisa jadi proses pembuatannya tidak sempurna."

"Di mana celahnya tersambung?"

"Itu terhubung dengan Klan Iblis."

.

.

Aku termangu menatap sesuatu seperti sobekan atau rongga mulut melayang di lereng gunung. Aku tidak berani mengintip karena aku merasakan hawa panas dari mulut portal. Sensasi ngeri apa ini? Apa karena ujung lorongnya adalah Klan Iblis?

"Sebaiknya kita tutup celah ini sebelum monster Klan Iblis melintasi portal." Amaras tidak ingin pasukan orde Araganal bertambah lagi. Itu akan merepotkan.

"Bagaimana cara menutupnya?"

Kala mengangkat tangan. "Sepertinya aku bisa melakukan sesuatu. Tapi ini bukan menutupi, lebih ke menghalangi."

Amaras mengangguk. "Itu sudah cukup."

Kesiur angin meniup kami, membuat pohon di sekitar bergoyang-goyang. Setengah menit kemudian, sebuah simbol embusan angin yang dilingkari oleh sepasang sayap burung, muncul di depan celah.

"Apa itu semacam segel angin?"

"Yeah, itu akan memotong apa saja yang mencoba memasuki dunia ini."

Aku menelan ludah. Maksudnya tercincang seperti mata pisau dalam blender? Sejak kapan Kala punya teknik bahaya begitu?

"Tapi..." Rinvi berpikir. "Jika Araganal mengincar spesies spirit, maka Kala bukan satu-satunya target mereka. Bukankah Oceana juga sejenis dengan Kala?"

Aku mengangguk. "Benar. Dia Roh Air."

Lengang sejenak. Loading sejenak.

"Kalau begitu Oceana dalam bahaya! Kita tidak boleh membiarkannya sendirian!"

*

AUTHOR PoV

Pyass! Bola air yang diangkat pelan-pelan oleh Oceana lagi-lagi jatuh belum beberapa meter mengambang di udara.

Oceana cemberut. "Kenapa begitu susah mengendalikan air daripada memakai sihir air? Padahal aku roh air itu sendiri. Ini membuatku krisis identitas!"

Aquara tertawa, terbang ke sebelahnya. "Pertama-tama kau harus membiasakan diri dengan dasar tekniknya, Ana. Mengendalikan air membutuhkan gerakan badan. Tidak langsung bisa dikendalikan."

Selagi Aquara mengajari Oceana, Flamex menonton di belakang. Sungguh, dia bertanya-tanya kenapa dia ada di sini. Padahal niatnya mau ke FLY Academy...

"Kenapa kau terus mengelak?" celetuk Holy di sebelahnya. "Kau khawatir dengan Aquara karena tempat ini lumayan dekat dengan zona wilayah Araganal."

Wajah Flamex memerah, membuang muka. "A-apa maksudmu, heh! Jangan sok tahu! Siapa pula yang khawatir padanya."

Holy mengedikkan bahu, malas berdebat dengan cowok api tsundere itu, kembali mencatat sebuah daftar apalah itu.

"Apa sih yang kau tulis?"

"Bahaya mendekati FLY Academy, kita semua. Promy dan Komu menyelidikinya diam-diam, sudah ada tiga peri yang hilang. Di antaranya Luckyna, Erio, Liev."

Ekspresi Flamex berubah. "Kenapa kau tidak memberitahu Tuan Alkaran??"

"Memberitahu suatu hal tanpa informasi mendalam akan membuat seseorang buta untuk menentukan langkah. Makanya kami melengkapi puzzlenya dahulu..."

Melihat Holy mendadak berdiri membuat Flamex mengikutinya. "Ada apa?"

Holy menunjuk langit. "Kabut pink."

Rahang Flamex mengeras. "Mista, ya?"

Tapi mereka baik-baik saja karena ada Holy di sana. Kabut ilusi itu tidak bisa mempengaruhi atau mendekati mereka berempat karena kekuatan Holy.

"A-Araganal?" gumam Oceana takut, beringsut ke sebelah Aquara. Dia tidak membawa tongkatnya, cuman sapu. Dan Oceana tidak ahli menyihir tanpa tongkat.

"Tidak apa-apa. Ada Holy di sisi kita."

Benar! Sosok Mista keluar dari pusaran kabut pink, menyeringai. "Halo peri-peri yang cantik dan ganteng. Aku tidak punya urusan dengan kalian, namun aku butuh penyihir itu." Dia menunjuk Oceana yang tersentak. "Bagaimana kalau serahkan dia baik-baik? Maka takkan ada yang terluka. Jangan sia-siakan kebaikanku."

"Mau apa kau dengan Oceana?"

"Ada deh. Kalian tidak perlu tahu."

"Kalau begitu kami menolak! Ngapain pula kami harus mendengarkan bajingan tukang bikin orang halu kayak kau?"

Mista tertawa lebar. "Bukankah baru kemarin aku menghajarmu nyaris sekarat, hei bocah api? Aku hanya bicara dua kali. Serahkan penyihir itu baik-baik kalau tidak mau terjadi pertumpahan darah."

Aquara menggeleng, malahan memasang kuda-kuda bertarung. Begitupun Flamex.

Mista menyemprot sejumlah kabut pink yang tebal, tapi sekali lagi tidak mempan karena kekuatan Holy aktif. Tidak habis akal, Mista membaur dengan kabutnya.

"Dia menghilang! Waspadalah!"

Mereka berempat beradu punggung, menatap waswas ke sekitar. Kepala Mista muncul di sebelah kiri, terkikik.

"Hehehe, bercanda deh. Siapa pula yang menginginkan penyihir itu? Misiku bukan membawa Roh Air," ucap Mista, melempar sebilah pisau ke arah Holy.

Aquara pertama menyadarinya. Kekuatan Holy tidak bekerja untuk benda fisik.

"MENGHINDAR, HOLY!"

Pisau itu mengiris pipi Holy karena Flamex cekatan mendorongnya. Tapi sayang sekali, mereka tidak tahu kalau ada racun pelumpuh dioleskan ke bilah pisau. Gawat. Kalau Holy pingsan, kekuatannya nonaktif.

Benar saja. Flamex, Aquara, dan Oceana dibuat kebingungan karena Holy hilang mendadak. Tidak ada perlindungan lagi.

Tidak mau tinggal diam, Aquara pun mengendalikan air untuk membasahi wilayah itu, mengusir kabut pink. Begitu mereka bisa melihat keadaan di luar, mereka terkejut mendapati sosok Mista di atas langit sambil mengangkut Holy.

Tangan Flamex mengeluarkan api. "Jangan kau apa-apakan teman kami, sialan!"

"Tunggu, Flamex! Jika kau menyerangnya sekarang, apimu akan mengenai Holy!"

Mista melambaikan tangan. Portal khas araganal terbuka di depannya. "Bocah ini ada dalam daftar kami. Sampai waktunya tiba, kami akan menjemputmu, roh air."

Oceana berkaca-kaca, menggigit bibir.

"TUNGGU, BAJINGAN! LEPASKAN HOLY!"

Mista hanya membalasnya dengan tawa ledekan, hendak masuk ke dalam protal. Akan tetapi, kelopak matahari tiba-tiba tumbuh menutup jalur masuk.

Mista mengernyit. "Apa-apaan ini—"

Sebuah pedang berputar lantas melesat memotong tangan Mista yang mengangkut Holy, tubuhnya meluncur bebas ke bawah. Darah hitam mengucur deras.

"ARGHHH!!! SIALAN! SIALAN! SIALAN!"

Angin membawa tubuh Holy terbang. Aquara segera menyambutnya di bawah, tersenyum melihat bala bantuan datang.

"Kala! Linda! Verdandi!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro