30* Fake Messenger

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AUTHOR POV

"Sudah cukup, Kala! Hentikanlah!"

Kala tidak mendengarkan, justru memasang mantra dinding penghalang. Tatapan datarnya terarah ke Halca yang berusaha bangkit, namun terjatuh lagi. Serangan Kala barusan telak mengenainya. Mau sehebat kemampuan regenerasi yang Halca miliki, mantra tersebut menyerangnya dari dalam.

Sejak awal bertemu, Halca memang sudah punya firasat kalau dia tidak bisa menang dari Kala karena kekuatannya cuma pelindung. Sementara cowok ini? Penyihir pro, lulusan akademi Tovenar. Mana seorang spirit lagi.

Sial! Padahal dia ke sana untuk mengantarkan pintu ke 'dunia duplikat' sekaligus menjelaskan tata cara penggunaannya, bukan malah bertarung dengan penyihir kawakan!

"Tolong, bukakan portal ke Bumi."

Itu mungkin sudah yang kesepuluh kalinya Kala memohon meminta Halca membukakan jalan ke planet Bumi. Dunia yang dia tinggali.

"Harus berapa kali kubilang, Kala? Portal Asfalis dan Bumi bukan sesuatu yang bisa kau buka-tutup semudah membalikkan kertas. Walaupun aku bisa, aku takkan melakukannya. Keseimbangan dua dunia bisa terganggu."

Ini keliru. Seharusnya Halca tidak usah bertanya tentang Verdandi padahal tahu kalau cowok ini menyimpan rasa pada gadis itu—meski dua-duanya sama-sama tidak peka dengan perasaan masing-masing.

"Verdandi takkan suka jika kau begini, Kala."

Kala mengepalkan tangan. "Dia mengajarkanku tentang emosi manusia. Aku ingin tahu lebih banyak tentang sisi keindahan hati manusia."

"Aku tahu Verdandi penting untukmu, Kala. Dia seperti inspirator bagimu. Tapi mengamuk meminta dibukakan gerbang ke tempat tinggalnya bukanlah perbuatan bijak."

"Apa aku bahkan tidak boleh sekadar menanyakan kabarnya saja?"

Halca diam. Artinya tidak boleh.

"Kumohon, paling tidak biarkan aku tahu kabarnya. Apa dia sampai dengan selamat atau dia terlibat masalah baru..."

Halca tetap menggeleng. "Lagi pula gadis itu punya kekuatan, kan? Dia akan baik-baik saja. Dia bisa melindungi diri. Alasan Verdandi membuat kontrak denganmu karena dia khawatir padamu, Kala. Dia tidak mau kau berusaha membuatkan portal untuknya demi kembali ke dunia ini karena tahu resikonya berbahaya. Coba nilai dari kebaikannya itu."

Lengang sejenak.

Apa Halca berhasil membujuk Kala? Dia bukan petarung yang sudah menerima pendidikan dari akademi elite. Dia sama seperti Verdandi. Remaja biasa yang mendapatkan kekuatan karena 'tidak sengaja' datang ke Asfalis.

Jadi kalau Kala masih melanjutkan pertarungan berat sebelah ini, dapat dipastikan dia kalah.

"Pergi ke Bumi, dilarang. Menanyakan kabar, juga tidak bisa. Aku penduduk Asfalis. Sesusah itukah mengabulkan permintaanku?"

Aduh, ternyata bujukannya gagal total.

Angin puyuh yang berhenti menghembus lapangan tempat mereka bertarung kembali berkesiur kencang. Apa? Apa? Apa kali ini dia menggunakan kekuatan spirit-nya?

"Kala! Pikirkan juga Verdandi!" teriak Halca mencoba mengalahkan suara badai. "Jikapun aku bisa membuatkan portal ke Bumi untukmu, bagaimana jika ada kecelakaan karena sekat dua dunia dibuka terus-menerus?"

"Kecelakaan apa maksudmu?"

"Misal, sebuah retakan atau lubang terbuka dan monster-monster di dunia ini memasuki lubang itu dan menyerang Bumi. Parahnya menyerang tempat tinggal Verdandi. Itu hanya akan membahayakannya. Kau mau itu terjadi?"

Kala terdiam. Dia tidak berpikir ke sana.

"Apakah seberbahaya itu sembarangan membuka portal dunia?" lirihnya.

Halca mengangguk, tersenyum. "Saat aku pulang ke Bumi nanti, aku akan menyapa Verdandi. Kebetulan kami satu sekolah. Aku bisa bermain ke kelasnya kapan saja."

"Lalu kapan anda kembali lagi ke Asfalis?" Kala mendesak (tetap berbicara formal).

"Aku tidak tahu, tapi mungkin secepatnya karena aku punya misi di dunia ini—"

Masalah itu bisa diakhiri tanpa pertarungan ronde kedua jika saja Mini tidak tiba-tiba muncul lalu berteriak, "PEMBOHONG!"

"Pembohong dari mana...?"

Mini berkacak pinggang. "Tentang lubang, retakan, dan kecelakaan yang kau sebut barusan. Kau hanya mengarangnya saja, kan? Kau adalah Utusan Dewa, bahkan Sabaism mendengarkan perkataanmu. Jelas kau punya cara untuk keluar-masuk Bumi dan Asfalis sesuka hatimu tanpa beban apa pun."

"Itu tidak benar! Aku tidak berbohong!"

"Aku adalah pecahan Sabaism. Jadi aku bisa merasakan bahwa Sabaism mengakuimu sebagai orang golongan penting. Sekali kau bilang bukakan portal ke Bumi, Sabaism akan mendengarkanmu. Kenapa kau berbohong? Atau jangan-jangan kau ini utusan palsu?"

Halca terdiam. Semua peri Fairyda dari balik dinding sihir buatan Kala mulai bisik-bisik, tatapan tidak percaya, tatapan keraguan.

"Aku hanya melakukan perintah Luca untuk mencegah terjadinya bencana!"

Semua mengalihkan pandangan. Terpengaruh dengan kata-kata Mini: Halca utusan palsu.

Alkaran dan Amaras berusaha menenangkan mereka. "Ini hanya kesalahpahaman."

Kenapa? Halca berbinar-binar. Luca bilang 'kutukan kebencian' takkan berdampak di Klan Peri makanya dia senang dan antusias akan bertualang kemari. Tak terbilang sukacitanya dia diterima dengan hangat saat mengunjungi ibukota Klan Peri, Kota Feehada.

Tapi pada akhirnya dia dibenci juga.

"Saya pikir karena kalian sama-sama dari Bumi anda juga bisa setulus dan sejujur Verdandi." Kala menatapnya dengan sorot mata kecewa. "Tapi kalian berdua..., berbeda sekali."

Sekarang Kala membanding-bandingkan Halca dan Verdandi hanya karena mereka dari Bumi?

Halca mengepalkan tangan. Kala bahkan tidak tahu apa pun! Verdandi mah enak nasibnya, datang ke Asfalis lewat portal yang dibuka Putri Stella, bisa bertemu teman-teman yang menyambutnya dengan tangan lebar di sini.

Sementara dia? Ditanamkan kutukan, dibenci mau di manapun dia berada. Mau pergi bertualang pun ragu-ragu karena tidak ada yang senang dengan keberadaannya. Lalu Kala seenaknya membandingkan Halca dengan Verdandi? Gadis super beruntung itu?

Rinvi menyeka keringat. Aneh sekali. Seharusnya udara terasa dingin karena Kala memakai kekuatannya secara konstan. Kenapa aura sekitar menjadi panas?

Sebentar. Rinvi termangu. Dia ingat sekarang. Bukankan Utusan Halca keturunan Klan Iblis? Jangan-jangan temperatur meningkat begini...

"CEPAT MENYINGKIR DARI SANA, KALA!"

BUM! Telat. Ledakan gelombang kejut terjadi lebih dulu. Keras sekali getarannya, sampai memecahkan penghalang transparan yang melindungi peri-peri Fairyda. Mereka semua terpelanting menghantam bangunan akademi.

Belum habis keterkejutan dengan hempasan energi besar itu, satu sosok muncul begitu saja bergabung ke lapangan Fairyda, terbang mengambang di atas Halca yang lemas.

Laki-laki. Rambutnya merah, matanya hitam. Di keningnya terdapat simbol bulan sabit yang juga berwarna hitam. Anehnya simbol ini seperti akar, menjalar ke bagian matanya.

Hei? Alkaran menelan ludah. Bukankah itu Halca? Lalu yang nyaris pingsan itu siapa? Tapi penampilan mereka berdua berbeda sama sekali walau wajah mereka mirip.

Sosok itu menyeringai. "Halo, Para Sampah. Ah, tidak. Maksudku semut-semut bersayap."

"Astaga, apa yang terjadi di sini? Kenapa ada dua Utusan Halca?" Amaras sama bingungnya.

Parnox berkeringat. Wajahnya serius. "Orang ini... berbahaya, Tuan Aran Dia punya hasrat membunuh yang kuat. Kita harus apa?"

"Kita lihat situasinya dulu."

Tatapannya tertuju ke arah Halca. Tanpa pikir panjang melompat turun ke sebelahnya, bersedekap. "Ini kali pertamanya kau yang mengizinkanku datang, Hal. Padahal aku sibuk baca komik. You hopeless without me."

"Valca...? Kok kau ada di sini?"

"Kan kau yang panggil, dasar bego! Tapi..." Dia tertawa terpingkal, memegang perut. "Kau dihajar oleh penyihir kecil rendahan itu? Halca, Halca. Dasar pecundang lemah."

Sungguh, ini percakapan yang ganjil sekali untuk didengar. Si iblis bernama Valca ini, entah siapa dia, tiba-tiba muncul melancarkan serangan mematikan dan kini dia tertawa?

Siapa pun dia, yang namanya iblis atau berhubungan dengan Klan Iblis, berbahaya!

*

"Lalu?! Apa yang terjadi setelah itu? Apa yang dilakukan Valca pada Kala dan Fairyda?"

Linda dan Rinvi saling tatap, menghela napas panjang. "Rantai-rantai keluar dari tanah. Kalau bukan karena kekuatan Pohon Neraida, kami pasti terpanggang oleh rasa panas. Kala disegel kekuatannya. Sapu dan tongkatnya patah. Blessing Statue hancur—Tuan Aran serta Cleon yang memperbaikinya. Untung kekuatan patung itu tidak ikut lenyap."

Itu menjelaskan mengapa Mini tidak tampak lagi batang hidungnya. Pasti dia kehabisan energi untuk mempertahankan mode manusia.

Aku mengusap wajah. Lagian kenapa sih Mini memprovokasi Halca? Padahal Halca utusan yang asli. Dia tidak bisa melabeli seseorang seperti itu. Kena batunya kan.

"Kalian juga salah. Memangnya kenapa jika Halca keturunan Klan Iblis? Kalian tidak bisa menjaga jarak dengan seseorang yang telah membantu kita. Kalau bukan karena dia, kita takkan mendapatkan dunia duplikat ini."

"Mau bagaimana lagi, Dandi? Pandangan Klan Iblis di Asfalis sangat buruk. Keras, psikopat, barbar, haus darah. Sudah hal lumrah untuk menghindari bangsa mereka."

Aku mengepalkan tangan, berbalik.

"Eh, mau ke mana?" Linda refleks bertanya.

"Memarahi Kala! Si bodoh itu harus dijitak!"



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro