4* Wishful Thinking

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Siapa ya, yang bilang tak punya hubungan spesial dengan Yishitori-kun?"

Aku menahan tawa melihatnya cemberut. "Yui, kau salah paham. Kami hanya berteman," jelasku sembari mengolesi kuas ke papan palet. Jam terakhir hari ini ditutup pelajaran seni: melukis.

"Tidak ada pertemanan pure antara cewek dan cowok, Verdandi." Yui menyilangkan kedua tangannya. Aigoo, temanku ini terlalu banyak membaca cerita romance picisan.

"Ada kok. Aku dan Kuni contohnya. Lagi pula aku sudah punya..." Kalimatku terhenti melihat jari kelingkingku.

Bagaimana keadaan teman-temanku, ya?

Aduh! Fokus dengan kanvasmu, Verdandi. Sudah cukup nilaiku rendah di matematika. Tidak perlu ditambahi di kelas kesenian. Aku sudah jenuh diomeli para sensei.

"Kalau kalian benar-benar murni berteman, umm, apa tidak apa kalau aku tetap menyukai Kuni-kun?" Yui melirik Kuni yang terlihat serius dengan lukisannya. Kurasa anak itu suka menggambar.

"Kau bilang kau suka padanya, tapi dari yang kulihat, kau belum mulai bergerak."

"S-sudah kulakukan! Aku selalu membawakan Kuni-kun bekal, namun dia bilang dia sudah makan. Pas aku minta nomornya, dia tanya 'buat apa'. Kan tidak mungkin aku beritahu!"

Wow! Tidak pekanya keterlaluan sekali.

Aku jadi kasihan dengan mantan partner sebangkuku ini kalau tahu Kuni tidak suka cinta-cintaan. Tapi jika membahas teori dunia paralel, baru lah Kuni dikobari api semangat perjuangan. Agak lain.

"Mau kubantu?" Aku menawarkan diri.

Yui melotot melihatku bangkit dari kursi, menghampiri Kuni tanpa menunggu persetujuannya dulu. "T-tunggu, Dandi...!"

"Yo, Kuni!" Aku menepuk pundaknya membuat tangannya tergeser dari kanvas. "Sanyui meminta nomor ponselmu. Hm? Hei, kenapa kau diam saja? Kuni—"

Ah... Aku menatap garis panjang pada kanvas Kuni karena tepukanku.

Kuni beranjak bangun, tatapannya kosong. Aku langsung ambil ancang-ancang dan melarikan diri sekilat petir. Yui manyun. Bantuanku berakhir tragedi bagi lukisan Kuni (pemandangan gunung).

"KEMBALI KE SINI, VERDANDI!"

.

.

Pukul empat sore.

Seseorang menggebrak pintu kamarku tak lain tak bukan Kuni yang sudah biasa datang-pergi ke rumahku seperti rumah sendiri (begitu sebaliknya). "Dandi! Hari senin dan selasa kita libur karena para sensei ada acara. Kita bisa berangkat  hari minggu memakai jet pribadiku—"

Kuni terdiam. Dia memandang ngeri aku menyembah poster Maehwa. Mana gorden kututup lagi membuat kamar itu gelap.

"Hai," ucapku santai, tidak malu sama sekali ketahuan bahwa aku fanatik.

"A-apakah kpoper selalu begitu? Melakukan ritual sesat di kamarnya?"

"Aku hanya berdoa untuk biasku supaya harinya lancar. Tidak mudah tahu jalan menjadi idol. Akan selalu ada orang yang berusaha meruntuhkan usaha mereka. Maka dari itu aku berdoa Maehwa baik-baik saja di mana pun dia berada. Semoga doaku tersampaikan kepadamu, Tuan Wintermoon-ku. Muah! Muah! Muah!"

Cewek ini tidak bisa diselamatkan lagi. Level bucinnya ketinggian. Begitu arti mimik muka Kuni yang bisa kuterjemahkan.

Tapi aku tidak peduli, hehehe.

Kuni menggelengkan kepala. "Balik ke topik. Aku sudah menyiapkan transportasi untuk kita. Jangan khawatir. Gratis kok."

Aku mengalihkan pandangan ke Kuni. Aku tidak menyangka Kuni betulan serius. Aku memang mau ke dunia paralel lagi, namun berapa peluang keberhasilannya? Bagaimana kalau ternyata Halca masih memakai boneka doppelganger?

"Wah, Yishitori-kun mampir rupanya."

Kuni segera memperbaiki posisi duduknya yang seperti bandit pasar, tersenyum sopan seakan dia adalah sosok paling mengerti soal etika sedunia. "Halo, Tante. Iya, Kuni bosan di rumah nih."

Huwek! Rasanya aku mau muntah dengan pencitraan yang dilakukan Kuni ke Mama. Andai Mama tahu kalau dia aslinya begitu.

"Mau Tante siapkan cemilan dan jus?"

"Tidak usah, Tante. Kuni hanya sebentar... Ah, sebenarnya ada yang ingin Kuni bicarakan. Tentang liburan musim dingin. Kuni ingin mengajak Dandi liburan."

Pufft!!! Aku yang sedang minum air dingin, spontan tersedak. Kepalaku tertoleh pada Kuni yang tersenyum pede pada Mama. Apa?! Sejak kapan kami punya rencana untuk liburan musim dingin?! Ngadi-ngadi!

"Apa itu takkan merepotkanmu?"

"Tidak kok, Tante. Mama dan Papa ingin berterima kasih pada Tante sama Dandi yang telah merawat dan menemani Kuni selama mereka sibuk bekerja. Jangan segan. Kita sudah seperti kerabat dekat."

"Chottomatte, Yishitori-san." Aku menarik Kuni keluar dari kamarku, membiarkan Mama berpikir. "Kau bilang apa barusan? Liburan musim dingin? Itu kan baru dua bulan lagi. Terlebih aku sudah punya rencana! Aku mau nonton konser Maehwa. Aku sedang menabung untuk itu."

"Ayolah, Dandi. Ini akan seru. Kita bisa memanfaatkan liburan musim dingin untuk pergi ke dunia paralel." Anak itu malah mengacungkan jempol, tidak menangkap raut wajahku yang hendak menerkamnya.

"Dasar kau ini! Kita belum tentu bisa—"

"Sepertinya itu ide bagus." Mama menyela dengan senyum antusias, mengangguk setuju. "Nak Kuni tahu kan kalau Dandi tidak suka di Jepang. Dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman. Tante rasa dia butuh refreshing di tanah air. Ke mana rencana kalian akan berlibur?"

"Rahasia." Kuni tersenyum manis.

Aku sungguh ingin memukul kepalanya. Hebat sekali dia dalam pencitraan.

*

Agaknya Kuni semakin lancang per menit. Setelah dia memutuskan sesuka hati tentang 'liburan musim dingin' yang sialnya disetujui oleh Mama, hari minggu, dia mengajakku naik ke jet keluarganya.

Dan kenapa aku setuju-setuju saja dengan rencana gila ini?! Aku sudah dipengaruhi oleh si biang kerok itu.

"Kau kena pengaruh buruk olehku, Dandi," kekeh Kuni membaca pikiranku.

"Kuni, apakah ini akan baik-baik saja? Aduh, aku belum pernah naik pesawat kelas elite sebelumnya. Saat pindah ke Jepang, aku dan orangtuaku duduk di kelas ekonomi. Kelas rendahan." Aku mengeluh sambil terus memperhatikan ke luar jendela, bersiap untuk lepas landas.

Kuni menyeringai lagi, menunjuk dirinya. "Kau beruntung punya sahabat kaya raya sepertiku. Jangan ragu untuk berpikir memanfaatkan kekayaanku, Dandi."

Huh? Aku menatapnya intens. "Memangnya sejak kapan kita berteman?" hardikku, menatapnya dengan pandangan menggoda. First impression kami saja sangat jelek. Mana tiap hari kami berantem.

"Cih! Verdandi mah gitu," rungutnya sebal.

"Hahaha! Aku bercanda! Tentu kita teman."

Kami pun berhenti bercakap-cakap karena akhirnya pesawat meninggalkan daratan. Hari ini cuacanya cerah. Aku mengintip dari petak jendela, tersenyum.

"Klan Peri terdengar menarik sih, tapi hatiku sudah terpanah ke Klan Penyihir."

"Jangan berangan-angan, Kuni! Kita belum tentu sukses membuka 'pintu' ke Asfalis. Bagaimana jika Halca rupanya masih memakai doppelganger? Bagaimana jika Halca tidak mau membukakan portal untuk kita? Bagaimana jika dia—"

"Wahai! Kalau otakmu hanya terpaku dengan pertanyaan 'bagaimana jika', maka kau takkan memulai apa pun, Dandi!"

Dalam hati kecilku, aku sangat ingin kembali ke dunia paralel. Tetapi, apa itu mungkin? Aku benci berharap.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro