5* The Last Hope

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menghirup udara pagi yang segar. Tidak kusangka aku bisa ke tanah kelahiranku lagi. Walau dia menyebalkan, penggila eksperimen, Kuni pria baik yang mempunyai hobi eksentrik.

Tidak ada kunjungan ke tempat-tempat tertentu. Kami di sini bukan untuk liburan. Kami bergegas ke sekolah lamaku, tepatnya ke sungai hutan belakang.

"Jadi di sini portalnya muncul lalu kau tersedot dan dilempar ke dunia lain?"

Aku mengangguk, sedikit kepo apakah Kuni punya ide untuk membuka "pintu".

"Kalau begitu, yang di depan itu adalah sekolahmu? Bagus, sekolah di sini tidak libur. Kita bisa bertemu Halca."

"Eh, sebentar. Ini hari senin. Ada upacara. Kita tidak boleh tiba-tiba melabraknya begitu saja tanpa rencana matang."

Kuni berpikir cepat. "Benar juga. Katamu kepribadian 'tiruan Halca' ini sangat rapuh. Dia pasti akan berpikir yang tidak-tidak kalau kita muncul mendadak."

Aku menunggu Kuni memikirkan jalan keluarnya, namun aku melongo mendengar solusi yang dia temukan.

"Tidak ada ide yang lebih bagus selain menangkapnya dan memaksanya membuka pintu ke dunia paralel untuk kita."

Aku spontan menamparnya. "Kau duluan sini yang kulempar ke kantor polisi!"

Kuni melotot. "Hei, itu sakit!"

Demi mendengar suara gedebuk dan umpatan sekelompok murid, aku menarik lengan Kuni untuk bersembunyi di balik pohon. Kami mengintip. Panjang umur! Ternyata kami tidak perlu repot-repot mencari Halca. Orangnya langsung muncul.

Dia tidak sendiri. Dia bersama tiga orang yang lebih besar darinya.

Tunggu, adegan ini... Aku merasa deja vu. Mungkinkah Halca masih dibully?!

"Kenapa nyalimu mendadak ciut, huh? Bukankah tempo lalu kau menantangku? Ke mana perginya keberanianmu?"

"A-aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Asher. Aku tidak pernah menantangmu."

Mataku membulat melihat mereka memukuli dan menendang Halca. Rahangku mengeras, hendak melompat dari semak belukar. Tetapi Kuni menahanku.

"Jangan gegabah, Dandi! Kau tidak bisa melawan mereka tanpa kekuatan. Dan kau tidak mau kekuatanmu terekspos, kan? Kita harus cari cara lain."

"Tidak," kataku tegas, menepis tangan Kuni. "Aku sudah pernah mengabaikan Halca yang ditindas sekali. Takkan kubiarkan itu terjadi kedua kalinya."

Aku melompati sungai dengan sedikit dorongan sayapku, mendarat ke belakang mereka bertiga. "HEI!" teriakku.

Mereka berhenti mengeroyok Halca, menoleh masam ke arahku. "Huh? Siapa cewek ini? Dari mana dia datang?"

"Lepaskan Halca atau kalian semua kuhajar," ucapku melemaskan tangan.

Pemimpin mereka yang dipanggil Asher oleh Halca, melangkah maju. "Kami tidak ingin main tangan dengan cewek. Enyahlah. Ini bukan urusanmu sama sekali."

Aku berkonsentrasi.

Bel masuk berbunyi nyaring (aku yang menyalakannya). Asher mendecih kesal. "Lihat akibatnya nanti, Halca. Jangan pikir kau sudah selamat. Aku takkan—"

"Halo buk guru!" Aku berseru membungkuk.

Mereka bertiga langsung terbirit-birit, takut ketahuan membully murid lain. Hah! Gampang banget dikibulin.

Aku menghela napas panjang, menoleh ke Halca yang menundukkan kepala. Aku tidak tahu dia Halca yang asli atau masih Halca yang palsu, tapi aku benar-benar tidak tega melihatnya dibegitukan.

"Kau baik-baik saja? Berdirilah." Aku mengulurkan tangan. Beraninya mereka melukai wajah tampanmu.

Halca enggan menerima uluranku. Dia berdiri dengan kekuatannya sendiri, berlalu pergi sambil merapikan seragam.

"Tunggu dulu, Halca! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!"

Dia berhenti melangkah, menoleh dengan tatapan sayu dan ekspresi lesu. "Terima kasih. Selamat tinggal."

"Tidak! Tidak! Bukan itu yang kuinginkan! Hei, tunggu!" Percuma saja. Halca sudah masuk ke bangunan sekolah.

Kuni berdiri di sampingku yang ternganga. "Rencanamu gagal. Sudahlah, kita pakai caraku saja. Kita culik dia dan paksa dia membuatkan jalan ke dunia paralel."

"Aku bukan kriminal!"

*

Malam harinya...

Kami berpencar. Kuni menetap di sekolah lamaku dan meneliti hutan belakang. Siapa tahu dia berhasil menemukan petunjuk untuk menciptakan "pintu" merujuk di sana lah portal yang kulalui terbuka.

Aku berjalan tak tahu arah sambil menendang kerikil, menghela napas. Sepertinya tidak ada harapan sedikitpun untuk kembali ke daratan Asfalis.

Aku tidak ingin menyerah, namun aku juga tidak bisa memaksa Halca berbicara. Dia terlihat menyedihkan. Aku kasihan.

"Lalu..., aku haus sekali. Apa tidak ada toserba atau swalayan di dekat sini?"

Setelah lima menit berputar-putar secara rambang, aku menemukannya. Sebuah kafe yang buka 24 jam. Tertulis di papan spanduk kafe tersebut bertajuk 'Ezola'.

Yosh, mari memesan segelas boba!

Kring! Furnitur bel di pintu bergemerincing ketika aku melangkah masuk. Salah satu pegawai perempuan berdiri di depanku. "Selamat datang di Ezola Cafe."

Aku tersenyum mengangguk, mengambil meja nomor 8. Tidak kusangka masih banyak pengunjungnya padahal sekarang sudah jam sembilan malam. Mereka asyik membicarakan apalah itu—tugas sekolah, skripsi, pekerjaan, dan sebagainya.

Seorang waiter berdiri di mejaku dengan catatan di tangan. "Mau pesan apa?"

Tunggu dulu. Suaranya kek kenal...

Aku mendongak, refleks mencengkeram tepi kursi. Halca! Dia bekerja paruh waktu di sini? Keberuntungan macam apa ini.

"Kau kan..., cewek yang tadi pagi?" kata Halca mengingat insiden di sekolah. Dia tersenyum. "Sebagai balasan telah menolongku, aku akan mentraktirmu."

Ukh, dia imut banget pas tersenyum. Kenapa visual kayak begini dibully, ya?

"Tunggu!" Aku berseru pelan. Menjinakkan seseorang yang rapuh harus dibutuhkan suara lembut, bawaan dewasa, dan kalem. Jangan sampai dia terdesak. "Apa boleh kita bicara empat mata nanti?"

"Shift-ku selesai jam sepuluh..."

"Tidak apa! Aku akan menunggu di luar."

Halca berpikir sejenak. Mengangguk. Iya.

.

.

"Sampai jumpa besok, Hal!"

Halca tersenyum pada manajernya, kemudian keluar dari kafe Ezola sebab shiftnya sudah berakhir. Paruh waktu macam apa yang mengambil jadwal kerja di jam segini? Agak lain.

Laki-laki itu sedikit tersentak karena aku datang mencegat langkahnya. "Hai!"

"Kau benar-benar menungguku..."

Aku tersenyum manis. Tentu saja. Halca adalah harapan terakhir yang kucari. "Apa kau tidak ingat siapa aku?" tanyaku to the point, tanpa membuang waktu.

"Emm, kau yang tadi pagi, kan?"

"Tidak, bukan itu. Apa kau benar-benar tidak ingat siapa aku? Kita pernah bertemu." Ayolah! Kumohon, Halca! Beri aku jawaban yang memuaskan. Aku sungguh ingin kembali ke dunia paralel. Kau satu-satunya harapan tersisa.

"Maaf. Aku tidak mengenalmu."

Pupus sudah harapanku. Orang ini... doppelganger-nya Halca. Dia pasti sedang di Asfalis. Enaknya! Aku iri dengan Halca yang bisa sesuka hati ke sana dan ke Bumi tanpa halangan apa pun. Andai aku juga punya sesuatu seperti itu.

Halca mendekatiku yang terduduk lemas di tanah. "Anu, kau baik-baik saja...? Aku minta maaf jika aku berbuat salah."

Sial, dia soft boy banget! Aku kan jadi batal sedih. Kenapa doppelganger Halca bisa selembut dan semanis ini?!

"Ya. Aku baik-baik saja—"

Bruk!! Kepalaku tertimpuk oleh buku kamus bahasa Inggris yang tebalnya bikin aku nyaris mengabsen hewan di kebun binatang. Jatuh dari mana? Langit? Aku mendongak. Tak ada apa pun di sana.

"Apa ini?" gumamku, tidak mengerti dengan tulisan pada judul buku. Tapi aku memaksa untuk membacanya karena aku kenal dengan abjad itu. "Judrah...?"

Aku menelan ludah. Ini... aksara Asfalis!

Buku itu terlihat antik sekaligus kuno. Aku bisa merasakan hawa misterius yang lekat di sekitar buku. Ditambah lagi..., kekuatanku tidak bekerja! Aku cukup pede dengan Natural Converse-ku. Benda ini buku pertama yang tak "berbicara".

Terbelit rasa penasaran karena pada dasarnya aku memang kepoan, aku pun membuka halaman secara random dan tiba di halaman 167. Ada sebuah gambar pola absurd dengan garis-garis rumit.

"Lho? Judrah?!!" Sayangnya Halca sadar dan menyambar buku tersebut sebelum aku membaca keterangan di bawah pola. "Kok bisa ada di sini..."

Aku menyeringai. Sudah kuduga. Walau dia hanya doppelganger semata, dia tetap bagian dari diri Halca yang keluar-masuk dunia paralel berkali-kali.

Buktinya, lihat, tato bulan sabit terukir tiba-tiba di keningnya dan bercahaya. Begitupun buku bernama Judrah itu, sama-sama bercahaya. Aku tersenyum miring. Yes! Ternyata harapan kembali ke dunia paralel belum pupus sepenuhnya.

"Maafkan aku!" Aku cekatan menyentuh kening Halca yang bengong. Aku merasa akan kehilangan kesempatan jika tidak menyentuh tato bulan sabit itu.

Mataku melotot melihat cahaya redup itu merambat ke jari-jariku yang menyentuh dahi Halca. Dia terbelalak, segera menepis tanganku. "A-aku harus pulang!"

Dengan langkah gugup, Halca pun pergi meninggalkanku yang terkekeh puas.

*

"Bagaimana tidurmu semalam?" tanyaku melihat Kuni datang ke kamarku (dia menyewa penginapan satu malam) dengan wajah kusut dan kantung mata hitam. "Kau tidak tidur, ya? Aduh, kasihan deh."

"Jangan sekarang, Dandi. Kepalaku sakit. Ini semua gara-garamu tidak mau mendengar usulanku. Seharusnya kita culik Halca untuk membuatkan kita pintu."

Setiap pikirannya buntu atau mentok, Kuni selalu bersikap menyebalkan dan menyalahkan siapa pun yang ada di dekatnya. Singkat katanya sih dia tantrum.

Aku bersedekap. "Sebenarnya tadi malam aku juga tidak tidur," gumamku sengaja mengeraskan suara. Mari kita lihat—

"Kenapa?" balas Kuni sedetik kemudian.

Gila! Matanya langsung melek!

Aku menyeringai, mulai menceritakan pertemuanku dengan doppelganger milik Halca lalu tentang buku misterius Judrah. Kuni mendengarkan dengan sorot mata serius, seolah kesuntukan dan rasa kantuknya menguap begitu saja.

"Astaga, Dandi, kenapa kau tidak robek halaman bukunya? Kita bisa dapat petunjuk!" komentarnya.

Aku menggeleng. Halca merebut bukunya dengan cepat. Aku tak sempat melakukan apa-apa dengan halaman tersebut.

"Prospek perjalanan kita telah berakhir!"

"Tidak juga. Walau sebentar, ada waktu dua menit aku melihat pola absurd di halaman yang kubuka. Benar, aku menghafal semua garisnya."

Jangan remehkan kekuatan ingatanku. Soal hal tak penting (misal fantasi atau idol kpop), aku seketika punya ingatan fotografis. Coba kalau rumus matematika atau pelajaran, yah... pasti nol.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo cepat lukis polanya, Verdandi! Sebelum sistem otakmu melupakan tiap garis di dalam pola." Kuni memberiku ruang yang lapang dan menyerahkan sebutir kapur.

Aku bangkit dari kursi, lalu tiba-tiba kresek! Terdengar suara gesekan dari kantong bajuku. "Huh? Apa aku meletakkan sesuatu di saku?" monologku, beralih merogoh kantong pakaian. Alisku bertaut.

"Sebuah surat?"

Aku mengernyit. Heh, sejak kapan surat ini ada di sakuku? Perasaan aku tidak pernah memasukkan apa pun.

Terdapat lambang sayap setengah bertatahkan lingkaran nimbus di bagian cap lilinnya. Aku menelan ludah pucat, bersitatap dengan Kuni yang justru menampilkan reaksi antusias.

"Ayo cepat buka, Verdandi!"

Membasahi bibir yang kering, aku pun membuka stempel surat itu, mengeluarkan isinya dengan hati-hati. Kami membacanya dengan saksama. Tulisan di atas surat itu pendek, singkat, dan jelas. Tapi itu membuatku harus segera bersiap. Ini akan menjadi awal petualangan baru.

Dear, Fairy Verdandi.
Kau telah diundang ke FLY Academy. Sudahi petualanganmu dan kembalilah ke Fairyda yang baru. Bergabunglah ke FA.

Tertanda,
Kepala sekolah Alkaran.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro