6* You've Been Invited!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua hari kemudian...

"Verdandi!" Yui menyapa ketika melihatku berjalan menunduk melewati gerbang sekolah. "Kau ke mana dua hari ini? Aku sudah mencarimu ke rumahmu, tapi Mamamu bilang kau sedang bepergian."

"Berkemah," jawabku ngasal. Aku tidak bisa mengatakan bolak-balik dari Jepang ke Indonesia terus pulang dalam sehari. Sekarang saja tubuhku pegal-pegal.

Yui bercerita tentang idolanya (gadis ini wotaku) yang akan merilis album solo di bulan November. Kami sama-sama seorang penggemar, cuman beda jurusan.

Biasku, Han Maehwa, saat ini sedang sibuk dengan segala macam variety show dan persiapan konser akbar akhir tahun. Terlebih, masih terlalu dini untuknya mengeluarkan album solo. Lalu, kurasa Maehwa tidak tertarik menjadi solois.

Aku tersenyum. Hal-hal yang menyangkut bias selalu berhasil bikin mood naik.

Kami tiba di kelas. Mataku terarah ke Kuni yang tidur di kursinya, ngorok keras. Dasar anak itu! Apa dia tidak malu? Aku saja yang mendengarnya malu!

Bel masuk berdering.

Aku dan Yui bergegas menuju kursi masing-masing, begitupun anak-anak lainnya. Mereka menggantungkan tasnya di sebelah meja, mengambil posisi siap.

Aku menepuk lengan Kuni agar dia lekas bangun ketika kami mendengar suara ketukan sepatu Saki-sensei (guru killer). Kuni melenguh, menguap lebar. Sebaiknya dia bangun karena Saki-sensei berbeda dengan guru-guru lainnya.

"Pagi, anak-anak." Saki-sensei menyapa.

Kami menjawab salam, termasuk Kuni yang masih kesal kubangunkan.

"Keluarkan buku PR kalian. Sekarang. Bagi yang tidak mengerjakan, silakan sukarela maju ke depan sebelum sensei yang datang memeriksa ke meja kalian."

Aduh. Baru masuk sudah PR yang diminta?

Kelas menjadi bising. Seluruh murid membongkar tas untuk mengambil buku PR, tak terkecuali aku. Untunglah aku sudah mengerjakannya sebelum sekolah libur.

Tetapi, ada sebuah kendala.

Aku menelan ludah. Di mana buku PR-ku? Aku yakin telah memasukkannya semalam. Soal PR aku tidak pernah teledor.

Kuni mengernyit melihatku menumpahkan isi tas ke atas meja. "Ada apa?"

"Buku PR-ku tidak ada... Huh?"

Aku mengambil surat berwarna putih yang seperti surat pernikahan terselip di antara buku pelajaranku.

Itu surat undangan FLY Academy.

Tunggu, sialan, jangan bilang aku salah mengambil buku PR-ku dan surat ini?! Ahh!!! Betapa begonya kau, Verdandi! Payah! Membedakan buku dan surat saja tidak bisa (mungkin karena efek ngantuk).

"Kau tidak mengerjakan PR, Makaira?" tanya Saki-sensei saat melihatku maju.

"Saya lupa membawa bukunya..."

Beliau menghela napas. "Itu sama saja tidak mengerjakan. Berdirilah di lorong selama pelajaran berlangsung."

Kuni tiba-tiba mengangkat tangan. "Saya juga tidak mengerjakannya, Sensei!"

"Oh, ya? Keluar dari kelasku!"

*

Ini sudah berapa kalinya aku "diusir" dari kelas? Tidak ada yang berjalan lancar semenjak semester dua dimulai. Kabar baiknya aku selamat dari pemanggilan orangtua. Kalau sampai Mama dan Papa tahu sikap putrinya di sekolah, mereka pasti akan kecewa berat denganku.

"Pikiranmu mudah terdistraksi sejak kau menerima surat itu, Dandi."

Aku menoleh ke Kuni yang malah senam. "Aku tahu kau mengerjakannya. Kenapa berpura-pura tidak mengerjakan?"

"Teman sejati selalu berbagi penderitaan. Begitulah kata buku persahabatan," katanya menepuk dada bangga.

Aku tersenyum, menatapnya penuh penghargaan. "Terima kasih, Kuni, dan perkataanmu barusan ada benarnya. Surat ini, entah kenapa membuatku senang sekaligus merasa khawatir."

Aku masih ingat apa yang terjadi di Fairyda, anak region Klan Peri, sebelum aku memutuskan pulang ke Bumi. Rata-rata semua peri pergi berkelana menjelajahi dunia mereka. Begitupun aku.

Aku bilang pada Tuan Alkaran aku juga akan pergi mengembara seperti yang lain yang mana itu kebohongan. Bertualang apanya, aku tuh mau pulang ke Bumi.

Surat undangan itu pasti ditujukan ke seluruh peri Fairyda supaya berhenti berkelana dan kembali ke tanah air. Aku mencium unsur paksaan di kata sudahi.

"Aku tidak mengerti mengapa surat itu tiba-tiba ada di saku bajuku. Aku kan lagi di Bumi, dan hanya dua orang yang tahu identitas asliku. Baiklah, tiga dengan Halca. Tunggu, empat denganmu. Tidak mungkin surat dari dunia lain bisa nembus dimensi, kan? Ini mencurigakan."

Kuni mengelus dagu, menjentikkan jari.

"Katamu kau menyentuh tato bulan sabit yang muncul di kening Halca, kan? Aku rasa simbol itu melakukan koneksi singkat denganmu berhubung kau pernah ke dunia itu. Dalam waktu setipis itu, surat undangan ke FLY Academy otomatis terkirim padamu karena mendapatkan mediator—perantara sebutan gampangnya—ke si penerima surat. Singkatnya ini persis seperti cara kerja telegraf atau mesin fax.

"Dilihat dari isi surat dan berapa lama kau tidak ke sana, aku berani bertaruh, surat itu sudah diletakkan di kamarmu sejak lama. Ah, aku mengatakan lama sebanyak dua kali. Surat itu tergeletak membisu seperti benda mati... Yah, itu memang benda mati. Sampai mediator yang kita bicarakan tercipta lalu, yey! Surat undangan pun berhasil ditransfer!"

Aku mengerjap, kemudian memukul bahunya. "GENIUS! Itu sangat genius, Kuni! Aku rasa aku paham mengapa orangtuamu menyerah mengajarimu. Kau pintar."

"HEI! Itu sakit! Jangan memukulku dong."

"Yishitori! Makaira!" Suara Saki-sensei mengagetkan kami berdua. Beliau membuka pintu, berkacak pinggang, menatap galak kami dari balik kacamata petaknya. "Serasi sekali ya kalian. Sudah tidak membuat PR, berteriak-teriak pula di lorong. Percakapan kalian yang sangat PENTING itu mengganggu pelajaran!"

"Maafkan kami, Sensei..."

"Ini tidak bisa ditoleransi lagi. Kalian, lari sepuluh putaran di lapangan. Sekarang!'

Haah, nasib-nasib. Dasar apes.

.

.

"Anu..." Selepas aku dan Kuni selesai maraton dadakan, rupanya Yui menyusulku ke lapangan. "A-aku mau bicara dengan Momoki-san," katanya menunjukku.

"Oke." Kuni beranjak bangkit.

"Kenapa, Yui?" tanyaku, masih tersengal.

"Seharusnya itu pertanyaanku! Kau kenapa belakangan ini? Tidak fokus. Bukan seperti Momoki-san yang kukenal. Apa bergaul dengan Kuni-kun membuatmu jadi murid bandel?" selidiknya.

Aku terkekeh. "Hahaha! Apa yang kau bicarakan, Sanyui. Aku hanya lagi banyak pikiran. Tidak ada masalah kok."

Aku ahlinya berdusta, ya...

"Lalu," Yui memperhatikan Kuni yang bersenda gurau dengan bibi-bibi penjaga kantin sekolah, beringsut ke sebelahku. "Kau sungguh yakin hanya berteman dengan Yishitori-kun? Yang kulihat, setiap hari kalian makin dekat saja."

Aku menghela napas panjang, menatap iba kawanku yang suka salah pahaman itu, kemudian menggeleng. "Sekali lagi, tidak, Sanyui. Jika kau masih tidak percaya padaku, biar aku kasih tahu kau sesuatu." Kali ini aku yang mendekat kepadanya, berbisik halus.

"Aku sudah menyukai orang lain."

*

Aku tidak pulang bareng dengan Yui seperti biasa. Dia punya kegiatan klub hari ini, makanya aku pulang duluan (klub dancing hanya buka setiap Jumat dan Sabtu) duduk di halte, menunggu bus yang entah kapan datangnya.

Berdecak malas, aku mengeluarkan surat undangan FLY Academy, bersandar. Aku harus bagaimana dengan surat ini? Apakah benar ada peluang kembali ke dunia paralel? Tapi firasatku buruk, tapi-tapi aku juga mau kembali ke sana.

Inikah yang namanya dilema? Aku harus melihat Maehwa-ku untuk mengembalikan semangat yang hilang.

Bunyi klakson membuyar lamunanku, spontan menatap ke depan. Sebuah mobil hitam parkir di halte. Kaca diturunkan. Aku mendengus masam melihat penampakan Kuni bersama asisten pribadinya—Pak Nobuyuki. Aigoo, bodohnya aku lupa si Tuan Muda Kuni punya jemputan mewah.

"Ayo masuk, Dandi! Kita ke rumahku!"

Pelayan-pelayan di kediaman Yishitori hapal seluk beluk rumah besar itu, tetapi tidak ada yang berani masuk ke ruang basemen kecuali Kuni memberi izin.

"Mau ngapain deh?" Aku bersedekap setibanya di rumahnya. "Aku mau nonton Maehwa karena mood-ku lagi buruk."

"Kau lupa tentang pola di buku kuno?" Ah, benar. Aku terlalu sibuk dengan surat undangan FA sampai lupa soal itu. "Dandi, kau masih ingat, kan?" tanyanya cemas.

Aku mengangguk, menurunkan tas sekolah, melangkah ke tengah basemen. "Yang jelas pola itu sebuah lingkaran dengan diameter sekiranya 30-40 meter. Cukup luas. Seliweran garisnya seperti mosaik..."

Membutuhkan sepuluh menit melukis pola yang kulihat di salah satu halaman buku Judrah. Alam sekitar membantuku untuk menyempurnakannya. Mereka terhubung dengan tanah dan bangunan di tempat aku menemukan Judrah. Dan... polanya selesai!

Kuni menelan ludah. "I-ini sangat mirip dengan pattern magis yang ada di game RPG fantasi. Digunakan untuk player berpindah-pindah tempat. Mungkin saja—"

Pola absurd itu bersinar terang membuat pusaran cahaya. Astaga! Jantungku berdetak kencang. Barang-barang di basemen Kuni melayang liar tak menentu. Aku memegang apa saja supaya aku tidak ikut terseret. Lingkaran itu menyedot apa pun di sekitarnya laksana blackhole.

"K-Kuni, hapus! Cepat hapus gambarnya!"

Tangan Kuni menyambar tabung pemadam, cekatan menyemprot lantai, mengaburkan garis pada pola itu. Pusaran cahaya menghilang. Benda-benda di sekeliling kami kembali jatuh. Basemen Kuni laksana kapal pecah dalam hitungan detik.

Mukaku dan Kuni cemong oleh gas dingin.

"S-sepertinya kita mendapatkan 'pintu' untuk datang ke Asfalis deh..."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro