7* Exam, Exam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sangat ingin meraung seperti serigala sejadi-jadinya. Ujian Try Out baru saja selesai minggu lalu, namun kini UAS telah menunggu di depan mata.

Satu bulan berlalu cepat jika tidak dihitung. Tuan Waktu memang kejam. Berjalan tanpa disadari, giliran ditunggu, ehhh ngalirnya menjadi super lambat.

Hari main-main telah berakhir dan digantikan dengan kecamuk perang ujian. Aku bahkan tidak memiliki waktu untuk memikirkan dunia paralel ataupun FLY Academy karena sudah sibuk dengan les bersama tutor pribadi yaitu sahabatku.

"Salah, Dandi. Ini molekul levofloksaksin. Perhatikan gambarnya baik-baik. Aku yakin ini akan keluar di soal."

"Selanjutnya Biologi, ya? Kau tahu, arang sebenarnya mengandung alkali dan itu kebalikan dari keasaman. Kau harus pelajari ini juga. Aku yakin akan keluar."

"Rumus akar, fungsi logaritma, rumus permutasi, deret geometri, semuanya pasti akan keluar di ujian akhir nanti."

Aku pusing mendengar celotehan Kuni. Rambutku sudah menyerupai sarang burung karena aku terus mengacaknya.

Ujian, ujian. Siapa sih yang suka pada kata itu? Semua murid pasti membencinya. Tapi mau sebenci apa aku terhadap ujian, pada akhirnya ujian ini adalah penentu masa depanku. Aku sudah mau kelas 3.

Kuni menatapku yang belajar mati-matian menafsirkan semua penjelasannya, memaksanya supaya masuk ke otakku. Dia tersenyum. "Kau harus semangat, Dandi. Petualangan telah menunggu."

Aku mendengus. "Bukankah kita sepakat untuk tidak membicarakan apa pun soal Asfalis sampai liburan musim dingin tiba? Lagian kau tidak belajar, heh?"

"Jangan retorik. Aku tahu apa yang akan kuisi di kertas jawaban. Melihatmu frustasi dalam belajar membuatku tidak tega. Aku membawa hadiah untukmu."

Aku berhenti menggaruk kepala. "Hadiah?"

Tada! Kuni membentangkan potret terbaru Maehwa membuatku nyaris terkena serangan jantung. Hatiku deg deg deg.

"Suamiku?!" jeritku berbunga-bunga.

"Aku membelinya langsung dari Korea lho. Apa kau tidak ingin Maehwa-mu bangga melihatmu berhasil dalam ujian, Dandi? Apa kau bisa membayangkan betapa sedihnya Maehwa-mu jika kau putus semangat? Jangan sampai Maehwa-mu kecewa karena kau menyerah belajar!"

Kobaran api perjuangan seketika membakar sekujur tubuhku. Kuni sedikit ngeri melihat mataku berubah jadi api.

"BELAJAR! SEMANGAT! DEMI WINTERMOON!"

Aku lanjut belajar dengan semangat yang membakar tubuh. Tidak akan! Aku tidak akan kalah dari soal-soal ujian ini!

Kuni menggaruk pipi, bingung. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi sepertinya aku berhasil menyemangatinya...?"

Dan begitulah UAS pun dimulai.

.

.

Hari ketiga UAS, bahasa asing Inggris.

Papa pulang dari kantor pukul delapan malam, terkejut melihatku menghapal kosakata dalam ring note sambil makan. Kepalaku jatuh-bangun, mengantuk berat.

Papa terkekeh, mengusap kepalaku. Aku tersentak. "Dandi sayang, sudahi belajarmu. Kau pasti mengantuk sekali. Tidurlah ke kamarmu sekarang."

"Dandi belum hapal keseluruhannya, Pa. Nanti nilai ujian Dandi jelek," kataku menoleh ke jendela. Lampu dari rumah sebelah menyala. Sepertinya orangtua Kuni barengan pulangnya dengan Papa.

"Papa takkan marah kok mau nilai Dandi jelek atau bagus. Melihat putri Papa over semangat begini saja sudah bikin Papa senang. Papa paling tidak suka melihat Dandi memaksakan diri. Pergi tidur oke?"

Aku menatap wajah Papa yang tampak lelah dengan pekerjaannya namun harus terlihat sehat bugar di depanku.

"Baiklah. Tapi Dandi mau tidur bareng Papa malam ini," kataku menutup buku.

"Eeehhh?? Papa belum mandi lho."

"Kalau Papa tidak mau, Dandi juga tidak mau tidur. Dandi akan terus belajar."

"Dasar. Siapa yang mengajarimu cara mengancam, hmm? Pasti ulah Mama nih. Baiklah. Mari kita tidur bareng. Rasanya sudah lama juga Papa tidak tidur bersama putri Papa yang cantik ini."

Aku terkekeh, menoleh ke dapur. "Ma! Mama mau tidur bareng kami nggak?"

"Duluan! Mama mau cuci piring."

*

Besoknya, pukul sebelas siang.

"Kau terlihat lelah, Dandi," gumam Yui saat kami menyelesaikan ujian hari ini. "Kau pasti belajar ekstra seharian. Berambisi boleh, namun jangan sampai drop."

"Aku tahu..." Bertahanlah diriku. Ujian tinggal tiga hari lagi. Setelah itu kau akan mendapatkan hak kebebasanmu. Aku hanya perlu bertahan sebentar lagi.

Yui berdecak, mengeluarkan termos kecil yang selalu dia bawa ke mana pun dia pergi dari tasnya. "kata Nenekku, teh herbal bisa membantumu untuk rileks—"

Sekelompok adik kelas menyenggol Yui hingga dia tersandung kaki sendiri. Sebelum tubuhnya terhuyung jatuh, sebelum termosnya terlepas dari tangan, Kuni datang menahan lengan Yui.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Kuni, menoleh ke rombongan itu. "Woyy, lihat-lihat dong! Jangan asal berlari di koridor!"

"M-Maaf, senpai. Kami terburu-buru."

Kuni menggelengkan kepala. "Adkel zaman sekarang tidak ada sopannya... Ng?" Kuni menatap wajah Yui yang memerah seperti kepiting rebus. "Kau baik-baik saja?"

Yui menyerahkan termos berisi teh itu pada Kuni lalu kabur terbirit-birit menuju gerbang sekolah. Kuni menggaruk kepala bingung. "Apa-apaan itu barusan?"

"Wah, romantis banget. Jadi jijik deh."

"Wah, ada yang bau di sini. Jadi jijik deh."

Aku melotot. Kuni balik memelototiku. Sangat sedikit momen damai bagi kami berdua. Sisanya selalu diisi oleh pertengkaran entah hal sekecil apa itu. Tapi beberapa detik, kami akur kembali.

"Bagaimana ujianmu?" Kuni merangkulku. Kami beda ruangan. "Aku harap rambutmu jadi keriting begini karena mati-matian belajar dan itu ada hasilnya."

"Kau mencekikku sialan!" kataku menepis rangkulannya yang mengunci leherku. Aku mengusap rambut yang kusut. "Aku sudah berusaha sebisaku." Tadi aku bertemu satu dua soal yang susah dan butuh waktu memikirkan jawabannya.

"Apa kau melihat perjuanganku, Tuan Wintermoon? Kuharap kau juga semangat dengan latihanmu!" seruku pada langit.

"Kau masih gila seperti biasa, Momoki."

.

.

Hari sabtu, hari terakhir UAS.

"Bergegas anak-anak. Waktu tinggal lima menit. Periksa sekali lagi lembar jawaban kalian. Pastikan tidak ada nomor yang kosong," kata Saki-sensei yang menjadi pengawas untuk ujian terakhirku.

Aku mengacak-acak rambut. Tinggal dua soal lagi, namun otakku sudah buntu! Aku belajar bersama Kuni sampai begadang kemarin malam dan semua yang diterangkan Kuni keluar di ujian.

Aku tidak bercanda. Aku sampai mengira Kuni membaca pikiran departemen pendidikan makanya bisa tahu soal-soal yang akan ditanyakan. Orang genius memang beda tingkatannya.

Masalahnya, otakku tidak seluas itu bisa menampung semua materi yang diajarkan Kuni. Kepalaku berasap-asap.

Apa aku gunakan kekuatanku untuk mencontek ketua kelas sang juara?

Aku menepuk pipiku. Tidak boleh. Aku harus sportif. Tidak bijak menggunakan kekuatan untuk perbuatan tercela. Tapi kepalaku mau error rasanya!!!

Bel pun berdering.

"Waktu habis. Kumpulkan kertas jawaban kalian ke depan. Kalian telah berjuang sejauh ini." Saki-sensei tersenyum.

"Baik, Sensei..." desah murid-murid lelah.

Pada akhirnya aku memakai metode paling tradisional yaitu mengandalkan pensil keberuntungan. Tidak apa lah sesekali bergantung pada keberuntungan. Aku telah berusaha semampuku.

"Kau mengisi semua kolom jawabanmu, Dandi?" tanya Yui berjalan di sebelahku. "Fuah!! Level kesulitan ujian kimia sangat berbeda! Otakku mau meledak!"

Aku tertawa sumbang. "Kau tidak sendiri."

Sedetik kemudian wajah lelah Yui berubah cerah. "Tapi syukurlah ya. Dengan ini, masa-masa ujian sudah berakhir."

"Iya." Aku tidak perlu belajar lagi sampai lupa waktu dan lupa nonton variety show. Ahhh! Sudah berapa episode yang kulewatkan?? Aku harus maraton nih.

Kami berhenti berjalan karena melihat kerumunan anak-anak di lorong koridor. Mereka bukannya pulang tapi malah berseru antusias sembari menunjuk ke luar. Apa ada artis yang datang? Kalau bukan biasku sih, aku tidak peduli.

"Ehh?! Coba lihat itu!"

"Wah! Lihat, teman-teman!"

Penasaran, aku dan Yui ikut menoleh ke jendela. Aku terdiam. Yui tertawa. Sebutir salju turun ke bumi. Menyusul ratusan salju lainnya, menghujani Kota Tokyo.

Musim dingin telah datang.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro