8* Winter Has Come

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udara dingin dan lembap terasa dua kali lipat karena di luar sedang turun salju, terus turun berkepanjangan dari subuh. Miliaran butir salju membuat permukaan tanah penuh dengan gundukan putih.

Tadinya kupikir dua bulan itu sangat lama, tapi ternyata tidak. Dengan memfokuskan diri sama ujian akhir, tidak terasa sekarang sudah tanggal 30 November.

Aku mengosok-gosok kedua telapak tangan untuk menimbulkan sensasi hangat. Suasana musim dingin mulai terasa. Bukan hanya aku, murid-murid lain juga melakukannya. Bahkan satu dua sudah memakai jaket ganda dan syal.

"Makaira-san, apa kau sudah punya rencana untuk liburan musim dingin?" Yui bertanya ketika kami masuk kelas.

Kalau menuruti kata hati sih, aku ingin terbang ke Korea untuk menonton konser Tuan Wintermoon tercintaku. Tapi konser itu baru akan dilaksanakan 25 Desember pada hari natal. Masih agak lama.

"Kau mau pulang ke kampung halamanmu?"

Aku menggeleng. "Ke tempat yang jauh."

Yui menelengkan kepala. Aku terkekeh. Kuharap dia tidak nekat mencari 'tempat jauh' di google karena Asfalis tak ada di negeri mana pun. Ia ada di dunia paralel.

"Kau sendiri, apa rencanamu?"

"Aku mau mengunjungi rumah pamanku di Kobe untuk merayakan ulang tahun sepupuku," jawabnya, tersenyum.

"Kau mau ke mana di musim dingin ini?" tanya salah satu teman sekelas.

"Aku mau liburan ke Osaka, jelaslah."

"Orangtuaku memberiku tiga voucher penginapan. Apa kalian mau ikut bersamaku ke festival di Nagasaki?"

Tidak hanya Yui, topik pembicaraan yang tadinya tentang soal-soal ujian kimia, langsung berubah menjadi tujuan destinasi. Benar. Tiga hari lagi liburan musim dingin resmi dimulai.

"Jadi Makaira-san, tempat jauh yang mana maksudmu?" Yui melanjutkan pertanyaannya tadi, merogoh laci meja untuk meletakkan tasnya. Hmm? Yui mengernyit merasakan tangannya menyentuh sesuatu. "Eh, apa ini?"

Aku terbelalak. "Itu...! Surat cinta!"

"Apa?!" Teman sekelas menoleh ke Yui. Seperti burung-burung di film animasi Finding Nemo yang berteriak 'punyaku punyaku', mereka mengerubungi meja Yui. "Dari siapa?! Astaga, astaga! Akhirnya ada kejadian seperti ini di kelas kita!"

Ya ampun! Aku keluar dari kerumunan, menyelamatkan diri dari lautan manusia. Hampir saja aku terhimpit oleh mereka.

Lebay banget sih! Aku membatin kesal, menoleh ke pintu. Kebetulan Kuni datang. Dia masuk sambil menguap.

"Huh? Ada yang ultah?" tanya Kuni. "Aduh, aku tidak bawa telur untuk dilempar."

"Itu tuh...," Aku menepuk-nepuk seragamku. "Yui dapat surat cinta. Alam sekitar bilang dari adik kelas waktu itu. Dia rupanya sengaja menyenggol Yui untuk caper. Modus pasaran macam apa itu? Ckckck."

Kuni merinding geli. "Cerita klise novel romansa. Lihat, Dandi, bulu romaku berdiri. Aku tidak cocok dengan bahasan beginian. Tapi aku turut senang untuk Yui."

Masalahnya Yui itu sukanya samamu!

.

.

"Tiga minggu itu tidaklah sebentar. Kami harap Verdandi tidak merepotkanmu, Yishitori Sakuni-kun. Kami benar-benar berterima kasih padamu mau membawa putri kami liburan bersama keluargamu."

"Jangan khawatir, Tante, Om, aku akan menjaga Verdandi seperti adikku sendiri." Kuni tersenyum memamerkan lesung pipi.

Bah! Aku yang sedang makan roti di ruang makan, spontan tergelak mendengarnya. Lawak betul. Apa kata Kuni? Adik? Wah, mau ngajak gelut tuh anak satu. Dia lebih muda setahun dariku. Aku yang senpai!

"Kapan kalian berencana berangkat?"

"Besok liburan musim dingin dimulai. Kami akan berangkat pagi-pagi."

Hmm, besok ya? Aku harus pura-pura mengepak koper. Bagaimanapun aku mengarang alasan akan pergi liburan. Akan terlihat mencurigakan jika aku tidak membawa barang apa pun.

"Eh? Kau tidak bilang pada Mama dan Papamu tentang kisahmu di Asfalis?" tanya Kuni di sore harinya. "Kenapa?"

Jangankan tentang Asfalis, aku bahkan tidak bisa bilang aku punya sayap.

Aku menghela napas. "Aku hanya... belum nemu timing yang bagus."

"Jangan terus berbohong dan menunda kejujuran, Dandi. Itu tidak baik. Kau harusnya bersyukur memiliki orangtua harmonis. Orangtuaku saja hanya pulang kapan mereka ingat. Tapi aku tidak pernah membenci mereka. Kau akan tambah sulit berkata jujur jika kau menumpuk kebohongan terlalu banyak lhoo."

"Nyeh! Mau adu nasib nih?"

"Aku tidak mengadu. Aku lagi ceramah."

"Semerdekamu lah malih," kataku mendengus, turun dari ayunan yang ada di taman rumah Kuni. "Aku pulang dulu."

"Jangan lupa berkemas nanti malam!"

*

Besok paginya.

"Dandi! Apa kau sudah selesai siap-siap? Nak Kuni menunggumu di luar tuh." Suara Mama membangunkanku dari alam mimpi. "Ayo turun, mandi, dan sarapan!"

Serius sialan? Aku menatap jam beker di atas nakas. Ini baru pukul setengah enam pagi dan Kuni sudah datang?!

Si biang kerok itu! Akan kuhajar—

"Kenapa kau masih meringkuk di bawah selimut merah hangatmu, Dandi?!" Panjang umur. Kuni masuk ke kamarku, dengan gemas menarik selimutku. "Cepat mandi dan tukar bajumu, dasar pemalas!"

"Ini masih pagi-pagi buta! Ngotak dong!"

"Apa hanya aku seorang yang antusias di sini? Ke mana semangat petualangmu? Dan, astaga, kau bahkan belum rampung membereskan kopermu! Apa ini? Kenapa kau membawa banner kpop? Lalu ini, lightstick dan kamera masternim? Tolong bawa barang-barang normal, Dandi! Kita tidak pergi ke konser ayangmu!"

Aku akhirnya beranjak bangun dengan rambut berantakan, menggaruk pipi. Semalam aku bertukar pesan dengan Yui bahwa aku takkan di Jepang selama beberapa minggu lalu ketiduran.

Aku menuruni anak tangga dengan malas menuju kamar mandi meninggalkan Kuni yang mengomel aku memasukkan semua perlengkapan fangirling ke dalam koper.

Pagi itu berlalu sibuk dan Kuni benar. Lambat laut keantusiasan Kuni menyebar dan akhirnya memengaruhiku juga.

"Hati-hati di jalan ya, Sayang. Kalau sudah sampai, hubungi Mama dan Papa. Baik-baiklah dengan Kuni," kata Mama memperbaiki mantel dan syalku.

Aku memakai klupuk rajut dan penutup telinga. Pagi ini salju turun dalam tempo lamban, sebagai gantinya cuaca terlihat mendung. Sepertinya akan hujan salju.

"Jaga Verdandi oke?" pesan Papa. "Sayang sekali saya sibuk tidak bisa mengajak putri saya pergi berlibur. Saya senang kau mau membawanya liburan."

Kuni hormat, siaga satu. Kepul uap keluar dari mulutnya saat dia mengembuskan napas. "Serahkan pada Kuni, Om!"

Pak Nobuyuki, pelayan setia Kuni, telah meletakkan koper-koper kami ke bagasi mobil. "Sudah saatnya pergi, Tuan Muda."

"Mama, Papa, Dandi pergi dulu." Aku salam dengan orangtuaku, naik ke mobil. Bukan pergi berlibur ke negara-negara yang ada di Bumi, melainkan ke dunia paralel penuh keajaiban. "Sampai jumpa!"

"Sampai jumpa, Sayang!"

Mobil sedan hitam bergerak meninggalkan perkarangan rumah. Aku sekali lagi melambai pada Mama sebelum sosok Mama dan Papa hilang ditelan jarak.

Aku dan Kuni saling tatap, mengangguk. "Sekarang, Pak! Putar kemudinya."

Pak Nobuyuki adalah pengasuh Kuni sejak dia bayi. Beliau sudah menganggap Kuni sebagai putranya sendiri dan akan melakukan semua perintah Tuan Mudanya bahkan jika itu sesuatu yang gila.

Mobil berbalik ke rumah Kuni. Kami berencana membuka "pintu" di basemen agar ketika kami kembali, kami mendarat di tempat yang sama saat kami pergi.

"Pastikan orangtua Verdandi, Mama dan Papa, tidak tahu soal ini. Selalu kabari orangtua Verdandi jika mereka menelpon. Ingat, jangan beritahu siapa pun."

"Siap, Tuan Muda Kuni."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro