9* Door to ASFALIS is Opens

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya Kuni merekam kejadian di basemennya—itu pemikiran yang cerdik. Aku tidak perlu membuat polanya sendirian. Harus kuakui, membungkuk sambil menggambar merupakan hal yang merepotkan bikin punggung encok.

Kami berdua kerja sama melukisnya.

"Kudengar dari Yui kau menyukai seseorang. Apakah pria ini dari Asfalis?" tanya Kuni di sela-sela kegiatan menggambar. Tatapan menggoda.

"Hah? Kenapa kau menanyakan sesuatu yang sudah jelas? Kau ingin tahu?"

"Perasaanku tidak enak sih, tapi baiklah, aku penasaran." Kami berhenti sebentar untuk memperlihatkan laki-laki yang kusukai pada Kuni yang tampak tertarik.

Aku menyalakan ponselku, menunjuk gambar wallpaperku. "Ini dia! Tentu saja yang kumaksud itu Ayang Maehwa-ku. Melihat wajah tampannya adalah rutinitasku setiap hari."

"Seharusnya aku tidak menanyakannya." Kuni mendengus masam, memutar bola mata malas, lanjut menggambar. "Aku lupa kau ini cewek gila pemuja kpop."

"Suka-suka hatiku lah. Iri bilang bos."

Lima menit berlalu. Pola itu hampir terlukis sempurna hingga Kuni mendadak menyuruhku berhenti. "Tunggu, tunggu, tunggu. Aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita pergi ke dunia paralel."

"Apa? Kenapa?" Aku menunggu dengan napas tersengal. Sudah separuh jalan nih, jangan bilang dia mau membatalkan perjalanan ke Asfalis? Aih, tidak mungkin.

Kuni menatapku. "Kau yakin bepergian dengan pakaian tebal itu? Kau terlihat seperti gumpalan bulu tahu."

Aku tidak tahu bagaimana cuaca di Asfalis saat ini, mungkin berbeda dengan Bumi. Baiklah. Aku melepaskan klupuk, penyumbat telinga, syal, menyisakan satu lapis jaket saja. Dingin, tapi ini hanya sebentar karena kami akan segera pergi.

"Baiklah! Pembentukan pola siap! Verdandi, jangan lupa kasih tahu alat pemadam untuk menghapus gambarnya setelah kita pergi. Pelayan-pelayan di rumahku bisa ikut tersedot ke dunia lain."

Tsk! Tanpa dia beritahu pun aku memang sudah mau ngomong. Walau sudah berkawan cukup lama dengan Kuni, aku tetap tak terbiasa dengan sifatnya.

"Terima kasih, Dandi. Berkatmu aku akan mendapatkan petualangan yang seru. Keputusanku tidak salah berteman denganmu." Kuni berkata lagi. Gugup saat pola itu mulai berpendar-pendar.

"Jika kau mau berterima kasih, maka Halca yang pantas menerimanya. Berkat dia lah pintu ke Asfalis bisa terbuka. Berkat dia lah harapanku terkabul," ucapku tersenyum mengingat Halca.

"Hahaha! Iya, ya. Berkat Halca."

Aku geleng-geleng kepala, melompat ke lingkaran teleport yang bersinar. Bohong jika aku bilang aku tidak semangat. Adrenalinku sudah terpacu dari tadi.

Tubuh kami bercahaya. Kuni mengacungkan jempol. "Sampai jumpa di dunia paralel beberapa detik lagi!"

Aku telah pergi. Kembali ke Asfalis.

.

.

Howek!! Howek!!

Sumpah demi apa pun, pola itu adalah portal berpindah paling buruk yang pernah kulalui. Perutku rasanya seperti dipilin dari dalam laksana mesin cuci. Tubuhku terbanting ke sana-sini. Belum lagi guncangan dari lorong portal begitu keras.

Sesampainya di ujung portal, langsung saja aku memuntahkan isi perut. Sarapan tadi pagi. Wajahku pucat pasi. Bahkan untuk duduk pun tidak ada tenaga. Energiku terbuang cuma-cuma.

Aku takkan pernah pakai portal terkutuk itu lagi. Sensasi yang mengerikan.

"H-huh! Kau lemah sekali, Makaira-san!" kata Kuni memamerkan diri tidak tumbang sepertiku. "B-begitu saja muntah."

Aku menoleh lemas kepadanya, menatap kakinya yang goyang gemetaran. Kalau kusentil sedikit saja, dia pasti jatuh.

Usai beristirahat selama lima menit, baru lah aku mulai mengobservasi tempat aku terjatuh. Baiklah. Aku berada di sebuah... gua? Dengan banyak stalagmit dan mata air jernih. Tanpa perlu memicing, aku berdecak kagum melihat bebatuan coral berwarna hijau di dasarnya.

"Kita ada di mana?" Kuni bertanya, memeriksa sekitar kami. Hanya suara gema tetesan air yang terdengar.

Aku menggeleng tidak tahu. Tepatnya, aku tidak tahu ke mana portal membawa kami. Tapi aku yakin ini Asfalis karena kami sudah tidak berada di basemen Kuni lagi.

Sebelum kami menyadari apa pun, kali ini Kuni mendengar suara percakapan dengan bahasa yang tidak dikenali. Bukan dia saja, aku juga mendengarnya.

Aku dan Kuni saling tatap tegang. Mampus!Kurasa suara-suara itu menuju tempat ini. Apa yang harus kulakukan?

"Jangan panik. Kita pura-pura jadi turis."

Jumlah mereka tiga orang, dua perempuan dan satu laki-laki. Pakaian mereka... agak ganjil. Seragam gelap dengan jubah panjang yang menutupi sampai kaki. Tapi yang membuatku berseru tertahan adalah topi kerucut di atas kepala mereka.

"Thungghu, adha shesheorang dhi shana."

Mati aku, mati aku. Dia bilang apa barusan? Kuni menatapku dan aku menggeleng. Aku tidak mengerti bahasa dunia ini! Selama aku terdampar, aku bisa paham percakapan mereka karena mantra penerjemah yang digunakan orang itu.

"Siapha khalhian, ohrhang ahsing?"

"Shephertinhya mherheka tersheshat. Keshalahan tekhnhis lorhong berphindah."

Ya Tuhan. Mereka bicara apa? Gak ngerti! Kuni si genius pun sama bingungnya.

"Mereka sedang memastikan kalau kalian ini berbahaya atau bukan," celetuk bebatuan yang ada di sana. Aish! Aku lupa dengan fungsi kekuatanku.

Aku tidak boleh buat mereka salah paham. Kulambai-lambaikan kedua tangan sambil menggelengkan kepala. Memasang raut wajah memelas yang dibuat-buat.

"Thungghu shebhenthar."

Si laki-laki pada rombongan mereka mengeluarkan tongkat kayu dari balik jubahnya membuatku dan Kuni berdecak takjub. "Tirigumi," bisiknya. "Apa kalian sudah mengerti perkataan kami?"

Aku mengangguk. Pun Kuni. Aku rasa dia baru saja memakai sihir penerjemah.

"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di Gua Koral Agregasi? Pakaian kalian aneh sekali. Apa kalian korban dari kesalahan teknis lorong berpindah?"

Aku baru saja mau membuka mulut, namun Kuni lebih dulu berbicara. "Kelihatannya begitu. Kami berasal dari kampung pedalaman yang jauh sekali. Ini pertama kalinya kami memakai lorong berpindah. Kami ingin mengunjungi Kota Fairyda."

Inilah keuntungan bertualang sama orang genius. Mampu mengevaluasi perubahan lingkungan dengan cepat dan mampu berbohong dengan sangat natural.

"Fairyda? Maksudmu Klan Peri? Maaf kawan, kau pindah di tempat yang salah."

"Tempat yang salah...?"

"Ya," kata si cewek di sisi kirinya. "Ini adalah Klan Penyihir. Ayo ikut kami!"

Mereka pun menuntunku dan Kuni meninggalkan gua. Seperti dugaanku, cuaca di sini berbeda dengan cuaca di Bumi. Jika di Jepang sedang hujan salju, di sini sebaliknya. Terang benderang.

Dari mulut gua, pemandangan spektakuler yang sama persis dengan ilustrasi buku-buku fantasi bacaanku dulu terbentang di depan sana. Aku pikir Fairyda adalah kota tercantik, ternyata masih ada yang lebih indah di Asfalis.

"Selamat datang di Kota Tovenar!"

Aku melihat langit biru yang cerah.

Ada pohon perdu, tanaman apalah itu, pohon-pohon aneh yang besar ukurannya, menghiasi halaman rumput. Banyak tumbuhan garib tertanam di marginal. Aku tidak tahu satu pun jenisnya.

Yang paling mencolok adalah orang-orang berlalu lalang di atas langit, melawan gravitasi. Mereka senewen meliuk ke sana kemari, tampak sibuk sekali.

Tempat ini ramai dan sekali lagi, indah.

"Lihat, Dandi, itu kumpulan orang-orang mengendarai sapu!" bisik Kuni antusias.

"Iya, aku tahu. Aku juga melihatnya."

Si laki-laki memberiku sebuah sapu, sementara si cewek memberi sapu yang sama kepada Kuni. Dan cewek satunya hanya diam dari tadi (kurasa dia malu berjumpa dengan orang baru).

"Ayo ke sekolah sihir. Mungkin ada yang bisa membantu kalian. Soalnya aku tidak begitu tahu jalan ke Fairyda. Ah, hampir lupa memperkenalkan diri! Namaku Feinte-Te. Yang ini Sabune-Ne. Teman kami yang super pendiam itu Flyis-Is."

"Aku Verdandi. Dia Kuni," kataku cepat.

"Kalau begitu nama kalian jadi Dandi-Di dan Kuni-Ni, ya! Kalian harus mengikuti tradisi penamaan bangsa penyihir."

Aku menginjak kaki Kuni yang wajahnya memerah menahan tawa.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro