FTSOL #10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

FTSOL #10

DAMAR

Acara makan-makan bersama staf kantor akhirnya digelar di Shabu Hachi, salah satu AYCE di daerah Cilandak. Damar menyampaikan kepada Ratna untuk memindahkan acaranya malam itu, berhubung kemarin malam adalah acara makan bersama keluarga.

Tempat tersebut cozy, luas, dan bersih. Penyajian makanan sangat beragam dan higienis. Hal menyenangkan lainnya, di tempat itu tidak ada batasan waktu yang memaksa untuk cepat-cepat menyelesaikan makan. Tidak berarti pula jika mereka duduk sampai berjam-jam lamanya, di saat pengunjung lain juga ingin makan di sana.

Hal yang sedikit membedakan tempat ini dengan tempat AYCE lainnya, terletak dari jumlah kompor yang tersedia. Damar mendapat satu kompor untuk dirinya sendiri, begitupun untuk teman-teman kantor. Hal ini berguna bagi orang-orang yang kurang merasa nyaman jika harus berbagi kompor yang sama dengan orang lain.

"Terimakasih, Paak. Semoga Bapak dilimpahkan rejeki yang banyak biar kita sering-sering ditraktir," kata Eddi, staf yang terkenal paling ramai di antara yang lain. Damar tergelak, ketika seseorang menyikut Eddi karena suaranya yang nyaring. Atau barangkali karena ucapannya yang menurut mereka memalukan.

"Iya, kapan-kapan kalau dapat bonus, saya traktir lagi."

"Nggak usah dipikirin, Pak. Bercanda dia." Ratna dan Sari menunjuk-nunjuk Eddi. "Lho tuh ya? Bikin malu aja tau nggak? Dasar."

Damar hanya menggeleng-geleng menyaksikan perdebatan kecil yang sebetulnya hanya bagian dari bercandaan sesama staf. Rasanya suasana seperti ini yang bisa menjadi hiburan bagi karyawan kantor yang acapkali disibukkan dengan pekerjaan dengan gaji bulanan yang mentok segitu-gitu saja. Biaya hidup di Jakarta luar biasa mahal. Kesempatan untuk makan enak dengan harga lumayan, belum tentu bisa dirasakan setiap Minggu. Jangankan tiap Minggu, sebulan saja sudah syukur. Jadi, ia sangat memaklumi kegembiraan mereka saat mendapat traktiran makan gratis sepuasnya seperti ini.

Bagi orang-orang kaya, hal semacam ini bukanlah hal yang terlalu istimewa. Mereka bisa makan di restoran-restoran mewah nan mahal tanpa perlu merisaukan pergerakan uang dalam dompet atau saldo rekening mereka. Tidak peduli dengan jumlah bill tagihan yang datang. Mengeluarkan uang semudah bernapas.

Ya, semudah itu.

Ia teringat bagaimana ia seringkali diperhadapkan pada kondisi di mana ia mempertanyakan apakah kehidupan finansialnya yang ia rasa cukup mapan, memang benar-benar telah cukup mapan ketika ucapan demi ucapan Aruna yang lebih mirip sindiran dan ejekan tertuju kepadanya, meneriakinya jika apa yang ia miliki masih jauh dari kata cukup. Aruna selalu menunjukkan superioritas dirinya sebagai bagian dari keluarga kelas atas, keluarga dengan gelimang harta yang tidak akan habis tujuh turunan.

Aruna selalu mengejeknya.

Namun, mengapa ia merasa, Aruna yang ia lihat selama ini bukanlah Aruna yang sesungguhnya.

Katakanlah, tidak ada manusia yang benar-benar jahat. Oke, mungkin mereka memang jahat, tapi apakah ada manusia yang terlahir jahat? Apakah kejahatan mereka adalah sesuatu yang alami? Apakah ada orang yang terlahir dengan tabiat buruk?

Lingkungan memang bisa membentuk karakter seseorang, tapi tidak berarti semua orang akan berubah buruk, seburuk lingkungan tempat ia tumbuh besar, bukan?

Namun, bukankah lingkungan Aruna sejak kecil adalah lingkungan yang nyaman dengan segala kemewahan yang ditawarkan kepadanya?

Kalaupun kenyataannya, Aruna adalah seorang anak adopsi, apakah kehidupannya memang suram sebelum menjadi bagian dari keluarganya kini?

Kedua orangtua Aruna tidak pernah mau membahas tentang masa lalu Aruna kepadanya. Padahal sebagai seorang suami, ia harus mengetahui lebih jauh tentang siapa sosok isterinya. Riwayat kesehatan Aruna bisa dikatakan tidak ada masalah, ia tidak memiliki riwayat penyakit kronis, semuanya baik-baik saja. Tapi, bagaimana dengan masa lalunya? Hingga detik ini, ia tidak pernah bisa menggali lebih jauh tentang masa lalu Aruna.

Ia sungkan bertanya, karena menurut keluarganya, mereka tidak ingin membahasnya lagi. Sejak Aruna diadopsi, mereka bertekad memutus segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu Aruna. Menurut mereka, apa gunanya mengungkit masa-masa yang telah lewat? Toh, hidupnya sekarang adalah kehidupan yang sempurna. Segala-galanya bisa mereka berikan. Kemewahan, status sosial, kenyamanan hidup. Apapun yang terkait dengan harta. Mengorek masa lalu tidak akan mengubah apa-apa.

Damar mengunyah yakiniku sambil mengamati staf yang masih larut dalam obrolan mereka. Harus ia akui, semua jenis hidangan yang tersedia di restoran itu sangat enak. Porsi yang tersedia juga cukup membuat kenyang.

Tapi, bagaimana dengan Aruna?

Apakah malam itu ia makan enak? Apakah tidurnya setiap malam nyenyak? Apakah ia baik-baik saja?

Entah, mengapa pertanyaan demi pertanyaan itu silih berganti dan tidak mau pergi.

Damar mendesah pelan, lalu menyuapkan lagi shabu-shabu ke mulutnya. Ia mengaduh karena ternyata kuahnya masih terlalu panas.

Kemarin malam saat mengantar Aruna pulang, perempuan itu lebih banyak diam.

Tepatnya setelah pengakuan tersirat tentang perasaannya, Aruna memilih diam, tidak lagi mendebatnya.

Ketika itu, seusai ia bicara, kedua mata Aruna menatapnya lekat.

Tajam. Namun terasa kosong.

Damar butuh semenit untuk benar-benar memastikan bahwa tatapan mata Aruna memang benar-benar kosong. Seolah kontras dengan mulutnya yang acapkali lancang, dengan sapaan gue-elo yang sumpah mati Damar tidak suka. Seakan menggambarkan, ada yang ingin ia katakan, tetapi lebih baik tidak diungkapkan, hingga berakhir pada sikap diam.

Tatapan kosong itu akhirnya buyar ketika Aruna mengatakan kalau ia ingin cepat-cepat pulang dan beristirahat.

Apakah Aruna percaya dengan ucapannya?

Atau apakah Aruna pun merasakan perasaan yang sama?

Ia tahu, jika ia tidak boleh berharap lebih.

Tapi, bisakah sikap Aruna berubah melunak, jadi mereka bisa berkomunikasi dengan lebih baik?

Ia tidak ingin menghiba. Ia hanya ingin Aruna berubah menjadi manusia yang lebih baik.

Mungkin mereka bisa jadi teman yang baik? Teman yang tidak sungkan berbagi suka dan duka.

Kalaupun akhirnya perpisahan yang mereka pilih, paling tidak mereka tidak berakhir sebagai musuh satu sama lain.

Perpisahan tidak selalu harus menjadi akhir dari segalanya. Perpisahan tidak selalu menjadi sesuatu yang menyedihkan.

"Jadi beneran mau cerai si Puteri? Serius lo?"

"Serius. Kasian ya? Nikahnya belum setahun lagi?"

"Hmm, lebih lama masa pacaran gue deh daripada usia pernikahannya."

"Oh, emang dijodohin kan?"

"Iya. Tajir sih suaminya, tapi tukang selingkuh."

"Hum. Puteri kena KDRT juga. Lo bayangin nggak sih? Lagi hamil gitu, suami selingkuh, pulang-pulang berantem. Kasihan, untung bayinya nggak kenapa-napa."

"Money can't buy attitude, Say. Sekaya apapun lo, kalo sikap lo bar-bar, tetap aja lo terhina. Gedeg gue. Kurang ajar banget sih lakinya? Mentang-mentang kaya ya kan?"

"Biarlah suami gue gajinya pas-pasan, yang penting setia."

"Yang kaya, yang ganteng, bukan jaminan. Kalo bejat, ya tetap aja bejat."

"Kalo artis nih ya, udah masuk Lambe Turah lagi."

Dari salah satu meja terdekat, tanpa sengaja Damar menguping. Di awal-awal, sekumpulan staf perempuan yang berkumpul itu mengobrol tentang pekerjaan, kuliner, sale barang-barang branded di salah satu mall hingga topik yang kini sedang mereka bahas.

Jadi seperti ini ya kalau ibu-ibu sudah berkumpul?

Tidak heran jika arisan ramai di mana-mana.

Di mana ada sekumpulan perempuan, maka bergunjing menjadi bagian yang tidak terelakkan lagi.

Bagaimana jika hal yang sama menimpa dirinya?

Hari ini ia mendengar gosip tentang orang lain, bisa jadi di hari lain, dialah yang jadi bahan gosip ibu-ibu itu.

Ia tidak mau hal itu sampai terjadi.

Bukan karena motivasi menghindari gosip hingga ia enggan bercerai. Dangkal sekali pemikirannya kalau sampai seperti itu.

Alasannya karena ia memang sungguh-sungguh ingin mempertahankan rumahtangga. Tentunya sambil berharap Aruna mau berubah.

***

Jogjakarta. Hotel Royal Ambarrukmo.

ARUNA

Hawa panas menerpa wajah Aruna saat turun dari taksi yang berhenti di depan lobi hotel. Tanpa buang waktu, ia bergegas melangkah memasuki lobi, meninggalkan barang-barangnya yang masih berada di dalam bagasi. Bukannya ia tidak peduli. Ia capek dan ingin segera berbaring.

Lagipula, ada Damar yang bisa membantu mengurus semua kopernya sekalian barang bawaannya sendiri.

Memang sudah tugas laki-laki itu kan?

Atau tugas suami pada umumnya.

Whatever. Damar juga tidak akan protes.

Aruna mau ikut menghadiri undangan pernikahan itu juga sudah syukur.

Aruna melepaskan kacamata Chanel yang selalu ia pakai sejak turun dari pesawat. Rasanya nyaman memakai kacamata hitam, terkhusus ketika berada di bandara. Ia tidak begitu suka menjadi pusat perhatian. Fungsi kacamata itu sama dengan fungsi jaket yang kini membungkus tubuhnya. Sama-sama membuat perasaan lebih nyaman.

Mungkin hanya perasaannya saja soal jadi pusat perhatian itu, karena siapa juga yang mau membuang waktu memelototi satu persatu manusia di bandara? Kalaupun ada, itu pasti pekerjaan orang iseng.

Tapi, memang enak kok pakai kacamata hitam. Selain lebih keren, pandangan pun tidak akan begitu silau. Beruntung matanya normal, sebab penggunaan kacamata hitam tidak cukup membantu bagi mereka yang memiliki gangguan penglihatan.

Aruna mengamati desain dalam lobi hotel. Ada sebuah relief yang letaknya di sebelah kiri meja resepsionis, memberi kesan etnik. Pandangannya menyusuri permukaan relief yang menggambarkan suasana di sekitar gunung Merapi.

Lalu, pandangannya berpindah pada lukisan warna-warni di tangga. Sangat kontras dengan relief yang monokrom.

Rasanya sayang kalau tidak mengabadikan benda-benda seni yang tergolong unik namun menarik. Ia membuka tas untuk mengambil ponsel. Kameranya masih tersimpan di dalam koper.

Sambil menunggu Damar masuk ke lobi, ia memeriksa isi tasnya satu-persatu, memastikan tidak ada barang-barangnya yang ketinggalan di pesawat atau di dalam taksi.

Dompet. Power bank, charger, essential oil, eau de toilette, essential oil.

But no cellphone.

No iphone.

Ponselnya?

"Iphone gue kok nggak ada ya?"

Ia memeriksa lagi. Berkali-kali.

Memang tidak ada.

Aruna sampai harus mengeluarkan dompet dan cushion yang dibawanya. Tapi tetap saja iphone 11 Pro midnight green yang ia cari tidak kunjung ketemu.

Saat masih sedang mencari ponselnya, Damar telah berjalan memasuki lobi, mengikuti langkah seorang sekuriti menuju meja resepsionis. Koper Rimowa-nya terlihat di antara koper hitam dan ransel yang dibawa Damar.

Setelah selesai check-in, diantar seorang bell boy mereka berjalan menuju kamar executive suite. Awalnya Damar hendak mem-booking studio room yang segera ditolak Aruna. Ia ingin menginap di suite room. Sudah jauh-jauh ke sana, hanya menginap di kamar biasa rasanya kurang memuaskan.

"Kamu kenapa?" tanya Damar ketika mereka berdiri di lorong, menunggu bell boy membukakan pintu.

"Nggak," jawab Aruna. Tapi ia masih sibuk memeriksa tasnya.

"Ada yang ketinggalan?" tanya Damar lagi.

Aruna tidak menjawab pertanyaan Damar.

Ketika pintu telah terbuka, ia melangkahkan kaki masuk, lalu duduk di sofa living room.

"Kalau nggak ngomong, nggak akan ketemu," ucap Damar sembari tersenyum. Ia mendengarkan penjelasan bell boy mengenai fasilitas yang tersedia di dalam suite. Berkeliling seperti tour singkat mulai dari kamar hingga living room. Sementara Aruna sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi. Ia sudah kehilangan akal.

Apa mungkin Damar yang menemukannya?

Tapi kalau iya, kenapa Damar tidak bilang?

Apa Damar sengaja menunggu ia menanyakan tentang ponsel itu?

Atau bisa jadi ponselnya tertinggal di taksi?

Aruna membuka lemari es dan meraup sebotol air mineral. Ia membawanya ke sofa tempatnya duduk tadi. minum seteguk dua teguk, tidak akan membuat ponselnya kembali, tapi cukup menghilangkan ketidaknyamanan di kerongkongan yang terasa kering.

"Ada mall dekat sini, kalau mau jalan-jalan cari makan siang. Hotel nyediain, tapi siapa tau kamu nggak suka makanannya," terang Damar. Ia mulai memeriksa barang-barangnya satu-persatu dimulai dari ransel.

Tapi ia tidak pernah menyinggung soal ponsel.

"Gue jujur aja." Akhirnya Aruna memberanikan diri bicara. Ia harus bertanya. "Ponsel gue hilang."

Ia yakin Damar sedang mendengarkan. Jarak mereka cukup dekat, dan suaranya cukup jelas.

Namun bukannya menjawab, ternyata Damar malah beralih membuka koper hitamnya.

Apakah Damar memang tidak mengetahui soal ponsel itu?

"Trus, udah dicari?"

"Di tas gue nggak ada. Gue nggak tau gue lupa di mana. Di pesawat, di ruang tunggu, atau di taksi." Aruna menelan ludahnya. Sudah kepalang basah. "Lo lihat nggak?"

Damar menarik napas. Ia mengeluarkan peralatan mandi dari dalam koper. Handuk berwarna putih serta tas kecil berisi perlengkapan mandi.

Bagaimana Aruna bisa tahu apa isi kopernya? Ia melihat Damar menyusun isi kopernya yang hampir penuh dengan sangat terorganisir. Ia jadi penasaran, apakah laki-laki itu memang tidak bisa ditemukan kekurangannya? Maksudnya, mengapa dalam hal packing pun, Damar melakukannya dengan sangat teratur. Ia mengakui dirinya cukup rapi kalau urusan packing, tapi tetap saja susunan isi koper Damar lebih teratur.

Ia penasaran, apakah pagi itu Damar mengukur luas koper sebelum mengisinya?

"Kalau saya bilang saya lihat ponsel kamu, saya bakal dapat apa?"

"Ponsel gue ada di lo?!" seru Aruna.

"Ini kan kalau. Saya nggak bilang ada di saya." Damar mulai bermain kata. Mulai menyebalkan juga.

Dari gelagat itu, sudah pasti ponselnya ada di Damar.

"Udah deh. Buruan kasih ke gue. Gue mau cek WA gue," tuntut Aruna.

Damar beranjak dari duduk kemudian merogoh saku celana bermudanya.

Ponsel yang ia cari sejak di lobi ternyata ada di tangan Damar. Aruna mengulurkan tangan, tetapi ponsel itu belum juga berpindah ke tangannya.

"Saya mau minta barter."

"Apa sih pake barter segala?" kata Aruna jengkel.

"Saya kasih kamu ponsel ini, asal sepulang dari sini, kamu mau kembali ke rumah kita."

***

DAMAR

Setelah melalui perdebatan kecil, Aruna setuju dengan katakanlah, penawarannya. Meskipun telah setuju, raut wajah Aruna menunjukkan jika ia terpaksa. Aruna tidak menyukai sesuatu yang serba terpaksa. Amarahnya bisa muncul secara tiba-tiba.

"Gue nggak tau lo bisa licik juga."

"Nggak bilang terimakasih, malah bisanya hanya mengejek." Damar tersenyum. "Tapi nggak apa-apa. Orang seperti kamu memang harus dihadapi pakai cara yang nggak biasa."

"Orang seperti gue?" Aruna menunjuk dirinya. "Orang seperti apa, hah?"

Damar menangkap kedua tangan Aruna sebelum sempat menyentuhnya. Ia sudah menebak, Aruna akan mendorongnya. Instingnya lebih baik, jadi kini ia bisa mencegah sebelum Aruna menyudutkan posisinya.

"Saya nggak suka main kasar. Tapi kalau kamu memaksa, saya pasti melayani."

"Lo mau pukul gue?" tanya Aruna.

"Nggak. Saya akan bertahan sampai kamu nggak lagi punya keinginan untuk bersikap kasar sama saya," jawab Damar. "Sekarang saya tanya sama kamu. Kamu jawab."

"Lepasin."

"Kenapa kamu seperti ini, Aruna?"

"Lepas!!"

"Kenapa kamu selalu bersikap seakan-akan saya adalah musuh kamu. Kamu melakukan segala sesuatu ke saya sesuka kamu. Kamu marah, kamu mau mukul saya. kamu mau kita pisah...,"

"Gue nggak mau jawab semua pertanyaan lo." Aruna mencoba menyentakkan tangannya, tetapi tentu saja ia kalah kuat.

"Kenapa?"

"Karena gue benci sama lo. Gue benci karena orangtua gue selalu muji-muji lo. Nggak kaya gue. Semua orang benci sama gue,"

"Saya nggak benci sama kamu. Dan saya juga nggak pernah meminta pujian dari orangtua kamu. Jadi bukan salah saya kalau orangtua kamu memuji saya."

Damar memang tidak salah.

Tapi Aruna tidak suka.

"Lo benci sama gue." Aruna tetap bersikukuh. Dengan sikapnya selama ini kepada Damar, kebencian adalah balasan setimpal. Biar saja. Ia tidak mau peduli.

"Saya tau pasti ada alasan mengapa sikap kamu seperti ini." Damar kemudian menguraikan secara panjang lebar. "Kamu seringkali marah tanpa alasan jelas, kamu seringkali bertindak sesuka kamu, dan nggak mau mendengarkan nasihat dari orang-orang di sekeliling kamu. Saya mencoba mengabaikan kamu. Namun belakangan saya sadar, saya nggak bisa membiarkan kamu bertahan dengan sikap kamu yang keras kepala."

"Arg. Cerewet," umpat Aruna.

"Apa kamu merasa kecewa? Merasa nggak ada orang yang sayang sama kamu?"

"Jangan sok tau deh, Analisis lo bikin telinga gue panas."

"Jadi orang jahat itu melelahkan, Aruna," ucap Damar lembut. "Sangat melelahkan. Saya merasa selama ini sikap jahat dan pembangkangan yang kamu lakukan karena kamu butuh perhatian."

"Berhenti jadi sok tau,"

"Bagaimana kalau saya benar?"

"Semua teori lo salah. Lo nggak tau isi hati dan pikiran gue." Aruna tertawa kecil. "Urus aja diri lo sendiri."

"Kamu udah libatin saya dalam hidup kamu. Jadi kamu nggak bisa melarang saya untuk...memperhatikan kamu."

"Gue nggak butuh omongan lo yang sok bijaksana. Biarin gue, nggak usah peduliin gue. Apapun yang terjadi dalam hidup gue, lo nggak usah ikut campur. Tetap jadi diri lo yang dulu, yang cuekin gue dan benci sama gue. Gue lebih nyaman sama diri lo yang seperti itu."

"Jadi, status saya sebagai suami kamu hanya pajangan belaka?"

Aruna mencibir. "Itu lo udah tau. Kenapa? Lo berharap lebih? Lo berharap gue insyaf trus gue jadi suka sama lo?"

Damar memajukan tubuhnya, mendesaknya sampai kedua kaki Aruna tertahan di tepi tempat tidur. Aruna merasakan napasnya naik turun karena napasnya yang semakin memburu.

Apa yang ingin Damar lakukan dengan mencondongkan tubuh ke arahnya? Bukankah jarak di antara mereka semakin menipis?

"Lo mau ngapain?"

Damar tidak menjawab, jadi Aruna memilih menggeser langkahnya ke samping sebelum tubuh mereka semakin merapat.

"Kenapa? Kok tiba-tiba gugup?" Seringaian muncul di wajah Damar.

"Siapa yang gugup? Gue nggak gugup," tantang Aruna.

Kenyataannya, ia kini merasakan keringat dingin mengucur di tengkuk dan pelipisnya.

Benar-benar sialan laki-laki ini.

"Mundur nggak?" Aruna menelan ludah, suaranya nyaris tidak terdengar. Dengan bodohnya, ia meladeni kontak mata dengan Damar di saat jarak di antara wajah mereka hanya berselisih kurang dari sejengkal.

"Kenapa harus mundur?"

"Gue bilang mundur."

Aruna menaikkan kedua tangannya sebagai upaya untuk mendorong tubuh Damar menjauh. Semudah itu pula penolakannya dipatahkan oleh Damar yang kini mengembalikan kedua tangannya ke posisi semula, di sisi tubuhnya.

Hatinya terus bertanya.

Sebenarnya apa yang ingin dilakukan Damar terhadapnya?

Satu tangan Damar memegangi lengannya dan memaksanya maju hingga kini hidung mereka saling bersentuhan.

Perasaannya terombang-ambing saat bibir mereka kini dalam keadaan saling berhadapan.

Bimbang, antara ingin meneruskan atau menghentikan.

Arg. Sudah tanggung juga kan?

Refleks, Aruna membuka mulut. Kontras dengan Damar yang masih bergeming dalam posisi yang sama.

Sejujurnya, ia lebih menyukai berciuman dengan mulut terbuka. Bibirnya lebih leluasa bergerak mengakomodasi gerakan bibir partner ciumannya. Ia dan Eryk cukup sering melakukannya saat mereka sedang bermesraan. Meski sering berakhir zonk karena Eryk ternyata cukup payah dalam urusan itu.

Jika Eryk adalah pencium buruk, maka laki-laki di hadapannya ini sudah pasti akan jauh lebih buruk. Double or triple worse.

Ia tidak punya waktu mengajari Damar tentang cara berciuman yang benar.

Jadi lupakan saja.

Tapi siapa yang tahu? Sikap sok cool Damar bisa jadi hanya sebuah siasat. Ia bisa saja seorang pencium ulung berwajah innocent. Hipotesis itu hanya bisa dibuktikan dengan...

Ng...mencobanya.

Tapi tidak ada yang terjadi. Tidak pernah ada ciuman.

Dan tidak akan ada ciuman antara mereka. Ia bisa membayangkan berbaikan dengan Damar, tapi tidak bisa membayangkan berciuman dengannya.

"Sekarang apa?" tanya Damar. "Apa sekarang kita sudah berbaikan sampai tidak menyadari posisi seperti ini?"

Aruna tidak menyadari kedua tangannya sebelumnya bahkan telah merayapi permukaan dada Damar sementara Damar membalas dengan memeluk pinggangnya.

"Salah lo." Canggung, Aruna melepaskan dirinya dari pelukan Damar.

Damar tidak menahannya. Justru kini, ia yang menjauhi Aruna dan mengatakan ingin beristirahat sejenak sebelum waktu makan siang.

Saat itulah Aruna mulai merasakan sesuatu.

Mungkin terlalu dini untuk mengakuinya, jadi ia memilih menepisnya jauh-jauh.

***

The Royal Restaurant

ARUNA

Rasa lapar membuat Aruna secara impulsif memesan mie goreng Jawa dan nasi goreng Wagyu. Ia tidak bisa memilih di antara kedua makanan yang menjadi signature dish restoran yang terletak di lantai dasar hotel Royal Ambarrukmo. Ia tidak butuh minuman dan dessert yang macam-macam. Ia hanya butuh makan yang banyak.

"Selama seminggu ini, bagaimana kebiasaan makan kamu?" tanya Damar. Di hadapannya terhidang sup buntut goreng yang disajikan dengan nasi. Mereka sama-sama lapar, tetapi Damar terlihat sedikit lebih beradab. Ia makan tidak terburu-buru, kontras dengan dirinya yang sibuk mengganyang mie goreng Jawa dengan kalap.

"Nggak ada yang luar biasa," jawab Aruna sebelum mengunyah lagi sesendok mie goreng. "Lo sendiri pasti bisa makan dengan lahap dan tenang tanpa kehadiran gue."

"Saya pikir bakal seperti itu. Ternyata nggak juga."

"Kenapa?"

"Saya lebih lahap makan kalau ada yang menemani."

"Biasanya juga gue jarang makan bareng lo di rumah."

"Makan bersama itu nikmatnya luar biasa lho." Damar lalu menyinggung tentang kebiasaan keluarganya yang selalu makan bersama di satu meja.

Emang suka nyindir ya?

"Enakan makan sendiri," balas Aruna singkat.

"Makan bersama itu adalah perwujudan kasih sayang. Tanda kebersamaan, solidaritas. Kebersamaan," ujar Damar.

"Apa harus seperti itu maknanya? Makan ya makan aja. Mau sendiri atau rame-rame ya sama-sama makan juga kan jadinya?"

Setelah mie goreng Jawa-nya tandas, Aruna beralih ke nasi goreng Wagyu. Entah bagaimana cara menghabiskan semuanya.

Damar tersenyum. "Food should bring people together, not isolate them. Kamu tau jika makan sendiri itu bisa terkait depresi?"

"Maksudnya?"

"Nggak ada yang bisa diajak ngobrol, berbagi keluhan. Nggak ada yang mengingatkan apakah yang kamu makan itu sehat atau tidak, berlebihan atau tidak."

"Trus kenapa lo nggak negur gue waktu gue mesan dua makanan ini?"

"Karena saya tau kamu butuh makan banyak. Selama ini yang saya tau kamu tuh paling susah makan. Ajaib, melihat kamu makan banyak sekarang." Damar tersenyum lebih besar. "Hanya melihat kamu makan dengan lahap, itu sudah cukup bikin saya bahagia."

"Non sense," Aruna mengangkat bahu. "Tapi terserah lo deh. Gue iyain aja."

***

Hai hai...akhirnya bisa ngepost lagi. Gimana pendapat kalian setelah membaca part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage