FTSOL #9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

   FTSOL #9


"Pak Damar. Mohon maaf. Ini data-data pembelian bahan baku yang Bapak minta."

Damar mendengar kalimat-kalimat sopan penuh hormat dari seseorang.

Saat ia mendongak, ternyata ada Ratna, kepala staf departemen Purchasing.

"Oh, iya. Terimakasih, Ratna." Damar memerhatikan Ratna meletakkan tumpukan kertas berisi data-data pemesanan bahan baku yang akan ia periksa ulang sebelum melakukan transaksi pembelian.

Damar tengah melihat-lihat foto proses pembuatan keramik dari pabrik yang dikirimkan oleh manajer produksi. Pabrik tersebut berlokasi di daerah Tangerang. Damar telah beberapa kali berkunjung ke pabrik, sebagai bagian dari pekerjaannya sebagai manajer Purchasing yang harus memastikan sendiri kondisi mesin pabrik. Terkadang, ia juga mengecek sendiri persediaan barang di gudang penyimpanan. Karena meskipun ruang kerjanya bukan di lapangan, tetapi jangkauan pekerjaannya bersentuhan langsung dengan stok. Sedangkan pabrik tidak akan bisa berjalan tanpa ketersediaan bahan baku dan peralatan produksi yang memadai.

"Seperti biasa, dibuat enam rangkap ya Purchase Order-nya. Semoga besok, sudah bisa dilakukan pemesanan karena hari ini saya masih harus memastikan stok di supplier." Damar mempersilahkan Ratna kembali ke tempat kerjanya sebagai kepala staf Purchasing.

"Baik, Pak." Ratna lalu mengucapkan selamat ulangtahun.

"Saya ulangtahun hari ini?" Damar bertanya karena ia tidak menyadari hal tersebut.

Manusia jenis apa yang melupakan hari lahirnya sendiri?

Sebenarnya, ia masih mengingatnya beberapa hari lalu. Namun, setelah hari itu tiba, ia malah terlupa.

"Iya, Pak. Saya mewakili teman-teman mendoakan Bapak semoga tetap sehat, bahagia, selalu langgeng kehidupan rumahtangganya, dan segera dikaruniai momongan."

"Terimakasih." Damar tersenyum getir. Ucapan adalah doa. Dan doa yang ia dengar kali ini adalah doa terbaik yang juga selalu ia harapkan.

Kesehatan dan kebahagiaan.

Dua hal itu saja sudah cukup baginya. Meskipun dua harapan paling akhir mau tidak mau cukup mengusik pikirannya kendati ia sudah menguburnya dalam-dalam seolah tidak pernah terjadi dalam hidupnya.

"Kalau gitu, nanti malam, saya traktir kalian makan-makan."

"Waah. Makasih, Pak. Kalau boleh tau di mana ya? Biar saya kasih tau teman-teman."

"Saya cek tempat dulu."

"Nanti saya bantu reservasinya, kalau Bapak nggak keberatan. Jangan tempat yang mahal, Pak. Di Pizza Hut aja, kami udah bersyukur."

"Oke kalo gitu. Tolong cekkan restoran AYCE ya? Saya udah lama nggak makan grilled food. Kalian suka kan makan di restoran AYCE?"

"Siapa aja pasti suka, Pak. Apalagi kalau gratis." Wajah Ratna nampak senang. "Saya cek dulu ya, Pak. Steak 21 Buffet rekomen sih, Pak."

"Iya, cek aja di situ," angguk Damar. Ia pernah makan di situ sewaktu bertemu klien. Dan memang sangat recommended. "Nggak usah mikirin soal harga makanannya."

"Baik, Pak. Jadi untuk malam ini ya, Pak?"

"Iya. Atau besok malam. Terserah kalian. Saya ngikut saja."

Ratna tergelak. "Harusnya kan kami yang ngikut Bapak."

"Oke. Kabari saja jadinya di mana."

Setelah Ratna berlalu pergi, Damar kembali kepada pekerjaannya. Jam dinding masih menunjukkan 09.23. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum makan siang.

Damar kini mengecek ponsel.

Ada chat ucapan selamat ulangtahun dari ibu dan Daisy. Semalam ia menonaktifkan ponsel sampai pagi. Dan sampai kantor pun ia baru menyalakan ponsel, belum sempat memeriksa lebih lanjut. Fokusnya lebih tertuju pada e-mail yang masuk ke akun bisnisnya. Selain email bisnis, ia juga memiliki e-mail pribadi yang dipakai untuk keperluan lain, seperti membuat akun untuk booking hotel dan tiket pesawat.

Damar menyempatkan waktu menelepon ibu, sekadar mengucapkan terimakasih karena mengingat ulangtahunnya. Sejak ia kecil, Ibu tidak pernah melewatkan momen-momen penting anak-anaknya, termasuk hari lahir.

Biasanya, ibu akan menyiapkan kue ulangtahun dan nasi tumpeng dengan aneka lauk pendamping yang semuanya dimasak sendiri. Porsinya selalu dilebihkan untuk dibagikan ke para tetangga dan dikirimkan ke panti asuhan, berbagi kebahagiaan dengan anak yatim piatu. Perayaan sederhana setiap tahun, karena keluarga mereka memang sudah terbiasa akan hal-hal simpel dan murah meriah. Ia sangat setuju jika perayaan ulangtahun tanpa hura-hura. Karena yang terpenting dari momen tersebut adalah rasa syukur masih diberi hidup sehat serta berkecukupan.

"Pulang kantor jam berapa, Nak? Jangan lembur dulu. Ibu mau masak buat acara makan-makan di rumah."

"Iya, Bu. Hari ini pulangnya sore. Nanti malam baru ke situ."

"Aruna diajak ya? Tadi Ibu telepon dia, tapi nggak dijawab. Sibuk ya isteri kamu? Sampai buat jawab telepon saja nggak ada waktu."

Rahang Damar mengeras. Bukan maksud ibu menyindir Aruna.

Soal Aruna yang enggan mengakrabkan diri dengan keluarganya bukanlah suatu hal yang mengherankan, jika bisa disebut lumrah. Ia harus maklum, suka atau tidak.

Aruna adalah salah satu manusia berhati paling batu yang pernah ia kenal. Awalnya ia merasa terkejut, lama-lama ia cukup terbiasa dengan segala kelakuan tidak simpatik yang diperlihatkan Aruna. Termasuk mengabaikan kehadiran orangtuanya.

Seperti Aruna mengabaikan keberadaannya dalam rumahtangga mereka.

"Saya nggak janji lho, Bu. Aruna sibuk."

Apakah ia harus terus berbohong? Ia tidak mau berdosa kepada ibunya, mengumbar kebohongan demi kebohongan untuk menyelamatkan nama baik pernikahan mereka. Sementara ia tahu, Aruna tidak pernah berusaha memperjuangkan hal itu.

Ia enggan berjuang sendirian. Rasanya lelah memikul sebuah beban seorang diri. Padahal rumahtangga adalah suka duka dirasakan dan dibagi berdua, bukan untuk ditanggung seorang sendiri.

Jadi buat apa melakukan sesuatu yang sia-sia? Hidupnya untuk memperjuangkan hal yang nyata, bukan susah payah mengejar yang tidak pasti.

"Kamu ini gimana sih? Ini kan perayaan hari lahir kamu, Damar. Akan sangat ganjil kalau isteri kamu nggak berkumpul bersama-sama kita."

Ibu menyinggung sebuah hal yang idealnya dilakukan di momen berharga itu. Makan bersama di hari ulangtahun adalah tradisi, maka sebisa mungkin semua anggota keluarga harus berkumpul. Isterinya harus ikut karena ia kini termasuk anggota keluarga mereka juga.

Damar mendesah kuat.

Ia tidak bisa berbohong lagi. Ia tidak mau berbohong lagi.

"Bu. Sebenarnya...," Damar menggantung ucapannya. Ia tidak punya alasan untuk tidak jujur.

"Sebenarnya apa?"

"Sebenarnya..., saya sama Aruna...,"

Ia berhenti. Tidak terbayang bagaimana perasaan ibu.

Hari ini adalah hari ulangtahunnya, tapi yang seharusnya paling berbahagia adalah ibu yang telah melahirkannya.

Tidak terbayang bagaimana perasaan ibu jika saat itu ia menceritakan masalah dalam rumahtangganya. Selain sakit hati juga rasa malu. Perceraian adalah aib.

Lagipula, jam kantor seperti ini apa iya, mereka mengobrolkan sesuatu yang bisa mengacaukan pikirannya seharian itu?

"Nggak. Nggak ada apa-apa, Bu."

Akhirnya, urung niatnya untuk berkata jujur.

"Ya udah, Ibu tunggu kedatangan kalian. Kamu jaga kesehatan ya? Semangat kerja jangan bikin kamu mengabaikan kesehatan."

"Iya, Bu. Pasti."

Ada perasaan lega setelah obrolan di telepon itu ia akhiri. Ia lega, karena masih bisa menahan diri untuk tidak merusak kebahagiaan ibu pagi itu. Ibu akan menyiapkan masakan untuk perayaan ulangtahun. Apa jadinya jika seharian itu, Ibu meratapi nasib anak sulungnya yang sangat malang.

Cukup ia yang mengalaminya. Ia tidak ingin membagi kesusahan kepada ibu dan keluarga kecil mereka.

Jadi, setelah menimbang-nimbang, Damar mulai mencari nomor Whatsapp Aruna dan mengirimkan chat. Mengabarkan ajakan makan malam bersama.

Bagaimana respon Aruna, hal itu yang tidak bisa ia tebak.

Separuh hatinya berharap Aruna tidak membaca dan menjawabnya.

Namun, separuh hatinya menginginkan hal yang sebaliknya.

Damar mengusap wajahnya.

Bahkan dalam kemustahilan, ia masih berharap setitik terang yang menggembirakan. Meski gembira yang bukan untuk membuatnya tertawa. Namun, gembira yang meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

***

Damar : malam nanti saya mau makan malam bersama keluarga. Ibu nanyain kamu.

Aruna sedang mengunyah toast-nya yang agak gosong dan terasa tawar tersebut. Ira sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, karena jarak kantornya yang lumayan jauh. Berhubung Ira tidak datang ke sana untuk membuatkan sarapan, jadi pagi itu ia harus berusaha membuat sarapannya sendiri. Ia sedang malas makan sereal. Ia ingin roti panggang. Tapi ia cukup malas hanya sekadar menggoreng sosis atau membuat scrambled eggs.

Ia memang semalas itu.

Biarlah. Siapa juga yang mau menghakiminya? Ini rumahnya.

Aruna mengambil keju slice dan memakannya seperti snack.

"Undangan makan malam keluarga. Hmm. Interesting."

Panggilan telepon mertuanya saja ia abaikan apalagi harus duduk bersama mereka selama berjam-jam, mengobrolkan kelebihan putra mereka dan menunjukkan kesederhanaan keluarga mereka yang membuat matanya teriritasi dan perasaannya teraduk-aduk.

Keluarga harmonis.

Apa itu keluarga harmonis?

Yang ia ketahui tentang keluarga hanya satu hal.

Tuntutan.

Oh mungkin dua.

Ekspektasi.

Atau versi ketika ia masih kecil.

Keluarga adalah penjara.

Keluarga adalah tempatmu menerima segala luka, cacian dan siksaan.

Keluarga adalah rasa sakit.

Baginya tidak pernah ada keluarga.

Yang ada hanya dirinya sendiri.

Ia tertawa lirih sampai harus mengusap airmatanya.

Aruna : lo mau gue dateng atau nggak?

Yaah, ia bisa membayangkan perasaan jijik laki-laki itu saat mengetikkan chat kepadanya.

Damar : saya nggak bisa menyuruh atau memaksa. Selalu kamu kan yang membuat keputusan?

"Sialan lo!" umpat Aruna.

Kenapa laki-laki itu selalu bisa membangkitkan kekesalannya? Seakan menjadi keharusan bagi Damar untuk selalu menyinggung perasaannya sekalipun hanya lewat interaksi tidak langsung.

"Ngapain lo chat gue? Nggak usah lo chat gue, Sialan!"

Memang tidak ada yang salah dengan perkataan Damar. Tapi mengakui bahwa Damar benar, adalah hal yang sangat dibenci Aruna.

Karena yang ingin ia lihat dari Damar adalah kesalahan. Kekeliruan. Ketidaksabaran.

Sekali saja ia ingin merasakan laki-laki mencaci maki dirinya atau sekalian saja dengan tamparan keras, sehingga ia bisa menemukan alasan demi alasan yang menguatkan dirinya untuk mengambil keputusan bercerai. Ia ingin punya paling tidak satu alasan kuat untuk memberitahukan orangtuanya perihal keinginannya untuk bercerai.

Akan sangat ringan langkahnya membawa berkas tuntutan perceraian dengan bukti yang bisa menguatkan, seperti bekas tindakan penganiayaan KDRT atau perselingkuhan.

Ia hanya ingin mengejek papa dan mama atas perjodohan itu. Bahwa Damar ternyata tidak lebih dari seorang laki-laki kasar yang sering memukulinya dan ternyata juga berselingkuh di belakangnya.

Tapi semua itu hanya khayalan belaka!

Karena Damar Abhinaya adalah sosok laki-laki sempurna yang seolah tercipta saat Tuhan sedang gembira.

Mengapa? Mengapa ia tidak bisa menemukan satu saja alasan untuk menunjukkan sisi negatif dari seorang Damar Abhinaya?

Ia benci papa, mama dan pujian-pujian mereka terhadap laki-laki itu. Ia sungguh benci. Karena di saat mereka memuji Damar, di saat yang sama ia merasa terhina.

"Damar itu adalah laki-laki tampan, terpelajar, sopan, berdedikasi. Tanpa track record buruk. Dia calon menantu ideal untuk kami dan sosok suami yang sempurna untuk kamu."

Argh.

Aruna menyentuhkan jempolnya pada tanda hijau.

"Lo di mana? Gue mau ngomong sama lo!"

***

Damar melihat jamnya lagi.

Ia tengah duduk menunggu pesanan makan siang di sebuah depot ayam bakar yang terletak cukup jauh dari kantor. Ia mungkin akan terlambat kembali ke kantor, sekitar 30 menit sampai sejam. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Vio, sekretarisnya.

Pada jam makan siang, depot tersebut cukup ramai. Lalu lalang pelanggan masuk, duduk dan keluar yang sebagian besar karyawan kantoran, menjadi pemandangan tersendiri. Ia teringat masa-masa sewaktu masih fresh graduate, di mana ia dan teman kuliahnya merayakan keberhasilan mereka diterima bekerja di tempat kerja masing-masing di tempat itu. Sekarang, mereka sudah sangat jarang bertemu dan berkomunikasi karena bekerja di tempat berbeda. Kesempatan ngumpul-ngumpul hanya terjadi di momen-momen seperti pernikahan atau reuni sekolah. Sebulan lalu, ia sempat menghadiri akikah anak salah satu teman organisasi kampus. Mereka berkumpul dan mengobrol, meskipun dalam durasi yang terbilang singkat.

Tiga jam lalu, Aruna meneleponnya dengan nada marah dan mengajaknya bertemu. Hal itu di luar ekspektasi. Sungguh benar-benar tidak diduga.

Apakah Aruna sudah menyerah dan ingin kembali ke rumah?

Pertanyaan yang sama, memenuhi benaknya sejak tiga jam lalu, hingga sekarang.

"Saya sudah pesan satu porsi ayam bakar buat kamu," Damar melatihkan ucapan itu, seolah Aruna sedang duduk di hadapannya. "Kamu kurusan. Apa kamu lagi banyak pikiran?"

Ia tidak mungkin bertanya sampai sedetil itu. Berusaha tidak peduli, adalah hal paling mungkin untuk dilakukan saat ini.

Damar terhenyak. Ternyata Aruna sudah tiba. Ia mengedarkan pandang untuk menemukan meja tempatnya duduk. Saat melihatnya, Aruna bergegas berjalan menghampiri mejanya.

Ia tidak sedang mengkhayal. Perempuan pemarah itu duduk di depannya.

Seminggu tidak bertemu, tidak banyak yang berubah.

Bahkan mungkin memang tidak ada perubahan.

"Permisi, Pak. Ini ayam bakarnya."

Pelayan yang datang mulai menurunkan satu persatu piring berisi nasi, ayam bakar, dan lalapan sambal ke atas meja. Berikut minuman berupa air mineral botol dingin. Tercium wangi aroma khas ayam bakar, menambah rasa lapar.

Damar mengambil rempeyek kacang yang sejak tadi tampak menggiurkan.

"Kamu makan aja dulu." Damar tidak mendengar ada jawaban, jadi ia bertanya lagi. "Kamu belum makan siang?"

Ya, mereka bisa makan siang bersama, meski dalam suasana canggung.

Tapi perasaan canggung itu rasanya tidak perlu.

"Gue mau cerai."

Gerakan Damar membuka plastik pembungkus rempeyek terhenti.

Perempuan ini memang penuh dengan kejutan.

"Jadi itu hasil perenungan kamu selama seminggu ini?"

Aruna menyimpan tas di kursi kosong, kemudian mengeluarkan ponsel.

"Gue udah nyari lawyer yang gue yakin bakal nuntasin semua ini dengan cepat. Lo nggak usah pikirin soal biayanya. Semua gue yang tanggung."

Kedengaran sangat mudah. Namun, proses perceraian tidak sesederhana itu.

Mereka akan sama-sama mendapat status baru dari proses perceraian.

Duda. Janda.

Apakah ada orang yang mau bermain-main dengan pernikahan dan tidak memedulikan tentang status setelah perceraian terjadi?

"Apa nggak bisa kita bicarakan soal itu nanti?" Damar bertanya.

"Kenapa harus nanti?"

"Menghadapi makanan harus dengan perasaan senang," jawab Damar. Ia merasakan ujung-ujung jarinya gemetar saat menarik piring berisi nasi. "Makan saja dulu."

Ucapan Aruna tadi ibarat bom yang meledak.

Sekalipun ia selalu bersiap karena sewaktu-waktu momen itu akan datang, tidak pernah ia menyangka akan secepat ini.

"Gue nggak lapar."

"Ya, bungkus aja nanti ayam bakarnya."

Mereka sama-sama terdiam. Beberapa kali Damar menarik napas, berharap kelegaan dapat memenuhi ruang-ruang di dalam saluran pernapasannya.

Namun, nihil. Ia nyaris tersedak.

Suwiran ayam yang seharusnya gurih manis, terasa pahit di lidahnya. Terasa bagai kerikil saat melewati kerongkongan.

"Jadi apa alasannya?" tanya Damar setelah berhasil menelan makanannya.

"Sudah nggak cinta lagi,"

Damar tertawa miris.

"Kita bahkan nggak pernah merasakan cinta, bagaimana mungkin 'sudah nggak cinta lagi' bisa menjadi sebuah alasan?"

"Saya nggak bisa mengajukan alasan lain untuk membuat tuntutan." Aruna mencibir. "Akan lebih mudah jika lo adalah seorang laki-laki yang suka melakukan KDRT dan peselingkuh ulung." Aruna menuding dirinya. "Alasan buat lo nuntut gue lebih banyak. But, No. Gue nggak mau nama baik keluarga gue tercemar kalo lo yang nuntut."

"Dan bagaimana dengan nama baik keluarga saya? Apakah nggak pernah kamu mikirin tentang nama baik keluarga saya saat kamu ingin berpisah dari saya?"

Aruna bersedekap.

"Nggak akan sebesar efek yang dirasakan keluarga gue."

Iya. Aruna dan keluarga yang sangat terpandang. Sangat disayangkan rasa malu yang akan mereka rasakan. Aruna mungkin sudah lupa, bahwa keluarga mereka terdiri dari manusia-manusia yang memiiki perasaan dan harga diri. Jelas, mereka sedang disepelekan keberadaannya.

Strata tinggi sosial ekonomi selalu bernilai prestisius.

Damar menunduk dalam-dalam. Ia tidak bisa berpikir jernih. Yang ia inginkan sekarang hanya menyelesaikan makan siang, lalu kembali ke kantor dan bekerja sampai seluruh tubuhnya merasa lelah.

"Jika saya meminta kamu menunda perceraian ini, apa kamu bisa mengabulkannya?" tanya Damar dengan suara pelan.

Aruna tidak menjawab. Ia memilih mengemasi tasnya.

"Sebenarnya. Malam nanti adalah jamuan makan malam untuk merayakan ulangtahun saya." Damar tersenyum. "Dan saya tidak mungkin bisa pergi ke rumah orangtua saya seorang diri. Mereka pasti sedih mendengar kabar ini."

Aruna menyelempangkan tas kemudian beranjak dari duduk.

"Jemput gue kalo begitu."

***

"Ada Nak Aruna. Paaak, Bapaaak. Damar sama Aruna udah datang. Waah. Akhirnya bisa ngumpul semua."

Aruna mengernyitkan kening saat ibu Damar merangkul pinggangnya.

Ia tidak nyaman dengan keramahan itu. Ia tidak terbiasa.

"Ayo langsung ke meja makan aja,"

Kini ayah Damar yang menyambut mereka.

Mengapa mereka harus bersikap sebaik dan sehangat ini?

Hatinya berontak dan mencelos.

Akan lebih mudah memutuskan hubungan kekeluargaan ini jika keluarga mereka adalah keluarga yang berantakan dan saling memaki dan menyakiti satu sama lain.

"Duduk di sini, ya Aruna? Daisy? Daisy? Kamu di mana? Ambil kerupuk udangnya. Tadi ketinggalan di dapur."

Suara lemah lembut ibu Damar menyesakkan di dadanya. Aruna tidak bisa menatap wajah ayu perempuan itu lebih lama.

Wajah keibuan yang ia tunjukkan, kehangatan dan keramahan saat menjamu mereka di meja makan. Semuanya terasa menyenangkan.

Tapi baginya terasa menyakitkan.

"Hari ini Damar tepat berusia 30 tahun. Acara spesial karena, karena untuk pertamakalinya, acara ini dirayakan bersama seorang isteri."

Bukan Damar yang berbicara, tapi Bapak.

Bapak adalah sapaan yang sangat tradisional. Saat pertamakali mengucapkannya, rasanya aneh. Lama-lama, malah ia menyukai sapaan tersebut. Lebih baik daripada sapaan lain. Papa, misalnya.

"Bagaimana nasi kuningnya, Nak Runa?"

"Enak, Bu," jawab Aruna datar.

Damar yang duduk di sampingnya menyendokkan makanan berkali-kali tanpa suara. Sejak menjemputnya di rumah, laki-laki itu memilih diam.

Apakah keputusan yang diambilnya terlalu cepat? Karena sepertinya, Damar tidak menyukainya.

Bukan sepertinya lagi.

Damar sudah pernah mengatakan tentang impiannya akan sebuah pernikahan yang langgeng.

Ia tidak akan pernah lupa, bagaimana Damar seolah menegaskan bahwa ia hanya ingin menikah sekali seumur hidup.

Sewaktu pertamakali Aruna mengatakan ingin bercerai, Damar tidak langsung menyetujuinya. Damar memintanya memikirkan soal perceraian itu sekali lagi.

Shock therapy itu berguna juga ternyata.

Pancingannya sepertinya berhasil.

Setelah ini, Damar pasti akan membujuknya pulang ke rumah.

"Oh, ya. Ibu hampir lupa. Ada undangan pernikahan di Jogja. Damar, kamu masih ingat Rizki, anaknya bude Lasmi?"

"Ingat, Bu."

"Kalian bisa kan datang ke acaranya? Ibu sama Bapak juga mau pergi. Nggak enak kalau hanya kami saja yang pergi. Waktu kalian menikah, mereka sekeluarga dateng lho."

"Iya, Bu."

Damar begitu mudah mengiyakan. Lalu bagaimana dengan dirinya?

"Nak Runa bisa ikut juga kan? Acaranya hari Sabtu dan Minggu. Tapi nggak pa-pa kalau datengnya hari Minggu saja. Biar Ibu sama Bapak duluan berangkat hari Jumat."

"Saya nggak...,"

"Pasti kami akan datang," ucap Damar mantap.

"Saya ada acara...,"

"Hari Sabtu. Saya sama Runa berangkat hari Sabtu." Damar kembali memotong perkataannya.

Sejak kapan Damar membuat keputusan tanpa persetujuannya?

Apakah ini cara Damar membalas keinginannya untuk bercerai?

Saat menemukan momen yang tepat, Aruna mengkonfrontasi Damar.

"Maksud lo apa, hah?"

Damar mengunyah kerupuk udang dengan santai. Kontras dengan dirinya yang kini mulai diselimuti kekesalan.

Damar beranjak meninggalkan meja makan tanpa menghiraukannya. Ternyata langkah Damar mengarah ke kamarnya. Saat Aruna menyusul masuk, Damar sedang menyetel pendingin udara.

"Kamu nggak bosan selalu nolak datang ke undangan sama saya?"

"Ngapain? Gue nggak ngerasa punya kewajiban untuk itu."

"Ya, karena kamu memang nggak pernah bisa menghargai sesuatu yang sakral seperti pernikahan. Makanya, kamu selalu merasa nggak punya kewajiban apa-apa selama menjadi isteri saya."

"Lo juga udah tau kalo pernikahan ini bukan hal serius buat gue. Dan berhenti nyebut gue isteri lo."

"Kalau begitu, mulai sekarang, saya bakal ngasih pemahaman sama kamu bagaimana sakralnya sebuah pernikahan."

"Gue nggak butuh."

"Kamu tetap harus dengar."

"Apa sih?! Gue udah cukup buang-buang waktu gue dateng ke makan malam ini dan sekarang lo malah gunain kesempatan ini buat ceramahin gue."

"Dimulai dari ijab kabul. Ketika saya mengucapkannya, saya yakin jika saya sanggup membimbing kamu dan bertanggungjawab kepada kamu, kepada pernikahan ini dan kepada anak kita nanti."

"Gue nggak mau dengar."

"Saat itu, saya memantapkan hati saya bahwa saya menginginkan pernikahan ini bertahan sampai maut memisahkan."

Aruna menutup kedua telinganya. Namun, Damar menurunkan kedua tangan yang menutupi telinganya. Sedikit memaksa, sampai Aruna terpaksa mendengarkan.

"Saya nggak pernah mau berpisah. Sekalipun saya tidak bisa mencegah kamu, tapi saya berharap kamu bisa menyadari keangkuhan kamu, dan memperbaiki semuanya sebelum terlambat."

"Gue pikir lo benci sama gue."

"Saya benci sama sikap kamu yang mempermainkan pernikahan ini di saat saya sungguh-sungguh ingin menjalaninya dengan serius."

"Lo nggak suka sama gue."

Damar tersenyum datar.

"Kalau saya nggak suka sama kamu, saya nggak akan menerima perjodohan ini." Lalu menolehkan kepala sebelum kembali memandangnya. "Meskipun akhirnya saya harus kecewa karena ternyata perasaan saya nggak ada artinya buat kamu."

***

Aku ga tau apakah masih banyak dari kalian yang menantikan kelanjutan cerita ini. Tapi semoga ya.

Jadi naskah ini aku sisihkan kurang lebih sebulan lamanya, karena fokus ke LMH. Excited sih, karena aku ga nyangka bisa produktif nulis lagi. 

Kalau suka silakan vote dan comment. Ga pake target2 kok, buat lanjut ke part berikut. Tapi kalo rame, kan aku senang :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage