FTSOL #8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

FTSOL #8

"Whatever is done for love always occurs beyond good and devil."

-Friedrich Nietzche-

*
*
*

Siapapun yang Damar panggil dengan sebutan 'Yang', ia tidak peduli. Mengesalkan, mengapa telinganya jadi berdenging seusai mendengarnya? Bisa dibilang ia alergi terhadap sebutan semacam itu.

Why the hell orang-orang masih menggunakan sapaan sekuno itu. Benar-benar jadul sekali. My sweet pumpkin, or pumpkin, or cutie pie, sepertinya terdengar rada mendingan deh.

Sebenarnya siapa sih Damar ini? Laki-laki kampungan?

Aruna tidak bergerak sama sekali sampai Damar kembali ke tempat duduknya yang begitu nyaman. Sofa bermotif bunga sakura pink keunguan berharga sangat mahal, didatangkan langsung dari Jepang melalui sebuah lelang amal. Dulu, sofa itu milik seorang seniman lukis Jepang, entah siapa namanya. Mama menunjukkan gambar sofa berwarna dasar putih itu kepadanya dan Aruna langsung menyukainya. Sekalipun ia tidak begitu antusias dengan riwayat sofa mahal itu.

Akh, gara-gara telepon tadi, ia jadi susah tidur.

Setelah domba yang ke 129, Aruna berhenti menghitung. Ia memilih bangun.

Ia harus melakukan sesuatu untuk mengembalikan tidur lelapnya. Bukan lagi menghitung domba. Mungkin ia akan mulai menghitung semut sambil menghirup udara segar di balkon.

"Bisa nggak sih, lo kerja tapi nggak gangguin tidur gue?" Aruna mengikat tali di bagian pinggang pakaian tidur berbahan satin yang ia kenakan. Ia mengais sandal dan berjalan gontai penuh kemalasan menuju balkon.

"Apa saya harus minta maaf?"

Aruna malas menjawab. Didorongnya daun pintu ganda yang menghubungkan kamar dan balkon. Udara dingin seketika itu juga menyergap, menembus pori-pori kulit.

Rasanya segar.

***

Suara deringan ponsel yang tadi berbunyi di ruang meeting ternyata berasal dari dalam tas laptop miliknya. Damar mengira ia telah menonaktifkan ponselnya. Mungkin karena terburu-buru, ia tidak memastikan sekali lagi bahwa ponselnya benar-benar sudah dalam keadaan mati.

Sebenarnya sore itu ia masih harus memeriksa laporan yang masuk pagi tadi. Ada sedikit kekeliruan data proposal pembelian bulan ini yang dibuat oleh staf divisinya. Membuat laporan pembelian menjadi bagian tugas Purchasing, divisi yang ia bawahi. Sebagai eksekutif, ia dituntut untuk sangat teliti memeriksa perencanaan pengadaan yang dibuat oleh divisinya. Sehingga ia harus memastikan proposal pembelian bulan ini tidak terjadi kesalahan sebelum ia tandatangani.

Saat sedang bekerja itulah, sebuah nomor telepon asing tiba-tiba menyasar ke ponselnya. Panggilan pertama ia abaikan. Ia baru mengangkatnya setelah nomor baru itu mengirimkan whatsapp jika ia adalah Eryk.

Eryk memintanya datang ke sebuah cluster karena Aruna berada di sana. Eryk mengatakan jika Denise mendapat perlakuan kurang menyenangkan saat bertemu dengan Aruna di klinik beberapa hari lalu. Dan hari itu, Aruna datang lagi ke rumahnya.

Saat tiba di rumah Eryk, ternyata Aruna sudah tidak berada di sana. Damar menelepon berulangkali dalam perjalanan pulang. Akhirnya Aruna menjawab kalau ia sudah berada di rumah.

Pemandangan Aruna tengah merokok di ruang tengah, adalah hal pertama yang ia temukan saat tiba di rumah. Ia terlalu lelah untuk menginterogasi Aruna. Namun, ia tidak bisa membiarkan tindakan Aruna semakin berlanjut.

"Cuma gertak dikit doang. Dianya aja yang cengeng."

"Kamu masih ngejar dia dan sekarang kamu berani menyakiti isterinya."

Menurut laporan Eryk dan Denise, Aruna sempat menampar dan menarik tangannya saat Denise mencoba menelepon Eryk, hingga menyebabkan bekas di pipi dan pergelangan tangan serta siku Denise. Mereka bisa saja melaporkan hal tersebut. Namun, mereka masih beritikad baik dengan memberitahunya untuk membantu menyelesaikan masalah di antara mereka. Ia sampai harus meminta maaf dan menanggung malu karena tindakan itu dilakukan oleh isterinya sendiri.

"Memangnya kenapa kalau gue masih ngejar-ngejar Eryk?" Aruna mengedikkan bahu. "Oh. Lo malu ya karena tindakan gue?"

"Saya malu atau nggak, itu nggak penting. Saya hanya ingin kamu bisa mengontrol sikap kamu."

Aruna menggeram. "Ah. Cerewet."

"Kenapa nggak lepasin perasaan kamu ke dia dan memulai hidup baru yang lebih damai dan tenteram?"

"Dengan siapa? Dengan kamu, huh?"

"Nggak harus dengan saya, asalkan orang itu bisa jaga kamu dan bikin kamu bahagia. Kalaupun orang itu adalah Eryk, pastikan dia sudah tidak lagi bersama Denise. Denise sedang mengandung anak mereka, Aruna. Mereka begitu bahagia. Apa kamu tega merusak kebahagiaan mereka demi keegoisan kamu?"

Aruna enggan melihat Damar. Ia muak mendengar lebih banyak lagi nasehat dari laki-laki sok tahu itu.

Sebenarnya siapa yang egois? Dirinya atau Eryk dan keluarganya?

Ia sudah cukup berduka. Mengapa masih saja ia yang disalahkan?

"Kalau kamu ngelakuin sesuatu yang membahayakan Denise, saya yang akan ikut pasang badan melindungi dia."

Ia tidak pernah punya keberanian untuk melakukan tindakan yang bisa mencelakai Denise. Oke, mungkin ia kelihatannya berpotensi melakukan tindakan yang dikhawatirkan oleh Damar. Ia masih cukup waras untuk melakukan tindakan-tindakan bodoh.

Ia memang dikenal sebagai penyihir jahat. Namun, kemarahannya tidak akan ia gunakan untuk "menyihir", menyakiti atau melenyapkan nyawa orang lain.

Bagaimanapun, ia masih punya perasaan. Jika ia tidak punya perasaan, ia tidak akan mencintai Eryk sebesar itu, hingga tidak memedulikan keadaan Eryk yang telah menikah.

Apalagi Eryk akan membencinya jika ia bertindak gegabah.

Akan lebih baik jika pernikahan Eryk diakhiri oleh Eryk sendiri.

"Lo nggak tau apa yang lo omongin." Aruna mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja makan dan berbalik ke kamar untuk mengambil dompet.

"Kamu mau ke mana?"

"Mau mati!!!" jawab Aruna asal.

"Saya suami kamu dan saya nggak ngijinin kamu pergi."

Aruna mendengus.

"Jangan sok kuasa deh. Ingat tujuan gue nikah sama lo! Nggak tau diri lo ya?" Aruna bahkan mendorong tubuhnya menjauh.

Tubuh Damar gemetar menahan amarah. Kedua tangannya bahkan sudah terkepal di sisi tubuhnya.

"Kalau kamu memang sebenci itu dengan keberadaan saya, biar saya yang pergi."

"Nggak perlu." Aruna menolak. "Ini rumah lo. Bukan lo yang harus pergi, tapi gue."

Damar memberikan alternatif lain. "Kamu mau ke mana? Biar saya antar. Saya nggak akan biarin kamu pergi sendiri. Kalau kamu mau marah, kita bisa bicarakan hal itu belakangan."

"Gue pengen pergi sendiri. Kenapa lo harus ngantar gue?"

"Kamu masih tanggungjawab saya. Saya hanya nggak mau terjadi sesuatu sama kamu dan saya nggak mengetahuinya."

"Baik." Aruna mengulurkan kunci mobil di tangannya. Namun, Damar menolak.

"Kita naik mobil masing-masing."

"Oke." Aruna mengangguk.

***

Aruna berdiri sambil bertolak pinggang.

Apa yang akan ia lakukan sekarang? Ia kini sedang berada di rumahnya seorang diri tanpa seseorang yang menemani.

Rumah itu terlalu luas untuk dirinya sendiri.

Aruna membeli rumah itu empat tahun lalu. Saat itu, ia telah memiliki unit apartemen sebagai tempat tinggal. Tergiur dengan konten properti di salah satu kanal youtube menerbitkan keinginannya untuk memiliki hunian lebih luas. Rumah dalam arti yang sesungguhnya.

Sebelum menjatuhkan pilihan kepada rumah bergaya minimalis itu, Aruna telah melihat-lihat beberapa alternatif pilihan hunian di lokasi lain. Beberapa properti yang ditawarkan kepadanya, masing-masing memiliki kelebihan, baik dari segi lokasi, model, luas bangunan hingga harga. Rumah itu ia pilih karena memiliki semua keunggulan yang ia inginkan, meskipun untuk urusan harga memang tidak bisa berbohong. Harga mahal tentu sebanding dengan fasilitas yang ia dapatkan.

Singkatnya, ia sangat menyukai rumah itu.

Aruna bahkan memiliki rencana jangka panjang terhadapnya. Ia ingin menjadikan rumah itu sebagai bagian dari masa depan, bersama laki-laki yang kelak akan mendampinginya sampai tua.

Dan laki-laki itu jelas adalah Eryk.

Atau mungkin saja Eryk.

Ah. Pasti Eryk. Memangnya siapa lagi?

Atau bisa saja ada alternatif lain?

Aruna menggelengkan kepala ketika bayangan seseorang berkelebat dalam ingatan.

Tidak mungkin dia.

Tapi apa sih hal di dunia ini yang tidak mungkin terjadi? Rencana bisa dibuat oleh manusia. Namun, keputusan akhir tentu saja adalah milik Sang Pemberi Nyawa.

Astaga. Mengapa ia jadi sok filsuf begini sih?

Sepertinya ini saat yang tepat untuk menghubungi Ira. Ia butuh teman untuk membantu menjaga pikirannya supaya tetap waras.

Selain Ira, tidak ada lagi sahabat lain yang ia miliki. Hidupnya memang semenyedihkan itu, huh?

Ya. Sekarang juga, ia harus menghubungi Ira. Butuh waktu sekian menit untuk Ira mengangkat teleponnya.

Ketika suara Ira terdengar, Aruna merasa lega. Ira meminta maaf karena tadinya, ia sedang bekerja dan ponselnya dalam mode diam.

"Hah? Lo di rumah Lebak Bulus? Serius lo tinggal di sana? Sendirian? Damar mana?"

Rentetan pertanyaan Ira tidak ia antisipasi sebelumnya. Ia lupa memberikan penjelasan di awal tentang kondisinya saat ini.

"Lo sama Damar nggak kenapa-napa kan? Kalian nggak cerai kan?"

"Belumlah. Kalo gue cerai, pasti gue hubungin lo buat ngerayain sambil clubbing."

Aruna tertawa pada dirinya sendiri. Namun, respon Ira terasa kering.

"Jangan ngomong gitu dong ah. Gue nggak suka tau nggak, Run? Gue doain lo siang malam biar lo langgeng sama Damar."'

Aruna berdehem. Ia jadi merasa bersalah telah tertawa untuk sesuatu yang menurut Ira sangat tidak lucu.

"Emang lo sesibuk itu doain pernikahan gue?"

"Iya. Karena gue tau kualitas ibadah lo payah banget. Kalo bukan gue sama orang tua lo yang doain, menurut lo siapa lagi?"

"Setan lo ya?" umpat Aruna.

Tanpa ia sangka malah Ira tertawa.

Emang minta dicincang ya nih anak satu?

"Gue sama Damar lagi gencatan senjata, kalo itu yang ingin lo dengar."

"Ah, bukannya gencatan senjata atau nggak, hubungan lo sama dia kan tetap gitu-gitu aja kan? Kaya grafik GLBB yang bisa diperlambat atau dipercepat."

"Buset. Lo masih inget aja pelajaran SMA."

"Ya mau gimana lagi? Kan gue dulunya paling jago urusan Fisika."

"Ih, brag yourself aja teroos."

Aruna lantas segera mengakhiri pembicaraan dengan Ira, menegaskan kepada Ira untuk segera datang menemaninya. "Jangan lama. Lo bawa pakaian lo deh."

"Ih dasar suka maksa?" Ira terdengar jengkel. Namun, ia lalu melanjutkan ucapannya. "Lo mau gue bawain makanan?"

"Bawain nasi Padang."

"Yah, lo. Tadi siang gue makan nasi Padang. Gue pesan yang lain deh buat makan malam gue. Gue pengen masakan Jepang."

"Ya ngapain lo nanya gue kalo gitu?" Aruna mendengus. " Terserah lo deh. Gue ngikut aja."

"Eh?"

"Kenapa?"

"Lo kesambet apa gimana, Run? Biasanya lo kalo udah bilang A yang mesti A. Tadi lo pengen nasi Padang kan? Ntar gue beliin."

Aruna merenung. "Emang gue separah itu ya?"

Ia bisa merasakan saat ini Ira sedang mengangguk pelan kepadanya.

Aruna tanpa sadar membuang napas.

"Nggak usah. Gue nggak mau lo kelamaan mesti singgah di dua tempat cuma buat pesan makanan."

"Serius deh, Run. Ini bukan lo banget."

"Biasa aja deh."

"Jujur deh. Sejak nikah sama Damar, lo berubah jadi sedikit lebih baik."

Catat ya. Sedikit lebih baik.

"Ah, lo ngomong apa sih? Udah ah, buruan. Keburu laper gue."

Aruna mengakhiri telepon dengan Ira sebelum Ira sempat bicara lebih banyak. Omongan sahabatnya itu sudah mulai melantur, ia harus segera menghentikannya sebelum semakin melebar ke mana-mana.

Kata-kata Ira barusan sedikit menyita perhatian Aruna.

Ia? Berubah jadi sedikit lebih baik?

Bagaimana Ira bisa mengambil kesimpulan dengan begitu mudah? Apa yang Ira lihat sehingga kesimpulan semacam itu tercetus darinya?

Tidak mungkin ia jadi orang baik.

Ia masih menjadi orang jahat.

Buktinya, ia dan Damar sampai harus bertengkar sebelum ia pindah untuk sementara waktu ke rumah itu. Buktinya, ia selalu memandang Damar sebagai seorang musuh yang harus ia benci?

Bukankah orang baik tidak akan bersikap seperti yang ia perbuat selama ini?

***

Damar mengusap-usap tengkuk yang terasa menegang akibat berjam-jam lamanya bekerja di depan laptop? Tidak hanya itu, karena ia merasakan matanya terasa perih.

Mungkin saatnya berhenti.

Selain karena lelah, perutnya pun terasa lapar.

Untuk sekian kali, ia harus melalui waktu dalam kesendirian.

Ia membuang napas saat matanya tidak sengaja menatap foto pernikahan yang terpajang di dinding.

Oke. Ia memang sengaja menatapnya.

Untuk alasan apa? Ia sendiri tidak tahu.

Damar selalu menyukai konsep yang berhubungan dengan keluarga. Family.

Family is a home.

Keluarga adalah rumah.

Keluarga adalah tempat untuk pulang setelah menempuh hari-hari yang melelahkan.

Ia berpikir "rumah" yang ia bangun kali ini adalah sebuah hal besar yang mungkin akan terjadi dalam hidupnya.

Ia mungkin bahagia karenanya.

Atau mungkin terluka karenanya.

Tidak. Keluarga tidak pernah saling menyakiti. Keluarga selalu saling membahagiakan dan menguatkan satu sama lain.

Mungkin ia saja yang terlalu berharap dari pernikahan ini sementara yang ia tahu, pernikahan ini ibarat pasir yang ia genggam di tangannya. Semakin kuat menahannya, semakin sulit menjaganya tetap dalam genggaman.

Mengapa harus berjuang untuk sesuatu yang ia tahu tidak bisa diperjuangkan lagi?

Damar memandang kosong ke dinding pantri. Ia mengambil peralatan masak untuk mengolah sendiri menu praktis untuk makan malam.

Sebutir telur ia pecahkan di atas wajan berisi minyak yang mulai panas. Proses yang begitu instan menjadikannya sebentuk telor ceplok yang rasanya sangat nikmat meskipun hanya dilumuri kecap. Dimakan dengan nasi hangat. Rasanya cukup untuk jadi menu makan malam.

Sambil menikmati makan malam, ingatannya mulai mengembara ke masa lalu.

Damar sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Sebagai anak sulung, laki-laki pula, ia dituntut untuk selalu jadi sosok yang bertanggungjawab. Ia merasakan semakin mandiri setelah menempuh bangku kuliah. Proses bekerja, menempanya menjadi sosok yang berdedikasi pada pekerjaan. Segera setelah menerima gaji pertamanya, ia mulai memikirkan rencana di masa depan. Menabung untuk membeli rumah dan memiliki seorang isteri. Ia nyaris tidak pernah memikirkan tentang asmara sejak kuliah hingga bekerja. Seolah waktunya habis hanya untuk memikirkan menjadi orang sukses. Setelah memiliki kehidupan yang cukup mapan, ia akan mulai memikirkan untuk mencari pendamping hidup.

"Bu. Kalau aku sudah nikah nanti, Ibu ga pa-pa kan aku tinggalin bertiga sama bapak sama Daisy?"

"Ya mau gimana lagi? Ibu sebenarnya berat melepas kamu, tapi Ibu tahu sekarang kamu punya tanggungjawab besar, yaitu menjaga isteri kamu dan anak-anak kamu nanti. Sing sabar ya sama keluarga kamu nanti? Jaga isteri kamu baik-baik."

"Iya, Bu."

Masih terbayang wajah bahagia bapak, ibu, adiknya, keluarga besarnya, dan ia malu mengakuinya. Namun, ia sangat bahagia di hari pernikahannya. Ia tidak henti mengagumi sang isteri yang begitu cantik dalam balutan kebaya putih dan hiasan siger serta melati di kepalanya. Memiliki seorang isteri, hidup yang cukup mapan, mertua yang baik. Apalagi yang bisa ia minta kepada Tuhan?

Seharusnya tidak ada yang patut ia curigai saat Aruna menolak disentuh saat malam pertama mereka.

"Kamu mau mandi dulu?" tanya Damar dengan suara selembut mungkin. Ia tahu, mungkin ia sangat payah untuk urusan asmara. Tapi paling tidak, ia ingin memberikan kesan baik bagi Aruna yang kini resmi berstatus sebagai isterinya.

Aruna tidak menjawab. Ia hanya membalikkan badan dan mulai melepaskan tiara di kepalanya.

"Aku nggak tau kalo resepsi bisa jadi ngebosenin seperti ini. Capek banget lagi mesti senyum mulu. Mana capek, berdiri mulu lagi."

Ia mendengar gumaman Aruna. Tepatnya omelan.

"Yang namanya pesta pernikahan ya sudah seperti itu." Damar berdiri kikuk di belakang Aruna, antara ingin membantunya melepaskan pakaian atau sekadar memeluknya.

Aruna berbalik hingga kini menghadapnya.

"Kamu ngapain bengong? Duluan aja mandi. Aku masih lama. Mesti berurusan sama gaun ini. Sama make-up...,"

Damar menarik tubuh Aruna mendekat. Ia bermaksud mencium kening Aruna.

Mereka bisa mandi setelah melalui malam pertama itu bersama. Namun, ia tidak tahu bagaimana mengatakannya. Bibirnya terlalu kaku. Malah, ia merasakan telapak tangannya mulai mendingin.

Ia tidak punya pengalaman bercinta sama sekali.

"Jangan dulu."

Tubuh Aruna menunjukkan penolakan. Kedua tangan Aruna melepaskan dekapannya tanpa permisi.

"Kamu nggak mau kita...bercinta malam ini?"

Damar mengaduh dalam hati saat berhasil mengucapkannya.

Aruna tersenyum masam.

"Aku capek. Abis mandi palingan langsung tidur," ujarnya ringan.

Damar tersenyum mendengar jawaban Aruna. Isterinya mungkin saja masih merasa malu sehingga menolaknya. Ia pernah membaca artikel tentang sifat pasangan menghadapi malam pertama. Salah satu karakter yang disebutkan dalam artikel mungkin merujuk kepada sikap Aruna saat ini.

Prasangka Damar kepada Aruna selalu baik sejak mengenal hingga menikahinya. Aruna mungkin tidak bersikap lemah lembut seperti putri keraton. Untuk ukuran seorang anak pengusaha terkemuka, sikap Aruna jelas masih bisa ia tolerir.

Namun, ternyata Aruna memang tidak pernah menginginkannya. Setelah menolaknya di malam pertama, sikap kasar Aruna berlanjut saat bulan madu, hingga pernyataan Aruna tentang rencananya terhadap pernikahan mereka beberapa bulan lalu semakin menegaskan bahwa Aruna hanya ingin mempermalukannya.

Apa salahnya kepada Aruna hingga Aruna melakukan hal ini kepadanya?

Apakah ia terlalu lemah sebagai seorang laki-laki?

Atau apakah ia terlalu polos dalam menilai sikap seorang perempuan sehingga tidak bisa membaca watak Aruna?

Atau memang sudah seperti ini mekanisme takdir?

***

Yuhuu bisa update lagi. Kasih vote dan komen ya kalau suka :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage