FTSOL #7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


FTSOL #7

*

*

"Tante Aruna kok diem aja sih?" tanya Kayla sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Eh. Apa, Sayang?" Aruna menyambut tangan mungil Kayla yang tadi menarik-narik ujung celana pendeknya.

"Aku pengen diajarin manjat pohon, tapi tante nggak dengerin," gerutu Kayla.

Aruna menggelung asal rambutnya dan memerhatikan bibir Kayla yang manyun. "Nayla mana?"

"Udah masuk ke rumah. Minum susu." Kayla menarik-narik lagi celananya. "Ayo manjat, Tante."

"Emang Tante pernah bilang mau ngajarin Kayla manjat pohon?"

"Iyaah!" Kayla mengangguk kuat-kuat.

"Nanti aja ya?"

"Ih, kenapa nanti? Kayla maunya sekarang."

Aruna merendahkan tubuhnya dan mengusap kepala Kayla. "Nanti papa sama mama kamu lihat gimana? Tante bisa dimarahin. Eh, nggak cuma Tante yang dimarahin. Tapi kamu juga. Ntar kamu dijewer, paha kamu dicubit, gimana?"

Kayla menggeleng. "Papa sama mama nggak pernah jewer sama cubit. Tante emang suka gitu?"

Seharusnya Aruna tidak mengatakannya. Saudara dan iparnya itu terlalu sayang kepada anak-anaknya.

"Kalau anak nakal ya pasti dijewer sama dicubit, Kayla."

"Aku nggak nakal jadi nggak dijewer." Kayla seolah sedang mengejeknya.

Ah. Anak ini pasti belum pernah mengalami sanksi karena tindakan indisipliner. Ia dulunya sering mengalaminya sebelum kehidupannya berubah drastis seperti sekarang.

Sebelum keluarga ini mengadopsinya.

"Ah, iya ya? Kamu kan anak manis." Aruna mencubit kedua pipi gembul Kayla. "Anak manis nggak boleh manjat pohon."

"Kenapa, Tante?"

"Karena anak manis itu kerjanya hanya makan permen, cokelat dan es krim." Kayla membulatkan kedua matanya. Aruna lalu melanjutkan. "Kamu mau tahu, kenapa Tante suka manjat pohon waktu kecil?"

"Hmm. Kenapa, Tante?"

"Karena Tante takut dijewer sama dicubit."

"Kakek sama nenek baik kok. Siapa yang jewer Tante?"

Aruna menelan ludah. Mengapa anak kecil ini begitu banyak bertanya?

"Ada setan jahat yang suka jewerin anak kecil. Kamu mau tau ceritanya? Hihihihihi." Aruna mengangkat kedua tangannya, dengan lagak seolah sedang menakut-nakuti Kayla.

"Aaaaak!!" Kayla memekik nyaring.

Cepat-cepat Aruna menutup mulutnya, sebelum suara cempreng itu terdengar sampai ke dalam rumah.

"Sshh."

Kayla memeluknya kedua kakinya kuat-kuat.

"Aku takut, Tante."

Aruna pelan-pelan melepaskan kedua tangan Kayla di kedua kakinya.

Anak ini mungkin belum cukup kuat menghadapi kehidupan yang begitu keras, karena ia terlahir dalam keluarga mapan dan penuh kasih sayang. Ia tidak pernah merasakan tangan-tangan jahat yang sewaktu-waktu bisa menyakiti bahkan merenggut nyawanya.

Ia punya banyak orang yang sayang padanya, dan melindunginya bahkan jika harus mengorbankan nyawa.

"Kenapa harus takut setan, kalau manusia jauh lebih menakutkan?"

Kayla tentu saja belum memahami lebih jauh makna kalimat itu. Ia masih terlalu kecil. Anak seusia dirinya hanya perlu merisaukan popok yang basah dan botol susu yang telah mengering. Itupun jika mereka menganggap hal-hal remeh seperti itu adalah masalah. Mereka hanya bisa mengerang marah tanpa peduli alasan-alasan di balik ketiadaan popok, susu, bahkan pelukan hangat. Mereka hanya tahu bahwa mereka adalah prioritas. Mereka masih kecil. Anak kecil tidak pernah punya salah dan dosa. Anak kecil hanya tahu bahwa mereka harus dilindungi dan disayangi.

Kayla membenamkan diri ke dalam pelukannya. Ia tidak mau berjalan, dan meminta Aruna menggendongnya.

"Kamu sadar nggak sih, kalo kamu itu udah gede? Kamu gendut, nggak boleh minta gendong," umpat Aruna. Namun, ia akhirnya menggendong Kayla meskipun bobot tubuh anak itu nyaris mematahkan lengan dan bahunya.

"Nggak boleh bilang gendut. Nanti sakit." Kayla mengingatkan.

"Emang kamu gendut. Montok. Gembul."

Kalya menjerit histeris sampai-sampai Aruna harus membujuknya untuk diam dengan alasan ia hanya sedang bercanda.

Ia sedang melakukan body shaming.

Tentu saja Kalya tidak akan mengerti.

***

Damar mendengar lengkingan suara Kayla dari arah halaman belakang. Lengkingan marah, tepatnya.

"Tante Aruna jahat!" Kayla terlihat sedang menarik-narik rambut Aruna.

Ada apa lagi ini?

Ia meninggalkan sejenak Nayla yang sedang menikmati biskuit beserta segelas susu hangat. Nayla memeragakan tingkah polah anak kecil di salah satu iklan biskuit, dengan jargon diputer, dijilat, trus dicelupin.

"Auw! Kayla! Awas ya, aku aduin ke papa mama kamu. Biar kamu dihukum!" Aruna terdengar meringis karena Kayla menarik lagi rambutnya. "Oh,shit! Dasar anak durha..."

Ck.

"Sama Om aja, gimana?"

Damar mencoba membujuk Kayla yang masih betah bergelantung di punggung Aruna. Ia meneriaki Aruna, tapi ia pun enggan turun dari gendongan piggy back-nya.

"Nggak mau. Tante Aruna kan jadi kuda sekarang. Kudanya bandel. Nggak mau lari."

"Kudanya capek, Kayla. Turun, gih." Aruna mencari sofa terdekat untuk menurunkan Kayla. Ia lalu merapikan rambutnya yang berantakan.

Damar hanya bisa menggeleng-geleng menyaksikan kelakuan Aruna dan keponakannya. Masih mending sekarang Arjuna tidak berada di sana. Arjuna sudah diamankan oleh orangtuanya dibantu ART karena mencoba melanjutkan aktivitas menggunting Aglaonema di halaman depan. Anak itu kelihatannya tenang, tidak banyak bicara, namun tangannya diam-diam telah berbuat kejahatan.

Ia tidak heran, jika ada yang mengatakan kelakuan Arjuna itu adalah turunan dari Aruna. Bahkan nama mereka pun mirip.

"Mau Om ambilkan susu hangat?" tanya Damar kepada Kayla setelah ia yakin anak itu sudah lebih tenang.

"Iyaah."

Damar membimbing Kayla duduk di samping Nayla. Ia lalu mengambil gelas dan menuangkan susu yang tersedia di sebuah wadah terbuat dari kaca. ART menyiapkan empat buah gelas dan stok susu yang cukup melimpah.

"Gue nggak ditawarin?" tanya Aruna yang saat itu sedang duduk di sebuah single sofa.

"Kamu bisa ambil sendiri kalau mau."

Jawaban Damar dibalas Aruna dengan wajah mencibir.

"Lo pasti bisa jadi sosok ayah yang baik untuk anak-anak lo nanti." Aruna menggelung rambut. "Atau mungkin lo cukup potensial buat jadi nanny."

Entah Aruna sedang menyindir atau tulus memuji.

Namun, sepertinya dua-duanya.

"Bukankah semua ayah ingin jadi sandaran terbaik bagi anak-anaknya?" tanya Damar. "Lalu, apa ada yang salah dengan menjadi seorang nanny?"

Aruna mencolek krim putih di atas sekeping biskuit. "Lo mau jadi ayah pekerja atau family man yang selalu punya waktu untuk keluarga?" Lalu menjilati krim dengan gaya sensual. "Manis. Lo pasti milih pilihan kedua. Bukannya lo pengen selalu terlihat sempurna di mata orang lain? Ntar wajah innocent lo muncul di sampul majalah, dengan headline kaya gini. Seorang pengusaha sukses Damar Abhinaya akhirnya memilih menjadi bapak rumahtangga seutuhnya. Oh, kayanya terdengar terlalu cheesy. Atau kaya gini. Mungkin lo nggak muncul di headline karena nggak sehebat itu juga."

Damar tahu, Aruna sedang ingin memancing kemarahannya. Seperti ular, lidahnya meneteskan liur yang berbisa.

"Atau di kolom hobi. Pengusaha Damar Abhinaya, ternyata menghabiskan waktu weekend-nya hanya bersama keluarga. Bisnis itu penting, tapi keluarga tetap nomor satu." Aruna menggigit biskuit, lalu menghela napas. "Ah, kenapa gue bakal ngerasa envy karena bukan gue yang nantinya bakal mendampingi kesuksesan lo. She must be very lucky to have you as a husband."

"And she is must be you, right?"

Aruna menaikkan satu alisnya. "Ah, gue lupa. Lo cuma pengen nikah sekali ya? Perempuan itu pasti gue."

"Amin."

Aruna mendesis. "Lupakan. Ngapain lo aminin?"

"Kamu nggak tau yang namanya kualat? Menjilat ludah sendiri?" Damar merasakan dadanya menggelegak. Ia mengatakan apa yang tidak ia inginkan terjadi.

"Kenapa? Apa lo mulai jatuh cinta sama gue? Sayang banget kalo lo harus bertepuk sebelah tangan."

Damar mengangguk. "Kenapa nggak?"

Aruna tertawa. "Astaga, Damar. Lo emang udah jatuh cinta sama gue?"

Damar mengangguk lagi. "Ya. Apa kamu keberatan?"

***

Laki-laki sialan itu sedang mabuk.

Atau ia yang sedang mabuk?

Mabuk susu, tepatnya.

Gue bakal bunuh lo, Damar. Lo liat aja nanti. Gue bakal bunuh lo.

"Damar bisa jadi GM di anak perusahaan papa yang baru."

"Setuju," kata Mas Abi. "Peresmiannya tahun 2022. Masih butuh pengembangan lebih lanjut selama tiga tahun ini."

"Gimana, Damar? Kamu setuju?"

2022.

Gila. Ketika saat itu tiba, entah Damar sudah berada di belahan dunia mana.

Mereka tidak akan bersama lagi.

Bisakah ia mengatakan hal itu kepada semua orang, lalu meminta mereka tidak membahasnya lagi?

Lupakan soal Damar. Ia bisa jadi GM.

"Saya masih harus membantu memulihkan perusahaan ayah."

Papa tersenyum. "Gimana kalau perusahaan ayah kamu di-merger saja dengan perusahaan papa? Kamu akan jadi pemegang saham mayoritas sekaligus CEO-nya."

"Saya rasa ayah saya mungkin akan keberatan karena perusahaan itu adalah perusahaan keluarga. Maaf, Pa."

"Kamu pikirkan lagi, Damar. Papa bukan bermaksud mengecilkan perusahaan ayah kamu. Tapi, papa hanya ingin kamu juga ikut mengelola perusahaan milik papa. Karena hal itu sudah menjadi tradisi keluarga ini. Semua anak dan menantu harus terlibat dan punya peran penting dalam bisnis keluarga."

Aruna menyela. "Aruna bisa jadi GM."

Papa menoleh ke arahnya. "Jadi GM butuh pengalaman yang sangat matang dalam segala aspek, Aruna."

"Jadi, Papa mau bilang kalo Aruna nggak kapabel?"

"Kamu bisa jadi salah satu pemegang saham. Toh kamu bisa ikut menentukan kebijakan perusahaan nantinya," kilah papa.

Tepatnya, menolak inisiatifnya.

Papa lebih baik mengatakan kalimat seperti ini daripada mempermanis kata-katanya dengan berbagai dalih.

"Kamu nggak pantas memimpin perusahaan, Aruna. Kamu itu bodoh, nggak punya pengalaman bisnis sedikitpun. Kamu mau bikin perusahaan kita bangkrut?"

"Level jabatan perusahaan itu nggak sekonyong-konyong kamu masuk dan langsung ada di pucuk pimpinan, Aruna. Kamu itu butuh banyak belajar," ucap mas Abi.

"I know."

"Kamu kan sudah sarjana ekonomi manajemen. Kamu lanjutkan aja lagi business school yang di ITB kemarin," saran mbak Anis.

"Ya sudah, lupain aja."

Aruna sedang tidak ingin berdebat soal apapun dengan papa dan saudara-saudaranya yang lain. Ia sebenarnya hanya ingin menikmati makan siang dengan tenang. Kalau bisa memilih, ia tidak mau makan siang beramai-ramai seperti ini, karena selalu saja ada hal tidak penting yang dibahas. Ya seperti hal yang satu ini. Saat mereka membahas bisnis dan melibatkan Damar di dalamnya.

"Kamu bisa belajar banyak soal manajemen perusahaan sama Damar."

Aruna terbatuk.

"Maksud papa...," Aruna meneguk air putih cepat-cepat sebelum sempat terbatuk-batuk lebih lama.

Apakah papa lupa jika perusahaan kecil milik keluarga Damar baru saja keluar dari keadaan pailit? Bagaimana mungkin papa berpikir, Damar bisa mengajarinya soal manajemen perusahaan, sedangkan menangani perusahaan keluarganya saja, ia tidak bisa?

Papa rupanya mengerti pertanyaan di dalam benaknya.

"Kesalahan waktu itu di perusahaan keluarganya terjadi karena ada masalah di bagian keuangan. Waktu itu, Damar memang belum bekerja di sana. Dia masih magang di anak perusahaan keluarga kita. Selama berkarir, dia pernah mendapatkan best employee dan best manager." Papa tersenyum. "Kamu pasti tidak ingat hal itu sama sekali kan, Aruna?"

"Aruna memang nggak ingat sama sekali," ucap Aruna jujur. Ia tidak suka menyangkal untuk sesuatu yang ia pikir tidak akan ia bahas lebih lanjut. Lebih mudah saja baginya yang kerap memiliki masalah dengan yang namanya bersosialisasi, sekalipun dengan keluarga sendiri. "Lagian, sebenarnya Aruna sudah pernah bilang kalau Aruna nggak tertarik kerja di perusahaan keluarga. Aruna ingin punya usaha sendiri."

Ya. Kecuali Damar tidak lagi berada di sana.

Mas Abi dan Mbak Anis yang duduk di seberang bersama pasangan masing-masing, sama-sama melemparkan senyum kepadanya. Entah mengapa, Aruna merasa, saudara-saudaranya tengah mengejeknya. Ia selalu berburuk sangka kepada siapapun saat kondisi hatinya sedang buruk.

Kedua saudaranya itu selalu memerlakukan dirinya seperti seorang adik bungsu kesayangan. Mereka juga pernah menawarkan bantuan untuk mengajari soal bisnis, ia saja yang tidak mau belajar dari mereka.

"Ya sudah," Papa membuang napas. "Terserah kamu saja."

Mama mengusap bahu papa. "Tuh kan, Papa. Ini lagi makan siang bersama lho. Jarang-jarang kita punya waktu bersama seperti ini. Bisa dibilang nggak setiap Minggu. Papa jangan merusak suasana, dong."

Mama lalu tersenyum kepada mereka satu-persatu setelah papa terdengar meminta maaf kepada mereka semua. Selalu mama yang menjadi penyelamat dari situasi yang kikuk. Aruna tidak bisa membayangkan menghabiskan waktu dengan papa tanpa kehadiran mama di antara mereka.

"Ayo, Damar. Ditambah makanannya. Aruna, kamu layani Damar dong. Tanyakan apa Damar mau nambah atau makan apa lagi," saran mama.

"Nggak dulu, Ma. Ini juga belum habis makanannya," balas Damar sopan, sambil sedikit menundukkan wajahnya seperti kebiasaan orang yang penuh sopan santun.

Astaga, mengapa kesopanannya terlalu berlebihan seperti ini sih? Bagaimana seseorang bisa memiliki ekspresi seperti itu. Mungkin ia bisa banyak belajar dari Damar.

Sigh.

"Gimana makanannya? Kamu suka?" tanya Aruna sambil menunjukkan senyum palsu kepada Damar. Damar membalas senyumnya, dan kembali menyantap makanan di piringnya berupa nasi beserta ayam bakar, tahu goreng dan lalapan.

Oh. Mungkin ia suka lebih banyak lalapan di piringnya?

Aruna mengambil piring berisi lalapan selada, kemangi dan mentimun lalu mulai meletakkan dua potong mentimun di atas piring Damar.

Mama, papa dan saudara-saudaranya pasti akan terkesan dengan kebaikannya.

"Nggak usah," gumam Damar.

"Nggak usah sungkan begitu. Bukannya seorang isteri yang baik harus seperti ini?" Aruna menggemeretakkan giginya saat tangan Damar mencengkeram tangannya ketika ia mengabaikan ucapan Damar barusan.

Laki-laki itu pasti benar-benar marah dengan tindakannya.

"Seladanya?"

Damar bahkan nyaris meremukkan daun selada yang ia pindahkan ke piringnya. Aruna menepis tangan Damar saat mendengar Damar menggumam bahwa ia tidak menyukai tindakan Aruna.

"Mau disuap, Sayang? Hm?" Aruna menyendokkan nasi dengan potongan daging ke mulut Damar. Ia bersumpah melihat ekspresi wajah Damar seperti ingin menelannya hidup-hidup.

Damar kini balas menyendokkan makanannya. "Kamu kan susah makannya? Kalau aku suapin, pasti makannya banyak."

Aruna mendesis. Bagaimana mungkin laki-laki sialan ini membalas tindakannya dengan mencoba melakukan salah satu dari beberapa hal yang tidak pernah terpikir akan Damar lakukan. For God's sake. Sendok yang sedang masuk ke mulutnya itu sudah dipakai Damar.

"Nggak nyangka ya, kalian bisa romantis juga," celetuk mbak Anis.

Mas Abi terdengar netral di awal, dan berakhir menjengkelkan. "Sebenarnya, dulu aku merasa aneh liat pasangan saling suap-suapan. Tapi sejak nikah, kok rasanya malah romantis?"

"Suap-suapan itu membantu meningkatkan gairah ke pasangan. Sama seperti ciuman." Mbak Anis mulai berteori. Mas Gani, sang suami malah tersenyum kepadanya, lalu mencondongkan wajah untuk mengecupnya ringan. "Astaga, Mas. Bisa-bisanya kamu nyium aku pas lagi makan gini?"

"Abis kamu gemesin." Mas Gani bahkan nampak tidak peduli penilaian orang lain. Buatnya, sang isteri adalah cinta sejatinya. Ia bebas mengekspresikan rasa cintanya itu, di mana saja. Termasuk saat sedang berkumpul seperti ini. "Kamu tau kan, kalau aku cinta banget sama kamu?"

Mbak Anis masih terdengar menggerutu. "Tapi kamu ngeselin, tau nggak? Aku nggak suka ciuman sebelum sikat gigi. Mana kamu bau jengkol lagi."

Semua orang tergelak, terkecuali dirinya.

Laki-laki sialan di sampingnya ini malah ikut tertawa.

Benar-benar pintar melakukan kamuflase.

Menjijikkan.

***

Aruna membalikkan badan saat Damar kembali dari kamar mandi. Sialan pangkat dua. Setelah seharian ini moodnya buruk, kini ia harus menghadapi kenyataan jika malam itu Damar menginap di rumahnya.

Damar menegaskan jika ia tidak akan tidur di sofa atau di lantai. Aruna pun ngotot tidak akan berpindah tempat karena tempat tidur itu adalah miliknya. Hanya miliknya.

Enak saja jika ia harus berpindah dari singgasana yang selama ini ia kuasai sendiri demi laki-laki ini.

Semenit menunggu, Aruna tidak merasakan tempat tidur berguncang saat Damar merebahkan tubuh di sampingnya. Bed cover yang dipakainya pun tidak bergeser atau tertarik ke sebelah kanan.

Sebaliknya, ia tidak mendengar suara apa-apa.

Kecuali lampu kamar yang dinyalakan.

Perlahan ia membalikkan badan.

Damar tengah duduk menghadapi layar laptop yang sepertinya sedang loading.

Besok hari Minggu dan ia masih harus bekerja di tengah malam buta seperti ini?

Benar-benar berdedikasi. Ia seharusnya bertepuk tangan.

Tiba-tiba ponsel berdering. Aruna mengenali nada deringnya yang ternyata merupakan penggalan dari sebuah lagu OST anime whatever apalah itu.

Ia lekas membenamkan tubuh dalam selimut ketika melihat Damar mendekati ranjang untuk mengambil ponselnya.

"Waalaikumsalam. Oh, belum. Masih ada kerjaan. Lanjut di chat saja. Baik, Yang."

Yang?

WTF!!!

***

Kaget ya ada update setelah sebulan dianggurin? :DDDD

Aduh, siapa tuh yang dipanggil 'Yang'??? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage