FTSOl #12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARUNA


Lokasi akad sekaligus resepsi terletak di salah satu resort daerah Sambirejo. Butuh waktu sekitar 30 menit melalui rute Jalan Raya Solo-Jogja untuk sampai ke lokasi tersebut.

Perjalanan yang cukup jauh, pikir Aruna. Niat betul ia ke sana..

Sebelumnya, Damar telah mengatakan lokasi yang akan mereka tuju. Hanya saja, Aruna tidak terlalu memerhatikan setiap perkataan Damar kepadanya sejak berangkat dari hotel, hingga kini ketika mereka tengah berada dalam perjalanan menuju lokasi pesta.

Kemudian ia mengingat nama Heritage resort something.

Sumberwatu Heritage Resort, tepatnya.

Wedding venue outdoor yang Aruna saksikan saat ini terlihat cukup menarik di matanya. Lumayan menjadi hiburan di tengah suasana hatinya yang sedang tidak bersahabat.

Saat mereka tiba, undangan sudah lumayan ramai. Mereka menempati salah satu meja yang disediakan untuk keluarga dan relasi. Dekorasi tempat sebenarnya cukup sederhana. Yang paling menyita perhatiannya tentu saja pemandangan di sekitarnya. Dengan background Gunung Merapi dan Candi Prambanan, warna hijau berselimut kabut, menghadirkan nuansa alami sekaligus magis. Salah satu venue outdoor terbaik yang pernah dilihatnya langsung selain venue di Bali yang menjadi langganan pesta pernikahan selebritis tanah air hingga luar negeri.

Meja yang mereka duduki berbagi dengan dua orang lain yang dikenalkan Damar sebagai sepupu dan paman dari pihak ibu. Sepupu perempuannya bernama Widi dan sang paman ia panggil dengan sebutan Pakde Agus. Aruna berusaha mengingat apakah mereka pernah bertemu atau tidak, tetapi gagal. Damar pun menjelaskan jika Aruna dan kedua kerabatnya memang baru bertemu untuk pertamakali di acara ini.

Pernikahan mereka yang sangat privasi dan sederhana beberapa bulan lalu tidak memungkinkan mereka mengundang banyak orang. Meskipun Damar pernah mengungkapkan jika ia ingin mengundang lebih banyak lagi keluarganya yang seketika ditolak Aruna dengan halus. Semakin banyak orang yang mengetahui pernikahan mereka, akan semakin besar risiko yang mereka dapatkan, katakanlah jika mereka resmi berpisah.

Aruna menghela napas. Sementara ia masih memikirkan soal itu, Eryk kini telah memilih jalan hidupnya sendiri yang tidak melibatkan dirinya di dalamnya lagi.

Rasanya jika mengingat tindakan Eryk, ia tidak bisa menahan gejolak kemarahan yang masih terasa hingga kini.

Eryk akan menyesal. Ia cukup yakin.

Aruna harus mengakui jika ia lebih menikmati suasana hari itu ketimbang acara siraman kemarin yang membuatnya mengantuk. Rasa haru menyelusup tanpa bisa dicegah. Aruna menyalahkan pertahanan dirinya yang sempat kendur hingga menangis semalaman. Ia menumpahkan seluruh kesedihan seorang diri.

Hingga nanti, ia akan selalu sendiri.

Tanpa bisa ditahan, setetes airmata mengalir di pipi kanannya. Ia bergegas mengambil tisu dari dalam clutch dan mengusap tetesan airmatanya.

Namun, tetesan airmata berikut kembali turun, kali ini bersamaan di kedua belah pipinya.

Ada apa ini? Mengapa ia jadi begini?

Suasana sakral yang menyelimuti saat ijab kabul semakin terasa pekat. Aruna menggeleng pelan.

Ah, sialan. Airmatanya semakin mengalir dengan deras. Haruskah ia membiarkan dirinya terlihat seperti ini di depan orang lain? Mungkin tidak ada yang peduli, karena masing-masing undangan begitu larut dalam keharuan. Mereka akan lebih sibuk dengan perasaan lebay mereka masing-masing, ketimbang memerhatikan keaadaan orang-orang di sekitarnya.

Ia harus menghilang sejenak dari situ.

Tapi apakah di sana tersedia restroom?

Seharusnya ada, karena di mana-mana, setiap acara pasti disediakan restroom dan toilet. Tidak terkecuali pada acara pernikahan seperti ini.

"Toiletnya di mana?" tanya Aruna tanpa menoleh kepada Damar.

"Kamu nangis?"

Bukan jawaban seperti itu yang ia harapkan. Bisakah ia memberitahu di mana letak toilet tanpa memberikan pertanyaan balik?

Aruna menahan umpatan dari dalam mulutnya. Ia memilih berdiri dari kursi dan memutuskan akan mencarinya sendiri.

Ia hanya butuh menghirup udara yang lebih banyak sekaligus menenangkan pikiran.

***

DAMAR

"Oh. Restroom-nya di sebelah sana, Mas," terang Widi sembari menunjuk ke satu arah

Widi memberitahu letak tempat yang tadi ditanyakan Damar. Berhubung tadi Widi sempat merapikan dandanannya sebelum pesta dimulai, jadi ia tahu persis letak tempatnya. Tanpa ragu, ia mengikuti langkah cepat Aruna menjauhi venue pesta tersebut.

Ia berhenti di ujung lorong yang tadinya mereka lalui menuju lokasi akad. Di sana, ia menemukan Aruna seorang diri. Berdiri sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada. Semakin Damar mendekat, semakin jelas gesture tubuh Aruna. Bahunya bergetar, isakan tertahannya mulai terdengar.

"Saya pikir kamu nggak tau tempatnya. Toiletnya di sana," ucap Damar pelan. Tidak ingin mengagetkan Aruna dengan kedatangannya.

"Lo pergi deh, mendingan." Suara Aruna terdengar gemetar.

"Kamu kenapa, Aruna?" tanya Damar. Ia melangkah semakin dekat, hingga ia bisa menjangkau tubuh Aruna dengan ujung jarinya.

Tapi, Aruna menghindar, seolah mengetahui gerakan tubuhnya.

"Nggak usah nanya-nanya. Pergi, nggak?" Aruna masih memunggunginya. Kini suaranya berubah lebih ketus.

"Saya nggak bisa biarin kamu seperti ini. Saya lihat kamu nangis, serapuh ini. Bukan seperti kamu yang biasanya saya lihat sehari-hari."

"Nggak usah ikut campur, nggak usah sok perhatian sama gue. Apa itu sulit buat lo lakuin?"

"Sulit." Damar menghela napas dalam. "Saya nggak mau kamu kabur lagi seperti semalam dan membuat saya nggak bisa tidur mikirin kamu di mana dan bagaimana keadaan kamu."

Aruna menyeka airmatanya lalu berbalik menghadapnya.

"Nggak lama lagi, lo akan bebas." Aruna berjalan melewatinya.

"Apa maksud kamu?"

"Apa masih kurang jelas? Gue bakal telepon pengacara gue. Segera setelah sampai di Jakarta, gue bakal segera ngurus perceraian."

"Saya nggak mau."

"Nggak ada gunanya gue hidup sama lo yang selalu mau ikut campur dalam kehidupan gue."

Damar menahan langkah Aruna dengan mencekal lengan atasnya. "Saya bahkan belum mengenal kamu lebih jauh, jadi bagaimana mungkin saya bisa menyetujui keinginan kamu untuk berpisah?"

"Lo nggak perlu kenal gue lebih jauh untuk memutuskan berpisah dari gue." Aruna menggoyangkan lengannya. "Lepasin gue."

"Saya datang melamar kamu baik-baik bersama kedua orangtua saya, dengan niat baik untuk menikahi kamu dan menjaga kamu. Dan sekarang ini balasan kamu sama saya?"

Aruna membuang pandangannya sesaat setelah tatapan mereka bertemu.

"Sebenarnya ada apa dengan kamu, Aruna? Mengapa sikap kamu seperti ini sama saya? Salah saya apa sama kamu?"

"Lo nggak akan mengerti."

"Bagaimana saya bisa mengerti tentang kamu, sedangkan kamu selalu melarang saya untuk ikut campur dalam kehidupan kamu? Saya nggak pernah bermaksud menyusahkan hidup kamu, Aruna. Saya hanya ingin menjalani kehidupan pernikahan ini semampu saya, menjaga dan melindungi kamu. Saya mungkin tidak akan bisa jadi seseorang yang sempurna buat kamu. Tapi pernikahan ini adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya yang tidak ingin saya sesali. Mungkin tidak akan selamanya, tapi bertahan lebih lama rasanya juga bukan pilihan yang buruk."

Aruna menolak menatap matanya saat Damar meminta, tetapi tidak mengelak ketika Damar mengusapkan airmatanya menggunakan jempolnya. Barulah saat Damar membawanya ke dalam pelukan, tangis Aruna kembali pecah.

"Saya minta maaf sudah membuat kamu kabur semalam," ucap Damar setelah Aruna menjauhkan dirinya.

"Baju lo jadi basah kena airmata gue." Itu alasan Aruna saat memutuskan melepaskan pelukannya.

Ya, saat Aruna menangis di permukaan bahu dan dadanya, kedua tangan Aruna memeluk pinggangnya cukup erat.

"Apa sekarang kita berbaikan?"

Aruna mengangguk. "Tapi bukan berarti gue bakal berhenti menghubungi pengacara gue."

Hati Damar kembali merasakan nyeri. Saat ia berpikir Aruna akan mengurungkan niatnya, ternyata ia salah besar.

"Untuk ngebatalin rencana gue," tambah Aruna.

"Kamu serius?"

"Bantu gue move on."

Damar tersenyum.

"Tentu saja."

***

ARUNA

"Aku mau jalan-jalan," ucap Aruna saat mereka telah berada di mobil dalam perjalanan kembali ke hotel. Ia mengganti sapaan gue-elo di dalam taksi, karena keberadaan mereka di area publik di mana ada supir taksi yang bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Boleh. Kamu mau ke mana? Mau ke candi?" tanya Damar.

"Jalan sekitar Malioboro, abis itu ke Bukit Bintang."

Sejak menginjakkan kaki di Jogja, hanya dua tempat yang terpikirkan oleh Aruna untuk ia kunjungi yaitu kedua tempat yang telah ia katakan tadi. Malioboro, ikon kota Jogja yang merupakan pusat belanja dan tujuan wisata. Lalu, Bukit Bintang yang terkenal akan pemandangan indah di waktu malam hari. Membayangkan berada di sana, hanya dengan duduk diam, menghirup udara malam, ditemani keindahan cahaya seperti bintang yang berasal dari lampu-lampu rumah penduduk dan bangunan lainnya.

"Besok saya harus masuk kantor." Damar beralasan. Katanya, ia tidak pernah merencanakan mengambil cuti, karena ia berangkat ke sana dengan tujuan menghadiri pernikahan Rizki bukan untuk tujuan berwisata.

"Kan bisa cuti?"

"Saya nggak biasa ambil cuti, kecuali untuk urusan urgent."

"Gimana kalau untuk urusan bulan madu?"

Aruna mendapati wajah bingung Damar. Tapi Damar lekas mengubah ekspresi wajahnya itu menjadi senyuman yang di mata Aruna sangat manis.

"Apa perlu aku nelepon Papa buat ngasih cuti khusus ke kamu?"

"Saya punya pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan. Lagipula saya juga nggak paham makna bulan madu buat kamu."

"Bulan madu itu hanya cover-nya. Isinya ya jalan-jalan."

"Buat saya berbeda," jawab Damar kalem. "Buat saya bulan madu adalah saat pasangan suami isteri menghabiskan waktu bersama dengan cara yang berkualitas. Dan menjadi kenangan manis yang tidak akan terlupakan seumur hidup."

Aruna tersenyum masam. Mau tidak mau ia teringat pengalaman bulan madu mereka di Bali yang berjalan dalam suasana yang kurang menyenangkan. Waktu itu, ia berusaha menjauhkan diri serta bersikap ketus kepada Damar. Namun, Damar begitu sabar menerima segala perlakuannya. Entah terbuat dari apa hatinya.

Jika mengingat momen itu, ia merasa sedikit...

Atau katakan saja ia cukup menyesal.

"Bagaimana? Kamu setuju mengambil cuti?" tanya Aruna lagi. "Tapi kalau nggak mau, kamu bisa pulang ke Jakarta sendiri dan aku akan keliling Jogja sendiri."

"Saya nggak akan biarin kamu sendirian."

Cara Damar menjawab pertanyaannya kini seolah menjadi penyemangat baginya.

Aruna harus menunggu sampai mereka tiba di hotel. Ia merasa saat itu adalah saat yang tepat untuk meminta maaf kepada Damar. Ia membulatkan tekadnya dengan menghampiri Damar yang saat itu sudah selesai mengganti pakaian formilnya menjadi kaus dan celana pendek. Ia sendiri sudah lebih dahulu berganti pakaian. Berhubung mereka masih risih satu sama lain, maka mereka sepakat untuk membagi sesi berganti pakaian berikut bergantian masuk kamar mandi untuk bersih-bersih. Sikat gigi dan semacamya.

Namun, belum sempat ia berbicara, mendadak ponsel Damar berdering. Damar yang saat itu sedang duduk di tepi tempat tidur lalu beranjak mendekati jendela dan berbicara dengan seseorang.

"Ah, iya, Yang."

Aruna mengerutkan kening. Apakah ini orangnya sama dengan yang berbicara di telepon malam itu?

Misteri "Yang" yang masih belum terpecahkan.

"Oke, baik. Nanti saya hubungi lagi."

Damar nampak santai saja melihatnya berdiri di hadapannya.

Jadi apakah ia akan menunggu Damar memberi penjelasan atau ia harus berinisiatif menanyakannya?

"Siapa yang nelepon?" Aruna tidak bisa menahan pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.

"Teman."

"Perempuan?"

Damar mengangguk. "Iya."

Aruna menyesal telah bertanya.

Kali ini Damar berjalan ke arahnya dan tanpa permisi menggiringnya duduk bersamanya di tepi tempat tidur.

"Kamu istirahat aja di sini, biar saya tidur di luar," ucap Damar.

"Namanya Yang," tuntut Aruna.

Damar tersenyum, meski kini di keningnya tercetak kerutan. "Kamu keberatan saya manggil teman saya dengan sebutan itu?"

"Nggak. Bukan. Nama lengkapnya siapa? Karena jujur aja, waktu lo nyebut sapaan itu, rasanya nggak enak di kuping gue." Aruna lalu menambahkan. "Gue nggak cemburu ya? Terlalu dini buat gue untuk cemburu."

"Namanya Yayang."

"Serius?"

"Iya," angguk Damar, lalu menambahkan. "Yayang Desiana."

"Apa kalian pernah punya hubungan khusus?"

Damar terdiam beberapa saat. "Kalau saya bilang dia mantan pacar saya, bagaimana tanggapan kamu?"

Aruna mengedikkan bahu. "Itu urusan pribadi lo. Gue nggak berhak ikut campur."

Damar membuang napas panjang. "Padahal kamu nggak perlu gengsi kalau kamu cemburu."

"Gue kan udah bilang tadi, kalo gue nggak cemburu. Lagian siapa suruh punya nama mencurigakan banget. Lagian kan lo sendiri udah setuju buat bantu gue move on dari Eryk, tapi kenapa sekarang lo..."

Aruna menyingkirkan telunjuk Damar yang menempel di bibirnya. Damar rupanya menggunakan isyarat itu untuk membuatnya berhenti bicara.

"Jika kamu ingin hubungan ini berhasil, maka ada satu hal penting yang harus kamu lakukan yaitu jujur kepada pasangan. Jujur sama saya tentang apa yang kamu rasakan."

Aruna menuding Damar. "Ya lo duluanlah. Lo kan laki-laki?"

"Pertama kamu klarifikasi dulu kalau yang tadi itu kamu nanya-nanya soal Yayang karena kamu cemburu. Abis itu baru saya mau jujur tentang perasaan saya ke kamu."

Aruna mendengus. "Do you think you're special, huh? Kayanya bodoh banget kalo gue cemburu."

"Selain jujur sama pasangan, hal berikutnya yang harus kamu ingat adalah menurunkan gengsi."

Aruna mulai kesal dengan setiap ucapan Damar.

"Satu hal juga yang mesti lo ingat. Lo mesti memahami sikap gue. Gue bukan tipe perempuan yang mudah mengalah sama pasangan."

"Alpha female?"

"Bisa dibilang begitu." Aruna menegaskan. "Gue nggak suka didikte."

"Saya nggak sedang mendikte kamu."

"Ya udah makanya diem deh." Aruna menoleh kepada Damar yang ternyata juga sedang menatapnya. Mereka sama-sama mengalihkan pandangan.

Aruna merasa momen seperti ini begitu janggal. Mereka duduk berdampingan di tepi tempat tidur hanya untuk saling diam-diaman.

Tadinya kan Damar bilang mau istirahat di luar.

Mengapa sekarang ia belum beranjak juga dari duduknya?

"Ya udah, kalo nggak ada yang mau diomongin lagi, saya pergi dulu."

Aruna mencegah Damar pergi dengan menarik lengannya untuk kembali duduk.

"Istirahat aja di sini."

" Di sini? Bareng kamu?" tanya Damar, sekadar memastikan.

"Iyalah. Masa gue yang istirahat di luar?" gerutu Aruna.

Damar menatapnya ragu. Tapi kemudian ia mengangguk.

"Oke kalo gitu."

"Dam?"

"Mmh, ya?"

Aruna memajukan wajahnya dan mengecup bibir Damar secepat mungkin.

Tidak puas hanya sekali, Aruna melanjutkannya di ciuman kedua ketiga hingga hitungan kelima. Ia sedikit kecewa karena Damar hanya diam, tanpa meresponnya.

Sejujurnya, ia juga tidak tahu mengapa ia bisa melakukan tindakan senekat itu.

"Kamu kenapa nyium saya?" tanya Damar dengan sikap setenang mungkin.

"Otak gue lagi korslet." Aruna memejamkan mata, tahu jika jawabannya itu kedengaran terlalu asal-asalan.

"Lain kali kalau mau nyium, pastikan orang yang mau kamu cium, setuju atau tidak."

Aruna mendengus keras. "Lo juga nggak nolak kan?"

"Karena saya nggak mau merusak suasana dan melukai perasaan kamu."

"Jadi, kalo ada perempuan lain yang nyium kamu, kamu bakal diam saja untuk alasan yang sama?"

Damar menggeleng. "Saya hanya mau nyium pasangan sah saya. Jadi nggak akan ada perempuan lain yang saya cium selain isteri saya sendiri."

"Ya udah. Cium gue kalo gitu."

"Saya nggak akan nyium kamu tanpa alasan jelas."

Aruna benar-benar harus bertepuk tangan dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut Damar. Astaga. Kenapa laki-laki ini adalah suaminya?

"Tapi karena kamu meminta. Dan rasanya hal itu sudah cukup untuk jadi alasan."

Sedetik kemudian, Aruna mendapati bibir Damar sudah menempel di bibirnya.

Ah, begini rasanya dicium oleh bibir laki-laki yang masih suci dan perawan. Ia tidak bisa mengatakan ciuman Damar payah seperti yang pernah ia bayangkan. Tetapi, rasanya juga tidak begitu buruk. Rasanya berbeda dan aneh. Namun, anehnya, ia menyukainya. Ciuman itu seakan mendekapnya, membuatnya merasa nyaman.

Selama ini, hubungan mereka memang sangat buruk dikarenakan sikapnya. Dan ketika kesempatan bersentuhan sedekat ini datang, rasanya sulit dipercaya.

Ia tidak mencintai Damar, tetapi ia membiarkan Damar menciumnya.

Ah, persetan dengan ucapan cinta. Ia hanya butuh ini.

Masih dengan bibir mereka yang saling memagut, Aruna mendorong tubuh Damar yang semula duduk hingga telentang di atas tempat tidur. Ada kilatan keterkejutan di kedua matanya, tetapi tidak menghentikannya untuk menyambut setiap ciuman yang Aruna berikan kepadanya.

"Kamu mau ngapain, Aruna?" tanya Damar ketika Aruna sedang melepaskan kausnya dan melemparkannya dengan asal. Menyisakan pemandangan Aruna yang hanya mengenakan bra berwarna nude. Aruna mendudukinya di bagian perut.

"Making love. Menurut kamu apalagi? Aku mau kamu."

"Siang-siang begini?"

"Kamu sukanya malam-malam ya?"

***

Maaf ya, nulisnya rushing banget hahaha. Maafin kalo bacanya jadi cringe atau awkward

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage