FTSOL #15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARUNA

"Aruna, bangun."

Damar membangunkannya ketika Aruna tengah tidur pulas. Rasanya ia baru terlelap sebentar, belum puas tidur, tetapi harus terbangun lagi.

Semalam pikirannya terlalu lama melayang-layang, hingga kantuknya lenyap dan baru kembali ketika waktu menunjukkan dinihari.

"Udah Subuh." Damar kembali mengingatkan untuk melaksanakan shalat Subuh.

Aruna mengerjapkan mata. Bukannya bangun, ia malah kembali merapatkan selimut.

Damar kembali membangunkannya, kali ini dengan sedikit mengguncang-guncang tubuhnya sambil mengingatkan. "Katanya mau konsisten?"

Senyuman Damar terpampang jelas di hadapannya saat Aruna menurunkan selimut yang ia pakai menutup wajahnya.

"Kenapa sih?" Aruna bersiap menggerutu, tetapi Damar telah menyingkap selimut. Meskipun tidak menariknya turun dari tempat tidur, Damar menunjukkan jam yang telah menunjukkan 04:40. Membuat Aruna malah jadi tidak tenang. Aruna tahu Damar tidak akan membiarkannya tidur sampai Aruna mau ikut shalat bersamanya.

"Saya tunggu ya?" ucap Damar lembut. Ia mulai mengatur posisi sajadah untuk mereka berdua.

Ketika ia masih duduk mematung, seolah begitu lekat dengan tempat tidur, Damar kembali menghampiri. Aruna bukannya ingin dibujuk. Ia hanya merasa benar-benar sulit beranjak dari tempat tidur.

"Ayo."

Aruna menarik napas dan mengembuskannya. "Ngantuk banget."

"Kalau ngantuk ya harus dilawan. Godaan terbesar di waktu Subuh ya rasa ngantuk. Kalau nggak dilawan, bagaimana ibadahnya bisa dilakukan?"

"Iya, iya." Aruna cepat-cepat mengiyakan sebelum Damar melanjutkan ceramahnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Aruna memakai mukena dan berada pada posisi menjadi jamaah.

Ini adalah ketiga kalinya Damar mengimami dirinya shalat. Rasanya masih asing, tetapi hal ini sekaligus menghadirkan ketenangan dalam jiwanya.

Mungkin awal-awalnya terasa begitu berat. Namun, ia berharap setelah hari ini, ia akan mulai terbiasa.

Semalam, benaknya terisi oleh kecamuk pikiran yang tiba-tiba datang dan enggan pergi. Tiba-tiba saja ia berpikir untuk berpisah dengan Damar.

Hingga ketika terbangun Subuh tadi dan mendapati seulas senyum di wajah Damar yang tertuju kepadanya mengajaknya shalat Subuh bersama, pikirannya perlahan mulai berubah.

Ia mulai merasa optimis menjalani kehidupan berumahtangga bersama Damar. Ketika ia meraih tangan Damar untuk menciumnya sehabis berdoa bersama, ia merasakan perasaan bahagia yang tidak bisa ia lukiskan. Ia sampai memeluk Damar erat-erat yang dibalas Damar dengan mengelus pipinya lembut. Damar bahkan mencium keningnya lekat saat mereka saling menatap. Aruna melepaskan mukenanya kemudian tanpa ragu mencium bibir Damar, bukan hanya karena dorongan nafsu, tetapi karena hatinya dipenuhi perasaan sayang yang begitu dalam, yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Mereka berpandangan, tersenyum satu sama lain, kembali saling berbagi ciuman, berakhir dengan kemesraan di atas tempat tidur, meski bukan kemesraan seperti yang ia inginkan. Damar membiarkannya menguasai cumbuan di antara mereka yang berakhir Damar memeluknya begitu hangat sampai mereka sama-sama tertidur.

Bagaimana mungkin ia bisa berpikir untuk menjauh dari Damar sementara yang ia butuhkan dalam hidupnya adalah sosok Damar yang begitu baik dan menyayanginya?

***

DAMAR

Damar pelan-pelan melepaskan pelukannya. Aruna masih tertidur, pikirnya.

Ia menyingkap selimut dan saat itu pula tangan Aruna menahannya.

"Masih pengen dipeluk," sahut Aruna.

Damar tersenyum. "Udah pagi. Kita sarapan dulu trus langsung berangkat."

"Mau ke mana sih? Enakan juga tidur."

"Katanya mau jalan-jalan?" Damar mengusap lembut pipi Aruna. "Ayo. Kamu mandi dulu, biar gantian."

"Kamu aja duluan. Aku masih pengen tidur... setengah jam lagi," kata Aruna setelah melihat jam. "Baru setengah delapan juga kan?"

"Kamu nggak lapar? Buruan mandi, abis itu kita cari sarapan."

"Emang hotel nggak nyediain?"

"Kamu mau sarapan di hotel?" Damar balik bertanya.

"Pesan aja trus bawa ke kamar." Aruna menjawab sambil kembali merapatkan selimut.

"Lebih enak nyari sarapan sambil jalan-jalan."

Aruna menggeleng. "Enakan tidur."

"Ya udah, saya mandi duluan. Abis itu giliran kamu."

"Astagaaa. Kenapa sih dari tadi kerjaan kamu gangguin orang tidur mulu?" Aruna tidak bisa lagi menahan dirinya mengajukan protes. Tidur itu adalah kegiatan yang memerlukan waktu dan kondisi khusus. Jika terganggu, maka efeknya juga bisa menyebabkan mood seseorang jadi buruk.

"Kamunya aja kan yang tidur melulu?"

"Please. Biarin aku istirahat dengan tenang, oke?"

***

DAMAR

Selesai sarapan di hotel, Damar mengajak Aruna memulai rute perjalanan mereka pagi itu. Jam di tangannya telah menunjukkan waktu yang sebenarnya sudah cukup siang untuk nyekar. Tetapi, kegiatan nyekar juga tidak butuh waktu yang lama, jadi seharusnya tidak ada masalah.

"Sebenarnya mau ke makam siapa sih?" tanya Aruna saat mereka sudah berada di dalam mobil.

"Ibunya teman saya."

"Teman kamu yang mana?"

"Ningrum." Damar lalu menjelaskan lebih lanjut. "Ningrum itu teman saya waktu kuliah. Sama-sama dari Jogja. Ibunya sudah meninggal, dan kebetulan saya lagi di Jogja, sekalian saya ikut jenguk makamnya."

"Mau nyekar ke makam ibunya Ningrum?" Nada suara Aruna terdengar penuh curiga, ditambah kerutan di kening. "Kenapa baru ngomong sekarang?"

Aruna akan marah bila mengetahui alasannya mengambil cuti, jadi Damar tentu tidak akan mengatakannya. Kemarin, ia hanya sempat menyebutkan rute perjalanan tanpa menjelaskan lebih detail. Hal itu ia lakukan untuk menghindari pertanyaan yang tidak mengenakkan yang mungkin akan Aruna lemparkan kepadanya. Apalagi Aruna tidak mengenal Ningrum. Prasangkanya kepada Ningrum bisa bermacam-macam.

Tetapi, nampaknya kini ia tidak bisa menghindar.

"Kamu kenal baik sama keluarga Ningrum?"

"Iya. Kami sudah seperti keluarga." Damar tersenyum mendengar Aruna kini memanggilnya dengan sapaan kamu sejak Subuh tadi. Ia tidak bisa menahan senyumnya sekarang.

"Kamu yakin kalian nggak ada hubungan apa-apa?"

"Kami hanya teman."

Aruna meliriknya lalu kembali melihat ke layar ponselnya.

"Entah kenapa, aku malah curiga sama kamu."

Damar bisa menyimpulkan dari respon Aruna, bahwa Aruna tidak menyukai rute mereka pagi itu.

***

"Dari sini bisa langsung ke Prambanan kan?"

"Iya, bisa. Kita langsung ke sana setelah dari sini."

"Kalo gitu, aku tunggu di mobil." Aruna menatapnya tajam, masih terbawa perasaan sejak Damar mengatakan tujuan perjalanan mereka pagi itu.

Ekspresi wajah Aruna mendadak berubah sejak Damar mengatakan akan ke pemakaman almarhumah ibu Ningrum. Ia mencoba menjelaskan kalau rutenya kali ini memang telah ia rencanakan. Sudah lama ia tidak bertemu Ningrum dan dulunya ia sangat dekat dengan keluarga Ningrum.

"Kamu mau langsung ke mana?" tanya Damar kepada Ningrum.

"Saya mau jalan-jalan sebentar, Mas. Abis itu baru balik ke Solo."

"Saya sama isteri saya mau ke Prambanan."

"Kebetulan saya juga mau ke sana bareng Heru." Heru adalah keponakan Ningrum yang mengantarnya berkunjung ke makam.

"Nanti ketemu saja di sana."

"Iya, Mas."

***

ARUNA

Dari dalam mobil, Aruna menyaksikan Damar berjalan menjauhi kompleks pemakaman sembari mengobrol dengan Ningrum.

Pasangan yang serasi, pikirnya.

Aruna curiga jika antara mereka pernah memiliki hubungan khusus. Bukan tanpa alasan. Ia bukan orang buta yang tidak bisa melihat cara berbicara beserta gerak tubuh di antara keduanya.

Ia tidak memungkiri perasaan cemburu yang kini ia rasakan. Aruna tidak berusaha menyembunyikannya dari Damar. Biarkan saja Damar mengetahui jika ia sedang cemburu.

"Saya duluan ya, Mbak." Ningrum melemparkan senyum padanya yang mau tidak mau ia balas.

Terpaksa.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan Ningrum yang berpamitan kepada Damar dan dirinya, Aruna melihat lagi sosok Ningrum masuk ke dalam mobil Avanza hitam. Perempuan berkerudung itu diantar oleh seorang pemuda yang katanya adalah keponakan Ningrum. Heru berada di usia anak kuliahan, jika bisa ia tebak.

"Kalian akrab juga ya?" kata Aruna setelah Damar masuk ke mobil.

Damar menutup pintu di sampingnya, kemudian menyalakan mesin mobil.

"Teman lama," jawab Damar singkat.

Alasan klise.

"Mantan pacar?" Aruna menanyai Damar ketika mobil telah melaju mulus di jalan raya.

"Dulu aku nggak sempat pacar-pacaran karena terlalu sibuk belajar," balas Damar.

"Kalau gitu, gebetan."

"Itu juga nggak termasuk."

"Trus kenapa kelihatannya akrab banget ya?"

Damar membiarkan pertanyaan itu tidak terjawab selama sekian detik. Aruna baru mendapatkan jawaban itu setelah mobil melaju sekitar semenit.

"Menurut saya biasa saja."

"Menurut aku nggak biasa. Kenapa nggak jujur aja sih?"

Damar menurunkan kecepatan mobil, menoleh ke samping dan tersenyum.

"Kamu menakutkan juga kalau lagi cemburu," jawab Damar santai. Sikap santai Damar malah membuatnya kesal.

"Ya, makanya. Jaga sikap dong."

"Kamu nggak berusaha menyangkal. Berarti kamu memang ingin saya tau kalau kamu sedang cemburu sama saya. Aku anggap hal itu sinyal yang baik untuk hubungan kita." Damar mengucapkannya begitu santai.

Aruna bersiap mendengar ucapan Damar yang sudah pasti berupa rentetan kalimat bijak yang membosankan.

"Rasa cemburu itu wajar. Saat ini kamu cemburu sama perempuan di sekitar saya, bisa jadi di saat berbeda, saya yang akan cemburu sama laki-laki di dekat kamu."

"Dengan Eryk, kamu nggak cemburu?"

"Kemarin-kemarin belum. Tapi kalau balik ke Jakarta dan kamu bilang kamu mau ketemu sama Eryk karena kamu kangen sama dia, sudah pasti saya akan merasa cemburu."

Damar cemburu? Jadinya akan seperti apa?

Pasti seru. Bagaimana jika ia menguji coba perasaan Damar setelah balik ke Jakarta?

***

ARUNA

Kompleks candi yang mereka kunjungi siang itu lumayan ramai. Hawa udara terasa panas saat matahari mulai beranjak meninggi ke pertengahan hari.

Aruna terus menyibukkan diri dengan kameranya. Ia berusaha menikmati obyek wisata di hadapannya, mengabadikan keindahan candi dan pemandangan di sekitarnya. Sementara di saat yang sama, ia juga terus memerhatikan interaksi antara Damar dengan Ningrum.

Bagaimana mungkin ia tidak berprasangka, jika Damar malah lebih meluangkan waktunya menemani Ningrum mengobrol ketimbang menemaninya berkeliling. Memang sih, di situ disediakan jasa tour guide bagi pengunjung. Tetapi buat apa jasa tour guide jika ia punya Damar yang bisa memandunya berkeliling? Lagipula mereka sudah sepakat akan menghabiskan waktu berdua saja.

Bukan malah berbagi waktu dengan orang lain. Apalagi dengan si Ningrum itu.

Ia mendesah kuat, setelah menendang kerikil dengan ujung sepatunya.

"Makasih ya, Mas. Udah mau meluangkan waktu menemani saya menjenguk makam Ibu." Samar suara Ningrum terdengar. Sejak tadi, ia memang tidak pernah jauh dari posisi Damar dan Ningrum yang terus saja mengobrol.

"Iya, sama-sama. Maaf, saya nggak tahu kabar tentang ibu kamu, jadi saya nggak bisa datang melayat saat kepergiannya."

"Nggak apa-apa, Mas. Mas mau datang ke makam ibu juga sudah cukup buat saya. Artinya, Mas masih mengingat ibu."

"Saya nggak mungkin melupakan kamu dan keluarga kamu."

"Iya, Mas. Saya percaya kok soal itu."

Hih.

Lama-lama makin menyebalkan.

Perasaan yang tidak nyaman tetap berlanjut, meskipun Ningrum tidak lagi berada di sana. Ia pamit pulang lebih dulu karena katanya ada urusan penting.

Baguslah. Pergi saja jauh-jauh, nggak usah balik lagi.

Setelah bayangan Ningrum dan Heru tidak lagi terlihat di sekitar situ- Damar kembali menghampirinya. Aruna hanya menjawab seadanya ketika Damar bertanya bagaimana pendapatnya tentang candi Prambanan. Ia menjawab singkat kalau pemandangan di tempat itu cukup menarik, tanpa menguraikan lebih lanjut seberapa menarik seperti yang ia maksud, kepada Damar.

Buat apa? Buang-buang waktu saja.

Sepanjang mengitari kompleks candi, baik ia maupun Damar tidak banyak berbicara. Damar sepertinya menyadari jika ia tengah kesal dan menjaga jarak dengan Damar.

Pengertian sekali.

Sekitar sejam kemudian, Aruna memutuskan kembali ke mobil, sekali lagi tanpa memedulikan kehadiran Damar. Damar berbaik hati mengikuti ke manapun langkahnya.

Kenapa tidak dari tadi saja sih? Dasar kurang peka.

***

DAMAR

"Udah mau balik?" tanya Damar kepada Aruna.

Aruna menolehnya sekilas. "Iya. Mau ngapain lagi? Panas banget ini."

Damar bermaksud menggamit tangan Aruna, tetapi Aruna lekas menjauhkan dirinya. Damar mengikuti langkah Aruna yang setengah berlari menuju mobil, membuka pintu mobil dan menutupnya dengan satu hentakan keras. Bunyi debam di hadapannya cukup mengagetkannya. Ia langsung menyimpulkan jika suasana hati Aruna saat itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Ia harus memperjelas sebelum Aruna semakin mendiamkannya.

"Saya minta maaf kalau ada dari sikap saya yang nggak berkenan buat kamu," ucap Damar setelah masuk ke dalam mobil.

Aruna memilih memandang keluar melalui jendela di sampingnya. Ia hanya diam, membuat hati Damar semakin dihinggapi pertanyaan.

"Bagaimana saya bisa tau apa kesalahan saya kalau kamu nggak ngomong?" ujarnya lagi.

Dengan Aruna, ia harus lebih banyak bersabar. Mereka telah berada pada titik hubungan yang menggembirakan. Ia tidak ingin mereka kembali mundur pada titik di mana mereka saling membenci dan tidak menginginkan satu sama lain.

"Aku nggak suka sikap kamu tadi yang lebih banyak ngabisin waktu sama Ningrum. Lagian, apa nggak cukup kalian nyekar bareng? Masih ditambah janjian ketemu di sini."

"Saya nggak janjian ketemuan di sini. Kebetulan saja, Ningrum juga mau jalan-jalan melihat candi Prambanan."

"Kebetulan banget ya?" Aruna terdengar mendengus. "Nanti kebetulan apa lagi? Ketemuan di mana lagi?"

"Tadi itu Ningrum udah mau balik ke Solo. Jadi, kami nggak akan ketemu lagi," jawab Damar cepat.

"Pasti ini alasan kamu ngambil cuti, kan?"

"Maksud kamu?"

"Nggak usah aku jelasin, pasti kamu udah ngerti."

"Aruna, saya nggak mengerti maksud kamu."

"Nggak ngerti atau pura-pura nggak mengerti?" Aruna kini menampakkan wajahnya yang dipenuhi gurat kemarahan. "Awalnya, kamu nggak mau ambil cuti kan? Trus tiba-tiba aja kamu bilang, kamu setuju ngambil cuti sehari. Alasan kamu karena nggak mau biarin aku sendirian di Jogja." Aruna menarik napas. "Trus, kamu cuma bilang mau nyekar sama teman kamu. Kamu nggak jelasin teman kamu itu siapa. Ternyata perempuan yang namanya Ningrum itu. Perempuan yang betah banget kamu ajak ngobrol, sedangkan aku yang butuh perhatian kamu, malah kamu cuekin gitu aja."

"Kenapa kamu mikirnya sampai segitunya, Runa?" Damar bermaksud meraih tangan Aruna, tetapi Aruna menjauhkan dari jangkauan Damar. "Soal cuti itu memang benar. Saya nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sini."

"Omong kosong, tau nggak!" Nada suara Aruna meninggi.

Aruna terdengar semakin menuntutnya untuk jujur.

"Aku pikir kamu setuju ngambil cuti khusus untuk nemenin aku. Ternyata bukan buat aku, tapi untuk orang lain."

"Bukan seperti itu." Damar menghela napas pasrah. "Pikiran kamu udah kejauhan."

"Kejauhan gimana? Itu faktanya. Nggak usah mengelak deh."

"Ya udah. Saya minta maaf sama kamu karena udah bikin kamu kesal dan nggak nyaman."

"Udahlah. Nggak usah dibahas lagi." Aruna menarik napas. "Kalaupun benar, bukannya itu udah jadi hak kamu mau ngelakuin apa saja? Aku saja yang terlalu berharap sama kamu. Harusnya aku sadar, aku nggak lebih penting dari Ningrum sampai-sampai kamu rela cuti demi nemenin dia."

Aruna benar-benar marah.

"Saya nggak mau bertengkar, Aruna."

"Memangnya siapa yang mau bertengkar? Jelas-jelas aku nggak mau buang-buang waktu bertengkar sama kamu cuma gara-gara perempuan lain."

"Tapi saya nggak ada hubungan apa-apa dengan Ningrum."

"Terus aja nyangkal."

Damar menutup kedua matanya, menghela napas yang ia rasakan semakin berat.

"Saya minta maaf, Aruna. Benar-benar minta maaf. Ningrum itu...,"

"Mood-ku lagi nggak baik sekarang, jadi aku nggak akan ngebahas lagi soal Ningrum." Aruna memotong ucapannya.

Dari nada suaranya, Aruna nampaknya masih belum bisa menerima dengan senang hati perjalanan mereka kali ini.

"Saya bersumpah kami nggak ada hubungan khusus," Damar berusaha meyakinkan Aruna.

"Udahlah. Aku lagi nggak butuh penjelasan. Nyetir aja yang bener."

"Aruna," Dipanggilnya nama Aruna dengan suara selembut mungkin.

"Udah, aku mau tidur. Abis ini langsung balik ke hotel aja. Aku udah nggak mood buat jalan-jalan."

"Aruna," Damar memanggilnya sekali lagi, tetapi Aruna tidak pernah menyahut lagi.

***

ARUNA

"Ternyata gue aja yang berharap lebih sama Damar."

Kembali ke keputusan awal akan lebih baik.

***

DAMAR

Kembali ke Jakarta dalam keadaan hubungan yang buruk dengan Aruna menjadi salah satu alasan bagi Damar melewatkan beberapa jam pagi itu di kantor dalam suasana muram. Diteguknya lagi kopi yang tadi diantarkan OB kantor, sambil berusaha berkonsentrasi pada pekerjaan. Laporan pembelian bahan baku, sudah sampai di mejanya pagi itu. Menurut Ratna, ia telah memeriksa sendiri barang yang datang. Semuanya lengkap juga dalam keadaan baik.

Damar memijit-mijit area di kedua matanya yang terasa nyeri. Berikut tengkuknya yang terasa semakin menegang. Sepertinya sebentar lagi kepalanya akan diserang rasa sakit. Ia telah menyiapkan aspirin, tetapi ia tidak akan meminum obat jika sakitnya masih bisa ia tahan. Ia hanya berharap efek kafein bekerja cepat sebelum mengganggu pekerjaannya.

"Kita pisah saja, Dam. Aku yang salah. Aku sadar diri kalau aku nggak pantas buat kamu. Aku buruk buat kamu. Dan kamu terlalu baik buat aku."

Kalimat itu terngiang lagi di benaknya.

Di antara beberapa kalimat yang diucapkan Aruna kepadanya semalam, kalimat-kalimat itulah yang terus menggema dalam pikiran dan tidak mau pergi.

Untuk pertamakali itulah Aruna mengakui jika dirinyalah yang merasa tidak pantas. Satu hal yang tidak pernah Aruna katakan. Satu hal yang rasanya begitu menyakitkan untuk ia dengar.

Tidak ada manusia yang tidak pantas satu sama lain. Kata tidak pantas itu sama saja tidak menghargai Sang Pencipta. Kata tidak pantas adalah bentuk rasa tidak percaya diri seorang manusia terhadap apa yang ia miliki.

Dan alasan bahwa ia terlalu baik untuk Aruna, juga adalah alasan yang dibuat-buat saja.

Selama ini, ia ikhlas dan sabar menerima Aruna karena ia yakin ia masih bisa mempertahankan rumahtangga mereka. Memperbaiki hubungan mereka.

Tidakkah Aruna juga ingin hubungan mereka menjadi hubungan yang lebih baik, seperti yang ia pernah katakan?

Rasanya terlalu cepat bagi Aruna untuk membuat keputusan.

Jika pemicunya adalah Ningrum, maka ia akan menyesal seumur hidup jika ia menyetujui rencana Aruna untuk berpisah.

Ia bahkan tidak punya perasaan lain kepada Ningrum selain menghargainya sebagai teman yang baik. Ia berulangkali meminta maaf, tetapi Aruna tetap bergeming, tidak menerima maafnya.

Damar menghenyakkan duduk di kursi kerjanya. Rasa nyeri di kepalanya berangsur-angsur berkurang. Kepalanya terasa lebih ringan. Namun bukan berarti beban pikirannya pun semakin berkurang. Hal itu terjadi saat ia menengok chat yang bermunculan di akun Whatsapp-nya.

Denise : Kak Damar, bisa ngobrol sebentar?

Denise? Ada angin apa Denise mengirimkan WA kepadanya?

Damar : Bisa. Ada yang bisa saya bantu?

Damar mengiyakan. Ia tidak punya alasan untuk menolak. Mereka bisa mengobrol lewat telepon.

Denise : Kak Damar ada waktu siang ini? Kak Damar biasanya makan siang di mana?

Damar : Di dekat kantor.

Denise : Kak Damar nggak keberatan saya nyamperin ke sana?

Damar : Iya

Denise : Saya tunggu infonya ya Kak?

***

Damar menyerah dan akhirnya meminum Aspirin ketika rasa nyeri di kepalanya kembali kambuh. Meskipun tidak separah pagi tadi, ia memutuskan meminum obat karena pekerjaannya masih banyak. Hari masih siang dan ia tidak punya rencana untuk pulang dan beristirahat lebih awal.

Di hadapannya, Denise duduk sambil mengaduk-aduk es teh. Wajahnya terlihat sedih. Sejak kedatangan Denise di rumah makan langganannya itu, hanya sekali Denise menampakkan senyum. Sesekali ia mengusap perutnya yang semakin membesar.

"Saya langsung aja ya, Kak. Saya ke sini mau ngomongin tentang Eryk, suami saya."

"Sambil makan aja, gimana?"

"Iya, Kak. Makasih." Denise kemudian menyeruput kuah soto ayam dan menyendok nasi yang telah ia guyur dengan beberapa sendok kuah soto dan isiannya.

Damar tidak ingin menebak-nebak apa yang akan diceritakan Denise tentang suaminya, meskipun rasanya ia telah memiliki bayangan tentangnya yang ia harapkan semoga saja salah.

"Hubungan saya sama Eryk mulai memburuk belakangan ini. Puncaknya dua hari lalu, Eryk bilang kalau dia mau pisah sama saya."

Damar mengangguk, belum ingin menimpali.

Meski ia benci mengapa hal tersebut adalah hal yang ia bayangkan sebelumnya.

"Saya nggak tau apa kesalahan saya, Kak. Tiba-tiba saja Eryk mau pisah dan katanya mau kembali kepada Aruna."

Damar menelan makanan, lalu menyeruput es teh untuk membantu pergerakan makanan melewati kerongkongannya.

Ia tidak mungkin mengatakan kepada Denise jika situasi yang sama juga tengah ia hadapi. Ia memilih menyimpannya. Karena saat ini ia hanya ingin membantu Denise keluar dari masalahnya.

"Dia bilang, Aruna pasti akan menerimanya kembali." Denise menatapnya dengan sorot mata lemah. "Menurut Kak Damar gimana?"

Damar tersenyum tipis. "Keluarga kami baik-baik saja. Dan saya berharap keluarga kalian pun baik-baik saja." Damar menjawab pelan.

Damar merasa begitu konyol saat mengatakannya. 'Keluarga yang baik-baik saja' mana yang ia maksud?

Ia cukup yakin, ia sedang menghibur dirinya sendiri.

"Saya masih cinta sama Eryk. Saya nggak bisa bayangin kami berpisah saat saya sedang mengandung anak kami. Kak, tolong saya."

Damar mengangguk pelan.

Bagaimana ia bisa membantu Denise sementara di saat yang sama rumahtangganya berada di ambang perpisahan?

"Saya nggak tau bagaimana saya bisa menolong kamu. Ini masalah rumahtangga kalian. Hanya kalian yang bisa menyelesaikannya."

Denise mengangguk ragu. "Tapi, Kak. Saya tidak ingin Aruna mengetahui hal ini. Bukankah sudah sejak lama Aruna menyukai Eryk?"

"Aruna adalah isteri saya dan kami sudah bahagia bersama. Jadi tidak ada kemungkinan Aruna akan kembali pada Eryk."

"Saya juga berharap seperti itu."

Denise terlihat tegar sepanjang bercerita perihal kondisi rumahtangganya. Dari pengakuan Denise, awalnya kehidupan rumahtangga mereka baik-baik saja. Eryk menyayanginya dan buah hatinya, bahkan mengatakan tidak sabar untuk segera menimang buah hati mereka. Sampai suatu hari mereka bertengkar mengenai sesuatu yang dirahasiakan oleh Denise. Dari cerita Denise, Damar tidak berani mengambil kesimpulan tentang siapa yang benar dan salah. Lagipula, ia masih bertanya-tanya mengapa Denise memilih menceritakan persoalan ini kepadanya. Tetapi menurut Denise, ia harus mengetahui persoalan itu karena telah melibatkan Aruna. Meskipun belum tentu juga Aruna memiliki andil terhadap keputusan Eryk.

Tetapi, bagaimana jika diam-diam Aruna memiliki rencana sendiri? Jika mengingat waktu yang dipilih Aruna untuk berpisah hanya berselang sehari dengan keinginan Eryk untuk berpisah dari Denise.

Bagaimana bila mereka merencanakan hal ini secara diam-diam?

"Untuk sementara, kamu jangan terlalu stres memikirkan masalah ini. Pikirkan kesehatan kamu dan bayi kamu. Bicarakan lagi baik-baik dengan Eryk. Saya yakin masalah kalian disebabkan kurang komunikasi hingga menimbulkan kesalahpahaman."

Denise menggeleng pelan. "Tadi pagi saya berusaha ngajak Eryk buat ngomong. Tapi, dia tetap ingin pisah."

Damar menghela napas panjang.

"Apakah kamu nggak keberatan kalau saya berbicara dengan Eryk?"

"Justru hal itu yang saya harapkan, Kak." Denise tersenyum getir. "Maaf kalau saya merepotkan Kak Damar. Saya mengambil jalan ini karena saya yakin Kak Damar bisa membantu saya mencari jalan keluar. Mungkin dengan mengajak Eryk bicara, Kak Damar bisa mendapatkan solusi terbaik."

Damar mengangguk. "Semoga keadaan lekas membaik ya?"

"Amin, Kak. Semoga saja," sahut Denise.

"Oh, ya. Keluarga kamu sudah mengetahui hal ini?"

Gelengan kepala Denise memelan. "Saya nggak berani ngomong. Karena Eryk adalah pilihan saya. Keluarga saya tidak menyetujui pernikahan kami karena...mereka tidak menyukai mertua perempuan saya. Saya sebenarnya nggak gitu akrab dengan mama mertua saya. Dan sepertinya, saya juga tidak bisa berharap keluarga Eryk bisa membantu menyelesaikan masalah ini. "

"Tapi...kenapa?" Damar tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.

"Mereka menyerahkan keputusan kepada Eryk dan tidak mau ikut campur."

Damar tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin keluarga Eryk seolah lepas tangan untuk urusan genting seperti ini?

"Kamu punya teman untuk berbagi masalah kamu, kan?"

"Punya, Kak. Hanya saja, saya nggak dapat solusi yang saya butuhkan. Entah mengapa hanya Kak Damar yang terpikirkan saat saya udah nggak bisa mikir jernih lagi."

Damar tersenyum. "Kamu terlalu berlebihan."

"Nggak berlebihan. Dari cara Kak Damar mendatangi rumah saya waktu itu sewaktu Aruna menyerang saya, saya bisa melihat kesabaran dan tanggungjawab Kak Damar." Denise tersenyum. "Aruna beruntung punya suami seperti Kak Damar."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage