FTSOL #14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



"Saya pangling melihat kamu pakai kerudung." Damar memberikan alasan untuk sikapnya yang sempat tidak berkedip melihat sosok Ningrum dalam balutan pakaian serba tertutup. Mengenalnya sejak masih berseragam putih biru hingga bertemu lagi saat kuliah, gaya berpakaian Ningrum selalu sopan. Rambut panjangnya ditata sederhana, kadang ia gerai atau diikat. Selaras dengan sikap kalem dan santun.

Damar lalu mempersilahkan Ningrum duduk di salah satu kursi, tepatnya menunjukkan kursi yang terletak di sisi kanan dari tempatnya duduk.

"Udah setahun saya pake kerudung, Mas." Ningrum menolak ajakannya duduk dengan halus. "Nggak usah, Mas. Ini juga udah mau balik. Kebetulan ini hanya singgah aja. Tadi saya juga habis makan di sini. Di pojokan sana." Ningrum menunjukkan meja di salah satu sudut The Royal. Pandangannya lebih banyak ditundukkan saat berbicara dengan Damar.

"Oh, gitu ya?" Damar lalu mengangguk.

Mereka sama-sama terdiam.

"Saya lihat Mas sama seorang perempuan. Isteri Mas ya?" kata Ningrum lagi. Matanya terarah ke bangunan hotel, yang kini juga dipandangi oleh Damar.

Damar mengangguk. "Iya, isteri saya."

Ningrum menampakkan senyum. "Cantik isterinya, Mas."

"Iya," Damar mengangguk lagi. "Terimakasih."

Ada jeda sekian detik, sebelum Ningrum bersuara lagi. "Sebenarnya saya ke sini mau nyekar ke makam ibu."

"Oh, ya? Kapan?"

"Besok pagi."

"Pagi ya?"

"Iya, Mas." Raut wajah Ningrum yang semula tersenyum tergantikan kesedihan.

"Nanti kita sama-sama nyekar ke sana."

"Iya, Mas," ujar Ningrum lagi, kali ini sedikit tersenyum.

***

Aruna menyelonjorkan kakinya selurus mungkin. Kini, ia sedang menonton TV yang menyajikan tayangan berita lokal. Sang pembawa acara tengah berada di candi Prambanan, berjalan-jalan sembari menceritakan seputar kisah di balik pembangunan candi tersebut.

Tadinya, ia sempat ingin berbaring saja di kamar, karena menurutnya tidak ada hal yang lebih baik dan lebih menyenangkan selain tidur. Berhubung kamar yang ia tempati sangat nyaman, jadi sangat cocok untuk tempat beristirahat sekaligus bermalas-malasan. Ia pun memutuskan menonton TV, ketika matanya tertumbuk pada monitor TV yang sejak kedatangannya jarang dinyalakan.

Sepertinya seru juga liputan tentang eksplorasi candi Prambanan. Perpaduan cara pengambilan gambar diiringi narasi pembawa acara menghadirkan tayangan menarik untuk disaksikan. Mungkin candi itu yang dimaksud Damar kemarin.

Padahal venue pesta yang ia hadiri tadi berada tidak jauh dari lokasi candi. Bisa saja tadi ia meminta untuk diantarkan ke sana. Kemudian ia teringat jika akan terasa ganjil jika ia berjalan-jalan menggunakan kebaya pesta. Jika mau, ia bisa kembali ke sana keesokan hari.

Diliriknya pintu, ketika mendengar suara ketukan. Ia beranjak membukakan pintu untuk Damar yang baru saja datang. Hampir sejam sejak ia masuk ke dalam kamar, Damar baru menampakkan diri. Apakah makan siang harus selama itu?

Ia ingin bertanya, tetapi rasanya tidak perlu. Paling-paling, Damar jalan-jalan ke mall tanpa memberitahunya. Bukan masalah, ia bisa pergi sendiri sore nanti. Atau malam setelah Damar balik ke Jakarta.

Damar menutup pintu di belakangnya, berjalan menuju lemari es kecil, kemudian mengeluarkan sebuah botol air mineral.

"Sore, saya mau ke mall sebelah."

Lho? Bukannya tadi ke mall? Kalau bukan ke mall, ia ke mana saja?

Apakah sejak ia kembali ke kamar, Damar hanya duduk-duduk di restoran?

Trus, Damar ngapain di restoran sampai nyaris sejam?

"Saya jadi ngambil cuti sehari," lanjut Damar, memberitahukan kabar yang ia tunggu-tunggu.

Wah. Jadi Damar setuju mengambil cuti untuk menemaninya berjalan-jalan?

Senyum perlahan merekah di wajah Aruna.

Akhirnya Damar mau mengalah.

Ini bisa dibilang kesempatan emas. Ia mungkin bisa mencoba merayu Damar malam nanti. Karena jujur saja, yang tadi siang itu masih membuatnya penasaran.

"Walaupun hanya sehari, paling nggak gue senang lo mau tinggal sehari lagi buat nemenin gue jalan-jalan."

Damar tidak lagi menyahut. Ia mengambil ponsel, kemudian terlihat mengetikkan sesuatu di ponselnya. Aruna mendesah, dan berbalik untuk menonton TV. Posisi tubuhnya dikembalikan seperti semula.

Kini, hanya suara TV yang terdengar memenuhi di living room.

"Saya sudah pesan tiket untuk besok. Termasuk untuk kamu."

"Gue kan maunya nambah libur dua hari," jelas Aruna.

"Saya janji bakal bawa kamu lagi ke sini Minggu depan."

Aruna menatap Damar dengan sewot, kemudian menggantinya dengan senyum meskipun dipaksakan. Damar mengambil jalan tengah dan merelakan tidak masuk kantor sehari demi menuruti keinginannya. Seharusnya ia pun bisa sedikit lebih berkompromi.

Hei, sejak kapan ia mengenal kata kompromi? Selama ini di pikirannya hanya ada pilihan iya dan iya.

Hanya kepada Damar-lah ia mau melonggarkan sedikit toleransinya. Kalau Damar bisa bersikap lebih baik lagi, ia pun akan pelan-pelan berubah menjadi sosok yang juga lebih baik.

"Jadi rute perjalanannya gimana?"

"Sore ini setelah dari mall, kita ke Bukit Bintang. Besok pagi saya mau nemenin teman nyekar, sehabis itu baru kita jalan-jalan seharian. Kita pulang ke Jakarta besok malam."

"Interesting."

"Saya harap kamu nggak protes lagi. Saya udah mikir-mikir untuk nggak ninggalin kamu sendirian di sini."

"Ya seharusnya memang begitu sikap seorang suami yang baik."

Damar hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya. Aruna tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Damar saat ia mengatakan kalimat itu. Entah merasa tersanjung atau malah senyuman tadi hanya bermaksud meledeknya.

"Kenapa? Seorang suami memang harus gitu kan?" ucap Aruna sambil mengangkat bahu. "Lagian, emang lo mau sampai gue kenapa-napa di sini? Yang bakal disalahin kan lo juga karena nggak bisa menjaga gue dengan baik."

"Dan sebagai isteri yang baik, bukannya kamu harus menuruti perkataan saya sebagai suami kamu?" balas Damar.

"Gue nurut waktu lo bilang mau balik besok malam? Gue nggak protes waktu lo ngasih penjelasan tentang rencana liburan. Selama ini gue berusaha nurut sama lo. Ya kan?" Aruna mengingat lagi bagaimana Damar meninggalkannya begitu saja sebelum ia sempat memuaskan hasratnya yang begitu meminta untuk dituntaskan. Sampai sekarang, jika mengingatnya, ia masih merasakan kekesalan.

Ternyata begini rasanya jika hasrat seksual tidak terlampiaskan. Pantas saja seseorang bisa dengan mudahnya kehilangan akal sehat.

Apakah ia harus jadi pihak yang menunggu? Sementara untuk meminta, ia enggan. Harga dirinya bisa jadi lenyap tak berbekas jika Damar menolaknya lagi. Meskipun kini, setiap menatap wajah Damar, ada gelenyar aneh tanpa henti yang ia rasakan.

Ia harus bagaimana?

"Terimakasih kalau begitu."

Aruna mencibir mendengar ucapan Damar. Laki-laki itu beranjak dari sofa tunggal, dan Aruna hanya bisa puas memandangi tubuhnya dari belakang, alih-alih memeluknya. Ia tidak ingin membandingkan postur tubuh Damar dengan Chris Evans atau superhero yang terbalut dalam pakaian ketat yang menunjukkan lekuk tubuh atletis mereka karena jelas perbandingannya tidak akan setara. Ras Kaukasia jelas memiliki postur yang lebih tinggi dan besar.

Yaah, cukup ideal menurutnya.

Hal yang terpenting kan performa di atas ranjang?

Ukuran bukan patokan kepuasan.

Ukuran tubuhnya ya, bukan ukuran yang lain.

Shit.

Kenapa pikirannya jadi se-absurd ini sih?

For God's sake, Damar. Berbaring telentang pasrah, bisa kan? Apa susahnya sih memuaskan isteri?

***

-DAMAR-

BUKIT BINTANG, JOGJA.

"Gue nggak tau tempatnya bisa sebagus ini," ucap Aruna yang terus memandang ke arah luar sepanjang perjalanan. Di lehernya sudah dikalungkan kamera, sementara ponsel sudah ia nonaktifkan dengan alasan ingin lebih menikmati pemandangan tanpa terhalang gangguan notifikasi ponselnya.

Damar hanya mendengarkan tanpa menimpali. Ia fokus menyetir mobil rental berjenis Fortuner VRZ, yang ia dapatkan dengan harga yang cukup mahal. Aruna memilih sendiri mobil yang akan mereka sewa, dan bisa dibayangkan jika pilihannya akan jatuh pada mobil seperti apa. Damar enggan berdebat karena ia hanya ingin menyenangkan perasaan Aruna.

"Kamu pasti udah sering ke sini." Aruna menolehnya sebentar. Rambutnya yang panjang beterbangan terkena tiupan angin dari jendela yang dibiarkan terbuka. "Segar banget."

"Nggak juga," balas Damar.

"Kenapa?"

"Tempat ini jauh dari rumah."

"Rumah lo dulu di mana?"

"Godean."

"Sekarang masih ada?"

"Masih. Ditempatin keluarga." Damar menjawab pendek-pendek karena posisi kendaraan melalui jalan menanjak. Ia harus tetap berkonsentrasi.

Mobil yang mereka kendarai kini telah melewati kawasan Piyungan. Artinya tersisa sekitar 10 menit berkendara untuk sampai ke Bukit Bintang.

Beberapa kali mobil mereka berpapasan dengan rombongan wisata yang sepertinya baru pulang dari pantai Gunung Kidul. Biasanya para wisatawan yang datang dari arah kota menuju pantai, ketika akan kembali ke kota, mereka akan menyempatkan singgah di Bukit Bintang karena letaknya di pinggir jalan.

Damar membelokkan mobil menuju ke tempat parkir yang tersedia di rest area.

"Waaah. Gue bisa liat sunset dari sini," Seruan Aruna terdengar di telinganya. "Pasti lebih indah lagi ya kalau malam?"

Damar lebih banyak diam. Ia hanya membiarkan saja Aruna berkeliling sambil melihat-lihat pemandangan. Dengan kamera mahal di tangannya, Aruna terus mengabadikan keindahan di atas bukit.

Rasanya sudah sangat lama ia tidak menyaksikan langit seindah ini di atas Bukit Bintang. Beberapa kali ke Jogja setelah pindah ke Jakarta, ia tidak pernah lagi menyempatkan waktu untuk berwisata ke sana. Ia selalu merasakan tidak punya banyak waktu karena yang dipikirkannya hanyalah semata-mata urusan yang berkaitan dengan pekerjaan. Belakangan ia menyadari ia kekurangan waktu untuk bersantai menikmati hidup. Padahal, pekerjaan tidak akan terbengkalai hanya karena sehari dua hari liburan.

Damar kembali mengamati tingkah polah Aruna.

Melihat perempuan itu berteriak-teriak kegirangan, tertawa, dan tersenyum lebar, mendatangkan kehangatan dalam hatinya.

Jika inilah sosok Aruna yang sebenarnya, akan lebih mudah baginya untuk jatuh cinta.

"Dam, gue mau duduk di sana. Bentar lagi sunset. Ayoooo." Aruna menariknya mengikuti langkahnya menuju salah satu spot yang cukup nyaman untuk duduk.

Mereka duduk berdampingan di salah satu bangku beton, sama-sama terdiam menyaksikan matahari yang mulai turun ke peraduan.

Warna langit berubah menggelap dengan semburat jingga kemerahan. Aruna terlihat mengambil gambar berkali-kali sebelum meletakkan kamera dan kembali fokus memandangi pergerakan matahari hingga benar-benar menghilang dari permukaan bumi.

"Indah banget," gumam Aruna.

Damar memandangi figur Aruna dari samping, tetapi lekas memandang ke arah yang lain ketika Aruna mendapati Damar memandang ke arahnya. Aruna meraih satu bahunya, setengah memaksa Damar menatap ke dalam matanya. Damar merasakan jemari Aruna melekat di tengkuknya.

Tidak ada yang terjadi. Mereka hanya saling menatap dalam keheningan. Cahaya yang semakin temaram, membuat pemandangan di sekitar mereka menjadi gelap.

"Saya nyari tempat shalat dulu." Damar mengucapkannya dengan hati-hati, supaya Aruna bisa mendengarnya. Ia berusaha mengajak Aruna ibadah bersama setiap ada kesempatan. "Ayo."

Awalnya Aruna enggan, tetapi ketika Damar meraih tangannya, Aruna mengangguk pelan.

"Gue nggak bawa mukena."

"Saya bawa."

"Lo shalat emang pake mukena?"

Damar seharusnya tertawa mendengar candaan Aruna, tetapi kemudian ia tersadar, ibadah adalah perkara serius. Aruna pastinya telah mendapatkan pelajaran agama di sekolah maupun di rumah, tetapi beribadah belum menjadi sesuatu yang wajib baginya.

"Sudah kewajiban saya mengingatkan kamu untuk ibadah, Aruna. Karena...,"

"Karena saya suami kamu." Sebelum ia melanjutkan, Aruna sudah menyambung kalimatnya dengan menirukan nada suaranya. "Pasti mau bilang gitu kan?"

Damar menggeleng.

"Karena saya ingin masuk surga bersama-sama kamu."

***

"Karena saya ingin masuk surga bersama-sama kamu."

Kalimat tersebut selalu terngiang-ngiang di telinganya hingga ia selesai shalat. Ya, mereka shalat Maghrib berjamaah, menumpang di salah satu mushala yang tersedia di restoran tempat mereka akan makan malam sambil menikmati pemandangan Bukit Bintang di waktu malam.

Aruna menunggu sampai Damar selesai berdoa untuk meraih tangannya dan kali ini ditambah dengan menghadiahi kecupan di pipi kiri Damar.

"Makasih udah bikin gue jadi alim."

Damar menggeleng pelan.

"Terimakasih sama Yang Di Atas karena sudah membukakan hati dan pikiran kamu."

Aruna tersenyum tipis sambil melepaskan mukena, dan melipatnya asal. Tetapi Damar mengambilnya dan membuat lipatan kecil yang rapi. Aruna tidak menahan dirinya untuk mencibir saat ia membuka rok pasangan mukena dan lagi-lagi Damar melipatnya, kemudian memasukkan ke dalam tas kecil berhias bordir berwarna putih.

"Rapi banget, Mas," ledek Aruna.

"Karena Mbak-nya suka ngasal," balas Damar kalem.

"Hih."

"Disimpan ya?" Damar menyerahkan tas mukena itu kepada Aruna, tetapi Aruna belum mengulurkan tangan untuk menerimanya.

"Tapi cium dulu."

Damar mengabaikan ucapan Aruna barusan dan memilih segera berjalan meninggalkan mushala.

"Mukanya kok merah, Mas?" Aruna terdengar semakin gencar menggodanya.

Apa iya wajahnya memerah sekarang?

"Ya udah kalau kamu nggak mau," Damar melangkah menuju mobil yang terparkir di depan restoran, kemudian memasukkan kembali tas berisi mukena tadi ke dalam ranselnya.

Aruna berdiri di depannya sambil melipat tangan di depan dada. Pencahayaan minim di parkiran membuat mereka satu sama lain tidak bisa membaca ekspresi di wajah masing-masing.

Damar mengajak mereka kembali masuk ke dalam restoran, untuk menempati meja yang telah mereka pesan.

"Mau makan apa nih?" tanya Aruna. Ia mulai melihat daftar makanan dan minuman yang tertera di buku menu. Tidak banyak pilihan menu yang tersedia. Rata-rata hanya berupa makanan dan minuman standar dengan harga terjangkau.

Tetapi ia tidak merisaukan menu yang tersedia. Karena dari tempat duduknya saat ini, ia bisa puas memanjakan matanya, menyaksikan pemandangan kota Jogja dan sekitarnya di malam hari dari ketinggian. Latar berwarna hitam dihiasi titik-titik lampu serupa langit malam yang bertaburan bintang-bintang.

"Nasi merah ayam goreng kampung sama roti bakar. Minumnya air mineral, sama jahe susu dua. Masing-masing dua porsi. Terimakasih, Mbak."

Damar menyebutkan pesanan mereka sesuai nama yang tertera di buku menu. Berhubung Aruna terlalu antusias menikmati pemandangan sambil memotretnya, sehingga ia menyerahkan urusan pilihan menu kepada Damar.

Pelayan mengulangi pesanan setelah Damar selesai membuat pesanan. Ia pamit dengan sopan setelah memastikan telah mencatat seluruh pesanan.

"Aruna, hati-hati. Jangan terlalu dekat ke pagar pembatas." Damar memperingatkan Aruna yang saat ini terlalu fokus memotret sampai tidak menyadari tubuhnya berada terlalu dekat dengan pagar pembatas yang terbuat dari besi bercat warna kuning.

"Iya," Aruna mundur selangkah lalu kembali memotret. Kali ini ia memotret ke arah restoran. Ia meminta Damar diam saat mengambil gambarnya berkali-kali. Damar ingin melihat hasil fotonya tetapi, Aruna enggan memperlihatkan. Katanya biar saja Damar penasaran.

"Nggak boleh ngambil foto orang lain tanpa ijin," ujar Damar. Aruna kini kembali duduk, menunjukkan senyum puas karena sukses membuatnya kesal. Damar tidak begitu suka difoto. Kalaupun difoto, ia biasanya suka berfoto beramai-ramai, jadi fokus kamera bukan hanya kepada dirinya.

"Bagus kok," kata Aruna sambil melihat-lihat hasil jepretannya.

"Apa saya harus nyium kamu dulu baru saya bisa lihat foto saya?"

"Tetap nggak akan gue kasih lihat. Biar aja nanti ketahuan setelah dicetak." Aruna tertawa. "Serius, bagus kok. Gue malas mengakui. Sebenarnya lo cukup fotogenik."

"Saya juga nggak pernah mengakui kualitas wajah saya, baik off atau on camera. Tinggal orang yang melihat saja yang memberikan penilaian."

Mereka mengobrol sambil menunggu pesanan makanan mereka datang. Lumayan lama, sampai pelayan tadi kembali ke meja mereka membawa baki yang dipenuhi piring-piring nasi ayam, roti bakar dan gelas-gelas berisi susu jahe. Pelayan sempat memohon maaf karena membuat mereka menunggu lama, karena pelanggan restoran cukup ramai.

"Nggak apa-apa, Mbak." Damar membalas permintaan maaf dengan ucapan lembut dan senyum. Tadinya, Aruna sempat menyinggung pelayanan restoran yang sangat lambat, ketika mereka menunggu.

"Iya, Mas. Terimakasih. Silakan dinikmati makanan dan minumannya."

Aruna memilih mencicipi dulu rasa susu jahe yang menurutnya cukup enak sebelum mulai menikmati makanannya. Menurut Aruna, nasi merahnya sedikit keras, dan ayam gorengnya kurang kering dan kurang renyah. Damar memilih tetap makan tanpa mengomentari makanan dan minuman yang menurutnya cukup memuaskan. Ia tidak masalah dengan ayam goreng dan tekstur nasinya. Mungkin ekspektasi Aruna yang terlalu tinggi. Atau memang Aruna terbiasa memberikan kritikan terhadap apa yang ia konsumsi.

"Disyukuri aja kalau rasa makanannya kurang berkenan di lidah kamu." Damar lalu menyesali ucapannya. Menyebutkan kata lidah dan kamu, bukanlah pilihan kata yang aman. Ia menelan ludah.

"Namanya juga kurang sreg kan? Mau gimana lagi?"balas Aruna, sambil tersenyum-senyum.

Damar enggan bertanya mengapa Aruna tersenyum. Tetapi Aruna ternyata berbaik hati menjelaskan alasannya.

"Kalau yang menantang, lidah gue pasti suka."

"Maksud kamu?"

Aruna menggeleng, tetapi senyum tidak juga pudar dari wajahnya.

"Lupain aja."

Aruna menyuruhnya lupa.

Tapi bagaimana caranya lupa?

***

ARUNA

Raut wajah Damar berubah sepanjang sisa makan malam. Mungkin ia tahu atau berpura-pura tidak tahu. Tapi sepertinya Damar pasti paham. Wajahnya mungkin cukup polos, tetapi pikirannya sudah pasti tidak sepolos kelihatannya.

"Fotoin," pinta Aruna yang kini mengatur posisinya, berdiri di dekat pagar pembatas.

Mereka baru saja selesai makan malam bersama dengan menu yang kurang ia sukai, tetapi anehnya bisa ia habiskan tanpa bersisa, mulai dari nasi ayam goreng kampung, hingga roti bakar. Padahal rasanya biasa saja. Tidak ada yang spesial. Kemungkinan karena ia memang kelaparan.

Damar meraih kamera yang ia sodorkan, lalu mulai mengambil gambar berkali-kali, mengikuti permintaannya. Ia ingin memastikan ia memiliki banyak stok foto di tempat itu sebelum pulang.

"Hotelnya udah di-booking kan?" tanya Aruna memastikan.

"Iya, sudah tadi lewat aplikasi. Semoga sesuai ekspektasi kamu." Damar menjawab. Kedua tangannya berpegangan di besi pagar pembatas. Wajahnya menghadap bentangan pemandangan landscape bertaburan bak bintang di bawah tempat mereka berpijak.

"Bukan suite room?"

"Kamu memang nggak bisa ngerasain fasilitas yang biasa-biasa aja?" Damar balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

Bukan salahnya, pemandangan yang terbentang di hadapan mereka terlalu indah untuk dilewatkan meski hanya sekian detik.

"Gue sulit nurunin standar gue terhadap fasilitas yang gue nikmati. Semuanya karena kebiasaan dari keluarga," jawab Aruna kalem. "Jelas nggak kaya lo, yang sukanya sama segala sesuatu yang biasa-biasa saja."

"Kebiasaan dari keluarga," balas Damar.

"I know. Nggak perlu dijelasin lebih lanjut." Aruna menarik napas dalam-dalam. "Lo pasti mikir gue nggak bakal mau hidup dalam keadaan serba biasa-biasa saja atau malah kekurangan."

"Saya nggak mau mengkritik pola pikir kamu. Apa yang kamu suka, kalau itu buat kamu nyaman, saya nggak bisa membatasi apalagi melarang kamu." Lalu terdengar embusan napas Damar seusai mengatakannya.

Aruna tersenyum mendengarnya. Damar menghargai sikapnya. Sekalipun ia yakin, jika Damar bisa memperingatkannya, ia akan melakukannya jika itu demi kebaikannya. Termasuk perkara ibadah dan menghargai orang lain, seperti sikapnya kepada pelayan di restoran tadi.

He just has pure heart and soul.

Bodoh jika ia mengatakan ia tidak tersentuh dengan sifat dan sikap Damar yang ia tunjukkan selama ini. Damar memang bukan laki-laki terbaik di dunia ini baginya, karena sudah pasti yang terbaik adalah almarhum Bapak.

Damar adalah seorang laki-laki biasa, tetapi dengan kualitas attitude yang luar biasa.

Ia bisa saja mengatakan kepada Damar jika ia mencintai Damar dan ingin sungguh-sungguh menjalani pernikahan ini.

Tetapi apakah Damar bisa menerima dirinya dengan segala kekurangan yang ia miliki?

Termasuk masa lalunya?

Ia tidak siap jika ia menceritakan semuanya kepada Damar kemudian Damar akan berbalik memunggunginya dan pergi begitu saja meninggalkannya?

Keluarganya adalah keluarga kaya, terpandang dan terkenal harmonis. Tetapi, tetap saja ia bukan darah daging papa dan mama.

Meskipun berjuta kali papa dan mama menegaskan jika ia tidak boleh lagi menengok ke belakang, kepada masa lalu yang kelam. Tetap saja sangat sulit baginya untuk melupakan segalanya. Sulit bahkan mungkin terbilang mustahil.

Sebab memori selamanya akan melekat di dalam pikiran, bukan seperti barang rongsokan yang bisa dilenyapkan hingga tidak berbekas.

"Gue udah ngantuk."

Aruna melenyapkan suara-suara yang silih berganti menghinggapi benaknya.

"Sudah puas foto-fotonya?"

"Mhh, ya."

"Oke. Kita ke hotel sekarang."

***

DAMAR

Aruna berbaring dengan posisi menyamping membelakanginya. Sejak meninggalkan Bukit Bintang, Aruna tidak banyak bicara. Damar sebenarnya juga tidak mengajaknya mengobrol lagi karena ia pun menyadari tubuhnya sudah cukup lelah dan memerintahkan dirinya untuk segera beristirahat. Mereka bergantian memakai kamar mandi sebelum beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat.

Tidak pernah sekalipun ada komplain dari Aruna perihal kamar hotel yang mereka tempati kini. Padahal ukurannya terbilang cukup kecil, fasilitas yang tersedia juga seadanya. Sekalipun di kamar mandi tersedia air panas dan tidak ada bathtub untuk berendam, tidak ada protes darinya.

Aruna mungkin terlalu lelah hingga ia tidak punya banyak energi untuk mengomel kepadanya perihal ketidaknyamanan.

Bukannya ia senang jika Aruna marah-marah, tetapi melihatnya "mengalah" adalah suatu hal yang tidak biasa. Hal yang akan selalu menjadi tanda tanya baginya.

Yah, sudahlah. Lebih baik ia segera beristirahat, karena besok pagi ia masih harus menghadapi rangkaian kegiatan yang telah ia susun sejak siang tadi. Ia ingin terbangun esok pagi dalam keadaan segar bugar.

"Selamat malam, Aruna." ucap Damar pelan di telinga Aruna, kemudian berbaring di sampingnya.

***

Aruna membuka mata perlahan, mendengar suara Damar di telinganya.

Ia tersenyum, tetapi tidak bisa menahan setetes airmata yang merembes dari kelopak matanya.

Rasanya akan sulit mengucapkan selamat tinggal sama kamu, melepas kamu, apalagi hidup tanpa kamu.

Tapi nanti juga akan terbiasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage