FTSOL #13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bukan begitu maksud saya."

"Trus apa?" tanya Aruna tidak sabaran.

Tanpa menunggu jawaban darinya, Aruna kembali membungkukkan badan untuk mengecup bibirnya. Kali ini dengan ritme yang lebih lambat. Aruna sengaja menggodanya dengan memainkan lidah di sepanjang bibirnya yang tetap terkatup. Saat Damar kehilangan kontrol terhadap bibirnya yang sejak tadi berusaha ia tutup, lidah Aruna melesak masuk ke dalam mulutnya melalui celah mulutnya yang hanya sedikit terbuka. Dengan lincahnya, Aruna memperdalam ciumannya hingga ia merasakan lidah Aruna membelai lidahnya. Ia pasrah, dan Aruna semakin menggila.

Aruna benar-benar expert soal yang satu ini. Ia tidak punya pembandingnya karena ia tidak pernah mencium perempuan lain sebelum Aruna. Tetapi sebagai lelaki dewasa, ia cukup memiliki pengetahuan dalam hal hubungan intim dengan pasangan. Gesture tubuh Aruna saat mereka berciuman bisa jadi buktinya. Tidak ada keraguan apalagi kecanggungan. Seolah telah terbiasa.

Bibir Aruna menjamah bibirnya lagi, kali ini sambil mengelus permukaan dadanya yang syukurnya masih terbungkus kaus. Karena ia cukup yakin tidak akan bisa mencegah jika saat itu Aruna bermaksud menelanjangi tubuhnya.

Seharusnya Damar menikmatinya, tetapi tidak bisa. Rasanya tidak nyaman berciuman dengan posisinya tubuhnya yang sepenuhnya dikuasai Aruna.

Bukan tanpa alasan.

Ia hanya tidak ingin Aruna mengejek kemampuannya yang satu ini dan menjadikannya sebagai bahan lelucon. Jadi, ia harus memastikan dirinya untuk menghindari Aruna menjauhkan dirinya sesegera mungkin.

Damar menyentuh kedua rahang Aruna, setengah memaksa menjauhkan wajah Aruna hingga kini berjarak dengan wajahnya. Dihelanya oksigen meski dengan napas pendek-pendek. Bibirnya terasa lembab dan berkedut-kedut karena tekanan berkali-kali. Pengalaman pertama yang tidak pernah terbayang akan ia alami bersama Aruna.

Rasanya begitu aneh. Ia tidak menyangka Aruna bisa seganas dan seliar itu kepadanya, mengingat betapa benci Aruna kepadanya.

Ia bisa mendengar Aruna mengumpat karena tindakannya barusan.

"We need to stop," gumam Damar. Suaranya dilembutkan, tidak ingin melukai perasaan Aruna.

"Kamu kenapa sih?" gerutu Aruna. "Aku sudah bilang aku mau making love sama kamu. Kamu nggak mau?"

Damar ragu antara ingin mengangguk atau menggeleng.

Laki-laki normal mana yang tidak ingin making love saat ada kesempatan?

"Apa aku kurang seksi?"

Tentu saja tidak.

Damar tentu saja tidak bisa mengatakannya. Tubuh Aruna yang kini tidak lagi terbungkus kaus putih yang tadi dipakainya, menyisakan pakaian dalam, terlihat seksi. Ia tidak bisa mengamatinya berlama-lama, karena ia harus menahan dirinya. Kulit Aruna kuning langsat, sedikit kontras dengan kulitnya yang berwarna sawo matang. Warna kulit khas perempuan Indonesia. Tubuhnya seolah terukir sempurna, berlekuk indah di bagian yang tidak bisa ia tatap berlama-lama sebelum benar-benar tergoda. Ia tidak bisa menyangkal pesona fisik Aruna, dan ia memang tidak berniat menyangkalnya.

Tunggu sebentar. Seingatnya, tadi Aruna berpakaian lengkap.

Lalu, sejak kapan Aruna melepaskan pakaiannya?

"Saya nggak yakin kamu mau...saya," ucap Damar, akhirnya. Masih

"Kenapa kamu mikirnya begitu?" Aruna berdecak kesal. "Aku udah separuh telanjang di hadapan kamu. Masih nggak yakin juga?"

Kali ini Aruna melemparkan ke lantai bra nude yang entah sejak kapan ia lepaskan. Kemungkinan saat perempuan itu mencaplok bibirnya secara bertubi-tubi. Seakan-akan besok akan kiamat.

Darah di tubuh Damar berdesir menyaksikan pemandangan indah di hadapannya.

Aruna yang ia lihat kini terlihat polos sekaligus menantang. Sialnya, Aruna malah menurunkan tubuhnya sedikit demi sedikit sehingga bagian tubuhnya yang menggantung indah bergesekan dengan permukaan dadanya yang tertutup kaus.

Ia pernah menginginkan Aruna, bermesraan dengannya di malam pertama pernikahan mereka. Menginginkan berbagi kebahagiaan bersama perempuan yang ia pilih sebagai pasangan hidup, kekasih halalnya.

Tapi bukan dengan cara seperti ini.

Ia hanya ingin cara yang sedikit lebih beradab. Cara yang sesuai dengan bayangannya tentang bagaimana seharusnya hubungan suami isteri dilakukan.

Baginya, butuh persiapan matang dan pikiran jernih untuk melakukan hubungan badan dengan pasangan. Bukan hanya sekadar menginginkan tubuh satu sama lain.

Lebih daripada itu.

Ia hanya ingin melakukannya di saat sudah siap. Di saat perasaan mereka satu sama lain telah terkoneksi dengan baik.

Tidak serta-merta seperti sekarang ini.

Mereka bahkan baru saja berbaikan. Belum genap beberapa jam sejak Aruna menyuruhnya untuk tidak ikut campur terhadap kehidupannya.

Ia bisa mengatakan, tingkah Aruna ini sangat labil.

"Kamu...normal kan?" tanya Aruna dengan tatapan menuduh. "Aku bicara soal orientasi seksual kamu."

Aruna memundurkan duduknya, hingga kini menduduki pahanya. Damar hanya memalingkan pandangan, menahan erangan dari dalam mulutnya saat Aruna menyentuh permukaan celananya tepat di bawah perutnya.

"Ck. Kamu udah turn on gini, masih bisa nolak juga ya? Aku salut sama pertahanan diri kamu. Laki-laki lain belum tentu bisa seperti kamu."

"Bisa turun nggak?" pinta Damar dengan suara yang tiba-tiba serak. Seringaian di wajah Aruna membuat wajahnya memanas.

Ya Tuhan. Ia laki-laki, bukan perempuan perawan lugu.

"Kalau aku nggak mau?" Aruna kini menggigit bibir bawahnya dengan sikap sensual.

Damar terpaksa membalik posisi tubuh mereka hingga kini Aruna berada di bawah. Aruna menggerakkan tubuhnya dengan sensual, sengaja menyentuh permukaan dadanya yang polos menggunakan kedua telapak tangannya sendiri.

"Masih ada kesempatan untuk berubah pikiran," sahutnya.

Damar kembali membuang pandangannya dari Aruna, sambil bergerak turun dari tempat tidur. Ia kemudian menarik ujung-ujung bed cover untuk menutupi tubuh polos Aruna.

"Kamu kenapa sih?"

Damar tidak menyahut.

Ia harus bergegas keluar dari kamar itu, sebelum ia benar-benar berubah pikiran.

***

Aruna menyesap rokok dalam-dalam. Memenuhi paru-parunya dengan nikotin dan zat lain yang menimbulkan risiko besar terhadap kesehatan.

Ia masih betah duduk berendam di dalam bathtub.

"Dasar laki-laki bodoh. Udah dikasih kesempatan malah nolak."

Aruna masih setengah yakin jika Damar itu benar-benar memiliki orientasi seksual yang normal. Ia sudah semenggoda itu, tetapi Damar masih juga tidak tertarik. Ia memeriksa sendiri, meraba organ masa depannya. Masih bereaksi, berarti masih bisa ereksi dong.

Lalu apalagi yang ia tunggu?

Aruna mematikan rokok yang tadinya ia hisap. Ia menyandarkan punggungnya hingga lebih tegak.

Apakah ia tidak pantas untuk dicintai?

Dulu Eryk, sekarang Damar.

Nanti siapa lagi yang akan menyia-nyiakan dan mencampakkannya?

Kapan ia bisa merasakan kebahagiaan?

Kapan ia akan mendapatkan kasih sayang seperti yang selama ini ia harapkan?

***

Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Damar memutuskan tidak akan mengambil cuti. Ia harus segera masuk kantor keesokan hari karena ia masih harus memastikan pembelian bahan baku untuk segera diproses. Ia merasa tidak memerlukan liburan, setidaknya untuk saat ini.

"Aruna, saya mau pesan tiket untuk pulang. Kamu pulang bersama saya kan?" tanya Damar ketika mereka duduk bersama menikmati makan siang di The Royal.

"Gue masih mau tinggal. Kan udah gue bilang gue masih pengen jalan-jalan?"

"Saya nggak bisa ninggalin pekerjaan di kantor. Minggu ini, bahan baku produksi sudah harus segera masuk gudang."

"Lo pergi aja."

"Kita bisa ke sini Minggu depan. Saya akan usahakan pekerjaan saya bisa selesai di Jumat siang, jadi Jumat sore depan, kita bisa ke sini lagi."

"Lo pergi aja," ulang Aruna.

"Saya nggak bisa biarin kamu sendirian," balas Damar. "Jadi, ikut pulang sama saya."

Aruna mengunyah mie goreng Jawa-nya, nampak tidak berselera. Sangat kontras dengan makan siang mereka saat baru tiba di sana. Aruna begitu kalap makan. Tetapi kini? Makanan di meja mereka hanya dipandanginya tanpa minat.

"Belum tentu Minggu depan mood gue mau diajak liburan. Jadi, gue nggak akan pulang bareng lo."

Damar lekas mengangguk. Ia tidak menjawab lagi, karena ia tahu saat itu Aruna sedang tidak ingin didebat. Mereka pun sedang makan, jadi semestinya suasana di meja makan harus dalam keadaan baik.

"Makan yang banyak," ujar Damar, seakan menyemangati Aruna.

Aruna hanya tersenyum tipis. "Mie gorengnya nggak enak. Beda dari yang kemarin. Apa chef-nya ganti ya?"

"Boleh saya coba?" tanya Damar. Ia sendiri memesan nasi dan soto, tetapi karena Aruna mengatakan rasanya kurang enak, ia penasaran ingin membuktikannya sendiri.

Rasanya tidak ada yang aneh. Rasa asin, gurih dan manis yang dihasilkan dari perpaduan aneka rempah, semuanya terasa pas di lidahnya.

"Enak kok."

"Nggak enak," bantah Aruna.

"Ya sudah. Kita tukaran. Kamu makan makanan saya, biar saya habiskan mi gorengnya."

Aruna membiarkannya mengangkat piring di hadapannya kemudian menukar dengan nasi dan soto yang baru sesuap dimakan.

"Tetap nggak enak," Kali ini Aruna telah selesai menyuap sesendok nasi dan dua sendok soto.

Selera makannya yang sedang bermasalah.

"Apa mau pesan yang lain? Kemarin kamu bilang kamu suka nasi gorengnya," kata Damar berusaha menetralkan suasana. Ia bersiap mendengarkan keluhan Aruna. Tetapi, selesai menyuap sesendok soto lagi, Aruna memilih meneguk air minum dan mengatakan ia telah menyudahi makan siangnya.

"Gue balik duluan ke kamar." Aruna meminta kunci kamar yang disimpan Damar di dalam saku celananya.

Ia membatin. Paling tidak, biarkan ia menghabiskan makanannya dulu. Rasanya ganjil melepas Aruna sendirian kembali ke kamar. Mereka selalu keluar dan kembali ke kamar hotel bersama-sama.

Oke, kecuali yang kemarin malam.

"Bisa tunggu sebentar, sampai saya menghabiskan semua makanan ini?" Damar tidak akan menyerahkan kunci kamar sampai makanan di meja itu habis.

"Tinggalin aja kenapa sih? Takut mubazir?" kata Aruna kesal. "Kasih aja kuncinya ke gue."

Damar kembali membatin.

Apakah mood Aruna menjadi buruk seperti itu karena penolakannya di kamar tadi?

Damar akhirnya mengalah dan mengangsurkan kunci kepada Aruna. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aruna meninggalkan restoran. Damar memandangi kepergiannya sampai menghilang dari pandangan.

Berada di dalam kamar lebih baik bagi Aruna. Aruna bisa menggunakan waktu tersebut untuk beristirahat.

"Mas Damar?"

Wajah Damar terangkat, lalu sedikit memutar menuju sumber suara. Sesosok perempuan mengenakan terusan batik biru, rok hitam dan mengenakan kerudung senada dengan terusan batiknya, tersenyum kepadanya.

"Ningrum?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage