FTSOL #17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DAMAR

Damar menghentikan mobil di depan sebuah toko bunga. Letaknya di kompleks perkantoran yang ia lewati sepulang kerja sore itu.

Ia telah merencanakan membeli bunga ketika masih berada di kantor. Ia bahkan sempat melakukan pencarian di situs Google mengenai jenis bunga yang ia rasa cocok untuk diberikan kepada Aruna. Setelah yakin akan rencananya, ia pun mencari alamat toko bunga yang recommended dan bisa ia jangkau dengan cepat.

Mengapa ia sampai harus membelikan bunga untuk Aruna? Jawabannya adalah karena ia hanya ingin memberikan bunga kepada Aruna. Ia cukup yakin Aruna akan menyukainya. Selama ini, ia belum pernah memberikan sesuatu yang berkesan romantis, misalnya bunga atau cokelat. Ia terpikir membeli bunga terlebih dulu, barulah setelah itu ia akan mempertimbangkan untuk memberikan cokelat.

Dari arah luar toko, ia bisa menemukan melalui pandangannya, deretan bunga berwarna-warni. Ia sendiri tidak tahu bunga kesukaan Aruna. Ia masuk ke dalam toko dan menemukan lebih banyak lagi jenis bunga.

"Mawar putih aja, Mbak," ucapnya setelah menjatuhkan pilihan kepada mawar putih yang berdampingan dengan mawar merah.

Dengan sigap, karyawan toko mengambilkan bunga yang telah dipilih oleh Damar. Lalu, karyawan tersebut bertanya, memastikan sekali lagi tentang bentuk rangkaian bunga yang diinginkan. Hanya mawar putih saja atau dipadu dengan jenis bunga yang lain.

"Iya. Dibuat buket bunga. Khusus mawar putih saja. 25 tangkai."

"Pakai kartu nama, Pak?"

Damar tersenyum. "Iya, Mbak."

"Baik. Atas nama siapa?"

"My wife. Aruna," jawab Damar, sedikit ragu. Awalnya ia hanya ingin mencantumkan nama Aruna saja. Untuk menambahkan kesan romantis, ia menambahkan kata My Wife di depan nama Aruna.

Ya. Aruna adalah isterinya.

Damar tidak bisa menahan senyum di wajahnya. Membayangkan ia memberikan buket bunga tersebut nanti, membuatnya jadi merasa ganjil di dalam dirinya. Ia tidak ingin berekspektasi macam-macam mengenai respon Aruna saat ia memberikan bunga. Ia hanya berharap Aruna menyukainya. Syukur-syukur mengucapkan terimakasih.

Tetapi, bagaimana jika lebih daripada itu? Aruna menciumnya, misalnya? Bagaimana ia akan menghadapinya?

Setelah melakukan pembayaran, Damar pun berjalan keluar dari toko dengan membawa buket bunga bersamanya. Ia takjub kepada dirinya sendiri karena mau melakukan hal yang ia pikir bukan sesuatu yang mungkin akan ia lakukan. Untuk kepribadiannya yang cukup kaku, memberikan bunga kepada pasangan adalah satu hal yang tidak terpikir untuk ia lakukan. Jika disuruh memilih, ia lebih nyaman membelikan makanan atau mengajak Aruna ke tempat-tempat yang disukainya.

Tetapi jika Aruna ternyata menyukai bunga pemberiannya ini, ia tidak akan ragu untuk memberikannya lagi di kesempatan lainnya.

Setelah memarkirkan mobil di garasi, Damar mengamati lagi buket bunga yang ia letakkan di kursi di sebelahnya. Ia menghela napas panjang-panjang. Setelah benar-benar yakin, ia pun turun dari mobil.

Ia melihat mobil Aruna terparkir manis di garasi. Ia berjalan menuju teras rumah kemudian mengeluarkan kunci dari saku celananya. Ia ingin membuat kejutan.

"Aruna?" panggil Damar ketika memasuki ruang tengah. Masih sambil membawa buket bunga, ia memeriksa ke dalam pantri, kamar, hingga balkon, tetapi Aruna tidak ada.

Damar meletakkan buket bunga ke atas meja saat ia kembali lagi ke ruang tengah. Ia bermaksud menanyakan keberadaan Aruna dengan mengirimkan WA. Tetapi, tiba-tiba terdengar bel.

Mungkin itu Aruna.

Damar bergegas menuju ruang tamu. Saat mengintip lewat tirai, ia menyaksikan Aruna menunggu di teras. Sebuah mobil memutar di halaman. Ia melihat dengan jelas siapa pengemudi di dalam mobil. Lebih jelas lagi saat si pengemudi melambaikan tangan ke arah Aruna.

Eryk.

Damar berusaha menepis perasaan aneh yang menghinggapi hatinya saat membukakan pintu untuk Aruna.

"Kirain belum pulang," Aruna melangkah masuk dengan santai. Ia bahkan tidak repot menjelaskan siapa yang mengantarnya pulang. Damar berjalan lebih dulu meninggalkan ruang tamu.

Ia tidak perlu repot menyembunyikan buket bunga tadi.

"Kamu abis beli bunga?" tanya Aruna. Saat Damar berbalik, Aruna sedang memegangi buket bunga itu. "Serius? Ini kamu yang beli? To my wife, Aruna."

Damar tersenyum tipis.

"So beautiful."

Wajah Aruna nampak antusias menerima white roses bouquet yang diserahkan Damar kepadanya.

"Sekalipun bakal layu, bunga ini bakal aku simpan."

Aruna terus memandangi rangkaian bunga di tangannya dengan senyum merekah di wajahnya.

"Kamu su...,"

"Aku ketemu Eryk hari ini." Aruna menghela napas lega setelah mengucapkannya.

Damar mendengarkan ucapan Aruna tanpa tahu bagaimana harus bersikap. Ia hanya diam mengamati gerak-gerik Aruna. Buket bunga yang ia berikan diamat-amati Aruna sebelum diletakkan Aruna di atas meja.

Aruna menghampirinya, mengalungkan lengan di lehernya, dan seperti yang telah diperkirakan Damar, Aruna menciumnya. Awalnya ia berpikir Aruna akan menciumnya sebentar saja, sampai Aruna semakin memperdalam ciumannya. Ia tidak ingin menolak. Ia mengambil langkah maju. Ia balas mencium Aruna, menariknya lebih dekat dengan memegangi pinggangnya. Kedua mata Aruna nampak sedikit melebar, mungkin tidak mengira dengan respon yang Damar berikan. Tetapi, kemudian Aruna kembali memusatkan tatapan ke arah matanya, menikmati setiap cumbuan yang Damar berikan kepadanya.

Tanpa melepaskan bibirnya, Damar mengarahkan tubuh Aruna mendekati sofa terdekat dan dengan hati-hati membaringkan Aruna di atasnya. Ia mulai memahami bagaimana harus mengimbangi pergerakan mulut dan lidah Aruna. Aruna memeluknya erat di punggung sambil menerima setiap ciumannya.

Damar mengakui jika hingga detik ini ia belum menaruh ekspektasi apa-apa mengenai hubungan mereka. Ia mungkin menyukai Aruna. Baiklah, ia tidak akan memungkiri perasaan itu. Ia memang menyukai Aruna. Sikap Aruna yang semakin hari semakin membaik, perlahan menambahkan keyakinan dalam dirinya bahwa mereka bisa bahagia bersama. Setiap sentuhan Aruna di tubuhnya, senyum dan tawa Aruna, semuanya terasa begitu indah.

Seharusnya.

Seharusnya terasa indah, andaikan tidak ada nama lain yang terucap dari bibir Aruna.

"Mau pindah ke kamar?" tanya Aruna setelah ciuman mereka terlepas.

Damar menggeleng. Pikirannya masih terus mengingat bagaimana Aruna yang berdiri di teras dan bayangan Eryk yang melambai kepada Aruna sebelum mobilnya berlalu pergi. Senyum di wajah Aruna saat menyebutkan nama Eryk.

Mereka bertemu hari ini dan Aruna bahkan tidak berusaha menyembunyikan hal itu darinya.

Sebenarnya apa yang diinginkan Aruna saat ini?

"Yang anterin kamu pulang tadi, Eryk?" Damar tidak tahu mengapa malah pertanyaan itu yang meluncur dari bibirnya. Ia memang mencium Aruna, tetapi sepanjang kemesraan mereka tadi, benaknya terasa penuh dengan bayangan Aruna dan Eryk.

"Aku nggak bawa mobil, jadi dia yang nganterin," Aruna menjelaskan sembari melepaskan satu kancing kemejanya. "Di sini aja biar cepat. Aku malas pindah ke kamar. Di sofa juga nggak masalah. Nggak gitu leluasa sih, tapi aku nggak keberatan." Ia melepaskan lagi kancing kedua dan ketiga.

Damar menghentikan gerakan tangan Aruna ketika jemari perempuan itu telah berada di kancing keempat kemejanya. Kening Aruna mengerut.

"Mau mandi dulu?"

Damar menghindari tatapan Aruna yang sepertinya mulai mengerti jika kemesraan mereka tidak akan berlanjut.

Bagaimana mungkin mereka bermesraan dalam keadaan seperti ini? Ia butuh penjelasan dari Aruna. Penjelasan yang sejelas-jelasnya perihal pertemuannya dengan Eryk, dan berakhir dengan Eryk yang mengantar Aruna pulang.

"Dam? Kamu kenapa?"

"Saya kenapa?"

"Muka kamu asem gitu," ujar Aruna santai. Aruna menggodanya dengan meminta Damar menciumnya lagi.

"Saya mau mandi," tolak Damar dengan jawaban singkat, sambil mengancingkan kembali kemejanya setelah mengambil posisi duduk. "Seharian di kantor, badan saya gerah. Selain ekspresi muka saya yang asem, saya rasa badan saya juga begitu."

"Ya udah. Lebih baik begitu sih." Aruna pun bangun dari posisi berbaring. "Bareng aja mandinya."

"Saya lagi nggak mau...mandi bareng kamu."

"Kenapa? Kemarin bukannya kamu yang nawarin?"

"Lupain aja yang kemarin."

Aruna tentu tidak melepaskannya begitu saja.

"Kamu kenapa sih, Dam? Tadi kamu nyium aku, trus sekarang kamu kaya alergi gitu sama aku. Perubahan sikap kamu yang tiba-tiba seperti ini bikin aku bingung." Protes di nada suara Aruna tidak lagi bisa ia elakkan lagi.

Damar hanya memutar badannya membelakangi Aruna. Ia sedang tidak punya waktu memberi penjelasan. Ia hanya ingin lekas memasuki kamar mandi dan berharap kucuran air dingin bisa mendinginkan kepalanya yang panas.

"Kamu cemburu sama Eryk?" tanya Aruna.

Cemburu?

Damar berbalik.

Apa itu cemburu?

Apa yang tadi itu cemburu?

"Kenapa saya harus cemburu sama dia?" tantangnya.

Sekarang Damar merasa pertanyaan itu benar-benar terlalu konyol untuk diucapkan. Antara ucapan dan isi kepalanya jelas tidak sinkron satu sama lain.

"Ya udah. Anggap saja aku nggak pernah bertanya." Aruna bangkit dari sofa. "Lagian memangnya aku seistimewa apa, sampai bisa membuat kamu cemburu?"

Damar ingin mengatakan jika Aruna tidak perlu berkata seperti itu, tetapi kemudian Aruna menyambung ucapannya.

"Eryk bilang nggak ada laki-laki lain yang mencintai aku seperti dia cinta sama aku." Aruna melanjutkan. "Aku rasa dia benar. Rasanya sia-sia saja aku nunggu perasaan cinta dari kamu."

"Kenapa kamu mikir seperti itu? Lagipula apa hak dia bicara seperti itu? Suami kamu itu saya, bukan dia."

"Udahlah, Dam. Our conversation is done now. " Aruna menatapnya tajam. Sangat berbeda dengan tatapan lemah yang ia berikan saat mereka berciuman tadi. "Aku nggak nyangka, interaksi aku sama kamu bisa berubah secepat ini. We were kissing and then we are fighting."

"Saya nggak mau bertengkar sama kamu. Saya hanya butuh penjelasan."

Aruna masih menatapnya, kali ini bukan lagi tatapan tajam yang ia tunjukkan. Aruna menatapnya dengan tatapan sayu cenderung kosong.

"Eryk minta aku kembali sama dia." Aruna berhenti, membuat Damar tidak lagi menunggu kelanjutan ucapannya.

"Apa jawaban kamu?"

"Aku nolak dia." Aruna tertawa kecil. "Menurut kamu, apa aku akan kembali sama dia? Aah, tentu saja pasti kamu mikirnya seperti itu. Bukannya aku memang pantasnya selalu dapat prasangka buruk dari kamu?"

Damar terdiam. Bukankah memang prasangka itu yang menghampiri pikirannya sejak tadi?

"Apakah melihat aku sama Eryk lantas bisa menjadi dasar bagi kamu untuk berpikir kalau mungkin saja aku dan Eryk memutuskan kembali bersama?"

Damar mencoba bersuara. Namun yang kini ia rasakan lidahnya terasa kaku. Perkataan demi perkataan Aruna, tidak ada satupun yang bisa ia sangkal. Tetapi, ia tidak memiliki keberanian untuk mengiyakan. Kecemburuan telah menumpulkan otaknya.

Ia selalu menganggap Eryk adalah segala-galanya bagi Aruna. Sekalipun kini hubungannya dengan Aruna menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, ia tidak bisa meyakini sepenuhnya jika Aruna akan memilihnya. Aruna bisa saja kembali kepada Eryk. Ia hanya tidak ingin mengecewakan perasaannya sendiri dengan berharap pernikahannya dengan Aruna akan terus berjalan.

Aruna terlalu mencintai Eryk.

"Aku mungkin bukan perempuan yang kamu butuhkan, Dam." Aruna kini menunduk, dan tidak berapa lama isakannya terdengar. "Kamu pantas dapatin seseorang yang lebih baik dari aku."

"Aruna, maafin saya."

"Kamu nggak salah, Dam. Aku yang salah."

Aruna menolak ketika Damar hendak mendekat untuk memeluknya. Aruna mengatakan akan menyiapkan makan malam, yang perlahan dan sayup Damar dengar seperti sebuah salam perpisahan.

***

ARUNA

Pagi itu, Aruna mendatangi panti asuhan tempatnya dulu dititipkan sebelum akhirnya diadopsi. Panti asuhan itu terletak di daerah Depok. Ia butuh paling tidak sejam untuk berkendara dari rumah Damar.

Rumah itu akan selalu menjadi milik Damar, bukannya ia hanya menumpang tinggal di sana?

Pagi tadi, ia bangun pagi-pagi sekali. Mungkin lebih pagi dari biasanya. Ia melihat Damar masuk ke pantri, menanyakan jika Aruna sudah menunaikan shalat Subuh. Aruna tidak menjawab meskipun ia telah melakukan apa yang ditanyakan oleh Damar. Melihat sikap diamnya, Damar mencoba mengajaknya berbicara, yang sama sekali tidak diresponnya. Aruna memilih meninggalkan pantri dan berharap Damar segera pergi dari sana.

Damar mengikuti langkahnya menuju kamar tamu, tetapi Aruna tidak mau berbicara apapun dengan Damar saat itu, jadi ia menutup pintu dan menguncinya sebelum Damar memiliki kesempatan untuk masuk. Damar mengetuk berkali-kali sambil memanggil-manggil namanya. Sekali lagi, hal itu tidak dipedulikannya.

Aruna tidak pernah mengklaim jika tindakannya ini tepat. Ia paham jika tidak seharusnya ia menghindari Damar jika ia memang ingin hubungan mereka membaik. Ia tidak benar-benar membenci Damar karena ia merasa Damar sudah cukup baik berinisiatif mengajaknya berbicara.

Menjauh, lebih baik baginya dan bagi mereka berdua. Ia tidak mau memaksakan diri berbicara dengan Damar saat kemarahan dalam dirinya belum mereda. Ia tidak ingin melukai perasaan Damar lagi dengan kata-kata dan sikap kasar karena hal itu sama saja dengan menunjukkan kepada Damar bahwa sikap kasarnya tidak akan pernah bisa berubah.

Damar terlalu baik, dirinya saja yang terlalu buruk.

Dua hal kontras yang selalu terngiang di telinganya.

Mengapa ia harus memilih Damar? Mengapa bukan laki-laki lain yang tidak sebaik Damar? Laki-laki yang tidak akan berpotensi menaklukkan kekerasan hatinya sekaligus membuatnya tidak ragu untuk mengucapkan cinta kepadanya?

Ia mencintai Damar sepenuh hatinya.

Menyedihkan mengingat ia berharap Damar akan merasakan perasaan yang sama.

Mungkin Damar hanya butuh waktu untuk mencintainya seperti yang pernah Damar katakan kepadanya.

Tetapi Damar pun bisa butuh waktu untuk kemudian mengakui kalau Damar akan sulit untuk mencintainya.

Ia tidak ingin memaksa untuk memantaskan diri, karena saat ini ia sadar diri untuk tidak memaksakan diri.

Lagipula rasa cinta bisa datang dan pergi. Ia belajar dari masa lalu. Dari orang-orang yang ia pikir mencintai dan menyayanginya, namun orang-orang itulah yang juga mendatangkan luka dan menyakitinya.

Jika sudah seperti ini, apalagi yang ia harapkan dari dunia ini?

Aruna menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sebenarnya apa yang sempat terlintas di pikirannya? Apakah ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya?

Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang sempat menghinggapi. Ia masih punya kewajiban mengunjungi panti asuhan. Barang-barang di bagasinya masih penuh sesak. Mungkin ia akan memikirkannya di lain waktu?

Damn it. Apakah ia berniat bunuh diri?

***

Akhirnya Aruna sampai.

Beberapa anak panti asuhan yang mengenalinya nampak antusias saat melihatnya turun dari mobil.

Sewaktu ia tiba, anak-anak panti asuhan baru saja selesai sarapan pagi bersama. Mereka kini sedang membantunya menurunkan beberapa dus berisi paket sembako dan camilan. Biasanya ia juga membawakan mainan bagi penghuni panti berusia balita dan alat tulis-menulis. Pagi itu ia tidak sempat belanja banyak, karena kedatangannya kini juga terkesan mendadak.

"Maaf ya? Kakak nggak sempat beli mainan dan alat tulis untuk kalian. Nanti deh kalau balik ke sini lagi, baru dibeliin." Aruna menjelaskan sebelum anak-anak sempat bertanya. Ia jadi merasa bersalah jika mereka bertanya dan ia menjawab tidak ada.

"Jangan serepot ini, Kak. Kakak dateng ke sini aja, kami udah senang," kata Nino, seorang penghuni panti yang usianya telah memasuki usia sekolah menengah pertama. Ia melirik ke dalam dus yang dibawanya. "Wah, cokelat."

Aruna tersenyum mendengar suara pelan Nino. Bagi mereka, cokelat, permen dan es krim adalah makanan yang selalu menjadi favorit mereka. Lalu ia mendengar anak lain berseru lebih kencang ketika melihat dus lainnya yang juga berisi cokelat dan permen.

"Asyiik."

Selesai menurunkan semua barang yang ia bawa dan memindahkannya ke dalam dapur dan ruang bermain, Aruna bertegur sapa dengan Bu Nanik selaku kepala panti dan pengurus panti lainnya.

"Anak-anak kemarin sibuk nanyain, kakak Aruna kenapa nggak pernah datang lagi? Udah kangen cokelat katanya," ujar bu Nanik saat mereka berjalan memasuki ruang bermain.

"Kemarin-kemarin lagi ada kesibukan jadi belum sempat ke sini." Aruna beralasan tanpa merinci kesibukan apa yang ia maksud. Bu Nanik juga bukan tipe ibu-ibu yang suka mengorek-ngorek kehidupan orang. Ia tidak lagi bertanya kepada Aruna soal alasan Aruna baru datang lagi ke sana.

"Nah adik-adik, sekarang kalian cuci tangan dulu, baru Kakak bagikan cokelat dan permennya. Ada roti juga, tapi mungkin nggak bisa pas dibagiin satu-satu. Nanti saling berbagi aja ya?"

"Iya, Kaak." Anak-anak menyahut kompak seperti paduan suara.

"Yang tertib cuci tangannya," Bu Nanik dan Bu Sofi bergantian mengingatkan anak-anak mengantri cuci tangan di wastafel. Bu Sofi merupakan pengurus panti yang biasanya bertanggungjawab untuk urusan dapur. Paket sembako yang tadi dibawa Aruna telah dibenahi penyimpanannya oleh dua orang relawan sesuai arahan Bu Sofi.

Selesai mencuci tangan, mereka mulai membentuk barisan rapi untuk menerima camilan yang dibawa Aruna. Setiap selesai menerima cokelat batang, permen dan roti, mereka mengucapkan terimakasih dan mengambil duduk di kursi yang tersedia. Beberapa anak yang tidak kebagian kursi memilih makan di teras.

"Terimakasih ya, Aruna. Anak-anak selalu senang setiapkali kamu ke sini. Ibu juga selalu menantikan kedatangan kamu. Bagaimana kabar kamu? Baik-baik dan sehat-sehat saja kan?"

"Iya, Bu. Saya sehat-sehat saja. Semoga Bu Nanik, Bu Sofi dan seluruh penghuni panti selalu diberikan kesehatan." Aruna menoleh kepada anak-anak yang sedang menikmati cokelat. "Apa ada anak yang diadopsi lagi, Bu?"

Pertanyaan yang tidak pernah lupa ditanyakan setiapkali Aruna berkunjung ke sana.

"Ada tiga orang. Kamu ingat balita yang namanya sama dengan kamu? Sepasang suami isteri dari Jakarta yang mengadopsinya. Mereka memutuskan mengangkat anak, karena mereka belum memiliki anak setelah 15 tahun menikah."

Aruna mencoba mengingat-ingat, sampai di benaknya terlintas sosok balita perempuan berambut pendek berponi yang cantik dan imut menggemaskan. Anak itu sangat senang menggambar dan mewarnai. Sangat kontras dengan dirinya yang lebih senang menyusun puzzle.

"Dua anak lainnya juga diadopsi oleh dua keluarga dari Jakarta. Bedanya, Angga diadopsi oleh pasangan suami isteri yang telah memiliki satu anak, dan satunya lagi Tiara, diadopsi seorang perempuan yang sudah menikah tetapi bercerai tanpa anak." Bu Nanik menyebutkan nama-nama anak panti tersebut.

Aruna mendengarkan sambil sesekali melihat ke arah anak-anak yang begitu akrab satu sama lain. Ia menghela napas.

Ia pernah berada di posisi yang sama. Duduk menikmati makanan kesukaan bersama teman-teman. Mereka mungkin saja terlihat ceria dan bahagia, tetapi tetap saja, kebahagiaan itu terasa kurang lengkap tanpa kehadiran sosok orangtua.

Tanpa terasa, airmata tau-tau saja telah menetes di kedua pipinya.

Bu Nanik bertanya mengapa Aruna menangis.

"Nggak pa-pa, Bu. Saya cuma kangen sama kedua orangtua saya yang sudah pergi."

Bu Nanik mengusap punggungnya, menenangkannya.

"Sabar ya? Jangan pernah lupa mendoakan mereka. Ibu juga akan selalu mendoakan mereka, juga berharap kebahagiaan selalu bersama kamu, Aruna."

Aruna tidak tahan untuk memeluk Bu Nanik.

"Bu, apakah saya masih pantas untuk bahagia?"

"Tentu saja, Aruna. Setiap orang berhak untuk bahagia. Kenapa kamu bicara seperti itu?"

***

DAMAR

"Pak? Pak Damar?"

Damar merasakan seseorang menepuk bahunya pelan. Ternyata Heri, manajer produksi pabrik.

"Istirahat makan siang dulu, Pak."

"Iya, terimakasih."

Sudah berapa lama ia diam mematung, membiarkannya pikirannya mengembara ke mana-mana?

Heru mengarahkan langkah mereka meninggalkan pabrik pengolahan makanan beku yang terus beroperasi sejak pagi, menuju sebuah kantin sederhana yang terletak di deretan kantin khusus karyawan pabrik. Sebuah meja kosong telah disiapkan untuk mereka, kata Heru khusus untuk menjamu kedatangan setiap direksi dan manajer yang datang berkunjung ke pabrik itu.

"Sst, menantunya Pak Dirut."

Telinga Damar menangkap suara bisik-bisik dari meja di dekatnya. Saat ia menoleh, tiga orang ibu-ibu yang duduk semeja, kompak tersenyum.

"Siang, Paak. Mari makan, Pak."

"Iya, siang juga. Silahkan." Damar membalas senyuman ibu-ibu tadi, yang langsung disambut komentar-komentar lucu.

"Kasep pisan, euy."

"Tampan bersahaja. Memang cocok jadi menantu idaman."

Ada apa dengan ibu-ibu ini? Apakah mereka mau membuatnya menjadi besar kepala?

"Bapak sering-sering aja ke sini, biar jadi penyegaran sekaligus penyemangat karyawan perempuan." Komentar Heru membuat Damar tidak bisa menahan senyum.

"Saya nggak tau, mau berkomentar apa soal itu."

Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Penataan kursi dan meja cukup rapi, kebersihannya pun cukup terjaga. Heru menjelaskan jika kondisi kantin memang selalu seperti ini setiap hari, bukan karena ada kunjungan kerja dari manajemen perusahaan.

"Oh, ya. Saya dengar, akan ada rotasi manajemen ya, Pak?" tanya Heru ketika makanan yang mereka pesan datang. Damar memesan nasi rames, tiga kali ke sana, ia selalu memesan menu yang sama."

"Iya, hanya rotasi kecil aja."

"Bukannya Pak Damar dipromosikan jadi direktur ya?"

Damar menjawab diplomatis. "Saya malah belum tahu soal itu."

"Masa sih, Pak? Bapak kan menantu Dirut? Siapa lagi yang mau diangkat jadi direktur kalau bukan Bapak?"

Damar tersenyum. "Masih banyak yang lebih kompeten dari saya, Pak. Selama saya bekerja, saya selalu berusaha bersikap profesional. Saya berharap orang-orang melihat kompetensi saya dan berhenti memandang saya hanya sebagai menantu Dirut."

Heru mengangguk. "Saya selalu salut sama Bapak. Memiliki hubungan dengan Dirut memang rawan terkena gosip yang tidak mengenakkan. Maaf kalau ada ucapan saya yang kurang berkenan."

"Nggak apa-apa." Damar meyakinkan Heru bahwa ia tidak perlu merasa khawatir telah menyinggung perasaannya.

Damar mulai menyantap nasi rames. Tidak berapa lama, ibu penjaga kantin datang menghampiri meja mereka, menawarkan gurame asam manis yang katanya merupakan menu baru.

Kebetulan sekali makanan itu adalah makanan favoritnya.

"Aku nggak bisa masak gurame asam manis kesukaan kamu."

"Nggak apa-apa. Telor ceploknya juga udah rasa gurame kok."

"Nanti aku belajar masak."

"Belajar masak buat aku?"

"Sorry. Aku belajar masak karena memang pengen pinter masak. Bukan karena kamu."

Damar menghentikan makan. Dirogohnya saku celana untuk mengambil ponsel. Ia meletakkan ponsel itu di atas meja setelah tidak mendapati apa-apa di Whatsapp Aruna.

Belum genap sehari, ia telah merindukan Aruna.

***

ARUNA

Aruna menghela napas lega ketika mengetahui Damar tidak berada di rumah. Ia belum mau berbicara dengan Damar dalam suasana hati yang masih belum nyaman. Ia melangkahkan kaki menghampiri meja di mana buket mawar putih yang masih nampak segar, tergeletak.

Lama kelamaan bunga segar seperti ini akan mati. Pikirnya.

Hanya menunggu waktu saja.

Ia bergegas masuk ke dalam kamar, menarik laci nakas dan mengambil sebuah map berisi berkas perceraian. Malam itu ia berencana menemui pengacara yang akan mengurus perceraian.

Aruna mengambil sebuah koper kecil dan mengisinya dengan beberapa potong pakaian. Ia berencana menginap di rumah Lebak Bulus setelah bertemu dengan pengacara di sebuah kafe.

"Goodbye, Damar." Aruna menatap buket bunga yang rasanya ingin ia bawa bersamanya. Tetapi ia hanya mengambil satu tangkai. Membawa buket bunga sebesar itu benar-benar tidak praktis.

Sebelum masuk ke mobil, ia berbalik sekali lagi menatap bangunan rumah yang akan ditinggalkannya.

Aruna menyeka kedua pipinya yang basah oleh airmata yang turun tanpa pamit. Ia lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Ia tidak ingin Damar menemukannya sebelum ia berhasil pergi dari sana.

Tanpa menunggu apapun, Aruna melajukan mobilnya meninggalkan halaman.

***

DAMAR

"Aruna kecelakaan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage