FTSOL #18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


DAMAR


Hari itu, Damar pulang dari kantor ketika hari mulai gelap. Ia mendengar suara Adzan Maghrib saat memasuki kompleks perumahan. Seperti biasa sebelum ia memasukkan mobil ke garasi, ia memeriksa apakah mobil Aruna terparkir di garasi.

Saat membuka pintu garasi, ternyata mobil Aruna tidak ada. Ada rasa kecewa menyaksikan mobil mewah berwarna merah itu tidak terparkir di sana.

Ia termenung sesaat.

Apakah Aruna akan pulang hari ini?

Damar tidak tahu Aruna sedang berada di mana sekarang. Ia belum berani menelepon atau sekadar mengirimkan chat. Ia menghela napas, menyadari dirinya tidak ubahnya seperti seorang laki-laki pengecut.

Sebenarnya apalagi yang ia tunggu? Kesempatan selalu ada untuk meminta maaf sekaligus memperbaiki hubungan mereka.

Damar menyadari kesalahannya.

Seharusnya ia tidak perlu terburu-buru berprasangka yang tidak-tidak tentang hubungan Aruna dan Eryk. Jika Aruna mengatakan bahwa ia telah menolak permintaan Eryk untuk kembali kepadanya, bukankah semestinya ia tidak perlu menyangsikannya?

Ia hanya perlu memercayai Aruna. Jika kini Aruna mau membuka hati, melunakkan sikap kerasnya, bahkan mengatakan cinta kepadanya, bukankah hal itu pertanda baik? Bukankah hal tersebut sepatutnya ia syukuri dan ia sambut dengan tangan terbuka?

Sekali lagi ia bertanya pada dirinya, apa yang ia tunggu?

Pikiran Damar masih dipenuhi tanya, saat ia telah selesai memarkirkan mobil di dalam garasi. Seperti biasa, ia mengeluarkan kunci cadangan dari saku celana dan segera membuka pintu depan. Rumah dalam keadaan gelap gulita. Ia mencari saklar untuk menyalakan lampu di teras depan, juga ruang tengah tempatnya berada kini.

Jika rumah dalam keadaan gelap seperti ini, berarti tidak ada Aruna di sana.

Damar berhenti untuk memandangi buket bunga di atas meja. Bunga-bunga mawar putih yang terangkai rapi masih tampak segar. Aruna menyukai bunga itu dan mengatakan akan menyimpannya meskipun telah layu.

Aruna telah setulus itu, tetapi mengapa ia ia masih tetap meragukannya?

Damar duduk untuk membuka tas kantor dan mengeluarkan ponsel. Ternyata, ponselnya sudah dalam keadaan lowbatt. Ia mencari charger di dalam tas, kemudian mengisi baterainya.

Sambil menunggu baterai terisi penuh, ia akan melakukan rutinitas seperti biasa. Mungkin sekitar dua jam lagi, baterainya akan full.

***

Damar meletakkan piring berisi nasi putih panas dan telor ceplok berlumur kecap di atas meja makan. Ia duduk menikmati makan malam sambil mencoba merangkai kata-kata sebagai permintaan maaf. Ia belum tahu harus memulai dari mana. Ternyata sesulit ini meminta maaf. Bukan karena ia enggan. Namun, menemukan kata-kata yang cocok di tengah perasaannya yang dipenuhi rasa bersalah serta kecanggungan, ternyata bukan hal yang mudah.

Makan pun terasa tidak enak. Ia melewatkan suapan demi suapan nasi, tetapi ia tidak sempat menikmati rasanya. Padahal nasi, telor ceplok dan kerupuk adalah menu yang tidak pernah tidak disukainya. Meskipun jika ditambah oseng-oseng sayuran atau tempe goreng dan sambal, rasanya akan jauh lebih nikmat.

Ia tidak sedang mengeluh. Ia hanya merasa makanan yang ia nikmati ini ada sesuatu yang kurang.

Yaitu keberadaan Aruna di sini. Mereka makan bersama, mengobrolkan apa saja. Kebersamaan itu yang kini tengah ia bayangkan terjadi, saat ini. Hingga meskipun hanya makan nasi dan garam, akan tetap terasa enak. Asalkan bersama seseorang yang ia sayangi.

Dengan pasrah, Damar harus mengakui jika kini ia menyayangi Aruna.

Selesai makan dan mencuci piring, Damar menuju ke ruang tengah untuk memeriksa ponselnya. Proses pengisian daya belum seratus persen. Biasanya ia memang selalu menunggu sampai pengisian baterai penuh.

Namun kali ini, ia tidak sabar untuk segera mengaktifkan ponsel.

Saat ini yang ia inginkan hanyalah berbicara dengan Aruna. Ia tidak butuh mengirimkan chat atau pesan. Ia akan langsung meminta maaf secara verbal kepada Aruna. Apapun balasan Aruna, hal itu tidak lagi dipikirkannya.

Setelah menyalakan ponsel, dentingan notifikasi yang seolah tiada henti langsung menyerbu. Damar segera mengecek Whatsapp dan menemukan nama Mbak Anis terselip di antara chat lainnya.

Mbak Anis? Mereka sangat jarang berinteraksi. Rasanya ganjil mendapati chat-nya di sana.

Mbak Anis : Damar, kamu di mana? Mbak udah berkali-kali nelepon. Aruna di UGD skrg. Kecelakaan.

"Aruna kecelakaan?"

Baru saja Damar hendak menghubungi, nama Mbak Anis tertera di layar.

"Halo, Mbak."

"Kenapa hape kamu baru aktif? Aruna sedang gawat. Kamu ke rumah sakit sekarang!"

Mbak Anis menyebutkan nama sebuah rumah sakit di daerah Menteng.

Apa yang Aruna lakukan...

Sayup, terdengar suara Mbak Anis yang sedang menangis. Damar segera memutuskan sambungan telepon dan mengambil kunci mobil.

Kepalanya terasa berat, namun sekujur tubuhnya terasa ringan tanpa beban. Ia memacu mobilnya secepat mungkin menuju rumah sakit.

***

Damar tiba di rumah sakit sekitar dua puluh menit kemudian. Ia menyadari kedua kakinya terasa berat saat menapaki ruang UGD. Kedatangannya disambut oleh tatapan dari beberapa pasang mata yang tengah menunggu di depan ruangan tersebut. Papa, mama, Mas Abhi, Mbak Anis beserta pasangan masing-masing. Ira, bahkan Eryk juga ada di sana.

"Masa kritisnya belum juga lewat."

Papa terlihat memeluk mama yang sedang menangis. Damar merasa serba salah, tidak tahu apakah akan bertanya, atau diam menunggu kabar. Saat memandangi semua orang dengan mata bengkak, ia tahu keadaan Aruna sedang tidak baik-baik saja.

Damar menyingkir ke area kosong yang sedikit jauh dari teras ruang UGD. Ada pembatas semen yang bisa ia fungsikan sebagai tempat duduk.

Damar memilih mencari tempat duduk yang cukup jauh dari tempat keluarga Aruna tengah duduk menunggu kabar. Kedatangannya yang terlambat juga perasaan bersalah dalam dirinya, membuat Damar memutuskan untuk menjauh sejenak. Ia merasa serba salah berada di dekat mereka.

Ia merasakan kedua matanya memanas dan berangsur mengaburkan pandangannya. Damar mengusap wajahnya dan menunduk dalam-dalam. Mulai merapalkan doa-doa, berharap Tuhan akan selalu melindungi Aruna dan membantunya melewati masa kritis.

"Semuanya akan baik-baik saja." Ia mendengar suara Ira, diikuti tepukan menenangkan di punggungnya.

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Aruna, gue nggak akan pernah maafin lo."

Ucapan kontras, bernada marah terdengar dari seseorang. Ia kenal suara itu.

"Ryk. Lo kenapa sih? Emangnya Aruna begini gara-gara Damar?" Ira berdiri dari duduk, cepat-cepat menghalangi Eryk yang mencoba mendekat.

Damar mendongak. Tidak ingin berselisih paham dengan Eryk, Damar bangkit dari duduk dan berpindah ke tempat lain.

"Gue tau Aruna bukan orang yang gegabah soal bawa kendaraan. Dia jadi begini pasti ada hubungannya sama Damar." Eryk masih belum selesai, ternyata. Kali ini, ia terlibat perdebatan dengan Ira.

"Lo jangan asal nuduh gitu," kata Ira.

"Gue telepon Aruna sebelum dia kecelakaan. Dia nangis, tapi dia nggak mau bilang alasannya apa. Dan pas gue desak, dia bilang dia mau cerai. Apalagi kalau bukan gara-gara laki-laki sialan ini?"

Damar mendengar jelas umpatan Eryk yang ditujukan kepadanya.

Saat ini bukan saat yang tepat untuk membela diri atau menjelaskan panjang lebar, karena fokus pikirannya kini hanya tertuju kepada Aruna.

"Udah. Sekarang ga ada gunanya nyalahin siapa-siapa. Mending lo berdoa deh supaya Aruna baik-baik aja."

Saran Ira tadi langsung ditampik Eryk begitu saja.

"Kalo lo nggak bisa jaga Aruna baik-baik, mendingan lo nggak usah sok jadi suami yang baik. Lo abis ketemu juga kan sama Denise? Gue kasih tau lo ya. Nggak usah ikut campur kehidupan rumahtangga gue."

Sepertinya emosi Eryk semakin terpancing melihat sikap Damar yang memilih diam, tidak memberikan respon apapun.

"Lo diam aja karena lo ngerasa bersalah. Iya kan?"

Ira bangkit dari duduk dan setengah mendorong Eryk sebelum Eryk sempat menarik kerah kemeja Damar.

"Ryk, lo apa-apaan sih? Bisa tenang nggak? Lo pikir, lo aja yang sedih? Lo pikir lo aja yang marah? Asal lo tau ya? Tindakan lo ini nggak bakal ada gunanya. Malah bakal semakin memperburuk keadaan."

Eryk bersikeras tidak mendengarkan anjuran Ira.

"Bertahun-tahun sahabatan sama Aruna, apa pernah dia kecelakaan sampai separah ini? Selama ini gue berusaha melindungi dia, menyayangi dia, apa pernah lo lihat gue menyakiti dia?"

Ira kembali mendorong Eryk menjauh sebelum Eryk sempat menjangkaunya.

"Sejak lo nikah sama Denise, keadaan udah berubah, Ryk! Lo yang ninggalin Aruna, lo yang bikin dia frustrasi. Nggak nyadar lo ya? Damar ini suami yang sabar dan ngertiin Aruna. Lo jangan asal ngomong."

"Nggak ada laki-laki yang lebih ngertiin Aruna selain gue. Dan nggak ada laki-laki yang mencintai Aruna sebesar gue mencintai dia. Lo tanya aja suaminya ini, apa dia cinta sama Aruna? Aruna memang milih dia, tapi gue tau, laki-laki sialan ini nggak mencintai dia. Aruna nangis saat gue tanya apa dia cinta sama Aruna. Aruna nggak jawab apa-apa. Dan saat itulah gue mengerti seperti apa keadaan Aruna dan apa yang Aruna rasain sekarang."

Damar mengakui dalam diam, bahwa semua ini adalah kesalahannya.

Ucapan Eryk tidak ada yang salah. Ia yang salah. Jika memang Eryk yang lebih memahami dan mencintai Aruna, berarti Eryk juga lebih mengerti keinginan-keinginan Aruna. Eryk lebih berpotensi menjadi laki-laki yang bisa membahagiakan Aruna. Meski hati Damar nyeri membayangkan jika hal dalam bayangannya itu menjadi kenyataan.

Bukankah ia hanya orang lain dalam kehidupan Aruna? Bukankah dulu Aruna seolah tidak pernah menganggapnya ada? Bukankah dulu cinta Aruna hanya untuk Eryk?

Bersamanya mungkin hanya akan menjadi batu sandungan untuk kebahagiaan Aruna.

Dengan berat hati ia harus mengakui jika ia memang bukan laki-laki terbaik dan suami sempurna untuk Aruna.

Ia akan menerima hal itu sebagai alasan jika kelak Aruna ingin menyudahi pernikahan mereka.

Asalkan Aruna bahagia, maka biarlah ia yang berkorban.

Tidak. Tidak.

Bukan pengorbanan. Ia hanya melakukan hal terbaik yang bisa ia lakukan. Ia bukan siapa-siapa, bukan orang penting dalam kehidupan Aruna.

Ditariknya napas panjang dan dalam, begitu menyadari pikirannya semakin mengembara jauh. Menarik kesimpulan sendiri di saat Aruna masih dalam keadaan kritis bukanlah sikap yang bijak.

Eryk berteriak sekeras-kerasnya sebelum kembali melangkahkan kaki ke depan ruangan UGD ketika mendapatinya hanya terus diam dan diam saja.

"Eryk benar. Memang saya yang salah," ucap Damar setelah Eryk pergi.

Ira kembali duduk di samping Damar, menangis dengan suara tertahan. "Aruna udah cukup menderita selama ini, Dam. Apa Eryk benar? Apa kamu nggak mencintai Aruna?"

Pertanyaan Ira semakin mengusik batinnya.

"Saya mencintainya," jawab Damar pelan. Bukan tidak yakin dengan ucapannya sendiri sehingga suaranya memelan.

Rasanya, semangat di dalam dirinya telah hilang seiring perasaannya tentang mencintai yang seolah luruh bersama angin. Ia akan menyimpan perasaan ini jika suatu saat nanti Aruna tidak mengharapkannya lagi.

"Saya terlambat menyadari perasaan saya, Ra. Ya, saya mencintai Aruna. Semoga saya masih memiliki kesempatan untuk mengatakan ini kepadanya."

Damar lalu beranjak.

"Ra, saya mau menunggu Aruna di depan ruang UGD." Damar merasakan lehernya tercekat. "Sampai dia sadar."

***

Damar tersentak. Rupanya ia sempat tertidur dengan posisi duduk saat menunggu kabar dari ruang UGD.

Apa yang ia lewatkan selama ia tertidur?

Damar menatap ke depan. Ditolehnya ke samping. Ternyata Mbak Anis yang duduk di sampingnya.

"Sekarang Aruna dipindahkan ke ruang perawatan," ujar Mbak Anis. Suaranya serak dan sengau, efek menangis dalam durasi yang lama.

Berarti masa kritis Aruna sudah lewat. Benar kan?

Damar mengusap wajahnya. Ia ingin beranjak sejenak untuk mencuci muka dan mencari air minum. "Saya minta maaf, Mbak. Saya yang salah."

Suara helaan napas Mbak Anis terdengar jelas. Helaan berat, seolah ada suatu hal yang ragu untuk dikatakan, tetapi pada akhirnya memang tidak bisa disembunyikan.

"Golongan darah kami nggak ada yang cocok dengan golongan darah Aruna."

Damar mencoba mengingat apa saja yang ia alami sebelum tidur. Informasi tentang Aruna yang dipindahkan ke ruang operasi hingga permintaan perawat kepada salah satu di antara mereka untuk mendonorkan darah.

Sama seperti hasil pemeriksaan darah pada anggota keluarga Aruna, golongan darahnya pun tidak cocok.

"Untung golongan darah Eryk yang cocok," sambungnya.

Damar menelan ludah yang terasa kering. Bahkan saat genting seperti ini pun ia tidak berguna. Ia hanya bisa duduk menunggu, sementara Eryk-lah yang menjadi sosok penyelamat kehidupan Aruna.

Jadi, untuk apa ia berada di sana?

"Damar?" Mbak Anis memanggil namanya. "Kamu kenapa? Diam saja dari tadi."

"Saya kepikiran kondisi Aruna."

"Dia baik-baik saja sekarang," ujar Mbak Anis.

"Belum bisa dijenguk ya, Mbak?"

"Mungkin besok pagi baru bisa dijenguk. Papa sama mama saja hanya bisa melihat dari depan ruang perawatan."

Damar berharap bisa segera bertemu Aruna untuk memastikan sendiri keadaannya. Ia mengikuti langkah Mbak Anis menuju ke depan ruang perawatan. Papa dan mama bergantian melihatnya, meski hanya sekilas. Damar tidak punya banyak waktu untuk memikirkan respon yang diterimanya dari kedua mertuanya. Mereka mungkin masih syok, hingga tidak punya waktu meladeninya.

Damar mencari bangku terdekat untuk duduk. Pandangannya tidak pernah lepas dari pintu ruang perawatan, berharap pintu itu terbuka, sehingga ia bisa masuk ke dalam. Meski menurut Mbak Anis kecil kemungkinannya mereka bisa bertemu Aruna saat ini, ia tetap akan bertahan menunggu.

Padahal jam tangan telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Ditahannya rasa kantuk yang kembali menyerang.

Saat mengusap-usap matanya, barulah ia mendengar suara papa yang tengah menghampirinya.

"Kamu pulang saja dulu, Damar. Besok pagi saja baru kembali ke sini."

Damar bukannya tidak menghargai permintaan ayah mertuanya, tetapi ia sudah memilih menunggu sampai besok. Ketika ia mengatakannya, papa kembali menyuruhnya pulang untuk beristirahat.

"Kita akan ketemu Aruna, besok. Bersama-sama."

Damar akhirnya mengiyakan ketika mama bergabung dengan papa, menyarankannya untuk pulang. Mama beralasan, mereka semua sudah terlalu lelah menunggu, sedangkan dokter baru mengizinkan mereka bertemu Aruna keesokan hari.

"Maafkan saya nggak bisa jaga Aruna, Pa. Ma."

Papa menggeleng kuat. "Kamu nggak salah, Damar. Papa juga nggak mau nyalahin siapa-siapa. Yang penting kondisi Aruna baik-baik saja."

"Iya. Jangan menyalahkan diri kamu karena semua ini terjadi di luar kendali kamu," tambah mama. Suaranya lembut menenangkan. Mama kini beralih melihat papa dan berkata bahwa mereka akan bergantian dengan Mas Abi dan suami Mbak Anis untuk menunggu di depan ruang perawatan.

Ia menghampiri Ira yang tengah duduk sambil menahan kuapan lebar. Di sampingnya, Eryk duduk meluruskan kaki ke depan, seperti sedang tertidur dalam posisi duduk.

"Saya mau pulang dulu, Ra. Kamu mau saya antar sekalian?"

"Nggak usah, Dam. Rumahku kan jauh banget. Lagian, aku juga udah ngasih tau adikku untuk jemput." Ira menepuk bahu Eryk, membangunkannya. "Eh, lo masih mau nunggu?"

Eryk hanya menggumam mengiyakan. "Emangnya dia yang mau pulang nggak mau nungguin?"

"Saya bukannya nggak mau nungguin. Saya hanya balik sebentar ke rumah karena setelah balik ke sini lagi, saya ingin menjaga Aruna seharian nanti. Ada beberapa keperluan juga yang mau dibeli."

Eryk tidak terlalu memerhatikan apa yang dikatakan oleh Damar. Ia memilih diam dan kembali melanjutkan tidur.

"Saya duluan kalau begitu," pamit Damar.

***

"Aruna. Ini aku, Eryk."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage