FTSOL #19 (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DAMAR


"Saya baru pulang dari rumah sakit, Pak," jelas Damar kepada sekuriti yang berjaga di pos penjaga. Sistem keamanan di kompleks perumahan yang dikontrol ketat oleh sekuriti dan pantauan CCTV mengharuskan setiap orang yang melintas melewati jam malam untuk melapor ke pos penjagaan. Setiap pemilik unit di kompleks tersebut pun harus menunjukkan pengenal berupa KTP yang kemudian akan dicocokkan dengan identitas pemilik pada sebuah buku.

Setelah melewati portal, Damar mengklakson mobilnya sekali sebelum menjalankan lagi mobilnya.

Suasana begitu sunyi ketika mobilnya melintasi jalanan kompleks. Mungkin hanya dirinya saja yang berkeliaran malam-malam begini di sana.

Menjelang pagi, Damar mengabari orangtuanya tentang Aruna yang kini sedang dirawat di rumah sakit. Setelah itu, ia bersiap-siap untuk kembali lagi ke rumah sakit untuk menjaga Aruna. Dalam perjalanan ke rumah sakit ia singgah di minimarket untuk membeli keperluan seperti tisu, sabun pencuci tangan, masker hingga makanan kecil dan air mineral.

Damar berjalan menyusuri koridor sambil menenteng bungkusan berisi makanan dan peralatan seperti selimut juga pakaian Aruna yang mungkin dibutuhkan saat itu. Ia merasa sedikit segar setelah sempat berbaring dan memejamkan mata, kemudian mengguyur tubuhnya yang lelah dengan air hangat.

Saat mendekati ruang perawatan, Damar berhenti sejenak. Mas Abi yang sejak kemarin malam tidak pernah berbicara padanya, bahkan sekadar bertegur sapa, keluar dari ruangan tersebut. Wajahnya nampak lelah. Di tangannya tergenggam kunci mobil dan ponsel. Ketika melihatnya, Mas Abi menyapanya lebih dulu.

"Mas mau balik dulu ke rumah. Kamu langsung masuk saja."

"Iya, Mas. Terimakasih," jawab Damar dengan teramat sungkan.

Mas Abi menepuk bahunya. "Aruna masih tidur, tapi tadi Mas sempat mengobrol sebentar."

"Iya, Mas." Lagi-lagi hanya kalimat itu yang bisa diucapkannya.

"Ada Eryk sama Ira di dalam. Sebentar lagi Papa sama Mama juga akan tiba di sini."

Damar kembali mengangguk.

Sesuai aturan besuk, hanya dua pembesuk di luar penjaga pasien yang bisa masuk. Ia mungkin bisa memosisikan dirinya saat itu sebagai pembesuk. Ia sendiri belum mengetahui apakah orangtua Aruna atau kakak-kakak iparnya yang akan tinggal seharian itu untuk menjaga Aruna. Atau mereka memberikan izin kepadanya.

Pelan-pelan sekali Damar membuka pintu. Ruang perawatan VVIP yang ia masuki ini termasuk ruangan super luas. Terdapat satu lagi bed, tempat Ira tengah duduk mengamati Aruna yang tengah berbaring.

Dengan Eryk yang duduk di kursi di sisi ranjang, sambil menggenggam tangannya.

Damar meletakkan barang-barang yang ia bawa di atas meja dan satunya lagi di atas sofa, kemudian menghampiri ranjang tempat Aruna sedang berbaring. Eryk meliriknya, tetapi ia tidak lekas beranjak dari kursi.

"Eh, udah datang Dam?" Ira menyapanya lebih dulu. Ia turun dari sisi bed satunya dan mencolek punggung Eryk sembari menyuruhnya untuk berpindah tempat.

"Iya."

Damar memusatkan perhatian kepada Aruna yang masih terbaring. Matanya tertutup, dan dadanya naik turun teratur mengikuti ritme napasnya. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bekas luka dan memar akibat benturan. Ia belum mengetahui kondisi Aruna sebenarnya, termasuk luka-luka yang mungkin ada karena tertutupi oleh pakaian dan selimutnya.

Eryk terlihat terpaksa menyerahkan posisi duduknya untuk digantikan oleh Damar. Damar memang tidak menyuruhnya berpindah tempat, tetapi Ira yang melakukan untuknya.

"Lo pulang aja sana, mendingan. Mandi, istirahat. Denise juga nggak pernah lo kabarin kan?"

Suara Ira terdengar ketus.

"Bawel lo ah."

"Lo tuh ya? Isteri lo kan lagi hamil, malah lo tinggalin semalaman." Ira terdengar tidak ada rasa segan bahkan takut ketika mengomeli Eryk.

"Isteri, isteri gue, kenapa lo yang sewot?"

Ira tanpa buang-buang waktu langsung menyeret Eryk menjauh dari ranjang. Eryk nampak kesal, ditepisnya tangan Ira dan segera berlalu keluar dari kamar.

"Dam, aku istirahat di sofa aja, biar lo sama Aruna lebih...mm privasi aja gitu."

"Iya, terimakasih."

Ira menepuk bahu Damar sebelum pergi. "Take your time."

Setelah Ira berbaring di sofa, Damar baru memberanikan diri untuk duduk di kursi yang tadi ditinggalkan Eryk. Ia duduk, tidak tahu apa yang akan ia lakukan saat itu. Sewaktu pertamakali datang, ia melihat Eryk menggenggam tangan Aruna.

Apakah ia akan melakukan hal yang sama?

Dalam diam, Damar memandangi wajah Aruna. Hanya memandangi, tanpa menyentuhnya. Ia butuh waktu memahami situasi ini. Situasi yang tidak pernah terbayang akan ia alami.

Selama berjam-jam lamanya, sejak semalam hingga dini hari tadi, pikirannya penuh oleh segala kemungkinan, sementara hatinya diliputi kecemasan yang teramat sangat. Ia bisa membayangkan kondisi parah yang dialami Aruna pasca kecelakaan.

Selama masa berjam-jam itu pula, entah berapa banyak doa yang ia ucapkan dalam hati, untuk keselamatan Aruna, untuk ketenangan pikiran dan perasaannya. Hingga nazar yang ia akan lakukan setelah Aruna mampu melewati masa kritis hingga benar-benar sembuh.

Damar pelan-pelan mengarahkan tangannya hingga menyentuh jemari Aruna. Pelan sekali, karena enggan membuat Aruna sampai terbangun. Punggung tangannya hangat, begitupun jari-jarinya. Dialihkan pandangan ke wajah Aruna yang kini bergerak di bagian mulut dan kedua matanya.

Ketika kedua matanya terbuka, Aruna mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Kamu ngapain di sini?"

Damar telah siap menerima pertanyaan seperti itu dari Aruna.

"Saya mau menemani kamu," jawab Damar sambil tersenyum.

Aruna menarik tangannya yang berada di bawah telapak tangan Damar.

"Nggak usah," gumam Aruna. "Jam berapa ini?"

"Jam setengah tujuh."

"Hari apa?"

"Hari Kamis."

"Bukannya kamu harus siap-siap berangkat kerja?"

Damar meraih kembali jemari Aruna. "Saya cuti hari ini."

"Kenapa harus cuti?"

"Karena saya mau menjaga kamu dan menghabiskan waktu sama kamu sampai kamu sembuh."

"Besok mau cuti juga?"

"Iya."

Aruna terdiam. Ia membasahi bibirnya yang kering.

"Saya ambilkan minum ya?" Damar bergegas berdiri untuk mengambil gelas kosong berikut sedotan putih dan mengisinya dengan air mineral. Ia membantu memosisikan kepala Aruna sedikit meninggi untuk memudahkannya minum. Setelah air putih tandas hampir setengah gelas, ia kembali membantu merapikan posisi tubuh Aruna setelah berbaring.

"Kamu mau minum jus? Atau makan buah?" Damar menawarkan. Ia telah membeli buah potong sehingga Aruna bisa langsung memakannya.

Aruna belum menentukan pilihan, malah mengajukan pertanyaan lagi kepadanya.

"Aku kenapa sampai bisa kecelakaan?"

"Saya belum memahami soal itu. Mungkin Mas Abi atau Mbak Anis yang lebih tahu. Nanti akan saya tanyakan."

Aruna menatap langit-langit. "Mungkin aku terlalu takut kamu menemukan aku, jadi aku pergi tergesa-gesa."

"Kamu jangan mikirin soal itu, Aruna. Sekarang kamu sedang dalam masa pemulihan. Kamu hanya perlu tahu satu hal, kalau saya akan selalu ada di sisi kamu. Saya nggak akan pernah meninggalkan kamu."

Aruna mengerjapkan mata. Tidak berapa lama, setetes airmata jatuh di pipinya.

"Tapi aku ingin pergi dari kamu. Karena kamu nggak mau mencintai aku."

Damar mengusapkan airmata Aruna dengan jari-jarinya sebelum meraih tisu.

"Saya mencintai kamu." Damar mengulanginya, kali ini dengan suara yang lebih tegas dan yakin. "Saya mencintai kamu, Aruna. Dengan sepenuh hati saya."

"Benarkah?"

Damar mengangguk.

"Aku mau bukti."

"Bukti apa, hmm?" Damar kini memberanikan diri mengusap pipi Aruna dengan gerakan lembut.

"Kamu pasti ngerti."

Damar tidak bisa menyembunyikan tawanya. Wajah Aruna mendadak ia arahkan ke tempat lain. "Cepat sembuh, makanya." Damar meraih dagu Aruna untuk menghadap wajahnya.

Aruna meringis. "Kepalaku sakit, Dam. Sepertinya kebentur keras banget."

"Sabar ya? Kamu pasti akan sembuh, asal rajin minum obatnya." Damar mengamati area sekitar kepala Aruna yang tadi ditunjukkan Aruna, area yang terasa paling sakit.

"Nanti dokter akan datang memberi penjelasan tentang kondisi kamu, jadi saya jadi lebih paham bagaimana cara merawat kamu."

"Dam?"

"Ya?"

"Aku masih pengen cerita banyak sama kamu, tapi sepertinya harus menunggu...argh pinggangku sakit."

Damar beranjak dari kursi untuk mengecup kening Aruna. "Aku panggilin dokter dulu ya?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage