FTSOL #19 (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sebelumnya aku mau ngasih tau kalau aku nggak terlalu detail menceritakan kondisi Aruna setelah kecelakaan, jadi fokusnya setelah dia dirawat di ruang perawatan, jadi kalau ada yang miss mungkin bisa dikomentari, nanti dikit2 kubenahi, jadi maafkan kalau misalnya saat membaca part2 kemarin dan part ini membingungkan kalian.


DAMAR

Dari penjelasan dokter, kecelakaan yang dialami Aruna kemarin malam menyebabkan cedera parah di bagian pinggul dan lutut. Bagian kepala mengalami benturan, tetapi hanya sebatas luka luar menimbulkan memar. Hal ini dimungkinkan oleh safety mobil yang cukup baik, mencegah dari benturan keras di kepala yang pada kecelakaan lain bisa saja menimbulkan pendarahan dalam.

Jadi tindakan operasi yang diambil kemarin dilakukan di bagian pinggul. Hal ini menjelaskan mengapa Aruna belum bisa banyak bergerak dan selalu mengeluh sakit di sekitar pinggangnya.

"Kata dokter, ada benturan di dada juga. Tapi nggak begitu parah." Damar memeriksa dengan pindaian mata, pada area dada Aruna yang tadinya tertutupi pakaian rumah sakit. Aruna ikut meraba tulang dadanya dan ia menunjuk bagian memar.

"Iya, lumayan sakit, tapi masih bisa napas." Aruna menatapnya setelah Damar merapikan kembali posisi pakaian yang dikenakannya. "Aku pasti menyedihkan banget sekarang. Sembuhnya pasti bakalan lama."

"Kamu bisa mengandalkan saya untuk merawat kamu," ujar Damar.

Wajah Aruna menyiratkan kemuraman. "Sepertinya aku kualat deh sama kamu."

"Kualat?"

"Aku kecelakaan setelah ketemu sama pengacara buat...ngurus perceraian."

Jawaban Aruna itu tidak pernah terpikirkan oleh Damar. Sejak mendengar soal kecelakaan Aruna, ia tidak sekalipun membayangkan apa yang sedang Aruna lakukan saat itu. "Setelah mengatur janji pertemuan berikutnya, aku mutusin pulang ke Lebak Bulus. Dalam perjalanan, tiba-tiba aja aku merasa bersalah. Aku mau ngambil ponsel buat menghubungi pengacara dan setelah itu yang aku ingat, aku berusaha berteriak tapi nggak bisa."

Damar serius mendengarkan penjelasan Aruna. Ia cukup takjub, Aruna bisa bercerita dengan cukup lancar. Tangan Aruna berpegangan erat di pergelangan tangannya, seperti memintanya untuk menggenggamnya. Damar pun meraih tangan Aruna dan menggenggamnya cukup erat.

"Itu bukan kualat, hanya kamu saja yang kurang hati-hati." Damar berusaha menampik ucapan Aruna. Perkara kualat itu seperti itu seolah mengejek seseorang akan tindakannya yang ceroboh atau teledor. Ia tidak mau Aruna merasa seperti itu.

"Mengakui dan menyesali perbuatanku. Apa itu cukup untuk menebus kesalahanku, Dam?" tanya Aruna.

"Bisa kan kita nggak bahas soal itu dulu, sekarang?" ucap Damar, merasa tidak nyaman dengan Aruna yang mulai menyalahkan dirinya sendiri.

"Tapi aku merasa bersalah banget sama kamu." Suara Aruna bergetar. Sebentar saja, setetes airmata jatuh dari sudut matanya. "Coba bayangin kalo aku nggak selamat, aku nggak bisa punya kesempatan untuk minta maaf sama kamu."

"No, please? Nggak usah dibahas lagi ya?"

"Ttapi, Dam?"

Damar menghapuskan airmata Aruna yang membuatnya menghela napas berat. Bukan hal yang mudah untuk mengakui kesalahan, tetapi Aruna nampak sangat merasa bersalah hingga airmatanya terus saja mengalir.

"Aruna, saya juga punya kesalahan sama kamu. Jadi jangan berpikir, kamu saja yang bersalah dan ingin minta maaf. Kesalahanku juga banyak sama kamu."

Aruna menggeleng. "Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang banyak salah ke kamu."

"Ya sudah. Nanti saja kita bahas itung-itungan kesalahan, setelah kamu sembuh." Damar mengatakan kalimat itu untuk menghentikan perdebatan di antara mereka. Ia heran, Aruna tengah sakit tetapi masih punya cukup energi untuk melakukan perdebatan yang jujur saja, hanya buang-buang waktu.

"Sejak udah bisa mikir normal, yang aku pikirin cuma gimana caranya minta maaf ke kamu..."

Damar mulai gerah dengan sikap Aruna yang belum juga berhenti membahasnya.

"Aruna, bahas yang lain aja, gimana?"

Aruna menggeram, kini balik kesal melihat respon Damar.

"Pikiranku penuh sama keinginan minta maaf sama kamu. Aku pengen menguraikan satu-persatu kesalahan aku ke kamu selama ini."

Damar menggeleng. "Lain kali saja."

Aruna melepaskan genggaman tangan Damar. "Ya sudah. Pergi aja sana kalau nggak mau dengerin."

Damar kembali meraih tangan Aruna dengan tangan kanan, sementara tangan satunya menyentuh dagu Aruna, seperti kebiasaan Damar jika ingin menolehkan wajah Aruna supaya bisa menghadapnya.

"Ngambek?"

"Siapa yang ngambek?"

Damar tersenyum menyaksikan tingkah Aruna.

"Kamu."

Aruna menurunkan tangan Damar, menjauhkan dari dagunya.

"Kenapa belum pergi? Kamu nggak dengar aku nyuruh kamu pergi?"

"Ya udah kalau kamu marah. Saya pergi dulu kalau gitu."

Damar berdiri dari kursi yang didudukinya, membuat Aruna menggerutu.

"Tadi kamu bilang kamu cinta sama aku, kenapa sekarang kamu mau pergi ninggalin aku?"

Damar tertawa pelan. Aruna tidak benar-benar mengusirnya tadi. Ia tidak memungkiri jika Aruna hanya ingin mengujinya. Ia merasa hal ini lucu, karena sikap Aruna yang begitu menunjukkan sikap ngambek-nya. Ia harus menyiapkan diri mulai dari sekarang menghadapi sikap Aruna yang satu ini. Sikap Aruna memang sulit ditebak.

"Saya di sini lagi, kalau begitu." Damar kembali duduk, dan mengusap jari-jari Aruna dengan ibu jarinya.

Aruna seolah enggan melihat ke arahnya. Damar tidak ingin memaksa, jadi ia hanya duduk dan terus menggerakkan ibu jarinya, memberi sentuhan lembut di jemari Aruna. Rasanya menyenangkan bisa menyentuh Aruna kembali.

"Mm, soal pengakuan kamu. Itu..kamu serius, kan?"

Pertanyaan Aruna itu dijawab Damar. Dimulai dengan anggukan pelan. Damar menggumamkan ya, tetapi nampaknya Aruna merasa tidak puas dengan jawabannya.

"Bukan karena terpaksa?"

Damar menggeleng. "Sekarang saya nanya ke kamu. Kira-kira alasan apa yang bikin saya terpaksa mengakui perasaan saya ke kamu?"

"Yaa, mungkin kamu ingin menghibur aku saja?"

Damar tersenyum. "Saya menyadari tentang perasaan saya itu dua hari yang lalu. Sewaktu saya mutusin untuk membelikan bunga buat kamu."

"Jadi baru dua hari?"

"Ibarat bunga, mungkin baru muncul tunasnya." Damar lalu menyambung. "Tapi bukannya bunga bisa layu dan mati? Jadi, seharusnya saya nggak menyamakan perasaan saya seperti kuncup bunga."

"Lalu seperti apa?"

"Nggak perlu pengandaian seperti apa, Aruna." Damar menghela napas. "Karena saya nggak bisa memberikan kata-kata indah. Saya nggak pintar soal itu. Bagi saya, ketika saya mencintai seseorang, maka seseorang itulah yang saya pilih sebagai seseorang yang akan saya jaga, saya lindungi, sepanjang hidup saya."

Aruna menatapnya.

"Dan seseorang itu kamu, Aruna."

Aruna tersenyum.

"Saya senang karena perempuan yang saya cintai itu adalah isteri saya sendiri. Yaitu, kamu." Damar mengulanginya. "Saya mencintai kamu, Aruna."

Aruna mengangguk. "Aku mencintai kamu, Damar. Suamiku."

Mereka saling berbalas senyum. Sejenak mereka sama-sama terdiam.

"Aku boleh minta sesuatu?"

Damar mengangguk. Ia mengecup kening Aruna.

"Udah kan?" Damar menggodanya.

"Kamu memang menyebalkan, tau nggak?" Aruna mengerutkan kening.

Damar mengerti, tetapi tujuannya kali ini memang ingin menggoda Aruna. Saat Aruna masih menatapnya dengan tatapan sebal, Damar menunduk dan kali ini mencium puncak hidung Aruna.

"Aku maunya di bibir." Aruna mencebikkan bibir. "Usil banget kamu."

"Kamu nggak bilang, jadi mana saya tau?" Damar mengedikkan bahu, menunjukkan cengiran, sebelum menyentuhkan bibirnya ke bibir Aruna. Hanya beberapa kecupan ringan di bibir, sebelum ia mengecup kembali kening Aruna.

Suara deheman, membuyarkan kemesraan mereka.

"Wah, bakal cepat sembuh nih, Aruna."

                                                                         ***

Kentang ya :DDD

See you di part 20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage