FTSOL #20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dua part kemarin isinya dikit2, dan sampe ending juga per part ga gitu panjang2 lagi. Kalo kalian cek part2 kemarin yang super duper panjang, itu jumlah wordsnya sekitar 3000-an ke atas. Nah yang 2 part yaitu 19 (1) dan (2) hanya sekitar seribuan. Jadi mungkin sampe ending aku ambil tengahnya aja sekitar 2000-an kata.

ARUNA

Aruna tidak menyangka Damar akan menuruti permintaannya. Rasanya seperti sedang bermimpi, meski mimpinya kali ini sangat nyata. Setiap sentuhan Damar di tubuhnya, menghadirkan sensasi yang tidak biasa, seakan membangkitkan kerja saraf-saraf peraba di setiap titik yang disentuh.

Rasanya ia akan cepat-cepat sembuh.

Ya, seperti kata Ira yang baru saja datang menginterupsi kebersamaannya dengan Damar.

Apa Ira memahami sesuatu yang dinamakan privasi?

"Maaf banget. Gue pasti ganggu ya, Run?" Ira mengedipkan mata kepadanya. Ira pasti sudah menebak jawabannya, dan ia memang sengaja datang mengganggu.

Damar ikut menoleh melihat ke arah Ira, sebelum kembali menatap wajahnya dan tersenyum. Damar jadi semakin tampan sekaligus makin menggemaskan di matanya, membuat Aruna jadi penasaran untuk merasakan pengalaman yang lebih dari sekadar kecupan di bibir.

"Tau ah," gumam Aruna.

Ira malah cengengesan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo bokap nyokap lo udah dateng, tapi kan gue ngecek dulu ke sini. Mastiin aja."

Udah berasa seperti sekuriti aja nih, si Ira.

"Mastiin apa?" tanya Aruna.

Ira hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban.

Mungkin maksudnya, mengintip dan mengganggu.

Abis ini pasti Ira akan meledeknya habis-habisan dengan kata-kata seperti:

"Eh bukannya lo nggak suka sama Damar? Alergi gitu? Tapi kok malah sekarang lo sih yang agresif?"

Atau

"Nah, ngerti kan lo yang namanya karma? Rasain deh. Dulu lo benci, sekarang lo jadi bucin. Ya nggak? Bener kan kata-kata gue?

Hih, membayangkannya saja sudah cukup menjengkelkan.

Lalu begitu Ira menghilang dari hadapannya; katanya mau lanjut istirahat lagi, berganti dengan sosok papa dan mama, Aruna memasang wajah tersenyum. Ekspresi papa dan mama saat melihatnya, menunjukkan kebahagiaan, meski terselip rasa cemas. Mama berharap pemulihannya akan cepat, dan ia bisa kembali sehat seperti sedia kala. Papa mengamini hal tersebut, dan menambahkan jika ia akan mencarikan terapis terbaik untuk mempercepat proses pemulihan.

Aruna enggan terlalu mencemaskan apapun lagi, karena ada sosok Damar yang akan membantunya melewati tahap penyembuhan dan pemulihan. Ia sempat merutuki dirinya tentang keteledorannya saat berkendara. Sejak itu, ia berjanji akan lebih berhati-hati saat membawa kendaraan.

Saat ia menanyakan di mana mobil kesayangannya, papa dan mama sepakat untuk tidak membahasnya lagi. Tetapi Aruna merasa khawatir dengan kondisi mobilnya.

"Untuk saat ini, kamu jangan mikirin soal mobil kamu. Papa juga akan wanti-wanti kepada Damar untuk nggak membiarkan kamu bawa kendaraan dulu, setelah kamu sembuh."

"Tapi, Pa...," Aruna urung membantah begitu Damar memberi isyarat untuknya mengiyakan saja. Damar melakukannya dengan senyum dan anggukan kepala.

"Saya setuju sama Papa," ujar Damar singkat. Aruna menelan protesnya dan memilih mengangguk mengiyakan.

"Mama juga setuju sama Papa," ucap Mama, semakin menegaskan pada keputusan papa.

Iya juga sih. Seharusnya ia tidak memikirkan dulu soal kondisi mobilnya yang entah seperti apa sekarang. Kata papa, mobilnya sedang diamankan di kantor polisi, tentu saja dalam kondisi rusak. Mas Abi yang lebih tahu, tetapi ia cukup segan kepada Mas Abi, yang sudah bisa ia tebak, responnya pasti sama seperti respon papa. Mas Abi memiliki sifat tegas seperti papa, mungkin karena ia anak pertama, dan laki-laki pula. Berbeda dengan Mbak Anis yang lebih santai dan penuh pemakluman dalam menghadapinya. Berbantahan kata dengan Mas Abi sama saja memicu perdebatan yang ia tahu tidak akan bisa ia menangkan, karena sikap segannya kepada Mas Abi.

Aruna mendengarkan dan menjawab setiap pertanyaan dari papa dan mama. Mereka tidak terlalu lama berada di sana, karena mereka ingin membiarkannya beristirahat lebih banyak tanpa gangguan suara. Sesuai anjuran dokter, tentunya.

Ia membiarkan papa dan mama berlalu pergi, tetapi tidak Damar. Ia tidak ingin Damar jauh-jauh darinya.

Kan lumayan kalau dapat jatah cium lagi?

Astaga. Kenapa pikirannya bisa seperti ini sih?

Setelah sempat mempertimbangkan untuk berpisah dengan Damar, sekarang ia malah tidak bisa jauh-jauh dari Damar.

"Aku pengen cepat pulang, Dam." Aruna mengucapkannya saat Damar merapikan letak selimutnya.

"Kamar ini sudah cukup nyaman untuk kamu."

"Lebih nyaman tidur di rumah." Aruna menjawab.

"Ikuti anjuran dokter aja ya? Dokter yang lebih tau yang terbaik buat kamu." Damar menjawab diplomatis. Yaah, seperti ia yang biasanya.

"Tapi satu hal yang aku tahu...," Aruna menumpukan perhatiannya kepada Damar yang kini sudah kembali duduk di kursinya. "Kamu yang terbaik buat aku."

Damar pura-pura meringis. "Gombalan yang...,"

"Emang nggak boleh, cewek ngegombal? Kenapa? Cringe ya?"

Damar menunjukkan gelengan. "Saya baru mau bilang kalau gombalan kamu itu...manis. saya nggak pintar gombal, jadi merasa sedikit bersalah karena justru kamu yang ambil inisiatif duluan." Damar tersenyum malu. "Kamu yang selalu mengambil inisiatif lebih dulu dalam beberapa hal."

"Nungguin inisiatif dari kamu tuh ibarat nunggu tahun kabisat. Lama banget." Aruna tidak segan mengutarakan pendapatnya tentang sikap Damar, yang lekas diiyakan oleh Damar.

"Yaah namanya juga bukan expert," bela Damar, kepada dirinya sendiri. "Saya juga lagi dalam proses belajar. Nanti kamu malah kaget kalau saya jadi agresif."

"Orang pendiam dan pemalu, malah biasanya diam-diam agresif lho," kata Aruna.

"Oh, ya? Tau dari mana? Apa kamu bisa membaca pikiran saya?"

"Ada teman yang kaya gitu. Cewek udah nikah. Belum nikah dia lugu banget. Setelah nikah malah jadi agresif banget sama suaminya." ucap Aruna tanpa ingin membahas teman yang mana yang ia maksud. "Kali aja kamu juga gitu."

"Jadi, kamu udah bisa makan? Sudah waktunya minum obat." Damar mengalihkan pembicaraan, mungkin tidak nyaman dengan topik itu. Aruna kepikiran, kalau Damar akan lebih senang kalau mereka membicarakan tentang bisnis dan perkembangan bursa saham.

"Maaf deh, aku ngomongnya ngelantur."

"It's okay." Damar menunjukkan senyuman tipis di wajahnya. "Saya orangnya nggak bisa buru-buru setiap melakukan sesuatu. Mungkin kelihatannya jadi terkesan lamban, tapi menurut saya, saya hanya tipe orang yang lebih berhati-hati terhadap sesuatu. Apalagi soal...perasaan. Pondasinya harus kuat. Ibarat seseorang yang hendak membangun rumah, pondasi yang menjadi dasar bangunan harus kokoh. Jadi meskipun bangunnya lebih lama dan mungkin cukup merepotkan, tetapi hasilnya bakal sepadan. Lebih tahan terhadap guncangan, dan jelas bakal lebih tahan lama. Saya mau perasaan saya ke kamu seperti itu."

Oke. Ini jelas kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Damar kepadanya. Jika biasanya ia akan membantah, mencibir atau sampai rolling eyes alias memutar bola mata, karena menurutnya sangat membosankan dan terlalu klise. Tetapi kali ini, kalimat panjang itu malah terasa sangat...indah. Membuatnya tersentuh.

Mengapa sejak masuk rumah sakit, perasaannya jadi terlalu sensitif, sampai-sampai sekarang ia merasakan airmatanya mengalir lagi.

"Kamu nangis?" Damar nampak panik, tidak menyangka respon Aruna akan seperti ini.

"Aku selalu mikir kamu tuh mikirnya lama, sampai bikin aku jadi greget sendiri."

Damar menunjukkan wajah penyesalan. "Maaf."

"Tapi sekarang aku udah bisa mengerti. Kamu aja bisa sabar menghadapi aku selama ini, jadi kenapa malah aku yang jadi nggak sabaran menunggu pernyataan cinta dari kamu?"

Damar mendengarkan ucapan Aruna, tanpa berbicara apa-apa. Sejenak Damar terdiam, sebelum mengusap rambutnya lembut.

"Sepertinya kita memang butuh banyak waktu untuk mengobrol, Aruna. Banyak hal dari diri saya yang ingin saya bagi ke kamu, begitupun sebaliknya. Banyak hal tentang kamu yang ingin saya ketahui." Damar berhenti mengusap rambutnya, beralih mengenggam tangannya. "Tapi nanti saja setelah kamu sembuh."

"Aku pengen cepat sembuh," kata Aruna penuh tekad. "Jadi sekarang tugas kamu, nyuapin aku dan ngasih obat yang mau aku minum. Ngajakin ngobrol sampai aku tertidur. "

"Wow, tugasku banyak juga ternyata."

Aruna menjawil hidung Damar. "Itu masih belum sebanding dengan tugasku."

"Apa itu?" tanya Damar, benar-benar clueless.

"Mikirin kamu setiap saat," jawab Aruna tanpa ragu.

Damar menggeleng-geleng. "Saya nyerah deh sama gombalan kamu."

"The power of bucin, Sayang."

Wajah Damar pasti sedang memanas dan bersemu merah sekarang. Biarin deh.

"Kamu nggak merasa aneh manggil saya dengan sebutan seperti itu?"

Aruna menggeleng. "Lebih enak aja. Kamu nggak keberatan, kan?"

Damar menggaruk tengkuknya. "Boleh aja sih. Tapi jangan di tempat umum. Jangan sampai ada yang dengar juga. Saya hanya... nggak terbiasa."

Aruna tergelak.

Astaga. Damar kenapa jadi makin menggemaskan sih?

Ketika Damar akhirnya beranjak untuk mengambil makanan yang diantarkan ke ruang perawatan, di benak Aruna mulai bermunculan skenario yang ia susun dan kelak akan ia wujudkan bersama Damar. Membayangkannya, tidak mampu menahan dirinya untuk tersenyum-senyum sendiri.

***

Ini ending apa gimana ya? :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage