FTSOL #21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ERYK

Eryk menghela napas dalam-dalam.

Seharusnya tidak seperti ini.

Ia tidak ingin melukai perasaan Denise. Keadaan hubungan mereka yang renggang saat ini disebabkan oleh ketersinggungan dirinya ketika Denise bertanya tentang tabungannya yang semakin menipis, padahal Denise mengaku bahwa kebutuhan mereka sehari-hari juga ditanggung oleh Denise.

"Mama minjem buat beli tas."

"Tas? Tas apa yang harganya sampai 30 juta?"

"Ya adalah. Tas branded. Mama sudah lama pengen tas itu."

"Tapi kan itu kebutuhan yang nggak begitu penting, Ryk. Mending uangnya kamu tabung deh buat anak kita."

"Nanti aja dikumpulin lagi. Lagian itu kan uang aku? Suka-suka aku dong mau diapain uangnya?"

"Ya nggak bisa gitu dong, Ryk. Kita ini udah nikah. Kamu harus paham dong sama yang namanya skala prioritas. Lagian mau sampai kapan mami ngambil uang kamu? Yang kemarin juga belum dibalikin kan? Kalo ditotalin, jumlahnya 80 juta. Mending dideposit daripada dihamburin nggak jelas kaya gitu."

Eryk menarik napas lebih panjang lagi.

Sejak dulu, selalu saja sang mama yang menjadi penyebab dari memburuknya hubungannya dengan pasangan. Dulu, ia batal menikah dengan Aruna, dan kini setelah menikah dengan Denise, penyebabnya selalu saja dari mama. Ia sadar bahwa posisinya sebagai anak, harus bisa membahagiakan orangtua. Namun, di sisi lain, ia juga adalah seorang suami yang memiliki tanggungjawab terhadap rumah tangga. Denise adalah isteri yang ia sayangi, dan hanya karena perselisihan paham, mereka jadi bertengkar.

Ia baru saja menolak panggilan dari Denise. Untuk saat ini, ia belum ingin berbicara dengan Denise. Ia butuh menenangkan diri. Namun, gilanya, dalam masa-masa penuh kebimbangan, ia malah meminta Aruna untuk kembali padanya. Sama seperti yang dulu ia janjikan setelah menikahi Denise.

Belakangan, Aruna malah menikah dengan Damar atas permintaan orangtuanya.

Aruna hanya mencintainya. Setidaknya hal itu yang ia pegang, hingga beberapa hari lalu. Ternyata pemikiran itu terpatahkan oleh kenyataan bahwa hati Aruna telah berubah. Ia bukan lagi satu-satunya laki-laki yang Aruna cintai dan Aruna inginkan untuk menjadi pendamping hidup. Sosok dirinya sebagai satu-satunya laki-laki dalam hidup Aruna kini tergantikan oleh sosok laki-laki lain, yaitu Damar.

Mengapa harus Damar? Mengapa harus laki-laki itu yang kini dicintai Aruna?

Apa hebatnya Damar? Mereka baru saling mengenal selama enam bulan, sementara ia telah mengenal Aruna selama lebih dari sepuluh tahun. Bukankah ia yang seharusnya lebih pantas dicintai Aruna? Mengenal Aruna dalam kurun waktu selama itu tentu saja bisa menjadi jaminan bahwa dialah yang terbaik untuk Aruna.

Aruna pasti salah pilih. Dan akan menyesal suatu saat nanti karena menolaknya.

"Kamu dari mana aja?" tanya Aruna setelah ia duduk di kursi yang ia seret mendekati ranjang tempat Aruna berbaring. Ia ogah menduduki kursi yang tadi diduduki oleh Damar.

"Cari angin," jawab Eryk singkat.

"Kamu sama Denise udah baikan?"

"Kenapa nanyain soal itu, Run?"

"Ya, Ira sempat ngebahas soal itu sih." Aruna memainkan ujung tangkai mawar putih yang sudah nampak layu.

"Ngapain bunga layu gitu masih kamu pegang? Buang aja. Nanti aku beliin yang baru." Eryk mengerutkan kening. "Dan sejak kapan kamu suka sama bunga?"

"Ini buket bunga pertama yang Damar kasih ke aku." Aruna mengucapkannya sambil tersenyum. Senyum riang itu jelas karena sosok Damar.

Sialan.

"Dan sejak saat itu, bunga favoritku adalah mawar putih," sambung Aruna.

Yah. Dan mulai saat itu juga mawar putih adalah bunga yang paling dibencinya.

Pandangan Eryk terhenti pada jari manis Aruna. Sewaktu bertemu di kafe beberapa hari lalu sebelum Aruna kecelakaan, cincin itu tidak ada. Dan kini Aruna memakainya.

Apakah hal itu menandakan ia dan Damar akan kembali bersama lagi?

Seharusnya ia tidak perlu menanyakan pertanyaan itu, sebab ia sudah tahu jawabannya.

"Cincinnya dipake lagi, Run?" Pertanyaan itu semakin mengiris perasaan Eryk.

"Kan memang harus dipake?" Aruna ikut memandangi cincin yang tersemat di jari manisnya. "Damar aja selalu pake. Mandi aja nggak pernah dilepas lho."

"Kamu kayaknya udah sayang sama dia?"

"Iyalah, Ryk. Kamu nggak liat apa wajah sahabat kamu ini sebahagia apa? I'm so happy to have him as my husband." Aruna tertawa. "Cheesy abis deh gue. Sumpah, Ryk. Awas ya kalau kamu ngeledek."

Definisi dari seorang bucin alias budak cinta. Sepanjang lebih dari sepuluh tahun persahabatan mereka, baru kali ini ia melihat Aruna sebahagia ini. Aura wajahnya jadi lebih segar, seolah tidak terpengaruh dengan kondisinya saat ini yang masih belum bisa berjalan. Aruna yang dulunya selalu muram, sedih, pemarah, kini seolah menemukan cahayanya kembali pada sosok laki-laki yang luckily, adalah suaminya sendiri.

Sosok laki-laki yang dulu paling dibenci Aruna, kini menjadi sosok laki-laki yang paling dicintainya. Eryk tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk menyaksikan kemesraan yang dipertontonkan Aruna dan Damar, ketika Damar kembali menampakkan sosoknya di sana.

"Makan buah dulu. Pepaya bagus untuk pencernaan kamu." Eryk melirik Damar yang tengah menyajikan potongan buah di atas piring, kemudian menyuapi Aruna. Ia beralih melihat Aruna yang tengah menyantap buah sambil tersenyum kepada Damar.

"Makasih ya, Sayang?"

Damar mengangguk kaku mendengar panggilan sayang dari Aruna. Ia memilih menunduk memandangi piring sebelum mengambil potongan buah lagi untuk disuapkan. "Berlebihan banget."

"Iih, memangnya kamu yang nggak pernah mau manggil aku, Sayang?"

"Nggak terbiasa," balas Damar kalem.

"Dibiasain, makanya." Aruna terdengar ngotot.

Oke, cukup. Ia tidak tahan lagi berada di sana dan menjadi seperti obat nyamuk. Atau seperti ban serep alias ban cadangan di mobil.

Jadi, sebenarnya apa yang sedang ia tunggu dan ia perjuangkan?

"Run, aku pamit dulu kalo gitu."

"Mau ke mana?" tanya Aruna dan Damar bersamaan.

Ngapain juga Damar sok ikut bertanya kepadanya?

"Mau balik ke rumah. Hari ini mesti masuk kantor," jawab Eryk datar, tanpa melihat sekalipun kepada Damar.

"Tapi nanti balik ke sini lagi kan?" tanya Aruna, terdengar penuh harap.

"Iya, pasti." Eryk mendekat untuk mengusap rambut Aruna. Jika saja Damar tidak ada di situ, ia mungkin sudah bergerak mengecup kening Aruna, mengatakan kalau ia menyayangi Aruna dan akan segera kembali.

"Kabarin Denise juga, kali aja dia sempat ke sini." Aruna lalu cepat-cepat meralatnya. "Ya, nggak diberitahu juga nggak apa-apa. Pasti bakal canggung."

Eryk berbalik, tidak ingin lagi menyembunyikan perasaannya kini.

"Denise sudah kembali ke rumah orangtuanya."

Tanpa menunggu balasan dari Aruna, Eryk berlalu meninggalkan ruang perawatan. Ia memang tidak lagi mendengar suara Aruna memanggilnya untuk kembali.

Sudahlah. Ia tidak mau ambil pusing lagi.

***

DAMAR

"Udah." Aruna menggelengkan kepala, menolaknya menyuapkan bubur.

"Ayo sedikit lagi. Kamu baru makan dua suap."

"Aku nggak mau makan bubur lagi."

Berkali-kali Aruna mengatakan ia tidak menyukai makanan rumah sakit yang rasanya hambar di lidah. Bubur bukan makanan favoritnya, ditambah rasa bubur yang begitu minim bumbu.

"Bisa nggak, aku minta dirawat di rumah saja?"

"Saya sudah tanyakan ke dokter, katanya belum boleh pulang. Tunggu tiga hari lagi." Damar kembali membujuk Aruna supaya ia mau makan, paling tidak sekitar dua atau tiga suap. Jawabannya yang ia berikan saat Aruna meminta dirawat di rumah saja, segera ditanggapi Aruna dengan anggukan. Pagi itu Aruna bilang kalau ia akan berusaha menuruti setiap perkataannya. Soal bubur tadi pun, Aruna sempat menunjukkan keengganan, tetapi ia berusaha memakannya. Pada detik itu, Damar tidak lagi menawarkan bubur tadi, yang kini ia letakkan di atas baki.

Ketika Aruna selesai menelan vitamin, tercetus keinginan Damar untuk menunjukkan foto-foto sewaktu mereka berlibur di Jogja. Aruna langsung antusias melihat lembaran foto yang diperlihatkan Damar kepadanya.

"Aku udah nggak ingat kameranya aku simpan di mana, tapi kamu nemu aja."

"Saya nggak sengaja nemu kamera kamu di laci nakas. Saya pikir, kamu pasti bakal suka." Damar lalu menunjukkan sebuah buku album kecil untuk menyimpan foto-foto tersebut sehingga lebih rapi.

"Biar aku saja." Aruna mengambil lembaran foto untuk dimasukkan ke dalam album.

"Selain foto-foto ini, aku juga ketemu banyak foto lainnya." Damar tersenyum saat mengatakannya. "Ada foto panti asuhan dan anak-anak kecil."

"Oh itu." Aruna tidak langsung menjawab. Hanya tangannya yang sibuk menata foto di dalam album. "Kalau nggak salah, ada foto-foto aku sama Eryk dengan Ira juga waktu kami liburan di Bali. Foto Nayla sama Kayla juga ada."

Aruna langsung teringat kedua keponakannya yang tidak pernah diajak untuk menjenguknya, menghindari kemungkinan kontak dengan virus dan kuman penyakit lainnya yang mungkin bisa mereka dapatkan di sana.

"Banyak banget, sebenarnya. Tapi saya hanya cetak foto-foto di Jogja saja." Damar memerhatikan aktivitas Aruna dengan lembaran foto di tangannya. Saat Aruna mengangkat wajah untuk menatapnya, saat itu pula Aruna mulai bercerita tentang panti asuhan yang dilihat Damar di data kamera.

"Panti asuhan itulah tempat saya dititipkan sebelum diadopsi sama papa dan mama," ungkap Aruna.

"Oh, harusnya saya nggak nyinggung soal itu."

"Nggak apa-apa kok." Senyum Aruna terlihat lagi. "Aku sesekali ke sana kalo lagi kangen suasananya. Sekalian bawain makanan dan camilan untuk anak-anak. Sekedar berbagi aja sih."

Damar menikmati senyum Aruna sebelum raut wajah itu perlahan berubah khawatir.

"Kamu nggak masalah soal itu?" tanya Aruna.

"Soal apa?"

"Soal statusku yang anak adopsi."

Damar tersenyum. "Sebelum menikahi kamu, saya sudah tahu, Aruna. Dan saya nggak pernah merasa keberatan."

Aruna menutup album di tangannya. Entah lembaran foto tadi sudah tersusun semua. Saat Damar membuka album, masih ada dua foto yang belum ditata. Hanya terselip saja di antara halaman album.

"Aku pengen cerita banyak, tapi pengennya di rumah saja. Biar lebih leluasa."

"Iya, kapan saja kalau kamu punya waktu, nggak harus sekarang."

Aruna nampaknya bersiap-siap menunjukkan kesedihan, tetapi Damar segera memberinya pelukan, sambil mengusap-usap punggungnya.

"It's okay, it's okay."

Kisah hidup Aruna pasti terlalu pahit dan berliku untuk Aruna bagi dengannya. Damar tidak pernah berusaha mengorek tentang masa lalu Aruna. Sejak ia mengetahui status Aruna sebagai anak adopsi, ia berusaha menjaga dirinya untuk tidak menyinggung tentang hal itu. Karena sesuai apa yang dikatakannya, ia tidak pernah merasa keberatan akan status Aruna dalam keluarganya.

"Aku sempat takut kalau kamu mau menikah sama aku karena hanya ingin menyenangkan orangtua kamu. Dan mungkin juga karena kamu segan sama papa."

Damar tidak bisa menahan tawanya. Bukan cara bicara Aruna yang ia anggap lucu, tetapi kata-kata yang dipilih Aruna. Bagaimana mungkin ia menikah karena segan dengan papa Aruna? Meskipun beliau adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja, bukan berarti ia harus segitu segannya sehingga terpaksa menerima perjodohan. Pikiran logisnya mengatakan, seorang pria dewasa dan mandiri tidak akan mau menikah dengan seseorang jika ia memang tidak menginginkannya.

"Kenapa kamu sampai berpikir seperti itu? Sekalipun kita menikah karena perjodohan, tapi sama sekali tidak ada paksaan dari keluarga. Saya pria dewasa yang sudah bisa memutuskan sendiri tentang masa depan saya, termasuk soal jodoh. Sebelum mengambil keputusan untuk menikahi kamu, saya juga punya waktu untuk memikirkannya, mempertimbangkan dengan matang."

"Tapi kamu kan nggak begitu kenal sama aku? Apa ini nggak kedengaran seperti seseorang yang membeli kucing dalam karung? Bagaimana mungkin sampai kamu sampai pada tahap mempertimbangkan dengan matang. Kamu masih waras kan waktu itu?"

Damar kembali tergelak. Deretan pertanyaan Aruna jadi semakin mengada-ada.

"Saya nggak kenal sama kamu, awalnya. Tapi sekarang kan udah kenal?"

Aruna mencubit lengan Damar. "Harusnya nggak gitu jawabnya."

"Harusnya gimana?" Damar menggeleng-geleng melihat bekas cubitan Aruna yang meninggalkan jejak di kulitnya.

"Sorry, Sayang." Aruna mengelus-elus bekas cubitannya. "Sakit ya?"

"Nggak sakit," jawab Damar. "Lebih sakit ketika kamu marah-marah sama saya."

Aruna tersenyum kecut. "Aku memang parah banget ya dulunya sama kamu? Kalau diingat lagi, aku jadi malu sendiri."

"Yang penting sekarang kan udah nggak lagi?"

Aruna mengangguk. "Iya. Karena sekarang aku cinta sama kamu."

"Terimakasih."

Damar hanya terpikirkan kata itu. Setiap Aruna mengatakan jika Aruna mencintainya, Damar sering kebingungan bagaimana harus bersikap di hadapannya. Mungkin hanya butuh waktu lebih lagi untuk membiasakan diri. Salah satu caranya adalah dengan lebih membuka diri terhadap pasangan.

"No. Aku yang makasih sama kamu karena kamu mau bersabar menghadapi sikapku yang menyebalkan."

***

ARUNA

Dengan sangat berhati-hati, Damar menggendongnya, memindahkan tubuhnya dari kursi roda ke atas tempat tidur. Lalu pelan-pelan memosisikan tubuhnya menjadi berbaring. Rasa nyeri masih terasa di area sekitar pinggang. Menurut dokter, butuh waktu tiga Minggu hingga sebulan baginya untuk kembali berjalan. Selama proses penyembuhan, ia akan dibantu oleh seorang perawat dan terapis. Konsultasi dokter akan terus berlangsung dalam jadwal yang telah ditentukan.

"Mau ke mana?" tanya Aruna ketika Damar selesai menyelimuti tubuhnya.

"Mandi," jawab Damar sebelum melangkah menuju lemari untuk mengambil handuk dari lipatannya. Biasanya jika Aruna juga berada di dalam kamar, Damar akan masuk ke dalam walk in closet , melepaskan pakaiannya lalu melangkah ke kamar mandi.

Tetapi kali ini, Aruna ingin kebiasaan itu berubah. Hari pertama pulang ke rumah, rasanya ia butuh hiburan.

Tanpa sungkan, ia meminta kepada Damar menanggalkan pakaian di hadapannya. Damar sempat bergeming, kemudian menggelengkan kepala.

"Pelit."

Damar akhirnya berbalik menghadapnya, membuka kancing kemejanya satu demi satu, lalu meluruhkan kemeja itu dari tubuhnya. Hanya sebatas itu, karena ia memilih mengitari tempat tidur, menghampiri Aruna yang kecewa karena aktivitas Damar melepaskan pakaian hanya sebatas pada kemejanya saja. Dan mengecup keningnya.

"Cepat sembuh makanya, biar bisa mandi bareng," ledek Damar. Ia membiarkan Aruna mengelus dada dan perutnya.

"Buruan mandi, trus balik ke sini." Aruna menatap takjub tanpa berkedip pada permukaan perut yang ia telusuri dengan jari telunjuknya.

Benar-benar godaan besar.

"Nggak sabaran," ledek Damar lagi, sebelum beranjak menuju kamar mandi.

***

Ga jadi ending dong :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage