FTSOL #22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DAMAR

"Kamu kok lama banget baru pulang?"

Gerutuan Aruna tersebut menyambut kepulangan Damar dari kantor. Hari sudah gelap ketika ia tiba di rumah, meleset beberapa jam dari yang telah ia janjikan kepada Aruna. Bukannya ia sengaja pulang terlambat. Ia baru pulang saat itu karena ada pekerjaan yang benar-benar tidak bisa ia tinggalkan hingga harus ditunda sampai keesokan hari.

"Kerjaan lagi banyak. Sorry." Damar mengecup puncak kepala Aruna yang kini tengah duduk di atas sofa di depan TV. Aruna tidak lagi menggunakan kursi roda untuk alat bantu mobilitas. Sesekali ia sudah bisa melangkah sendiri ke sana kemari, meski dengan bantuan tongkat. Kata terapis yang setiap hari datang untuk membantu Aruna berlatih berjalan, Aruna bisa benar-benar sembuh total dalam jangka waktu sekitar seminggu. Atau paling lama sepuluh hari.

"Imah lagi di dapur," jawab Aruna saat Damar menanyakan keberadaan Imah, asisten rumahtangga yang mulai bekerja di rumah mereka sehari setelah Aruna pulang dari rumahsakit. "Kamu nggak telat kan makan siangnya?" tanya Aruna.

"On time, kok. Begitu tiba jam istirahat, saya langsung makan siang. Di jalan juga nggak ngebut."

Sejak mereka kembali ke rumah, Aruna menjadi semakin perhatian padanya ketika sedang bekerja di kantor. Selalu mengingatkan makan siang. Selain itu, Aruna juga selalu mengingatkannya untuk berhati-hati membawa kendaraan. Aruna tidak ingin hal yang sama terjadi kepada Damar. Damar pun meyakinkan Aruna bahwa ia akan selalu berhati-hati. Entah, Aruna mengaku selalu saja mencemaskannya setiap ia berangkat kerja.

"Aku senang dengarnya," Aruna tersenyum pada Damar, kemudian menyingkirkan buku yang tengah ia baca dan meminta Damar duduk di dekatnya. Damar menurut, dan ia mendengar Aruna mengatakan rencananya untuk mulai bekerja di perusahaan sebagai staf di salah satu divisi. Aruna belum memutuskan divisi apa yang ia tuju, tetapi jika melihat dari latar belakang pendidikan sarjananya, ia bisa menempatkan diri di divisi marketing.

"Serius?" Damar memastikan, yang dibalas Aruna dengan anggukan.

"Pengennya sih satu divisi sama kamu, tapi kan nggak bisa." Aruna menyinggung soal aturan di perusahaan yang tidak membolehkan pasangan suami isteri bekerja di divisi yang sama.

"Kan setiap hari ketemunya di rumah juga?"

Aruna tersenyum lebih lebar. "Aku pengen liatin kamu gimana kalau lagi kerja. Pasti sibuk banget. Workaholic gini."

Damar tergelak mendengar tudingan Aruna.

Tapi masa iya, ia tergolong seorang workaholic? Seorang yang memiliki kecenderungan untuk selalu bekerja. Menurutnya, ia hanya berusaha melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Meski Aruna mulai komplain jika di malam hari, ia berkutat dengan pekerjaan sampai larut malam. Kata Aruna, pekerjaannya tidak akan kabur bila tidak dikerjakan. Ia hanya harus sedikit lebih santai menghadapi tuntutan pekerjaan.

"Coba ya dari dulu aku punya inisiatif buat kerja. Mungkin sekarang aku sudah punya karir bagus. Terutama pengetahuan soal ekonomi dan bisnis aku juga jadi bertambah banyak."

"Semua ada prosesnya," ucap Damar. "Lagian kamu kerja selama ini mengelola kelab malam kamu."

"Iya, tapi kan aku pengen kerja sungguhan di perusahaan?" Aruna mengulum bibirnya. "Kamu ingat kan dulu aku pernah bilang, aku nggak pengen mengelola Viola lagi?"

Damar mengangguk. "Hmm."

"Aku mutusin mau ngejual saham Viola karena aku udah nggak pengen ngurusin bisnis hiburan malam lagi. Biar hidupku lebih tenang aja."

Damar tidak pernah meminta Aruna melepas tanggungjawabnya terhadap Viola. Namun, berhubung Aruna ingin menanggalkan segala sesuatu di dalam hidupnya yang berhubungan dengan clubbing dan sejenisnya termasuk kebiasaan minum dan merokok, ia memutuskan akan menempuh jalan itu. Semua berjalan sesuai inisiatfnya, Damar tidak pernah mencoba untuk ikut campur.

"Pendapat kamu, gimana?" tanya Aruna ketika melihatnya hanya diam saja. Damar sedang diam karena mencoba memahami keputusan yang diambil Aruna.

"Kalau hal itu membuat hidup kamu jadi lebih tenang, lakukan saja."

"Hmm. Iya. Sudah aku pikirin baik-baik kok, termasuk soal...punya anak. Aku pengen nunda dulu. Nggak apa-apa kan?"

"Kok jadi bahas soal itu?" Damar tersenyum.

"Biar jelas. Aku pengen punya anak saat aku udah benar-benar siap."

"Yang mau hamil dan melahirkan kamu kan? Kamu punya hak atas tubuh kamu, keputusan yang berkaitan dengan tubuh kamu, adalah sepenuhnya hak kamu. Menjadi seorang ibu bukan tanggungjawab yang mudah. Kalau belum siap, seharusnya kan memang bisa ditunda," ujar Damar diplomatis.

"Tapi soal yang kemarin aku bilang itu, aku nggak mau nunda lagi."

Damar rasanya tidak perlu menanyakan lebih lanjut, karena ia telah memahami maksud perkataan Aruna. Mau tidak mau, ia merasakan wajahnya memanas dan jantungnya berdebar-debar lebih kencang dari biasanya.

"Kamu maunya kapan?"

"Kamu maunya kapan?" Aruna balik bertanya.

Damar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sabtu malam, saya pengen ngajak kamu makan malam."

"Dua hari lagi, berarti."

"Nggak. Minggu depan. Sampai kondisi kamu sudah benar-benar pulih."

Aruna tersenyum. "Iya, deh. Meskipun aku juga jadi makin penasaran apalagi setelah mandi bareng kemarin." Aruna meraih tangannya. "Aku juga bersedia kalau kamu mau."

Damar mengangguk pelan.

"Ayo deh."

***

ARUNA

"Enakan di shower,"

"Kamu kan belum kuat berdiri?"

"Udah bisa sih tapi dikit."

Aruna tersenyum sambil mengelus-elus permukaan kulit dada Damar yang tidak terendam air dan busa sabun, kemudian menurun ke bawah, ke arah perut Damar yang terbenam dalam air. Damar menahan tangannya ketika gerakannya semakin menurun.

"Bahaya." Damar beralasan.

"Kenapa? Takut nggak bisa berhenti?" Aruna tetap berusaha menggoda Damar meski ia juga tetap menjaga tangannya sebelum benar-benar melaksanakan aksi jailnya.

"Gini aja mendingan."

Damar memajukan tubuhnya, pelan-pelan mendorong hingga punggung Aruna bersandar pada dinding bathtub.

Menciumnya.

"Udah mahir ya?" gumam Aruna setelah Damar menarik kepalanya, melepaskan bibirnya yang sejak tadi mencumbu Aruna.

Aruna tidak perlu menunggu jawaban Damar untuk balik menciumnya. Setiap pergerakannya disambut antusias oleh Damar. Saat suasana semakin panas, ia menuntun kedua tangan Damar untuk memberikan sentuhan di tubuhnya. Setiap titik seolah tidak ada yang terlewat. Membuatnya tidak tahan.

Aruna tersenyum ketika tau-tau saja tubuhnya sudah ada di pangkuan Damar. Ia merasakan nyeri di pinggang, tetapi rasa nyeri itu mulai dikalahkan oleh hasrat yang sulit terbendung.

"Sekarang aja, gimana?" pintanya.

Damar tidak menolak atau mengiyakan, tetapi kini punggung Damar bersandar pada dinding bathtub sambil kedua tangannya berpegangan di kedua sisi pinggang Aruna.

"I want you so bad," ucap Aruna lirih.

"Now?"

"Yes."

Tetapi kemudian erangan kesakitan Aruna terdengar.

"Sakit, Sayang."

"Padahal belum...," Damar tersenyum, memotong ucapannya tadi. "Pinggang kamu sakit?"

"Hmm."

"Berarti memang belum waktunya," ucap Damar singkat sebelum menciumnya selama sekian detik.

Ciuman yang manis sekaligus memabukkan.

Aruna tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ia dan Damar masih tetap stuck pada tahapan berbulan-bulan lalu. Ia akan menyesal telah melewatkan setiap momen semanis ini, hanya bersama satu-satunya laki-laki yang ia cintai dan menjadi tumpuan harapannya. Laki-laki yang tidak pernah berhenti menyita pikirannya dengan memikirkannya dan laki-laki yang selalu saja berhasil membuat jantungnya berdebar tidak karuan setiap berada di dekatnya.

"Aku sayang kamu, Dam. Sayaaang banget," ucap Aruna saat ia menemukan kesempatan menarik napas dalam-dalam.

"Saya juga sayang sama kamu," balas Damar. Mereka bertatapan beberapa saat sebelum kembali berciuman.

Bagaimana mungkin ia bisa mengakhiri kemesraan ini sementara bibir Damar terlalu menggoda untuk dilewatkan. Damar mengerang pelan ketika Aruna menggigit bibirnya karena gemas. Aruna nyaris melonjak dari duduknya, saat Damar balas menggigit bibirnya, membuatnya makin frustrasi.

"Nakal banget," keluh Aruna.

"Yang mulai duluan, siapa, hmm?"

Aruna mendesis, menunjukkan kekesalan, tetapi tidak menghentikannya untuk kembali menempelkan bibirnya ke bibir Damar. "Bikin nagih banget ini. Nggak pernah ngebosenin."

Senyum Damar yang begitu menawan muncul, menanggapi ucapannya.

"Cepat sembuh."

"Pasti, Sayang."

***

Temporary J

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage