Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nggak lucu!" Lunar mengumpat dengan kesal. 

Austin, yang tadi berbicara dengan suara serak direndah-rendahkan, sekarang terbahak-bahak. Wajahnya sama sekali tidak menyeramkan sekarang ini, hanya seorang remaja tanggung yang sepertinya kehilangan kewarasan karena beratnya beban hidup.

"Lagian, enak banget tidurnya. Nggak liat-liat tempat, ya, Nar?" Austin masih terkekeh-kekeh.

Lunar mengusir Austin. "Gue ngantuk. Udahlah, lu nggak usah gangguin gue. Capek, tau."

"Abis ngapain, Mas, bisa capek begitu?" Austin masih saja mengganggu dengan usilnya. "Jangan malas-malasan mulu, dong, Mas. Masa malas dipelihara. Mending melihara kambing, bisa dijual dapet duit."

"Berisik lu!" Lunar menyahut ketus. "Serius, gue lagi ngantuk."

"Ngantuk juga jangan dipelihara, Mas Lunar. Nggak ada duitnya."

Si cowok dengan mata merah karena kantuk itu berusaha menyambit Austin dengan botol minum yang tadi ditaruhnya di sebelahnya. "Austin, jangan ganggu gue, lah. Udah sana balik lagi ke depan, PDKT kek, apa kek. Pokoknya pergi!"

"Galak amat sih Mas Lunar," kata Austin dengan nada menggoda dibuat-buat. "Serius nih, Mas, nggak mau ditemenin?"

"Nggak!" Lunar mengusir dengan kasar. "Pergi, sana."

"Nggak mau ikut gue nih, Nar?"

"Enggak gue bilang!"

Austin tersenyum tipis. "Emang lu tau gue mau ke mana?"

"Nggak tahu dan nggak mau tahu."

"Kalo gue bilang," Austin mendekatkan mulutnya ke telinga Lunar, "gue mau ke tempatnya Viola. Gimana?"

"Bodo amat," balas Lunar tak acuh. "Siapa?"

"Viola," kata Austin dengan suara rendah. "Viola, kamu inget dia, kan?"

Lunar mendongak. Matanya menjadi kosong. Ya, dia ingat. "Viola," bisik Lunar. Air matanya menggenang di sudut-sudut matanya.

"Iya, Viola," ucap Austin perlahan. "Pacarmu. Inget, 'kan?"

"Viola," Lunar mengulang dengan otomatis. Dia ingat. Viola pacarnya yang sangat dia sayangi. Dia merindukan Viola. "Aku mau ketemu sama Viola."

"Nah, ya, bukan?" Austin menarik Lunar berdiri. Cowok kurus yang sebenarnya lumayan atletis itu tidak melawan sama sekali ketika Austin menyeretnya. Kesadarannya tak berjalan, jiwanya hanya terpaku pada sang belahan hati, tidak memedulikan lingkungannya sama sekali. "Ayo, bertemu Viola."

Viola, Viola, Viola, begitu senandung dalam benak Lunar. Kata-kata itu terjalin di otaknya, menari-nari riang. Viola, Viola, Viola. Dari deretan aksara tanpa makna, perlahan-lahan kata-kata itu mulai memiliki arti. Viola, Viola, Viola. Berulang dan berulang, setiap sukunya membuat cinta tumbuh semakin besar dalam hati Lunar. 

Lunar lumpuh oleh cinta.

Dan dengan mudahnya, Austin menyeret Lunar melalui ambang kenyataan menuju kehampaan yang tanpa isi.

-Remember, Lunar-

"Kami sebagai tim kontra akan mengemukakan alasan-alasan kami mengapa kami tidak menyetujui bahwa remaja usia sekolah diperbolehkan untuk berpacaran," suara Lira memulai. "Pertama, remaja yang berpacaran biasanya akan lebih fokus terhadap pasangannya dan mengabaikan pekerjaannya yang lain, yaitu kewajibannya sebagai pelajar. Kedua, pergaulan remaja yang pacaran akan cenderung lebih sempit dari pada yang tidak. Hal ini disebabkan karena keinginan remaja yang sudah punya pacar untuk terus bersama pacarnya."

"Selain itu," sambung Dika, "kita semua yang masih pelajar belum memiliki sumber penghasilan sendiri. Tentunya, kita akan lebih banyak menghabiskan uang jajan kita, yaitu uang yang diberikan oleh orangtua kita. Ini sangat merugikan. Alasan selanjutnya, hormon-hormon yang ada pada masa remaja ini belum stabil, karena itu, kita kurang dapat mengendalikan emosi kita. Saat terjadi konflik dengan pasangan, belum tentu kita dapat menghadapinya dengan baik dan bisa-bisa kegiatan belajar kita malah terganggu."

"Dan terakhir," kata Kara dengan gaya tangguh mengancam nan blak-blakan, "tujuan pacaran itu untuk apa?" Ditatapnya ketiga lawannya dengan galak, lalu dia melanjutkan dengan dramatis, "Tujuan pacaran adalah untuk menikah. Memangnya kita mau dan sudah siap untuk menikah pada usia sekarang ini?"

Lunar hanya setengah bangun ketika mengamati kejadian di hadapannya. Peristiwa itu, lomba debat, terjadi beberapa bulan yang lalu. Lira, Dika, dan Kara mewakili kelas mereka dalam lomba debat antar kelas pertama yang diadakan sekolah. Tak ada yang mengerti tata cara berdebat yang benar di antara peserta, tapi semua peserta tetap berdebat dengan sepenuh hati.

"Aduh, ternyata begini ya rasanya jadi nyamuk," kata Kara iseng pada Lunar dan Viola yang berangkulan. "Ngiiing."

"Woi, woi, penontonnya masih jomblo semua ini," ujar Dika sambil tertawa. 

"Alah, lu mah tinggal pilih aja," kata Lunar dengan wajah songong, menunjuk ke arah Kara, Linda, dan Lira. "Tuh, banyak."

"Ih, ogah." Dika bergidik. "Aku nggak kepengen nikah."

"Aku nggak minat sama cowok di dunia nyata," balas Kara cepat.

Linda berteriak, "Jijik!" Cewek bertubuh pendek itu, semua orang menyimpulkan, pasti belum mengalami pubertas. Linda sama sekali tidak pernah menunjukkan ketertarikkan kepada lawan jenisnya, belum lagi dia selalu terlihat menghindari semua yang berbau romantis.

"Aku nggak mau," kata Lira tak mau kalah. "Aku, 'kan, udah punya doi."

Lunar mengamati peristiwa itu dengan sendu. Sudah berapa lama sejak mereka semua sebahagia itu? Itu semua adalah memorinya, memori yang tak ingin dia lepaskan sampai kapan pun.

Lunar merindukan saat-saat itu. Dan Viola ... Viola yang direnggut darinya.

Lunar terkesiap. Dia berada di tengah kehampaan, menyaksikan kilas balik memorinya karena Austin yang menyeretnya. Austin bilang dia akan membawanya ke Viola.

"Viola!" teriak Lunar. "Viola!"

Viola tak terlihat di mana pun. Lunar terus memanggil. Viola, sekarang dia ingat segalanya tentang cewek itu. Viola adalah satu-satunya cewek yang pernah membuatnya jatuh hati. Di saat seua cewek lain hanya dilihatnya sekilas, baik itu Kara yang labil maupun Linda yang kekanakan,  Viola yang kuat, yang pemberani, yang selalu berani untuk bersuara terlihat menonjol untuknya.

Dia melupakan Viola. Viola-lah yang dia lupakan selama ini, yang membuat hatinya sekaligus hidupnya kosong tanpa isi.

"Viola!" teriaknya lagi.

"Berisik, Bodoh." Austin tiba-tiba muncul di sampingnya. "Dasar bucin."

"Bodo!" jerit Lunar. "Lo kemanain Viola? Lo tokoh jahatnya, 'kan? Lo apaan, alien atau makhluk legenda atau apa?"

"Itu adalah hal pribadi, Lunar," kata Austin seolah heran. "Kau tidak boleh bertanya begitu saja pada orang apa mereka adalah alien."

"Kayak gue peduli!" seru Lunar sewot. "Jawab pertanyaan gue!"

"Yang mana?" tanya Austin polos.

"Semuanya, dasar kau--" Lunar menghentikan mulutnya sebelum mengucapkan satu kata yang mungkin saja dapat membuatnya diomeli tujuh hari tujuh malam oleh ibunya dan bahkan lebih lama lagi oleh Linda, Lira, dan Kara.

Austin tersenyum lebar. "Nggak ah."

Lalu dia menghilang.

Meloncat keluarlah kata itu dari bibir Lunar. Biarlah, tak ada ibunya, Linda, Lira, atau pun Kara di sini.

-Remember, Lunar-

Di tempat aneh ini, waktu seakan tidak berlalu. Semestinya sudah beberapa tahun Lunar mengambang di kehampaan. Seperti namanya, hanya kehampaan yang ada di kehampaan. Kosong, seperti hatinya tanpa Viola.

Lunar tertawa tertahan membayangkan dia mengatakan itu secara langsung pada Viola. Dia sangat merindukan cewek itu. Entah sudah berapa lama dia tak melihatnya.

Lunar tak tahu apa yang terjadi. Dia tak mengerti. Yang dia tahu, hidupnya hancur karena Austin. Semuanya tadinya terasa begitu sempurna, Lunar ingat. Dia punya sahabat-sahabat yang baik dan seorang pacar yang perhatian. Hidupnya penuh keriangan. Pada suatu hari, Viola menghilang dan dia melupakan segalanya tentang cewek itu.

Dan Kara ... apa hubungannya Kara dengan semua ini?

Seakan menjawab pertanyaannya, di depannya kabut kehampaan tersibak dan dia melihat Kara sendirian di aula sekolah. Matanya terpejam.

"Kara," panggil Lunar.

Mata Kara membuka, dan sekali lagi Lunar kembali mengingat film-film tentang mayat hidup yang sebenarnya ogah ditontonnya kalau tidak diminta (secara paksa) oleh teman-temannya. 

"Lunar?" Suara Kara bergetar dan ketakutan, terdengar seperti diucapkan dari balik tembok tebal. Dia menengok ke arah sekelilingnya. "Lunar, dengar aku. Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku janji aku akan mencoba mencari jalan keluar."

"Apa yang terjadi?" tanya Lunar.

"Kamu sudah bertemu Viola? Pastikan dia baik-baik saja. Aku akan berusaha mengeluarkan kalian. Aku akan berusaha. Aku janji. Kalian akan baik-baik saja. Aku akan ...." Dia menangis.

"Kara," desak Lunar. "Apa yang terjadi?"

Kara memejamkan matanya lagi, seperti menenangkan dirinya sendiri. "Aku yang salah, Lunar. Aku minta maaf. Aku tak akan membiarkannya menyakiti kalian. Aku akan mencari cara."

"Kara."

"Kumohon, Lunar. Kumohon," Kara menarik napasnya susah payah, "jangan mati."

"Lunar," kata sebuah suara di belakangnya. "Lunar, ini aku."

Lunar mematung tidak percaya. Di belakangnya, sayup-sayup masih terdengar suara Kara, tapi suara cewek itu semakin lama terus memudar.

"Aku melupakanmu," ucap Lunar akhirnya. "Maaf."

Viola memeluknya, erat sekali. Cewek itu terlihat seperti yang diingat oleh Lunar: rambutnya yang dipotong sebahu, kesan lancip yang familiar, dan ketegasan yang masih memancar kuat. Viola yang selalu dia kagumi. Viola, pacarnya.

"Aku kangen," kata Viola. 

Lunar tersenyum. Dan menangis.

Untuk sesaat, semua hal yang lain tak lagi terasa penting baginya. Biarlah bumi berhenti berputar, biarlah hitam berhenti berwarna gelap. Semua itu tidak lagi penting.

Karena Viola kini bersamanya. Karena Viola kini aman dalam pelukannya.

18 Desember 2019

Oh wait alurnya kecepetan. 

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro