Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan pingsan!" suruh Dika. "Kenapa sih kamu?"

Perlahan-lahan kesadaran Lunar kembali. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi barusan, tapi memorinya perlahan menghilang, pupus ke bagian belakang kepalanya. "Emang aku pingsan?"

"Nggak," kata Dika setelah diam selama beberapa saat. "Tadi kesandung doang. Tapi tampangmu udah kayak orang mau pingsan."

"Oh," gumam Lunar. Dia merasa sangat lelah dan dia bahkan tak tahu mengapa. "Jemputan kita udah dateng belom?"

Perjalanan pulang terasa agak kabur bagi Lunar. Dia ingat tatapan cemas Dika, tapi dia tidak mengacuhkannya sama sekali. Semuanya terasa kosong.

"Lunar," kata Dika sebelum Lunar turun dari mobil jemputan. "Jangan lupa."

Lupa apa? Lunar ingin bertanya, tapi dia tak memiliki tenaga untuk itu.

Lunar terlalu lelah. Dia tak ingat bagaimana dia dapat sampai di kamarnya dan mandi. Dia hanya ingat betapa melegakannya tempat tidurnya. Lunar langsung tertidur.

Tangannya digenggam. Hangat, sehangat senyum gadis di sebelahnya.

Mereka tertawa. Dika, Kara, Linda, Lira, Jevan, dan Austin. Bersamanya dan gadis itu.

Tangisan Kara. Teriakan Dika. Kebingungan Linda dan Lira. 

Lunar terbangun, bersimbah keringat dan air mata. Apa itu? Dia tadi memimpikan apa? 

-Remember, Lunar-

"Aku tidak lupa! Aku tidak lupa!"

"Kara! Kenapa?" Bu Alisa dengan panik menghampiri Kara yang mendadak menangis dan menjerit-jerit. 

"Kayaknya dia tadi ketiduran, Bu." Dika berdiri dan ikut mendekati Kara, yang membelalak ketakutan entah karena apa. "Kara," panggil Dika pelan, "tenang. Tenang." Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Kara, entah membisikkan apa.

Wajah Kara menjadi rileks. Bu Alisa terlihat bingung dan panik, tak mengerti apa yang terjadi pada salah satu muridnya. Sepertinya tidak mungkin Kara tadi tertidur, dia masih terus mencatat penjelasan Bu Alisa sedari tadi sampai tiba-tiba berteriak.

Aneh. Semuanya aneh. Kara mungkin saja percaya diri dan cerewet, tapi dia tak akan pernah dengan sengaja memancing keributan apa pun. 

"Nggak apa-apa, Bu." Suara Kara bergetar. "Tadi saya cuma sedikit sakit kepala doang."

Bu Alisa meliriknya dengan khawatir. Dika kembali ke tempat duduknya, tak melepaskan pandangan dari Kara.

Dia oke, Dika memberi isyarat pada Lunar beberapa saat kemudian.

Lunar tidak percaya.

"Kara kenapa sih?" tanya Jevan pada saat istirahat.

Tak ada yang menjawab pertanyaan cowok itu. Linda dan Lira mengambil botol minum masing-masing dengan lesu. Dika dan Kara sudah pergi. Lunar meliriknya sebentar, menggeleng, lalu meinggalkan Jevan.

"Lunar, Lunar."

"Pergi,"  gumam Lunar. "Jangan membuat segalanya makin kacau."

"Lunar," panggil suara itu lagi. "Kara kuncinya."

"Kunci apa?" Namun, suara itu tak menjawab.

-Remember, Lunar-

"Jangan lupakan aku."

"Tidak akan. Kami tak akan melupakanmu."

"Jangan menyerah."

-Remember, Lunar-

Satu hal yang dapat Lunar lakukan, tentu saja, yaitu menjenguk dalam buku tulis Kara. Apa lagi?

Memang Lunar pemberani, terima kasih.

Kara mencatat nyaris seluruh isi otaknya dalam buku tulis, atau paling tidak itulah yang dipikirkan semua orang melihat betapa membabi butanya Kara mencoret-coret ganas di atas kertas bergaris, yang garisnya sama sekali tidak berguna jika dipakai oleh Kara. Cewek itu menulis dan menulis, terkadang diperbolehkannya teman-temannya untuk melihat apa yang ditulisnya.

Lunar pernah melihat isi buku-buku tulis Kara. Beberapa kali. Tak pernah tanpa izin langsung dari pemiliknya karena Lunar masih mencintai hidupnya. Kara memang terlihat lumayan kelem, tapi tentu saja orang-orang seperti itu yang biasanya seram saat mengamuk.

Jadi, saat jam istirahat, Lunar mengambil buku tulis Kara yang ditinggalkannya. 

Buku tulis yang ditinggalkan Kara sama sekali tidak berguna, kecuali jika kau suka deskripsi-deskripsi berbagai alien dan monster serta lirik lagu acak. Selain itu, banyak juga nama Lunar tertulis berantakan, dengan tanda panah menunjuk pada nama lain: Luis. Siapalah Luis itu?

Luis dan Visa, kedua nama itu ditulis berulang-ulang. Siapa sih mereka itu?

Tidak penting. Dia mendengar langkah kaki seseorang, membuatnya sangat panik sampai hampir terjungkal. Kalau itu Kara, habislah dirinya. Dadah SMA.

Buru-buru Lunar memasukkan buku tulis Kara ke dalam tas merah muda mencolok milik cewek itu. Saat langkah kaki itu semakin mendekat, Lunar pura-pura membetulkan tali sepatunya. Beruntung hanya Cantika yang masuk ke dalam kelas, mengambil dompet. Cantika bahkan tidak melirik dua kali pada Lunar.

Oke, dia aman.

Lunar berjalan keluar dengan gerak-gerik yang diharapkannya sealami mungkin. Kara sedang makan di depan kelas bersama si hampir kembar Linda dan Lira, tidak tertarik untuk mengamati pintu kelas. Lunar menghela napas lega, lalu berbelok dan turun di tangga. Anak-anak seperti Kara, Linda, dan Lira beruntung dibawakan bekal. Sehari-hari Lunar biasanya membeli makanan yang itu-itu saja di kantin sekolah. 

Lunar memilih nasi dan ayam geprek sebagai makan siangnya. Kios ayam geprek ramai dikerumuni oleh murid-murid, tapi dia berhasil mendapatkan makanannya cepat berkat Austin. Cowok itu sudah mengantri lebih dahulu. Dia cukup peka untuk menanggapi dan memesankan makanan untuk Lunar pada saat gilirannya.

Lunar makan di kantin bawah, berlama-lama memainkan nasinya. Biasanya dia bersemangat untuk naik lagi ke kelasnya, tapi entah kenapa sudah beberapa lama dia tak berhasrat untuk makan cepat-cepat. Toh, tak ada juga yang ditunggunya di dalam kelas, 'kan?

Austin makan di sebelahnya sembari mengoceh, kebanyakan tentang cewek-cewek. Tak dapat dipungkiri para cowok itu juga menyukai gosip. Austin berceloteh tentang ketertarikannya pada beberapa cewek, sedangkan Lunar hanya mendengarkan sambil terkadang manggut-manggut. Lunar tidak tertarik pada cewek-cewek yang disebutkan Austin.

Lima menit sebelum bel berbunyi, Lunar menandaskan makan siangnya. Dia mencuci tangan sambil melamun, bertanya-tanya tentang rasanya memiliki pacar. Dia merasa seharusnya dia sudah memiliki pacar karena, yah ... dia tak tahu karena apa, dia hanya merasa seperti itu saja.

"Lunar, ayo naik," Austin memanggil.

"Oh, iya, iya, ayo."

-Remember, Lunar-

Pelajaran hari ini melelahkan. Lunar berusaha belajar sekeras mungkin sedari tadi dan sekarang dia mengantuk. Lunar berjalan ke arah gerbang belakang, agak terhuyung karena matanya sudah terasa sangat berat. Sudah pasti dia harus mengurangi waktu belajarnya di malam hari. 

Dika tak ada di gerbang belakang, tidak seperti biasanya. Nyaris selalu sahabat Lunar itu sudah berada di sana jauh sebelum Lunar. Mereka pulang dengan mobil jemputan yang sama, yang parkir di area belakang sekolah karena wilayah itu relatif lebih sepi dan tidak macet dibanding gerbang depan. Percayalah, tak ada yang mau terjebak macet di antrean keluar sekolah yang cuma satu jalur.

Lunar duduk di tangga,  menyenderkan kepalanya yang terasa berat di besi dingin berkarat pegangan tangga. Biasanya dia menjauh dari onggokan logam berbau mirip-miriplah dengan darah itu, tapi kali ini dia tidak peduli. Dia sudah terlalu mengantuk. Masa bodoh dengan kuman-kuman entah apa yang mungkin hidup di pegangan tangga tak terurus itu.

Kelopak mata Lunar seakan diganduli apalah seberat beberapa ton. Kesadarannya menghilang dengan cepat. Dia tak pernah menyangka dia dapat jatuh tertidur secepat itu.

Sempat terlintas di dalam pikirannya tentang betapa kesepiannya dirinya akhir-akhir ini sampai akhirnya Lunar benar-benar jatuh ke dalam pelukan dan belaian (tidak) hangat sang mimpi.

Lunar menjerit-jerit ketika dalam mimpinya satu-persatu orang-orang yang disayanginya mulai meninggalkannya. Dia tak ingat wajah mereka semua, tapi dia ingat betapa dia menyayangi mereka semua. Mereka adalah orang-orang penting dalam hidupnya, dan sesuatu hendak merenggut mereka. 

Lunar berani menjamin dia berani menukar nyawanya di detik-detik dalam mimpi singkatnya itu, untuk membebaskan orang-orang yang disayanginya dari penderitaan.

Lalu dia terbangun.

Lunar masih sendirian. Posisinya sama sekali tak berubah. Dia tertidur tak sampai lima menit, Lunar tersadar. Mimpi buruk itu membangunkannya. Lunar tidak ingin tidur kembali, takut dia akan kembali bermimpi yang sama atau malah lebih buruk lagi. Namun, rasa kantuknya tak dapat dicegah.

Sekali lagi, kelopak matanya mulai jatuh. Samar-samar, Lunar melihat sebuah sosok datang mendekatinya. Cahaya matahari sore berada di belakangnya, menyebabkan sosok itu tak lebih dari siluet seorang kurus random.

"Dika?" Lunar mendengar dirinya sendiri bergumam, jelas-jelas pertanyaan bodoh. Sosok cungkring itu tidak mungkin adalah Dika.

"Bukan." Sosok itu mencondongkan wajahnya ke arah Lunar. Wajahnya kini jelas terilihat, berikut seringaian nan lebar yang sangat-sangat mungkin dimiliki oleh sorang pemeran antagonis. "Halo, aku adalah Maut."

16 Desember 2019

Uwu. Nggak nyangka bakalan begini ceritanya.

Iya, Kawan-Kawan, Rye juga nggak tahu alur dari cerita ini. Ngalor ngidul aja sesuai mood-nya Rye. Dari kemaren Rye stress mikirin gimana caranya lanjutin cerita yang rasanya udah jalan di tempat ini. Di sekolah, mendadak plong saja pikiran Rye akan kelanjutan cerita absurd ini. Kayaknya alurnya sudah sangat jauh melenceng dari perkiraan semula.

Ternyata, menulis tanpa perencanaan itu jauh lebih mudah dari pada nulis pake outline. Rye pernah coba, hasilnya gagal. Padahal sama yang laen-laen yang terjadi kebalikannya. Memang, Rye ini unik.

Salam gula-gula dari peri karamel,

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro