Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kara hancur sehancur-hancurnya.

Dia tak pernah berpikir untuk membuat kekacauan sebesar ini. Umurnya tak sampai tujuh belas, dia hanya berpikir untuk merasakan kebahagiaan yang sama dengan teman-temannya. Dengan pacar-pacar mereka. Bukan hanya dengan buku-buku dan khayalannya.

Kara ingin menjadi seperti Lunar dan Viola.

Saat menghidupkan Austin, dia pikir mimpinya telah menjadi kenyataan. Dia sempat terlena, lupa akan kenyataan Austin tidak nyata.

Sekarang dia sadar, Austin memang tidak nyata, tapi sakit yang dibawanya nyata.

Austin bilang dia menyayangi Kara. Austin mengenal Kara lebih dari siapa pun. Dia tahu Kara lebih dari yang gadis itu tunjukkan kepada dunia. Dia ingin Kara menunjukkannya pada dunia.

Dimulai dari yang sederhana, kata Austin tadinya. Pemuda itu meminta Kara membuat nilai-nilainya menjadi maksimal. Simpel. Bahkan terkesan menyepelekan. Dengan kemampuan yang dimiliki Kara, gadis itu bisa menguasai dunia.

Namun Kara menolak Austin. Kemampuannya ... Kara bahkan belum pernah menggunakannya sebelum menghidupkan Austin. Belum pernah. Dia tak mau menggunakannya. Sekacau apa pun hidupnya, dia belum mau mati. Menggunakan kemampuannya hanya akan mempercepat kematiannya.

Austin memaksa. Dia tak bilang tujuan sebenarnya pada awalnya. Austin hanya bilang dia memercayai Kara. Dia hanya bilang ingin Kara bahagia, dia ingin Kara mendapatkan tempatnya yang pantas di kelas. Saat Kara menolak menaikkan nilai-nilai standar tidak mencoloknya, Austin mengambil Viola.

Tepat pada saat itu juga, Kara tahu ada yang tidak beres dengan tujuan Austin.

Semua orang melupakan Viola begitu gadis itu pergi. Kara tersiksa melihat sahabat-sahabatnya, sahabat-sahabat Viola, melupakan gadis itu sama sekali. Pacarnya Lunar juga melupakannya. Nama Viola raib dari daftar absen. Viola seolah tak pernah hidup.

Tapi ada satu orang yang ingat selain Kara sendiri. Ada satu orang, dan sekarang dialah yang sedang Kara cari.

-Remember, Lunar-

Dua atau tiga bulan yang lalu.

"Kara," panggil Dika. "Viola ke mana?"

"Hmm?"

"Viola," ulang Dika dengan sabar. "Dia sakit atau apa? Kayaknya kemarin masih sempat heboh nggak jelas di grup kelas."

Wajah Kara menjadi pucat. Terlalu pucat. "Aku ...."

"Viola ke mana? Lunar juga jadi aneh. Jangan bilang mereka putus," Dika berkelakar.

"Aku nggak kenal Viola," kata Kara dengan suara tercekat seperti habis tersedak. Dan dia pergi begitu saja, ketakutan.

Beberapa hari kemudian.

"Ada apa?" tanya Dika. "Kara, jawab. Aku nggak bisa bantu kalau kamu nggak mau bilangin ada apa!"

Kara tidak menunduk. Dia balas menatap Dika, mual.

"Kara," Dika memohon. "Ke mana Viola? Aku tahu kamu tahu."

"Aku nggak kenal Viola, Dika." Suara Kara bergetar hebat.

"Kamu kenal," Dika bersikeras. "Jangan bohong sama aku. Aku nggak tahu apa yang kamu lakuin sama anak-anak, entah gimana caranya mereka semua lupa sama Viola. Lunar juga lupa, Kara. Lunar juga lupa!"

Kara masih tidak menunduk. Matanya kini basah, tapi tidak ada air mata yang menetes. Tidak sama sekali.

Dika memaksa, "Lunar hancur, Kara! Kita semua hancur! Tolong bilangin ada apa! Aku bisa bantu, Kara. Aku bisa bantu. Jangan diam saja. Aku nggak tahan. Mereka semua lupa, tapi aku nggak. Aku bisa bantu!"

"Kamu nggak bisa," kata Kara.

"Kara," dia memohon. "Apa yang terjadi? Kenapa? Ke mana Viola? Ada apa dengan kita semua?"

Cewek itu menggigit lidahnya sendiri keras-keras. "Aku nggak bisa bilang apa-apa. Maaf."

"Kara!"

"Jauhin Austin. Jauhin aku."

"Ada apa, Kara? Apa yang terjadi?" Dika lepas kendali.

Keputusan Kara sudah tak dapat diubah. Memang dia tadi sempat ingin menyerah, membagi bebannya bersama dengan temannya. Tapi dia tidak bisa. "Nggak. Dika, jangan tanya aku lagi. Aku nggak bisa bilangin. Aku nggak mau nyakitin kalian. Plis." Suaranya pecah saat mengatakan kalimat itu, kalimat yang mengusir Dika.

"Kara, jawab aku!"

"Jangan. Aku nggak mau--" Suaranya kali ini mantap. Dia tak akan membiarkan Austin ikut menyakiti temannya yang lain. Dia berbalik dan berjalan pergi, tahu dirinya akan pecah berkeping-keping kalau sedetik lebih lama lagi menatap wajah kacau Dika.

"Kara. Kara! Dengar aku!" Dika berteriak.

Maaf. Aku sayang kalian. Tapi Kara tidak mengucapkannya keras-keras.

-Remember, Lunar-

"Dika."

Cowok itu tahu ada yang salah. Satu, Kara tidak pernah menelepon. Dua, Kara sendiri yang menyuruhnya menjauhi dirinya.

"Lunar diambil," kata Kara datar, entah karena melewati sambungan telepon atau emosi Kara tak lagi dapat dibendung gadis itu sendiri sehingga bahkan ia pun tak dapat menemukan intonasi yang tepat untuk suaranya.

"Terus?" balasan Dika tak kalah datar. "Kamu nggak mau aku deket-deket, 'kan? Kamu bisa nyelesain semuanya sendiri?"

"Aku butuh bantuanmu, Dika. Kalau nggak ...," Kara menjeda, "habis ini giliranmu. Aku nggak mau kehilangan temen lagi. Plis, Dika."

"Apa yang terjadi dengan Lunar dan Viola?"

"Austin."

"Kamu harus jelasin lebih dari itu, Ka. Atau aku nggak bisa bantu."

Orang-orang dalam posisi Kara mungkin akan tersendat-sendat menjelaskan, meninggalkan banyak pertanyaan pada para pendengarnya. Kara tidak. Cewek itu menjelaskan dengan tata bahasa yang sempurna, intonasi  yang tepat, dan deskripsi yang lengkap dan mendetail. Kara menceritakan semuanya, penciptaan Austin, Austin ingin menguasai dunia, Austin berulah, Austin jadi penculik, dan ditutup dengan Austin sialan.

"Apa ada cara menghapusnya dari imajinasimu?" tanya Dika. "Kalau kamu amnesia, begitu? Bisa nggak?"

"Bisa," kata Kara. "Dunia Kara bakal langsung kosong melompong. Tunggu, Lunar dan Viola juga ada di sana." Nadanya datar.

"Oh."

"Kalau segitu gampang caranya, aku udah lakuin dari awal," ucap Kara miris. "Apa gitu, kecelakaan mobil sampe amnesia kayak cerita-cerita Wattpad."

"Kamu udah coba bayangin Austin sebagai sesuatu yang lain gitu?" tanya Dika. "Buat dia lemah. Atau sekalian bikin kelemahannya. Bikin dia meleleh kalau kena air."

"Nanti kena copyright, Dika."

Mereka berdua tertawa. Rasanya melegakan sekali.

"Kekuatanmu," kata Dika beberapa saat kemudian. "Tolong jelasin lagi. Kayaknya aku kepikiran sesuatu."

"Simpel," Kara berkata. "Imajinasiku bisa menjadi nyata."

"Tapinya?" Dika bertanya. "Jelasin syaratnya."

"Tapinya ... yah, untuk membuat imajinasiku jadi nyata, aku harus kehilangan sedikit nyatanya diriku." Kara tertawa muram. "Kalau aku terusin, aku bakalan terkikis pelan-pelan ke dunia imajinasi. Itu kenapa aku kayak orang mati."

"Bisakah kamu merampas kembali kehidupanmu?" Dika bertanya lagi. "Hidupmu yang jadi kayak semacem bensinnya si Austin. Kalau kamu narik daya hidupmu lagi, bisa nggak kamu sekalian hancurin Austin."

Kara terdiam lama sekali sampai-sampai Dika pikir mungkin Kara sudah tertidur atau lebih buruk lagi, diterkam oleh Austin.

"Bisa," kata Kara akhirnya. "Tapi gimana caranya?"

"Itu," kata Dika, "adalah pertanyaan bagus."

-Remember, Lunar-

Beberapa hari terakhir, Lunar dan Viola hanya dapat bengong di kehampaan, menatap kehampaan dengan tatapan hampa.

Tidak keren sama sekali.

Beberapa hari terakhir pula, Dika dan Kara berusaha menyabotase Austin dengan segala cara.

"Dia mau banyak darimu," kata Dika pada Kara. "Turutin semua aja, sampe kita dapet caranya buat ngalahin dia. Apa yang dia mau sebelum mengambil Viola?"

"Dia mau aku jadi juara kelas," kata Kara lirih. Bagaimana tidak, keinginan Austin adalah keinginan terpendamnya. Kalau Austin ingin Kara menjadi juara kelas, artinya diam-diam Kara memiliki keinginan untuk melengserkan Dika.

"Oke." Dika bahkan tak perlu berpikir lama untuk mengorbankan nilai cemerlangnya. "Ulangan selanjutnya semuanya aku salahin satu. Kamu seratusin nilaimu."

"Gimana caranya?" Kara bertanya gelisah. "Kemarin aku pakai kekuatanku buat bikin nilaiku seratus. Daya hidupku udah mulai terkikis, Dika. Buat ngidupin Austin sama bikin pengetahuanku melebar itu susah. Nanti kalau aku mati, Austin bakal jadi permanen. Gimana lagi caranya aku bisa dapet nilai seratus?"

"Belajar," ucap Dika enteng. "Sori deh Kara, tapi kamu pinter. Kalau kamu beneran mau belajar, nilaimu bisalah di atas 99."

Kara mengangkat alis tidak yakin.

"Buat temen-temen kita."

Kara melirik Dika, mengangguk. Apa pun untuk temen-teman mereka.

Karena Kara rela mengorbankan dunia untuk mereka.

26 Februari 2020

Pertama, Rye mau minta maaf. Udah hampir dua bulan Rye nggak nongol lagi. Jadi ceritanya, Rye baru masuk sekolah semester genap dan langsung shock karena padatnya kegiatan. Maklum kebanyakan libur. Nilai Rye menurun semua karena nggak siap. Rye jadi nggak berani nulis.

Habis ini, Rye janji Rye bakalan berusaha untuk update rutin lagi. Rye masih sayang sama Lunar, Viola, dan kawan-kawannya kok.

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro