Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dika tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tapi, tentu saja dia tak mengatakan begitu pada Kara. Gadis itu sudah terbebani banyak masalah.

Kemampuan ajaib Kara tak membuatnya terkejut. Dika mempercayai keajaiban sedari dahulu, dan Kara tampak seperti orang yang tepat untuk memiliki sihir luar biasa. Tak dapat disangkal Dika nyaris putus asa saat Viola dan Lunar menghilang, tapi sekarang dia merasa sudah dapat berdiri tegak lagi dan membantu Kara.

Dika selalu menjadi yang terpintar di kelas. Nilainya nyaris selalu sempurna.

Menyaksikan orang-orang melongo karena melihat semua ujiannya tak ada yang seratus ternyata asyik juga.

"Dika, kamu kali ini kurang fokus, ya?" tanya Pak Anton saat membagikan kertas ulangan yang sudah dinilai. "Masa kamu salah karena ini? Lihat, 35 ditambah 35 kamu jawab 60." Pak Anton menggeleng-geleng. "Kebanyakan makan micin pasti kamu."

Dika nyengir dan mengangguk-angguk, tak menyesal sama sekali telah sengaja membuat kesalahan bodoh seperti itu. "Iya, nih, Pak."

Pak Anton menatapnya tajam dengan curiga sewaktu Dika berjalan balik ke kursinya dan dengan ceria menyimpan hasil uiiannya. Tingkah Dika memang (ralat, sangat) mengundang kecurigaan. Biasanya pemuda itu akan diam dan berwajah sedih jika nilainya kurang sedikit saja, sekarang dia bahkan terlihat gembira.

Kara meringis melihat Dika yang malah mengedipkan mata padanya. Tadi pemuda itu sudah melihat nilai Kara di buku ulangan. Kara aman.

"Kara Permata," panggil Pak Anton. "Kamu kali ini pinter, ya. Biasanya kamu kurang teliti." Pak Anton nyengir-nyengir bangga saat menyerahkan kertas Kara. "Jangan-jangan otakmu ketuker sama Dika."

Tawa Dika tersembur. Kara meliriknya dengan tatapan membunuh. Demi mendapatkan nilai sempurna, dia harus rela begadang pada malam sebelum ujian dan memeriksa jawabannya berulang kali sebelum mengumpulkannya. Itu menyebalkan. Biasanya Kara tidur setelah mengerjakan ulangannya, sekarang dia terus-menerus mengecek jawabannya berulang kali.

Linda dan Lira dipanggil. Nilai mereka pas-pasan seperti biasa. Lalu giliran Jevan, yang terus menerus membanggakann nilainya yang lebih tinggi satu poin dari Dika. Dasar menyebalkan.

Ujian Bahasa Indonesia juga dibagikan, dan lagi-lagi Kara mendapatkan nilai sempurna. Dika agak melotot padanya, karena bahkan dirinya pun tak pernah mendapatkan nilai seratus pada ujian Bahasa, semua orang menganggapnya mustahil sebelum hari ini.

"Aku pakai kekuatanku biar aku tau semua jawaban yang Bu Alisa mau," kata Kara tiba-tiba. Dika menoleh padanya, tapi Kara sedang sibuk mengobrol dan tertawa (tawanya palsu sekali) dengan Jevan. 

"Suaraku cuma ada di kepalamu. Telepati." Terdengar lagi suara Kara.

"Kok bisa?" Dika bertanya, juga melalui pikirannya, dan takjub mendapati suaranya terdengar jelas menggema. Dia merasakan ikatan dengan pikiran Kara saat suaranya merambat cepat ke sana.

"Bisa saja," balas Kara. "Aku putus asa sama Bahasa, dan Austin bener-bener minta nilaiku seratus di semua pelajaran. Dia bilang terutama Bahasa, karena belum pernah ada orang yang dapat nilai seratus di pelajaran itu dan aku akan lebih menonjol kalau jadi yang pertama."

Kara pasti menggunakan kekuatannya juga untuk menghubungi Dika. "Katamu batas kekuatanmu sudah dekat." 

Kara menjawab enteng, "Masa bodoh."

Dika menggeleng-geleng panik. "Kita butuh kamu buat selamatin Lunar sama Viola!"

"Aku tahu!" Kara agak membentak. "Aku juga sedang mengusahakannya!"

"Jangan pertaruhkan kehidupanmu sendiri!" Dika balas membentak.

"Lebih baik kekuatan kehidupanku yang diambil dari pada mereka berdua!" teriak Kara dalam pikiran Dika.

"Kara!"

Satu kelas menjadi hening, menoleh pada Dika. Pemuda itu mendadak merasa tolol, baru sadar dia mengucapkan keras-keras nama Kara tadi.

"Ya?" tanya Kara manis, berbalik dari percakapannya dengan Jevan. "Kenapa, Dika?"

"Nggak apa-apa," kata Dika, lalu berkata dengan telepati, "Kara, kalau kehidupanmu sudah habis, tak ada harapan lagi untuk mengembalikan Lunar dan Viola."

"Aku tahu, Dika. Aku tahu." Suara Kara terdengar lelah. "Semuanya akan beres. Nanti."

***

Ya, semuanya akan beres. Karena kini Kara sudah menemukan pemecahannya.

Dika. Dika adalah pemecahannya.

Mengapa pemuda itu mengingat Viola sedangkan Linda dan Lira yang lebih dekat dengan gadis itu melupakannya sama sekali? Mengapa Dika tidak melupakan Viola dan Lunar saat Austin yang bisa melakukan segalanya menginginkan semua orang melupakan mereka?

Dika bukan orang yang istimewa. Ya, dia pintar di kelas, tapi tidak di dunia. Lalu apa yang menjadikannya istimewa?

Kara tahu jawabannya. Dika istimewa karena dia memiliki kekuatannya sendiri.

Dika, perlahan tapi pasti, menyerap segalanya. Pelajaran dari para guru, kemampuan macam-macam, gosip tidak jelas, kepandaian siswa yang tidak waspada, dan kehidupan Kara sendiri.

Kekuatannya berjalan secara tidak sadar. Dika tidak tahu, tapi dia telah melahap apa saja yang diberikan atau tidak dijaga baik-baik oleh orang lain dengan cara seperti kebanyakan orang memakan nasi. Dika mengambil semuanya.

Dan, akhir-akhir ini, energi kehidupan Kara sudah mulai bocor sejak Austin dihidupkannya. Dika menyantap hal-hal 'nyata' dari Kara yang ditumpahkan gadis itu. Energi kehidupan Austin tak pernah menjadi miliknya, dan hal itu juga dihirup Dika cepat.

Dika akan dapat melakukannya dengan cepat bila dia dapat mengendalikan kekuatannya. Dia dapat mengisap Austin cepat, dan pemuda itu akan lenyap seakan tak pernah ada.

Satu-satunya masalah sekarang adalah memberitahu Dika.

***

"Dika, nanti jam istirahat ke perpus bisa?" Kara bertanya melalui sambungan telepatinya. Dia telah mengorbankan lumayan banyak hal 'nyata' dari dirinya sendiri untuk membuat sambungan telepatinya nyata, tapi itu tidak penting.

"Bisa, kenapa?" Terdengar balasan Dika.

"Aku mau nunjukin sesuatu."

"Oke."

Jam istirahat, perpustakaan sepi seperti biasa. Kara dan Dika berdiri di lindungan rak buku.

Kara tersenyum sedih sedikit. Dia merasakan dirinya semakin pudar dari dunia. Waktunya tak lama lagi. "Dika, lihat."

Jiwanya terasa robek saat dia membayangkan energi kehidupannya kasat mata dan dia mengerahkan dirinya agar imajinasinya dapat menjadi nyata.

Mata Dika melebar saat melihat tubuh Kara kini dikelilingi cahaya putih kebiruan. Cahaya itu berpusat pada jantungnya, berdenyut saat berputar mengelilingi tubuh Kara.

"Dika, lihat," bisik Kara.

Selajur cahaya, bukannya ikut mengelilingi tubuh Kara seperti yang lainnya, mengarah pada Dika dan mengelilinginya. Terus menerus begitu. Tak habis-habis. Tidak henti-henti.

"Kamu juga punya kekuatan, Dika," kata Kara lirih. "Semua yang diberikan padamu, semua yang tidak dilindungi dengan baik, dan semua yang dimiliki oleh orang yang tidak pantas, semua itu tertarik padamu." Kara tersenyum tipis. Kehidupannya mulai sirna. "Energi yang menjadikan Austin hidup, Dika, tak pantas dimiliki olehnya."

Dan Kara tumbang.

Dia tak mendengar apa-apa saat Dika berteriak memanggil guru, atau saat dirinya diangkat untuk dibawa ke klinik. Dia terbangun sesaat, dan berkata, "Aku baik-baik saja."

Dia baik-baik saja. Memang begitu. Kehidupannya sudah dikuras darinya, oleh keserakahannya sendiri, oleh Austin, oleh Dika. Dia tidak keberatan. Kara tak akan menjadi 'nyata' lebih lama lagi. Dia tidak keberatan. Dia tahu Austin akan dikalahkan. Dia tahu dirinya tak lagi terselamatkan biar begitu.

Lunar dan Viola masih utuh di dalam Dunia Kara, saling berpegangan satu sama lain, saling berpegangan terikat cinta. Dika masih akan terus berjuang untuk teman-temannya. Linda dan Lira terus mendapatkan kebahagiaan mereka. Bahkan Jevan masih akan membanggakan diri terus-menerus bagaimanapun juga.  Meski Kara tidak lagi berada di sana.

Kara baik-baik saja.

19 Maret 2020

Lolololol. Bab ini kok cringe ya. Maksa gitu.

Guys, did Rye mention kalo Rye puter cerita ini jadi short story? Cerita ini bakal selesai paling banyak tiga bagian lagi. Soalnya nanggung, alurnya udah kecepetan. 

Stay safe dalem rumah semuanya, cukuplah kalian terhibur dengan cerita-cerita Weti tersayang. Jangan keluar-keluar kalo gak perlu. Bahaya.

Vote comment jangan lupa //tebar lope-lope

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro