FMN - 20. Insiden jadi Pacar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"BANGSAT! LO APAIN CEWE GUE. ANJING!"
•-•

Koridor lantai empat khusus kelas X tampak sepi. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Semua siswa sudah berhamburan menuruni tangga. Namun tidak dengan Ivy, gadis itu masih berada di kelas melaksanakan tugas piket. Sebenarnya ia tidak sendirian. Beberapa menit lalu, empat siswa lainnya pamit pulang lebih dulu lantaran sudah ditunggu mobil jemputan.

Karena hanya Ivy yang bisa berada di sekolah lebih lama, maka ia yang harus menyelesaikannya. Lagi pula, hanya teras di depan kelas saja yang belum disapu. Lihat, cuma sebentar. Sekarang semuanya sudah selesai. Ivy bergegas masuk kelas menaruh sapu di pojok belakang dan meraih ransel pinknya.

"Eh, perasaan pintu kelas gak aku tutup," gumam Ivy melangkah mendekati pintu berdaun dua dan mendorongnya.

Dahi Ivy berkerut. Mendorong lebih kuat pintu kelas. Berulang kali ia melakukannya. Nihil, untuk mengintip keadaan di luar pun tak bisa. Pintu ditutup sempurna dan dikunci.

Gadis itu tidak diam saja. Ia terus berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada satu pun suara yang menyahutinya. Sampai dua jam berlalu, berbagai usaha untuk keluar telah Ivy lakukan. Tapi tak sedikit pun bisa mengubah keadaan yang ada.

Ia tetap terkunci.

Satu-satunya yang terbuka hanya jendela yang tingginya sekitar tiga puluh meter dari permukaan tanah. Tentu ia tak bisa keluar dari sana. Yang dapat gadis itu lakukan hanya berdoa dan berharap pertolongan-Nya.

Siapa sebenarnya orang yang membuat Ivy susah seperti ini? Apa salahnya? Ivy merasa tak mempunyai masalah dengan siapa pun. Kecuali Renata.

Pukul 16.30 WIB, tak ada lagi harapan. Semua siswa telah pulang, begitu juga siswa kelas XII yang menjadi harapan terakhirnya. Baiklah, tak apa jika hari ini harus tidur di kelas.

Ivy menyandarkan tubuh di pintu, ia sangat lelah. Tak lama, telinganya bisa mendengar grendel pintu kelas yang saling beradu. Pertanda seseorang telah membuka kuncinya. Ia bergegas berdiri.

Terima kasih Ya Allah.

"Ivy?" Pintu terbuka menampakkan seorang pemuda yang masih lengkap dengan seragamnya.

"Dito, makasih udah nolong gue. Entah siapa yang udah ngunci dari luar. Makasih banyak, BTW lo kenapa masih di sini?" ujar Ivy dengan binar bahagia di matanya.

"Gue habis ikut Bimbingan Sains. Terus gue kesini mau ambil buku PR yang ketinggalan di kolong meja," jelas Dito dengan mata yang melirik kesana-kemari.

Pemuda yang selalu berbicara dengan gaya gugupnya itu lantas langsung memasuki kelas. Karena sudah terlalu sore, Ivy pamit pada Dito dan bergegas menuruni tangga.

Ia berjalan sedikit tergesa di sepanjang trotoar depan sekolahnya. Lingkungan sekolah sudah sangat sepi. Begitu juga dengan jalan di sekitar sekolahnya.

Gadis berhijab itu semakin mempercepat langkah, saat merasa seorang berjaket coklat mengikutinya dari belakang. Keringat mulai bercucuran, deru angin tak mampu menghapus rasa khawatir. Tak ada orang lain di sekitar sini. Yang bisa ia andalkan hanyalah berlari.

Ivy menolehkan kepalanya ke belakang, pria itu berlari mendekatinya. Sontak membuat Ivy berlari sekuat mungkin menjauh dari jangkauan pria tak dikenal itu.

Ransel pink yang penuh dengan buku, belum lagi angin yang berhembus berlawanan arah membuat napas gadis itu terengah-engah. Ia sudah berlari jauh dari lingkungan sekolah. Lelaki itu terus saja mempersempit jarak di antara mereka.

Saat Ivy menoleh untuk memastikan pria itu tak bisa menjangkaunya. Tiba-tiba tangan lain menarik tubuhnya masuk ke dalam gang kecil di antara dua gedung tinggi. Sekuat tenaga, gadis itu mencoba berontak dan berteriak.

Malang sekali, tak ada yang mendengar pekikkannya. Berontakkan yang ia lakukan tak berarti apa pun untuk orang yang kini telah membopong tubuhnya seperti karung beras. Kesadaran Ivy hilang, sesaat setelah hidungnya dibekap dengan sapu tangan. Yang entah telah diberi apa.

"BANGSAT! Turunin gue di sini."

"Apaan, Yud?"

Dana mengernyitkan dahi begitu juga dengan Rama. Sore ini Ia berniat mengantarkan Yudha dan Rama pulang. Namun, tiba-tida saja Yudha yang duduk di sampingnya meminta turun lalu berlari hingga tubuhnya hilang di gang kecil.

Dua pemuda itu memutuskan untuk memakirkan mobil dekat dengan gang. Bergegas menyusul Yudha. Sekitar lima puluh meter dari mulut gang.

Mereka bisa melihat Yudha tengah menghajar seorang pria berjaket coklat di depan sebuah bangunan kecil yang kotor dan tak layak huni. Tanah kosong yang luasnya sekitar dua puluh meter persegi itu, hanya ditumbuhi rumput liar setinggi pinggang orang dewasa dengan sebuah bangunan berukuran 4×4 meter persegi.

"BANGSAT! LO APAIN CEWE GUE. ANJING!"

Suara baku hantam membuat suasana sore yang temaram sangat mencekam. Bogeman mentah saling mereka lontarkan. Tak ada yang bisa terhindar dari luka dan lebam di bibir.

Keduanya sama-sama tak bisa dikatakan baik-baik saja. Seragam putih Yudha kotor bercampur tanah. Susut bibirnya sobek, dahinya mengeluarkan darah akibat terbentur batu karena ia sempat tersungkur di tengah pergulatan.

"Yud stop udah, Yud. Lo bisa ngebunuh dia," pekik Dana.

Ia berusaha mencegah Yudha yang mendominasi pergulatan dengan memberikan bogeman pada perut pria berjaket coklat yang tergeletak lemah di atas rerumputan. Seakan tuli, Yudha sama sekali tak berniat menghentikannya.

"WOI... gue denger suara cewek menjerit dari dalam sini." Rama teriak dengan kedua tangan yang berusaha membuka pintu yang sepertinya tak akan terbuka. Karena pintu itu dikunci.

Pergerakan tangan Yudha terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang menegang. "Ivy."

"Hah, apa? Ivy?" Dana memandang bingung Yudha yang linglung menatap rumah kecil di sana. Dia melesat mwngikuti Yudha yang berlari menuju pintu bangunan kecil itu.

"BAJINGAN!" Yudha mencoba mendobrak pintu.

"BANTUIN SAT!" teriaknya pada Dana.

Mereka hampir putus asa karena sangat sulit untuk mendobrak pintu berbahan kayu jati itu. Sampai akhirnya, suara pecahan kaca di sisi bangunan membuat Dana dan Yudha mendekati asal suara.

Yudha masuk ke dalam bangunan melalui jendela kaca. Rama juga ikut masuk ke dalam ruangan disusul Dana. LDi dalam ruangan yang temaram. Yudha bisa melihat Ivy digendong menuju ranjang oleh pemuda yang hanya memakai boxer, sedangkan pemuda lainnya yang membawa tambang. Keduanya menoleh pada Yudha.

Si pemakai boxer segera menurunkan Ivy di ranjang dan bersiap untuk bertarung dengan Yudha. Sedangkan Dana dan Rama, mencoba melumpuhkan orang yang lainnya.

Ivy hanya bisa menangis. Terbaring meringkuk memeluk kakinya yang ia tekuk. Ia tak peduli dengan seragamnya yang telah dilucuti dan hanya menyisakan pakaian dalamnya saja.

Rambut hitam panjangnya berantakan menempel pada wajah yang dibanjiri keringat. Air matanya terus mengalir, bibirnya bergetar ketakutan. Pencahayaan yang minim-karena hanya cahaya oren sang mentari yang masuk melalui celah jendela- juga suara berbagai umpatan keras beradu dengan suara debuman kuat membuat tegang suasana.

Beberapa saat setelah baku hantam terjadi. Semua lebih tenang, tak ada lagi debuman keras atau umpatan kasar. Dua orang tadi sudah pergi melalui pintu yang mereka miliki kuncinya

Tiba-tiba, cahaya di dalam bangunan juga lebih terang. Lampu senter dari ponsel milik Rama dan Dana menampakkan dengan jelas semua yang ada di dalam bangunan.

"BRENGSEK! KELUAR! GUE GAK BUTUH CAHAYA SENTER LO,"
pekik Yudha marah saat kedua sahabatnya itu mengarahkan senter ponsel tepat pada pada ranjang yang Ivy tiduri. Ia tak suka jika tubuh gadis ini menjadi tontonan orang lain.

‍‍Dengan mengandalkan cahaya temaram. Yudha bangkit meraih seragam milik Ivy, memakaikannya. Butuh waktu yang agak lama untuk itu.

Yudha harus membujuk Ivy yang terus saja menghindari kontak kulit dengannya. Yudha tau gadis itu syok berat, jika Yudha terlambat sedikit saja. Mungkin semua akan berakhir dan tak akan pernah sama lagi.

"Ivy sekarang ayo pulang," bujuk Yudha nada lirih setelah berhasil memakaikan seragam pada Ivy.

Gadis itu semakin terisak. Kepalanya yang bebas hijab menggeleng kuat. Mata sembab dan bibir mungilnya yang sedikit terluka membuat dada Yudha sesak. Gadis yang biasanya berlagak kuat itu, kini tak berdaya, rapuh, dan lemah.

"Aku. Aku... ta-kut hiks hiks takut ...."

"Yudha akan melindungi kamu Ivy, jadi jangan takut. Yudha ada di dekatmu."

Yudha berusaha sabar membujuk gadis itu. Ia merengkuh tubuh bergetar Ivy yang masih terbaring di ranjang. Pemuda itu naik dan ikut berbaring sambil memeluk tubuh Ivy. Lama-kelamaan, isak kecilnya berhenti. Kata-kata ketakutan juga berhenti terucap. Gadis di pelukannya mulai tertidur dengan napas yang teratur.

Bangunan lagi-lagi diterangi dengan cahaya senter dari ponsel milik sahabatnya. Yudha masih betah berbaring sambil merengkuh tubuh Ivy. Ia menunggu gadis itu benar-benar tertidur pulas.

"Yud, udah belom sih? Kasian si Dana nungguin di mobil. Udah setengah jam lo tiduran di situ, sekarang udah jam enam sore. Dan gue rasa Ivy udah tidur," bisik Rama dengan aksen protesnya.

Yudha bangkit dari pembaringan, meletakkan tangan pada leher belakang Ivy dan satunya lagi di lekukan lututnya. Yudha berjalan mengendong Ivy, Rama berjalan di depannya, membawa sebuah ransel pink.

"Rama, Dana makasih udah bantuin gue."

Setelah dari kamar Ivy, Yudha langsung menemui sahabatnya. Tubuhnya masih lengkap dengan seragam penuh bercak darah juga tanah.

"Ya sama-sama, Yud. Kalo gitu gue sama Dana pamit pulang," sahut Rama.

"Ati-ati di jalan."

Yudha memerhatikan punggung kedua temannya yang melenggang hilang di balik pintu utama. Entah mengapa Yudha merasa. Sejak kejadian di bangunanan kecil tadi, Dana lebih bersikap pendiam dari biasanya.

"Den, Non Ivynya sudah saya bersihkan. Kalau begitu saya pamit kembali ke kamar belakang," ujar Bi Sari di depan pintu kamar Yudha yang terbuka sedikit.

Wanita paruh baya itu langsung pergi dari sana setelah mendengar sahutan dari tuan mudanya. Ringisan kecil lolos dari bibir Yudha. Ia mencoba membersihkan luka yang ada di lengan kirinya. Mubgkin dia terkena pecahan kaca saat mencoba masuk melalui jendela.

"Halo, Dok."

"..."

"Tolong kerumah sekarang."

"..."

"Hem,"

"..."

"Udah dokter liat aja sendiri."

"..."

"Ya, makasih Dok."

Dokter pribadi keluarga Prayata baru saja keluar dari kamar Ivy. Kata Reno Ivy mengalami syok berat. Tapi masih sangat sehat, hanya saja gadis itu perlu istirahat.

Yudha segera berjalan memasuki kamar bernuansa biru. Ia duduk di kursi samping ranjang di mana tubuh Ivy terbaring tak sadarkan diri. Iris coklat itu memerhatikan dengan seksama wajah tanpa balutan hijab.

Cantik.

Eh? Yudha menggeleng kuat atas apa yang baru ia pikirkan. Berusaha mengalihkan perhatian dari Ivy. Pemuda itu meraih satu novel di rak buku tepat di sebelah meja belajar. Lalu kembali duduk di sisi kiri Ivy dan memilih tenggelam pada apa yang dia baca.

Semakin tebal halaman yang telah ia lewati. Semakin berat bagi matanya untuk tetap menyususri kata demi kata lantaran malam semakin larut. Tak lama ia terlelap dengan posisi wajah yang tenggelam pada kedua tangan yang dilipat pada pinggir ranjang.

***

Pria berbalut jaket kulit berwarna navy membenarkan posisi duduk, lalu berdehem untuk memulai percakapan. "Dimas bagaimana? apa rencanamu berhasil" Bibir itu menyembulkan asap dari mulutnya diakhir kalimat.

Kenapa Farel masih tanya ama gue? Apa dia gak lihat muka gue yang bonyok kek gini? Beruntung gue gak dimasukin penjara. Sial, Gue harap cowok itu gak ngenalin gue kemarin.

Dimas tak pernah menyangka jika pemuda yang ia temui di lift adalah pacar Ivy. Entah dari mana datangnya orang itu. Dimas pikir semuanya sudah aman. Tak ada orang di sana.

Dimas memata-matai gadis itu sejak lama, melihat keseharian gadis itu. Dan kesempatan tadi itu sudah sangat pas, ia pikir semua akan berjalan lancar. Tapi untuk yang kedua kali, ia lagi-lagi gagal melakukannya.

Tak ada sahutan dari lawan bicara. Pria berjaket navy itu kembali menegur remaja laki-laki dihadapannya.

"Mas!" pekiknya lalu menoel kasar lengan Dimas.

Dimas meraih botol air mineral lalu menenggaknya. Tenggorokan mendadak terasa kering mendengar pertanyaan Farel. "Ya, rencana gue berhasil."

Alih-alih menatap lawan bicaranya. Remaja enam belas tahun itu memilih menatap embun pada botol air mineral dinginnya. Seringai tipis menghiasi wajah Farel, tanpa sepengetahuan remaja laki-laki di hadapannya.

"Farel, gue mau berhenti." Sang empunya nama mengernyit menatap manik Dimas penuh tanya. Sedang remaja itu menghembuskan napasnya panjang.

"Gue gak mau nerima pekerjaan sampingan lagi. Dan gue rasa, gue mau resign dari restoran."

Farel melipat kedua tangan di dada. Mencari celah kebohongan dari wajah lesu Dimas.

"Gue gak masalah kalo lo mau berhenti dari kerja sampingan itu. Lo gak perlu keluar dari restoran. Dimas umur lo masih enam belas, susah buat dapet pekerjaan lagi."

"..."

"Besok lo harus dateng ke restoran. Bantuin gue," final pria berjaket Navy seraya bangkit dari duduknya dan meninggalkan Dimas sendirian.

Dilain tempat....

Pukul satu dini hari. Seperti biasa langit Ibu kota malam ini hitam. Kali ini kegelapan yang luas itu lebih bercahaya dengan taburan kelap-kelip jutaan bintang menghiasi.

Pemuda itu tak habis pikir pada dirinya sendiri. Kejadian sore tadi seakan memperjelas semua, bahwa rasa sayang yang ia punya pada Ivy bukan sekedar sayang kakak pada adiknya.

Sial! Kenapa ia merasa begitu cemburu saat melihat Yudha merangkul Ivy dengan begitu posessivenya?

Terlebih saat Yudha memakaikan baju pada Ivy, ia berusaha memendam amarahnya. Sudah berulang kali ia mencoba menolak perasaan ini sejak pertama kali melihatnya di lorong hotel. Seiring berjalannya waktu ia semakin menyayangi Ivy.

Dana tersenyum kecut. Ia masih bisa melihat pancaran manik hitam Ivy. Gadis itu sama sekali tak merasakan hal yang sama dengannya. Ivy benar-benar hanya menganggapnya sebagai sosok seorang kakak.

Ingin rasanya pemuda itu membuang jauh perasaan itu. Haruskah ia pergi dari kehidupan Ivy? Entahlah, tapi itu adalah ide yang buruk. Karena sedikit pun ia tak ingin meninggalkan gadis yang dicintainya sendirian di sini. Di dunia yang kejam ini.

•-•
[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro