FMN - 21. Perasaan Apa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Cuma gue yang boleh menyentuhnya. Lebih baik, lo urusin fan girl beringas lo itu,"
•-•

Sore ini, Dana berkunjung ke rumah Yudha untuk menemui Ivy pastinya. Pemuda itu satu-satunya orang yang berhasil mengajak Ivy bicara selama tujuh hari terakhir. Keadaan Ivy berangsur membaik, ia tak lagi menangis ataupun berteriak ketakutan seperti hari sebelumnya. Setiap kali bertemu Dana, ia bahkan bisa tertawa seakan melupakan ketakutannya.

Sebaliknya, Yudha hanya bisa bersembunyi di balik pintu kamar Ivy. Menguping topik pembicaraan mereka melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Yudha tersenyum masam, mengingat kejadian tempo hari saat Ivy sadar untuk pertama kalinya.

Senyum bahagia terpancar di wajah blasterannya. Iris madu itu memandang hangat seraya mendekati Ivy. Gadis berwajah manis ini sudah sadar.

"Pergi!" pekik Ivy menatap Yudha ketakutan.

"Ada apa Ivy? Aku tidak bermaksud jahat padamu," ujar Yudha dengan lembut berdiri dua meter dari sisi ranjang.

"KELUAR. Keluar dari sini! Kamu jahat!"

Tiba-tiba, sebuah vas bunga membentur kuat kepala Yudha sebelum berakhir pecah berkeping-keping di pantai disusul suara isak dan teriakan histeris Ivy.

Yudha mengintip sekali lagi ke dalam. Ivy sedang tertawa. Dengan gontai ia melangkah menuruni anak tangga. Pikirannya berkecamuk. Mengapa Ivy takut padanya? Apa gadis itu teringat akan perbuatan buruknya waktu dulu.

Jika saja Yudha tak berbuat buruk padanya, tentu pemuda itu tak perlu kehilangan fasilitas miliknya. Dan tak perlu melangkah sejauh ini mencampuri kehidupan Ivy, gadis yang ia benci sejak awal pertemuannya di hotel.

Kesialan yang gue alami sekarang, apa semuanya bersumber dari diri gue sendiri?

.

S

uara teriakan para siswa menggema di halaman sekolah. Pertandingan basket antara tim putri dan tim putra sedang berlangsung. Setiap istirahat pertama selama tiga bulan terakhir, hal ini biasa dilakukan untuk mempersiapkan turnamen yang dilaksanakan satu bulan lagi. Namun, ada yang berbeda kali ini, ketua tim basket super senior ikut bermain di sana. Yap, Renata dan Yudha.

Tiba-tiba saja pemain bernomor punggung 1, Renata, melempar bola dan malangnya mengenai seorang siswi berhijab yang melintas di pinggir lapangan dengan setumpuk buku.

Ivy berencana mengumpulkan tugas—beberapa mapel yang sempat terbengkalai karena tidak masuk selama seminggu—ke ruang guru yang ada di lantai dasar. Ia menundukkan kepala sepanjang berjalan di pinggir lapangan basket yang tengah dipakai latihan. Ramai sekali. Dan tanpa peringatan, sebuah bola mendarat mengenai keningnya.

Sesaat ia membeku di tempat. Syok. Tak lama, semua yang ada di sekelilingnya terasa berputar kencang dan suasana di sekitarnya semakin menggelap.

Di tengah lapangan Yudha menggeram marah. Dari jarak sedekat ini, ia melihat Ivy limbug bersama buku yang didekapnya. Yudha menatap nyalang pada pelakunya. Semua orang pasti tahu kalau gadis itu memang sengaja melakukannya

"Dia harus diberi peringatan," desis Yudha melangkah cepat menuju siswi yang dimaksud.

"Renata! Apa maksud lo, Hah?"

Dengan wajah bingung Renata menjawab, "Apa? Gue gak sengaja."

Pemuda itu tersenyum miring, membuang muka ke arah lain. "Gue gak buta. Sebaiknya lo jaga jarak sama Ivy. Kalo gak, gue pastiin seluruh saham sekolah ini jadi milik bokap gue."

Muak melihat wajah tak bersalah Renata. Yudha memilih menghampiri Ivy. "Jauhin tangan kotor lo dari Ivy."

Suara lantang itu menghentikan pergerakan tangan Agian yang hendak meraih tengkuk Ivy. Agian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru mencari sang empunya suara.

"Cuma gue yang boleh menyentuhnya. Lebih baik, lo urusin fan girl beringas lo itu." Yudha mengacungkan tangan pada Renata.

Agian melihat ke arah telunjuk Yudha. Ia hanya diam tak tertarik membahas cewek itu dan lebih memilih membalas ucapan Yudha dengan tajam.

"Lo siapanya? Suami? Pacar? Saudara? Bukan, kan? Lo gak punya hak ngelarang gue deket sama dia. Lagi pula, gue cuma mau nolong dia. Gak ada yang salah dengan itu."

Yudha menggeleng. "Lo salah karena gak tulus menolongnya. Lo cuma mencintai dan berusaha mendekatinya. Lo gak liat ada gue di sisinya?"

Agian menaikkan sebelah alisnya disusul tawa sumbang, membuat Yudha merasa ... direndahkan. "Gue gak akan biarin Ivy sendirian berada di dekat cowok brengsek kaya lo."

"Gue brengsek? Tau apa, lo!" geram Yudha.

Gue tau semua kebusukan lo dari Ivy. Gue itu temen curhatnya dia.

Senyum di wajah Agian lenyap tergantikan dengan ringisan saat tiba-tiba saja sebuah bogeman kuat mendarat pada wajahnya. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang.

Yudha mendecih membuang muka sambil berbalik ke arah Ivy. Si Agian ini, ternyata sedang berusaha menunjukkan taringnya. Well, Yudha tak akan membiarkan musuhnya merasa menang walaupun cuma sementara.

Sedangkan Agian, mengusap ujung bibirnya yang terasa nyeri. Kali ini Agian tak akan tinggal diam. Ia mengambil langkah lebar, menarik seragam basket Yudha dan melayangkan satu tinju pada rahang bawah Yudha. Baku hantam terus berlangsung di antara keduanya.

Atmospher di lapangan basket begitu senyap. Puluhan siswa yang tengah menonton perkelahian dua pangeran sekolah benar-benar mengatupkan mulut mereka rapat-rapat. Dari banyaknya siswa yang melihat pergulatan itu, tak ada satu pun dari mereka yang berani melerai.

Sampai dua guru Bu Yuli-guru BK- dan Pak Didin-guru olahraga-menyelinap masuk di antara gerombolan siswa yang melingkari Agian dan Yudha.

Baik Yudha maupun Agian, mereka berdua sama-sama tak menyadari kalau seseorang telah membawa Ivy ke UKS.
.

Ivy menengok saat suara yang ia kenal berteriak bahagia dari arah pintu. Bita, sahabatnya itu ternyata menunggunya selama ia tak sadarkan diri. Ivy pikir dia sendirian di UKS. Sejak Ivy bangun lima menit yang lalu, ruangan ini kosong. Ia sama sekali tak berniat beranjak karena kepalanya masih sedikit pusing.

"Nih, gue bawa makanan. Yuk, dimakan," tukas Bita.

"Bita, buku-buku aku di mana?" tanya Ivy bingung tak mendapati buku tugasnya di meja dekat ranjang tempatnya berbaring.

"Udah gue kumpulin ke ruang guru," sahut Bita disusul ucapan terima kasih dari bibir Ivy.

Dasar, patuh amat sih jadi orang.

"Bit, terus siapa yang bawa aku ke sini?"

Bita mendesis tak nyaman, mendengar Ivy berbicara menggunakan aksen aku-kamu sejak tadi pagi. Tadi Kak dana bilang padanya bahwa, Ivy tak bisa menerima perlakuan ataupun perkataan kasar sebab ia masih dalam masa pemulihan dari syok beratnya. Malang memang sahabatnya yang satu ini.

"Bit, Bita."

"Eh, iya."

Bita membantu Ivy duduk lalu berujar, "Kak Dana yang anter lo ke UKS, tapi yang mau nolong Lo banyak."

"Banyak?" tanya Ivy bingung sambil membenahi letak punggungnya untuk bersandar pada tembok. Bita hanya berdehem dan mengangguk.

"Nih, makan dulu. Gue ceritain semuanya."

Siswi berambut sebahu itu menyodorkan sepiring nasi goreng pada Ivy. Melihat sahabatnya mulai menyuap sendok pertama. Bita langsung menceritakan semua kejadian awal yang menimpa Ivy hingga gadis itu berakhir di UKS.

"Kak Dana gak bisa jagain lo. Karena dia ada kelas," ucap Bita mengakhiri.

Ia menyambut piring kosong dari tangan Ivy. Lalu kembali menyerahkan segelas air dan obat untuk sahabatnya.

"Jadi, Gian sama Yudha lagi di ruang BK?" gumam Ivy setelah obat dan air di gelas tandas.

"Mungkin," jawab Bita asal.

Ternyata hari ini dia berusaha menolongku lagi. Jadi, apa benar yang dikatakan Kak Dana saat itu?

***

"Vy ... Ivy," tegur Yudha.

"Ah, i-iya."

"Kamu ikut kan nanti malam?" tanya Yudha lalu meminum habis susunya.

"Ke mana?" tanya Ivy sedikit meringis mendengar Yudha menggeram frustasi.

"Tadi kamu gak denger aku ngomong, Vy?" Yudha menghela napas panjang melihat Ivy menggeleng kecil.

"Nanti malam kamu jadi ikut promnight kan?"

Gadis berhijab navy bingung.

Itu kan promnight nya kakak kelas. Apa dia juga boleh bergabung?

"Hm...."Gumamannya terputus karena Yudha kembali bersuara.

"Pokoknya wajib ikut. Nanti kamu harus ambil video pas aku nyanyiin lagu. Jangan lupa pas aku main drama. Aku mau video dari ponselmu." Bujukan Yudha ini lebih pantas di sebut sebagai paksaan.

"Acaranya jam setengah delapan, kira-kira habis isya. Berangkat bareng aku. Jam empat aku pulang ke rumah. Assalamu'alaikum."

Otoriter, sikap yang akan selalu melekat pada Yudha. Ia buru- buru menyampirkan tas di bahu, lalu melangkah menjauhi meja makan tanpa perlu mendengar persetujuan dari gadis berhijab itu.

Semua perubahan signifikan pada Yudha, tak luput dari perhatian Ivy. Pertama, pasca kejadian mengerikan sore itu. Sulit dipercaya. Yudha tak pernah lagi menolak mentah-mentah ajakannya untuk sholat. Pemuda itu hanya menganggukkan kepala tanpa memantik api perdebatan seperti yang sebelumnya.

Meski, Ivy tak tahu pastinya apakah pemuda melaksankan sholat atau tidak. Tapi, bagi Ivy itu adalah sebuah kemajuan. sikap kasarnya sudah berangsur menghilang.

Selain perubahan itu, Yudha juga mulai menunjukkan sikap hangat pada Ivy. Bahkan pemuda itu seringkali membelanya saat Renata dan genknya mulai berbuat buruk pada Ivy. Seperti kejadian sebulan setelah pingsannya Ivy karena bola basket.

Saat itu sepulang sekolah. Ivy melangkah sendirian menuju gerbang. Ia tak pulang bersama Yudha, karena pemuda itu ada kelas tambahan. Belum sampai di gerbang, ia dikagetkan dengan tarikan kuat dari arah belakang. Seseorang itu memutar tubuh Ivy lalu menamparnya. Tidak sekali, namun sampai dua kali.

‍‍‍‍"Lo, Bitch! Bisa-bisanya ngerebut cowok orang. Kak Agian, Kak Dana, Yudha, semua lo rebut. Dasar Jalang bertopeng! MUNAFIK LO!"

Ivy terkejut, diam merasakan panas yang menjalar di pipi kirinya karena tamparan kuat dari Rachel. Dua gadis itu sama sekali tak menghiraukan puluhan siswa yang menonton.

"Lo jangan sok kecantikan. Murahan! Bitch kayak lo gak pantes pake jil-"

"RACHEL!" bentakan suara baritone membuat sang empunya nama membeku di tempat.

"Yudha."

Kedatangan Yudha dari luar gerbang sekolah membuat semua siswi yang sempat menonton kejadian perlahan menjauh. Membubarkan diri.

"Sekali lagi lo berbuat buruk sama Ivy. Gue gak pernah mau ngeliat muka lo lagi," ancamnya sambil menunjuk wajah Rachel.

Suara berbisik dan tatapan sinis para siswi jelas dilontarkan untuk Ivy. Gadis berhijab itu, berlari secepat mungkin menjauhi area sekolah. Menghiraukan seruan Yudha.

Ia sangat malu berkali-kali menjadi pusat perhatian. Tak jarang ia sering dijadikan bahan pembicaraan para siswi di toilet, di kantin, di perpustakaan, semuanya mencibir dirinya terang-terangan.

Siang itu, ingin sekali ia berhenti sekolah. Pergi dari kehidupan Yudha. Namun, lagi-lagi keadaan membuat Ivy harus bertahan. Menghindar dari masalah tidak akan menyelesaikan apa pun. Delapan bulan di sekolah, ia hadapi semuanya dengan sabar, meneguhkan hati, dan menebalkan telinga atas semua cibiran juga hinaan.

Seiring berjalannya waktu, semua kalimat menyakitkan itu lenyap entah ke mana. Di waktu yang sama, semua teror juga tak lagi datang. Kehidupan sekolahnya kembali normal dan berjalan dengan baik sampai saat ini.

Lamunannya buyar saat suara bel pintu dipencet. Dengan segera, Ivy bangun dan mencegah Bi Sari yang hendak membukakan pintu.

"Assalamualaikum," sapa sepasangan paruh baya.

"Waalaikumsalam. Tante, Om, silahkan masuk."

Ivy membuka pintu lebar-lebar menyambut kedatangan Tirta dan Anne. Mereka berdua menyempatkan pulang untuk menghaditi acara kelulusan Yudha di sekolah.

Tiga orang tadi, saat ini duduk di ruang tamu. Mereka saling tertawa melempar lelucon. Keluarga Prayata sangatlah baik pada Ivy. Tak sedikitpun Ivy merasa asing berada di tengah-tengah mereka. Di sini, gadis itu bisa merasakan kembali kehangatan sebuah keluarga.

"Tante seneng mendengarnya," sahut Anne.

Kedua suami istri itu tersenyum bahagia setelah mendengar cerita yang baru saja Ivy sampaikan.

"Sejak awal, Om yakin kamu bisa melakukan tugas ini dengan baik. Terima kasih, Nak." jedanya lalu menatap ke arah gadis yang senantiasa menunduk itu. "Yudha, satu-satunya penerus keluarga ini. Saya hanya bisa berharap padanya."

"Tante kira Yudha tak akan pernah bisa memperbaiki sikap buruknya. Namun, dengan bantuanmu dia bisa kembali menjadi Yudha yang seperti dulu."

Yudha yang seperti dulu. Apa maksudnya dulu dia tak sama seperti saat pertama aku bertemu? pikiran Ivy buyar saat Anne terisak sambil sesekali mengucap terima kasih pada Ivy.

"Sama-sama, Tante. Semua ini berkat Allah, tanpa kehendaknya semua tak akan terjadi. Saya juga berterima kasih banyak pada Tante dan Om yang mau menerima saya di rumah keluarga ini."

Dua orang paruh baya itu tersenyum. Bagi Anne, semua akan ia lakukan demi kebaikan putra tunggalnya.

•-•
[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro