Princess Metropolitan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Santy tetap mengulurkan tangan, telapaknya membuka angkuh, sementara gadis di hadapan memanjat doa-doa dalam hati guna Santy lupa.

"Bayar. Hari ini harus bayar."

Dei berdecap, doanya tidak terkabul, maka memasang senyum termanis akan lebih baik.

"Nanti aku bawa cogan paling keren deh," kata Dei.

"Sebagai bayaran?"

Dei mengangguk semangat. Saking semangat, ia tidak menyadari ada gerakan cepat dari Santy terhadap dahinya hingga menimbulkan merah. Perempuan itu menjitak Dei.

"Sakit, Kak!"

"Memangnya kamu kira dua gelas milk shake bisa dibayar sama cogan? Lagian kamu pikir Kakak mau? Jangan mentang-mentang Kakak jomlo terus kamu seenaknya berkata begitu!"

Dei mulai malas mendengar ocehan orang yang lebih tua darinya. Jika ini adalah drama, mungkin Dei tidak akan mau menonton sampai selesai. Membosankan.

"Kalau lima putri lainnya dateng, aku aduin kamu."

"Eh?"

Mendadak Dei gelagapan, sama halnya ikan milik Shinta yang kemarin baru dikubur akibat kehabisan oksigen. Jangan merasa aneh mengapa bisa kehabisan oksigen, ikan itu diangkat dari air oleh si pemilik dengan alasan ingin bermain.

"Ja-jangan dong... ini cuma masalah milk shake. Kita negosiasi lagi, ya?"

Santy menggeleng. "No! Lagipula, setahu Kakak kamu jarang minum milk shake, tapi belakangan ini terus-terusan beli... ah, ngutang, milk shake. Dua gelas pula. Buat siapa, huh?"

Apa bisa kata 'ngutang'nya itu tidak diperjelas? Aih dasar. Dei malu kalau begini terus. Sedikit, Dei melirik arah jam dinding.

Skakmat! Dei mengembuskan napas, mencoba tenang. Sebentar lagi lima orang lainnya ada di sini. Dei berharap mereka datang sedikit lebih lambat, setidaknya sampai masalah negosiasinya bersama Santy selesai.

"Huahh! Lagi apa kalian?"

Mari katakan 'poor' untuk Dei yang barusan berharap, dan itu hanyalah harapan dadakan yang tidak terpenuhi.

Dei terpaksa menoleh arah sumber suara, Santy juga sudah memusatkan matanya pada Siti-gadis yang baru saja melontarkan pertanyaan bersama wajah hebring.

Setelah Siti berada di hadapan dua orang yang barusan melakukan drama, tiga orang lainnya memasuki warung 'Macam-Macam Minuman' milik Santy.

"Ahm... kayaknya... aku harus pergi duluan deh." Dei mulai tegang atas keadaan yang seolah mencekik, lantas memasukkannya ke dalam kegelapan. Oke, abaikan metafora aneh itu.

"Lho, kenapa? Kita baru aja sampai, kamu mau pergi? Udah pulang sekolah, 'kan?" Ayu, sama seperti namanya, perempuan berparas ayu itu bertanya dengan nada lembut. Menghangatkan bagi siapa pun yang mendengar.

"Udah, tapi...."

"Nggak boleh, kamu nggak boleh pergi. Bilang aja kamu mau kabur." Tidak menuduh, Santy yakin sekali Dei hendak melarikan diri.

"Kabur? Memangnya Dei buronan?" Siti tertawa renyah. Gadis ceria itu selalu bisa membuat suasana yang terlihat serius menjadi sejuk.

Seakan terkepung, terjebak, dinding-dinding mengimpit, Dei menunduk; menatap dua gelas milk shake yang masih utuh di tangan kanan dan kirinya.

"Mencurigakan."

Satu kata yang terucap dari Isty membuat semua mata melihatnya. Tak terkecuali Dei.

"Jadi, katakan langsung. Ada masalah, 'kan? Apa masalahnya?" tanya Isty. Ia tidak pernah mau bicara berbelit-belit, jadi jangan heran kalau Isty adalah satu-satunya gadis di antara gadis lain di sini yang paling to the point.

"Anu... itu...." Dei kembali menunduk.

"Dei nggak bisa membayar milk shake." Santy yang memperjelas. "Sudah tiga hari berturut-turut dia membeli dua gelas milk shake, tapi nggak bayar."

Seakan mengadu, Santy tersenyum puas usai mengatakan itu. Tidak bermaksud jahat, tega atau apa. Satu alasan; Santy tidak bisa memendam hal itu lebih lama.

"Cuma nggak bayar?" Isty mengerutkan dahi. Bukankah ini masalah sepele? Lalu kenapa Dei sebegitu tegangnya, sampai keadaan terasa aneh begini?

"HEI GIRLS!"

Sontak, semua gadis dalam warung memusatkan perhatian pada sumber suara menggelegar itu. Jika warung ini terowongan mungkin akan bergema.

"Coba tebak, coba tebak!"

"Baru dateng juga, udah heboh sendiri. Kebiasaan." Isty yang tadi terkejut tentu kesal pada gadis itu.

"Lebih heboh dari Siti." Shinta cekikikan, padahal dari tadi ia memilih menyimak. Sekarang seolah energinya terisi sehabis diam.

"Heh, panggil Kakak. Nggak sopan," protes Siti, tidak terima hanya dipanggil nama saja oleh si termuda, Shinta. Sebenarnya antara mereka bertujuh, Dei yang lebih muda. Namun, Dei tidak pernah mau dianggap demikian, ujung-ujungnya akan disebut bocah oleh enam orang yang sudah ia anggap seperti kakak-kakaknya sendiri.

"Coba tebak tadi...."

"Masalah ini dulu, belum selesai." Isty memotong perkataan Ulee. Gadis yang baru saja datang bersama sejuta kehebohannya, dan berhasil membuat keadaan ramai.

"Memangnya sekarang ada masalah apa? Masalah 'ini'?" Ulee tidak mengerti, dia melihat bergantian saudara-saudaranya.

"Dei," pancing Santy.

Ulee menetapkan pandangan pada Dei. Dari sorot matanya dia meminta penjelasan. Namun, Dei terus menunduk bak anak kecil yang baru saja kepergok main hujan-hujanan; setelah sebelumnya melihat Ulee sekilas.

"Dia nggak bisa bayar milk shake." Santy melanjutkan perkataannya.

"Kalau begitu tunggu aja dia bayar. Gitu aja kok jadi masalah?" Meski heboh, Ulee memiliki sisi pemikiran cepat yang tidak bisa terelakkan.

"Bukan hanya itu," balas Santy. "Kalian nggak merasa aneh? Si Kutu ini jarang minum milk shake. Lagipula aku tahu minuman kesukaannya. Kita juga tahu, 'kan?"

"Jus alpukat." Siti menambahkan.

"Jeruk peras?" sambung Shinta.

Dei yang merasa tersudut ingin menangis saja, sekarang juga! Tetapi tidak. Dei tidak pernah mau menangis di hadapan enam princess lainnya.

"Aku bakal bayar, tapi nggak sekarang," jelas Dei, mulai memberanikan diri mendongak.

"Nah, sudah, 'kan? Tinggal kamunya aja yang mesti sabar." Ulee mengatakan hal demikian kepada Santy yang merasa masih janggal.

"Kalau begitu biar Kakak aja yang bayarin, ya?" Ayu langsung bergerak selangkah mendekati Santy untuk memberikannya uang, padahal Dei sudah menolak dengan gelengan kepala.

"Berapa?"

"Nggak, bukan begitu," kata Santy yang lantas membuat gerak Ayu mengambil uang berhenti.

"Sebenarnya... aku menuntut Dei buat bayar cuma pingin tahu. Kenapa tiga hari ini dia selalu membeli milk shake sejumlah dua gelas, hanya itu."

"Kalau begitu, sekarang Dei harus jawab, buat apa Dei beli dua gelas milk shake?" Ulee kembali beralih pada Dei, menengahi keadaan yang sedang terjadi.

"Mungkin Dei haus." Siti menyahut, enteng.

"Oh aku tahu! Dei pasti-"

"Sekali lagi kalian bicara, akan aku lakban mulut kalian!" Isty yang tidak tahan pada dua anak; Siti dan Shinta yang terus menyela pembicaraan akhirnya memasang mode macan. Sudah dikatakan, ia tidak mau menyaksikan pembicaraan yang melebar kemana-mana. Terlalu berputar, panjang. Tidak langsung pada inti.

Siti bersama Shinta kompak merapatkan belah bibir. Bersamaan dengan itu, Ulee mengusap pundak Dei guna menenangkan, sehingga ia bisa mulai bicara. Kenyataannya, usapan Ulee berhasil membuat keberanian Dei bangkit.

"Aku hanya ingin mengurangi dahaga mereka."

•••

Enam gadis itu menatap prihatin dua anak laki-laki, mereka tengah sibuk menawarkan koran pada pengemudi mobil atau motor yang berlalu lalang.

Tempat berdiri di trotoar terasa amat panas, tapi mereka mengabaikannya sama seperti kedua anak di sana. Seakan tidak ada yang bisa menghentikan mereka bahkan terik matahari sekalipun. Kedua anak itu terus berteriak 'koran-koran!' tidak peduli kalau orang-orang banyak mengabaikan mereka.

"Untuk Arian dan Fadil."

Perkataan Dei membuat enam gadis yang sempat menyorot rasa iba beralih kepadanya. Dei yang sudah menaruh dua cup milk shake di bangku kayu tempat anak-anak itu biasa beristirahat tersenyum miris sesaat, membayangkan dirinya berada di posisi mereka.

"Mereka kehausan setelah berjualan. Anak yatim piatu. Arian dan Fadil hanya bergantung pada diri mereka sendiri. Jadi aku memberinya milk shake. Mereka bilang, milk shake minuman yang paling menyegarkan setelah melawan panasnya matahari." Dei menjelaskan panjang lebar, urusan mau dimengerti atau tidak itu terserah mereka.

"Kenapa kamu nggak bilang sejak awal?" tanya Santy. Menyesal juga karena sudah mendesak Dei.

"Apa Kakak akan peduli?" Dei melihat Santy. "Maksudku... meski aku mengatakannya, Kakak nggak akan peduli."

"Ya ampun, Kutu! Kamu mengatakan itu seakan aku tokoh antagonis yang nggak punya hati," kata Santy, ia mulai kesal lagi pada Dei.

"Ah sudah," sela Isty. "Kita berteman, 'kan? Yah... walau aku sendiri nggak terlalu ingat kapan kita bisa menjadi teman dan semakin dekat seperti saudara, aku bahkan lupa perkenalan pertama kita. Intinya, meski aku sedikit terpaksa bilang, kita ini teman. Jadi kalau ada apa-apa bilang, jangan dipendam sendiri."

"Kak Isty jarang bicara, kalau sekalinya bicara langsung menohok." Shinta tertawa kecil setelahnya.

"Menohok." Ayu mengulang kata yang baginya sedikit lucu.

"Dan... juga nggak tahu kenapa aku mau berteman sama kalian. Konyol, berisik, tapi...." Isty berpikir untuk melanjutkan kalimatnya. "Tapi kalau nggak ada kalian, sepi."

Gelak tawa terdengar ramai, dan yang paling keras di antara lima gadis di trotoar itu hanya Ulee. Isty sendiri tidak tahu mengapa mereka tertawa. Apa barusan dirinya melakukan aksi lawak?

"Yep sudah! Jadi selesai, ya? Dei tenang aja, nanti setiap hari dalam satu minggu kami bergantian memberi anak-anak itu minuman, oke?" Ulee berkata, setelah aksi tawa paling kerasnya. Lima gadis yang barusan tertawa ikut berhenti sama halnya seperti Ulee.

"Bener? Makasih banyak," sahut Dei, gembira. Siapa yang tidak gembira menemui fakta bahwa ternyata kakak-kakaknya mau membantu? Itu akan mengurangi perasaan sedih Dei setiap kali melihat dua anak penjual koran.

"Sekarang, mau dengerin cerita aku nggak?" tanya Ulee, yang langsung ditanggapi anggukan lima gadis, kecuali Isty. Ia hanya mengangkat alisnya seolah bertanya pada Ulee, apa?

"Tadi... aku ketemu Oppa! Ganteng banget!"

"Opa? Sejak kapan opanya Kak Ulee jadi ganteng? Udah tua, keriput."

Siti bernada polos, membuat Ulee ingin segera menenggelamkan Siti ke danau sekitar sini. Beruntung sudah dianggap adik sendiri. Harus sabar.

"Oppa, Aeni."

"Namaku Siti, Kak," sanggahnya. Bukan hanya nada polos, kini ekspresi gadis itu seakan minta ditabok.

"Nama belakangmu Aeni." Ulee mulai memasang jurus raut andalan; datar.

"Oh iya, hehe. Namaku bagus, ya?"

Tidak ada yang menggubris atas kalimat Siti, semua hanya diam menunggu Ulee kembali melanjutkan perkataan.

"Jadi tadi waktu aku mau ke warung Santy, nggak sengaja menabrak pundak orang. Waktu aku lihat, dia cowok, tinggi, pakai jaket hitam. Oppa Kim Soo Hyun!"

"Wahh...."

Hanya Shinta yang sepertinya takjub. Bahkan matanya sudah berbinar. Sementara yang lain?

"Halu," tanggap Isty.

"Pasti mimpi lagi, 'kan? Pas konser boyband aja, Kak Ulee sampai mimpi ketemu anggota boybandnya karena saking nggak bisa beli tiket konser."

Ulee lemas, tidak berdaya. Ah, mengapa Dei mesti mengungkit luka lamanya? Itu hanya masa lalu. Masa yang hanya cukup dikenang, tanpa harus kembali ke masa itu. Mengulangnya apa lagi, jangan sampai. Lagipula, Ulee serius pada perkataan yang terlontar.

"Uang hasil tabungan Ulee buat beli tiket konser hilang." Santy tertawa lepas, mengingat kejadian yang menimpa Ulee dua tahun lalu.

"Ihh, ini beneran! Kalian nggak percaya?" tanya Ulee, takut mereka akan bilang 'nggak'. Apa mereka tidak kasihan pada wajahnya yang sudah melas ini?

"Nggak."

Ulee cemberut. Ketakutannya menjadi kenyataan oleh adanya sahut dari Isty.

"Ulee, 'kan suka berhalusinasi ketemu oppa-oppa Koreyah. Balik yuk, di sini panas," ajak Isty kemudian, tidak tahan juga di bawah terik matahari begini.

"Ayok!" Serentak, empat orang lainnya setuju. Kecuali Ulee yang sepertinya ngambek.

"Tadi Isty bilang apa? 'Koreyah'." Ayu berceletuk, ia paling suka mengutip kata teman-temannya yang menurutnya menarik.

"Baru kali ini dia begitu. Ketularan lebaynya Kak Ulee." Dei ikut berkomentar.

"Mhuahahaha...." tawa Siti membuat semua orang memandangnya heran. Ini anak tertawa terus. Saking bahagianya, mungkin. Tidak apa ya, yang penting Siti bahagia selalu.

"Kenapa sih, kalian nggak percaya? Dia Kim Soo Hyun. Percaya deh!" Ulee melangkah, mengejar teman-temannya yang sudah lebih dulu menjauh beberapa langkah.

"Kalau kami yang lihat, baru percaya!" Suara Isty keluar lagi. Masih terdengar oleh Ulee, meski dia semakin tertinggal jauh. Sangat menikam jantung kalau Isty yang bicara.

"Akan aku foto kalau ketemu lagi dengannya." Ulee bertekad bulat setelah mengatakan itu, sebulat bola yang menggelinding.

Shinta memegang pergelangan tangan Ulee. Ya ampun, Ulee baru sadar kalau Shinta sedari tadi di sampingnya.

"Aku percaya sama Kakak, kok."

Akhirnya, ada yang percaya juga. Ulee tersenyum senang. "Aaaahh... kamu memang adeknya kakak yang paling pengertian."

"Tapi Kakak harus buktiin."

Ulee mengangguk, pasti. Tentu saja dia akan membuktikan. Terlebih, dirinya sudah bertekad barusan.

•••

Malam hari, Ulee yang sudah berniat mencoba berani untuk berdiri dekat warung Santy. Siapa tahu saja orang yang siang tadi menabraknya, melalui jalan ini lagi. Memang tidak ada yang bisa menjamin pria itu akan melalui jalan yang sama. Namun, Ulee hanya berkeyakinan, meski ketidakyakinannya lebih besar. Namanya Ulee Lastry, jika sudah ada kemauan, harus terpenuhi, dan pasti akan terpenuhi.

Mari kita lupakan tentang konser yang sampai sekarang tidak bisa Ulee datangi meski ada keinginan. Ada saja masalahnya. Entah tempat konsernya yang jauh dari kota Ulee tinggal, belum cukup uang, dan hilang uang. Pokoknya sesuatu tentang konser belum terwujud. Hanya belum. Akan terwujud suatu saat nanti.

Waktu terus bergerak maju, Ulee masih berdiri di posisi sama, sedikit bersandar pada dinding pertokoan yang sudah tutup. Pikirannya telah berkelana kemana-mana sejak tadi. Ah, bukankah ini gila? Cuma mau bagaimana lagi, Ulee bahkan sudah siap kamera ponsel di tangannya.

"Bagaimana hari ini?"

Ulee merekam melalui mata; dua orang dari jarak beberapa langkah, sedang berjalan pelan yang pasti akan melewatinya. Suara mereka terdengar jelas pada pendengaran Ulee yang amat tajam.

"Tidak buruk. Aku senang bisa di sini, dan beristirahat dari kesibukan."

Mereka sedang mengobrol santai, menggunakan bahasa yang tidak Ulee mengerti. Bahasa asing, tapi tidak asing di telinganya. Aduh, maksudnya... familier. Dia pernah mendengar nada bahasa itu dalam variety show, atau drama....

Sebentar.

Ulee termangu, membiarkan kedua orang yang sedang berjalan pelan menikmati malam kota melewatinya, tanpa sadar kehadiran Ulee yang terus memerhatikan.

Salah satu orang itu... yang dari tadi Ulee tunggu, 'kan?

"Dia," gumam Ulee. Tidak bisa berkata lagi, tubuhnya membeku. Hanya pandangan saja yang terus mengikuti arah salah satu dari dua pria yang kini menjauh.

"Ulee?"

Suara Santy mencairkan kebekuan tubuh sang empu. Dia menoleh arah temannya.

"San, itu! Tadi aku lihat dia lagi!" Ulee menunjuk arah ujung jalan yang kosong, membuat Santy heran.

"Lihat siapa?"

"Kim Soo Hyun!"

Santy menghela napas. Orang ini pasti korban drama Korea, korban ketampanan Raja Lee dan alien rupawan. Sampai-sampai halu tingkat setengah tidak waras.

"Lebih baik pulang, daripada mengkhayal di sini. Aku baru tutup warung, mau pulang bareng?"

"Tapi... itu...." Ulee melihat ponsel di tangannya.

Duh! Kenapa dirinya sampai lupa untuk memotret? Ini pasti akibat terlalu larut dalam kebekuan.

"Udah, yok pulang." Santy sampai harus menuntun Ulee untuk berjalan dan meninggalkan tempatnya berdiri. Ada-ada saja, Santy menggeleng pelan mengingat tingkah Ulee.

•••

"Naneun igeoseul...." Laki-laki bertopi hitam-senada dengan jaketnya itu menunjuk gambar jus jambu yang tertempel di etalase.

Santy menghampiri, tidak memerhatikan si laki-laki. Hanya saja, tadi dirinya tidak mengerti apa yang baru saja orang ini katakan.

"Ya?"

"Naneun ige... oh, sorry. I want this. One." Seolah sadar, laki-laki bermata sipit itu mengulang kalimatnya, menggunakan bahasa yang Santy mengerti.

"Okay, wait. Tunggu sebentar." Santy segera membuat pesanan pelanggan yang sepertinya tak asing. Mata, bibir, hidung. Namun, Santy tidak mau memikirkannya terlalu jauh. Ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan.

"Santy, aku pesan yang biasa, ya!" Isty tiba-tiba berada dalam warung, berdiri di samping pemuda yang... tidak tahu, Isty tak bisa menjabarkan penampilan laki-laki yang menurutnya aneh. Semuanya hitam, bajunya tertutup. Hei, di luar panas, asal tahu saja.

Tak acuh, Isty segera duduk di bangku tunggu usai Santy menyahut singkat barusan.

"Ini pesanannya," kata Santy, memberi satu gelas plastik berisi jus jambu dingin kepada laki-laki bertopi.

"How many?"

"Lima belas ribu. Fifteen thousand."

Pria tersebut sedikit bingung saat membuka dompet. Ribu? Dalam dompetnya hanya ada uang won. Ini pasti akibat kekerasan kepalanya, kukuh ingin belanja sendiri, tanpa memikirkan nasib. Bahkan belum sempat menukar uang?

"Bodohnya." Pria itu memaki diri sendiri.

"Tuan?" Santy sedikit tidak sabar. Kalau tidak ada meja kasir, mungkin Santy bisa menyaksikan apa yang dilihat laki-laki itu dalam dompetnya.

"Ah? Sebentar," tanggapnya, sedikit mendongak, kemudian tersenyum tipis. Ia kembali fokus pada dompet yang sampai kapan pun uang itu tidak bisa berubah.

Demi bumi dan langit, senyuman itu... Santy seolah terperenyak.

"San, udah belum? Kok lama? Aku haus." Isty mulai protes di tempatnya duduk.

Santy mengabaikan Isty, sampai gadis itu berdiri dan menghampiri meja kasir, untuk menegur keterlambatan Santy yang membuat kesejahteraan tenggorokannya tersendat sampai sudah kering.

"Hei, San."

Melihat Santy bagai orang setengah sadar, Isty mengikuti arah pandang Santy, dan tepat pada pria di sisi yang sepertinya kebingungan.

Alih-alih ingin membiarkan, Isty justru bertanya, 'mengapa' dalam bahasa Inggris. Karena tadi Isty sempat mendengar percakapan laki-laki tersebut bersama Santy. Pasti ia bukan orang Indonesia.

"Amm... uangku tidak bisa menjadi Indonesia."

Seketika saja kalimat itu menggelitik perut Isty. Santy yang sudah sadar dari keterpengaruhan senyum memesona laki-laki itu juga tak kalah ingin tertawa. Namun, tentu mereka menahan.

"Ini, aku bayar pakai ini saja. Bisa ditukar." Laki-laki itu akhirnya memberi uang sejumlah lima belas lembar, won. Kalau dihitung dalam jumlah Indonesia, uang itu lebih dari lima belas ribu.

"A-ah tidak perlu. Gratis. Hari ini, minuman di warungku gratis, jadi bawa saja." Tidak masuk akal, Santy. Padahal jelas-jelas tadi ia menunggu bayaran sebelum senyuman laki-laki bertopi mampu meluluhkan hati.

"Benarkah? Terima kasih kalau begitu."

"Hm. Datang lagi, ya."

Laki-laki itu mengangguk sebagai jawab, lantas memutar tubuh usai sebelumnya sedikit membungkuk sopan arah Isty. Kalau di Indonesia, gerak itu bisa diartikan sebagai; mari, permisi.

"Jadi, hari ini minumannya gratis? Oke, aku pesan dua gelas kalau gitu." Isty kembali fokus pada Santy.

"Iya, buat cowok tadi, tapi nggak gratis kalau buat kamu."

Seketika saja kutukan pelit terlontar dari Isty.

"Ash! Kau di sini? Aku cemas mencarimu. Kalau kau tersesat bagaimana?"

"Ash, Manajer di sini? Kalau Manajer Min tersesat bagaimana?" Laki-laki itu terkekeh, setelah berhasil meniru kalimat orang yang terlihat panik beberapa saat lalu.

"Hentikan candaanmu, Soo Hyun."

Hanya meminum jusnya, Soo Hyun tidak memedulikan kekesalan sang manajer.

"Kau mendapakan minuman itu dari mana?"

Soo Hyun melihat sang manajer yang melirik jus di tangannya. "Uhm, tidak tahu tempat apa itu. Semacam kedai. Banyak buah. Aku mendapatkannya di sana."

"Uang yang sudah ditukar ada padaku. Bagaimana kau membelinya?"

"Aku tidak membeli. Ini gratis. Gadis di kedai yang memberi," sahut Soo Hyun, kembali pada aktivitas minumnya.

"Geurae, lupakan. Sekarang ayo kembali ke hotel. Kau harus siap-siap pulang."

"Aku mau jalan-jalan sebentar lagi." Soo Hyun langsung mempercepat langkah, mendahului sang manajer yang tadi hampir terkena stroke akibat mencari Soo Hyun. Sekarang laki-laki itu sudah mau keluyuran sendiri lagi.

"Astagaa... kenapa dia susah sekali diberitahu? Kim Soo Hyun, tunggu! Pergi bersamaku!"

•••

Shinta bersama Dei dan Siti berdesak-desakan, memperebutkan siapa yang duluan masuk ke dalam warung Santy. Lebih parah dari berdesakan, mereka tidak ada yang mau mengalah.

"Hei tiga curut di sana! Pintuku rusak nanti," tegur Santy dari arah meja kasir.

"Suit." Dei menginterupsi.

Mereka suit di daun pintu, mempertahankan posisi berdesak sampai pelanggan yang mau masuk tidak jadi. Beruntung Santy sudah tidak memerhatikan arah pintu. Bisa habis mereka dicincang, kalau Santy sampai tahu bahwa ada pelanggan yang tidak jadi masuk ke warungnya karena mereka.

"Yups, aku menang. Kalian mundur. Aku yang lebih dulu masuk." Siti berkata, penuh kepercayaan diri. Dei yang juga merasa menang tidak terima.

"Aku gunting. Aku yang menang."

"Dei, kertas sama gunting itu yang menang kertas."

"Lho, aturan dari mana itu?!" Dei semakin tidak terima. Sejak kapan aturannya berubah?

Sementara Shinta hanya diam dengan ketidaknyamanan berada di tengah antara mereka berdua.

"Guntingnya muntul, jadi nggak bisa gunting kertas." Jawaban terabsurd yang pernah Dei dengar, sungguh.

"Aku batu tadi." Shinta akhirnya angkat bicara, membuat perdebatan yang tidak ada faedah itu berhenti.

Merasa tidak enak, Dei memilih mundur. Tidak mau malu juga di hadapan Shinta. Siti pun begitu.

Shinta bisa masuk secara luas sekarang, lalu menghampiri meja dengan kursi yang telah diisi oleh Ayu, dan Isty.

"Aku pingin beritahu kalian," kata Shinta, menunggu Dei bersama Siti sampai pada posisinya.

"Kita ketemu sama Kim Soo Hyun!" Dei yang berkata paling kencang.

"Bener. Tadi di sekolah, saat kita lagi main bulu tangkis, koknya nggak sengaja keluar dari gerbang sekolah. Terus ada pria berbaju hitam yang memberikan kok kita. Itu Kim Soo Hyun," jelas Siti.

"Haishh... kalian jadi ketularan halunya si Ulee." Isty berkata seperti biasa; tidak sopan, mengingat umurnya yang lebih muda dari Ulee.

"Nggak. Kita nggak halu." Dei menyanggah, lantas dibenarkan oleh Shinta bersama Siti.

"Entahlah... tapi tadi, di depan butikku juga ada cowok. Mirip Soo Hyun." Ayu menambah rasa aneh pada Isty. Apa sekarang virus Kim Soo Hyun semakin mewabah?

"E-eh! Lihat deh!" Santy buru-buru keluar dari meja kasir, membawa ponselnya.

"Kim Soo Hyun berlibur di Indonesia!"

Isty sampai merebut ponsel Santy, membaca berita yang sedang diperbincangkan hangat sekarang. Dari berita itu, Isty bisa mengutip bahwa aktor kelahiran 1988 tersebut berlibur tanpa diketahui media sebelumnya. Soo Hyun hanya ingin berlibur secara tenang. Namun, tercantum tanggal hari ini dalam berita bahwa Soo Hyun akan pulang dari Indonesia, bersumber dari Min Hwain; manajer Kim Soo Hyun.

"Berarti, yang aku lihat...." Ayu tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Tunggu. Pengunjung tadi siang?" Isty baru menyadarinya detik ini. Apalagi setelah melihat gambar Soo Hyun hasil potret paparazi yang amat setia seperti penguntit. Baju tertutup hitam, juga topi hitam. Tak salah lagi.

"Itu Kim Soo Hyun?" Santy bertanya, lebih kepada diri sendiri. Bahkan ia tahu dengan baik apa jawabannya.

"Kalian juga melihat?"

Isty bersama Santy hanya mengangguk, membenarkan pertanyaan dari Ayu sejalan Ulee memasuki warung membawa wajah berseri. Dia duduk dekat Ayu, senyuman cerah terpatri indah.

"Ulee, lihat berita Kim Soo Hyun terbaru hari ini deh," titah Santy.

"Aku tahu. Kalian kaget, ya? Aku juga, tapi aku udah yakin itu Kim Soo Hyun. Jadi, kalian percaya sama aku?"

"Ngg...." Isty mau menjawab 'iya', tapi terlalu mengenas rasanya. Ia masih ingat ketika tidak memercayai Ulee dan mengatai Ulee berhalusinasi.

"Ya," jawab Santy.

"Percaya." Ayu yang mengeluarkan suara kali ini.

"Aku percaya. Aku juga lihat," sahut Dei, tak mau kalah.

"Kita melihatnya, Dei." Shinta meralat kalimat Dei, sementara yang diralat kalimatnya hanya mengangguk-angguk saja.

"Kalau begitu, kalian harus percaya pada ceritaku yang ini juga. Aku bertemu lagi dengan pria yang ternyata benar Kim Soo Hyun. Dia bilang...." Ulee sengaja menggantung kalimat, tersenyum aneh menurut semua gadis di sini.

"See you again."

"Haluuu!!" Semua bersorak, kecuali Shinta yang memerhatikan gerak Ulee, dan Isty yang merasa ini bagai mimpi. Kalau bisa, ia ingin mengulang waktu ketika pertama memasuki warung Santy dan bertemu Soo Hyun.

"Aku punya rekaman suaranya. Serius. Ulee Lastry yang manis kayak dodol sumedang nggak pernah bohong."

"Yang ada juga tahu sumedang. Dodol, dodol garut." Tukang meralat kedua setelah Shinta; Isty.

"Suka-suka, ya...." Ulee yang sedang bahagia terus-menerus tersenyum, sampai rekaman suara dari ponselnya itu terputar.

"We have met, right? That afternoon?"

"Yes we have met. Kim Soo Hyun, right?"

"Wow, you know me?"

"Of course, I'm your fan."

"Ah... Yukaris? Nice to meet you."

"I am also, pleased to meet you."

"Then continue to support me, huh? See you again."

"Hiyaa Ulee Lastry! Ceritain gimana kamu bisa ngobrol sama dia?" Santy mendesak usai rekaman suara berakhir.

"Rahasia. Hanya aku dan Oppa Kim yang tahu."

ASTAGA!

.
.
.

Selesai ~

C/A: Princess Metropolitan hasil request dari Yukaris; Ulee Lastry dari grup Kim Soo Hyun Fans Club Indonesia. Nama-nama tokoh di sini nyata, mereka teman-teman Yukaris yang tergabung dalam grup serupa. Terkecuali jalan ceritanya; sembilan puluh sembilan persen fiksi.

Terima kasih untuk Kak Ulee dan teman-teman Yukaris yang telah membaca cerita ini!

Pertama kali publish; 04 November 2018
Re-publish; 26 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro