10 Years Debut Aniversary

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menatap suasana pagi dari balik jendela tinggi yang terbuka, menghirup udara dalam-dalam, lantas laki-laki itu membentuk senyum, dia ingat hari apa ini. Berbeda pada hari Senin sebelumnya, tepat tanggal dua puluh empat amat spesial. Ada masa dimana dia menerima segala kesulitan, umpatan kasar, juga kata-kata merendahkan. Namun, dia dapat melalui itu hingga bertahan di titik sekarang. Untuk diakui kemampuannya juga bukan hal mudah, tapi kini Kim Soo Hyun mendapat gelar aktor terbaik Korea.

Hampir setengah jam Soo Hyun menghabiskan waktu berdiri di posisi sama, kemudian pikiran tenangnya terusik oleh celoteh tidak berguna yang sialnya membekas.

"Ini semua karena peranmu. Mengapa harus mengambil risiko? Bahkan kau memercayai sepupumu untuk menggarap film itu. Lihat sekarang hasilnya? Kacau."

Seiring berjalannya detik kalimat yang tercetus dari sang manajer kemarin malam, Soo Hyun ingin membalas menggunakan nada tegas; tiada yang salah jika menyangkut seni. Namun, dia hanya berakhir membisu, mengintrospeksi diri; barangkali ada hal yang dilewati Soo Hyun ketika memutuskan mengikuti kata nurani.

"Sekarang bagaimana kau mengatasi namamu yang tercemar? Real dinilai sebagai film terburuk, kau benar-benar berhasil membuat dirimu hancur."

Mengalah pada pemikirannya yang terus berisik, Soo Hyun tetap pada pandangan mengarah luar jendela. Komentar buruk masih ada sampai saat ini, pria itu hanya membiarkan. Soo Hyun menganggap, mencoba hal baru bukan kesalahan, keluar dari zona aman, bukankah amat menegangkan sekaligus seru?

Kim Soo Hyun cukup mengetahui apa tujuannya sejak awal; dia ingin berkembang melalui cara sendiri, dan menguji diri. Terkadang, seni memang rumit sekaligus sulit dimengerti sebagian orang. Soo Hyun juga tidak menyalahkan mereka atas mau menerima atau tidak, seni hakikatnya keindahan, bukan paksaan untuk semua orang suka.

Soo Hyun sama sekali tidak menyesal telah memainkan peran itu. Dia cuma merasa getir, kala keadaannya terpuruk sang manajer justru seolah memojokkannya.

•••

Menatap layar ponsel, hari sudah siang, dan belum ada pesan apa pun yang masuk. Soo Hyun sengaja tidak menyalakan sambungan data, lebih tepatnya tidak mau mendapat pemberitahuan dari media sosial, komentar-komentar kejam pasti masih bertebaran. Bukannya Soo Hyun anti kritik, jujur saja kalau penyampaiannya membangun akan Soo Hyun terima, tapi diselingi hujatan? Itu bukan kritik yang pantas diambil.

Teman-teman seperjuangan juga tidak mengirim Soo Hyun pesan, dia mulai jenuh sendirian di dalam unit apartemen yang baru kemarin dirinya sewa. Bahkan, sang manajer entah kemana.

"Apa baru saja aku berharap dapat ucapan?" Soo Hyun tidak percaya pada dirinya sendiri, dia mendesah keras. "Mustahil, kekanakan sekali, ya ampun."

Saking bosannya, Soo Hyun beralih pada televisi yang barusan dinyalakan. Ada tayangan reality show yang membuat laki-laki itu bertanya-tanya dalam benak; apa tidak ada juga yang mengajakku pergi, atau mengundangku ke suatu acara?

Terlalu sepi. Atau, memang hati Soo Hyun yang sedang kosong? Dia terus saja berharap ada pesan yang mengindikasikan salah satu dari kontak orang-orang yang tersimpan di ponselnya mengingat hari ini.

Menopang dagu, kini Soo Hyun ingin fokus menonton. Persetan akan pemikirannya yang selalu saja berisik. Awalnya, dia memang serius menatap benda persegi itu, tapi lama-kelamaan matanya mulai menyipit. Dua menit setelahnya, Soo Hyun berhasil pulas, mimpi mengambil seluruh atensi bersama kesadaran.

Jam selanjutnya yang mengalir, manajer Soo Hyun masuk ke dalam unit, dan melihat laki-laki itu-terbaring nyaman di atas sofa, kepalanya hampir jatuh ke bawah, kaki dengan angkuhnya berada di atas lengan sofa. Berbaring ala Soo Hyun.

"Kebiasaan, televisi yang menontonmu," gumam manajer yang lantas mematikan televisi, usai berhasil mendapatkan remot di bawah paha Soo Hyun.

Mengambil ponsel, manajer melepas remot dan menjauh sedikit dari posisi Soo Hyun demi menelepon seseorang. "Ya, sudah siap? Oke, tapi jangan sampai ketahuan media, nanti rusuh kalau mereka meliput, ini untuk pribadi saja."

•••

Pukul lima lewat lima belas menit, Soo Hyun terbangun dalam keadaan lampu mati. Segera beranjak guna menekan sakelar. Lampu berhasil menerangi ruangan tengah, dan suasananya masih sama. Kosong, sepi. Tiba-tiba, ada perasaan sedih bergelayut, padahal sudah tertidur cukup lama, semestinya Soo Hyun bisa sedikit menerima, 'kan?

Baru Soo Hyun melangkah arah kamar, suara bel berbunyi. Laki-laki itu memutar tubuh, urung merealisasi niatnya, dan memilih membuka pintu.

Kedua alis tebal Soo Hyun menyatu kala melihat Hongki berada di depan pintu, senyum lebar terpampang sempurna.

"Halo!" sapanya, lalu masuk begitu saja ke dalam unit Soo Hyun tanpa izin dulu.

Masih dalam keadaan bingung akan kedatangan Hongki-yang notabenenya kediaman si teman jauh untuk sampai ke sini, kehadiran Suzy, Jieun, Suli dan Ga In menambah gumpalan besar dalam kepala Soo Hyun. Empat perempuan cantik itu juga menampilkan senyum serupa Hongki barusan, kemudian masuk ke dalam unit dengan sedikit menabrak bahu Soo Hyun. Persis tingkah Hongki. Sementara Soo Hyun masih terpaku di tempat, hanya kepalanya yang memutar guna melihat sosok-sosok tak terduga.

Hongki menjelajah unit Soo Hyun layaknya tempat wisata, ia membuka kulkas dan memakan makanan di sana. Lain halnya Jieun dan Suzy, mereka duduk di sofa membawa canda tawa, yang juga terdengar dari Ga In bersama Suli. Entah mereka membahas apa.

"Soo Hyun-ah!"

Laki-laki itu menarik kepalanya, mengarah luar pintu. Terdapat Jun Ji Hyun dan manajer yang sedang memegang beberapa bungkusan.

"Noona?" Percayalah, suara itu spontan dari Soo Hyun.

"Wuaaah! Akhirnya ayam goreng datang juga. Saatnya pesta!" seru Hongki, ia cepat sekali berada di sisi Soo Hyun. Segera saja kedua tangannya membantu Ji Hyun membawa bungkusan usai sebelumnya melahap buru-buru camilan dari kulkas.

"Hei, kenapa kau kelihatan bingung begitu?" Sang manajer menepuk pundak Soo Hyun, dan menariknya masuk ke dalam.

"I-ini... maksudnya...."

"Selamat hari debut sepuluh tahun!" Kompak, semuanya berseru kalimat sama.

Ya, semuanya; suara mereka berbaur dari arah depan dan belakang. Bahkan para gadis yang tadi sedang duduk si sofa, menghadap Soo Hyun. Beruntung telinga laki-laki itu baik-baik saja setelahnya.

"Ayo, kita rayakan. Hongki, jangan lupa tutup pintu." Manajer Soo Hyun lantas memerintah Hongki yang kebetulan masih berada di belakang bersama Ji Hyun.

Soju dibuka, lalu diberikan pada satu per satu teman Soo Hyun yang memutari meja ruang tengah persegi panjang, setelahnya manajer mengangkat kaleng soju sendiri sambil berkata, "Eoseo, bersulang untuk kesuksesan Kim Soo Hyun."

Semua menyetujui termasuk bintang utama dalam perayaan, Soo Hyun mengangkat kaleng sojunya, lalu bersulang bersama seluruh teman-teman juga sang manajer. Kedua matanya menangkap Ji Hyun yang akan minum soju juga. Tanpa kata-kata, Soo Hyun mengambil kaleng soju Ji Hyun, lantas meminumnya.

Jun Ji Hyun terperangah atas tingkah Soo Hyun. "Ya kau, wae?"

"Ibu hamil tidak boleh minum soju. Noona sedang hamil 'kan? Itu artinya kau tidak boleh meminum ini." Soo Hyun menjelaskan, tidak peduli kalau Ji Hyun sedang memasang wajah ketus.

"Eoh, betul-betul... ibu hamil tidak boleh minum soju, Eonni." Suzy ikut bicara, membenarkan apa yang Soo Hyun bilang.

"Benarkah?" Ji Hyun menelan ludah, mencoba mengikhlaskan.

Hongki berceletuk kala Ji Hyun mengambil ayam goreng. "Aku rasa setelah anak Noona Ji Hyun lahir, dia akan mirip seperti Kim Soo Hyun. Tadi Noona kesal pada Soo Hyun, 'kan?"

Ji Hyun langsung melempar ayam goreng di tangannya arah Hongki, tapi laki-laki itu berhasil menangkap paha ayam dengan sigap.

"Aku tidak kesal, kok. Lagipula, saat bayiku lahir tentu akan mirip ayahnya atau aku!" Kini pun, Ji Hyun tidak bisa mengendalikan nada bicara yang terlanjur keras, walau niatnya tidak begitu.

"Tetapi, katanya jika ibu hamil kesal pada seseorang, anak yang lahir wajahnya akan mirip dengan orang yang dikesali itu." Hongki tak hentinya menyulut api kekesalan Ji Hyun, lalu memakan ayam hasil tangkapannya.

Soo Hyun tersenyum sesaat. "Tidak masalah mirip denganku, setidaknya aku tampan, jadi Noona akan mempunyai anak yang tampan atau cantik."

Jieun, Suli dan Ga In tidak bisa lagi menahan tawa akibat interaksi mereka.

"Dan sekarang aku rasa, saat bayi Eonni lahir akan mirip Lee Hongki. Baru saja Eonni kesal kepadanya." Suzy lagi, gadis ini. Tidak ada yang memihaknya, Ji Hyun jadi mendengkus kasar.

"Kalau mirip Hongki, itu pasti lucu. Menggemaskan." Jieun menambahkan, membuat Ji Hyun kian dongkol.

"Lucu apanya? Seram iya," tanggap Ji Hyun sarkas, lalu diikuti tawa lain kecuali Hongki yang meraba wajah sendiri.

Manajer Soo Hyun segera mengambil alih keadaan usai tawa yang cukup menghibur. "Nah, karena hari ini sepuluh tahun debutmu, apa yang kau harapkan?"

Soo Hyun yang diberi pertanyaan terdiam sejenak, sebelum satu kata terucap. "Terima kasih."

Harapannya, terima kasih? Sang manajer mulai penasaran akan kata Soo Hyun selanjutnya.

"Terima kasih telah membuat perayaan. Meluangkan waktu sibuk kalian, jauh-jauh ke mari hanya untukku, terima kasih." Soo Hyun kemudian menatap manajernya. "Terima kasih, ya."

Ada sirat mendalam dari pandangan Soo Hyun, seolah mengatakan beribu makna tak kasatmata.

"Aku bukan apa-apa tanpa kalian, tanpa manajer, tanpa penggemar yang mendukungku. Harapanku kedepannya, aku ingin semua ini membaik," kata Soo Hyun menyambungkan kalimat, kembali mengabsen satu per satu teman-temannya melalui mata. "Kalian tahu masalah yang sedang menimpaku 'kan? Aku ingin itu segera membaik."

"Maafkan aku," ucap manajer segera.

"Untuk?" Soo Hyun menatap sang manajer yang menunduk sesaat.

"Kemarin malam... mungkin aku menyakitimu terlalu dalam melalui kata. Aku tidak bermaksud membuatmu sakit, kau tahu aku juga sedih saat masalah ini menimpamu, 'kan? Tetapi, aku menjadi egois dengan mengatakan hal tidak pantas."

"Tidak semua orang bisa menerima saat aku dihadapi masalah seperti ini, sama seperti penggemarku, tidak apa, Manajer. Aku paham."

Suli berdiri, lantas pindah posisi di samping Soo Hyun. "Maafkan aku juga Soo Hyun, karena perkataanku di acara televisi waktu itu, membuat keadaan semakin buruk."

"Apa yang telah terjadi tidak perlu disesali, 'kan?" balas Soo Hyun, lalu mengangguk sekali tanda 'tidak apa-apa' darinya.

"Mungkin kita merasa bahwa kita melakukan yang terbaik. Kita telah melakukan hal yang benar menurut diri kita, tapi belum tentu menurut orang lain begitu. Pandangan setiap orang berbeda-beda. Kau telah melakukan yang terbaik Kim Soo Hyun, meski apa yang kau lakukan itu di mata orang-orang negatif.

"Aku memercayaimu, pasti ada alasan mengapa kau mengambil peran itu. Sebagai temanmu, aku bangga kepadamu." Itu perkataan yang keluar dari mulut Ji Hyun, dan reaksi Hongki sampai mengunyah pelan makanan di mulutnya sebelum berkata heboh-membuat kaget semua yang ada.

"Daebak! Aish, mengapa aku tidak terpikir perkataan itu? Ah, seharusnya saat aku ingin menyemangati Soo Hyun, aku mengatakan kalimat begituuuu...."

"Aku setuju, Eonni. Terpenting, Soo Hyun sudah melakukan semaksimal mungkin untuk filmnya," sela Ga In, mengabaikan Hongki yang menggebu-gebu.

"Uh, Noona... apa aku boleh minta tanda tanganmu? Perkataanmu tadi amat menyentuh." Hongki menyatukan kedua tangan, berwajah melas. Sayangnya tiada kertas dan pena.

"Minta tanda tangan Soo Hyun saja, dia aktor berbakat kita." Ji Hyun lalu melirik Soo Hyun yang masih terpaku.

"Benar! Setelah ini minta kertas dan bolpoin pada Soo Hyun," kata Hongki, dan Soo Hyun menyungging senyum. Teman-temannya ini ada-ada saja.

Namun, Soo Hyun senang atas kehadiran dan canda tawa yang mereka tularkan. Temanmu, adalah yang selalu ada untukmu, bahkan ketika kau sedang dalam masalah dan terjatuh. Itu ungkapan dari buku cerita yang selalu Soo Hyun ingat, dan sekarang menjadi pembuktian. Mereka tetap ada kendati dirinya sedang dalam masalah.

"Noona," panggil Soo Hyun, dalam keadaan yang riuh oleh suara Hongki dan tawa Suzy mendominasi. Ji Hyun memandang Soo Hyun. "Terima kasih atas ucapanmu tadi."

"Tidak perlu, aku mengatakan kebenaran."

Dalam hati, Soo Hyun tiada hentinya bersyukur. Keadaan mulai tenang, Hongki yang kelebihan energi kembali mengisi perut. Di sela keheningan, Soo Hyun mengambil ponsel dari meja dan menyalakan data internet. Pemberitahuan dari media sosial berlomba masuk, ucapan selamat banyak hadir daripada komentar buruk.

Senyum itu kian manis menghias wajah Soo Hyun. Walau dia tidak membalas satu per satu, Soo Hyun sungguh membaca postingan penggemar yang menandainya dari atas sampai akhir, dari bahasa beragam.

Kim Soo Hyun... merasa beruntung tidak ditinggalkan, masih banyak yang mendukungnya. Titik rendah, adalah awal dari seleksi orang-orang terdekat; bertahan atau pergi, dan seleksi diri; mau bangkit atau terus terpuruk.

.
.
.

Selesai ~

Publikasi pertama; 24 Juli 2017
Republish; Bogor, 24 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro