03. Work

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bipbipbipbip bipbipbip.

Plek.

Aku menarik dan melihat waktu yang ditunjukan di jam kecil itu. Masih banyak waktu sebelum waktu kerjaku. Saatnya bersiap, agar bisa menikmati waktu pagi.

Aku terdiam di semburan air shower. Entah mengapa berita mengenai para makhluk keramat itu kembali terngiang dikepalaku. Hal itu tidak akan terjadi padaku... kan?

Tidak-tidak. Aku tak boleh memikirkan itu. Sekarang harus bersiap sebelum akhirnya datang terlambat.

Setelah selesai aku menyiapkan barang bawaan yang akan aku bawa, tentu saja tidak banyak. Tak lupa kembali menyalakan televisi untuk mendengar berita sembari memasak sarapan seperti biasanya.

"Berita kali ini dimulainya dengan kabar mengenai penyerangan kembali dari negeri tetangga. Kabarnya mereka telah menyerang beberapa rumah di kota Diacres."

Eh?! Itukan... dekat... sini.

Aku menatap televisi tak percaya dan ternyata gambar yang ditampilkan adalah kota sebelah. Apakah mereka akan kemari?

"Dimohon untuk para warga di kota sekitarnya mohon berhati-hati dengan penyerangan selanjutnya."

Sebenarnya ada apa? Membuat orang tak tenang saja... Oh gosong!

"Lalu untuk cuaca hari ini diramalkan akan cerah seutuhnya, tetapi mohon berhati-hati dengan angin kencang yang berhembus dari arah barat."

Aku mematikan televisi, termenung sejenak. Walaupun semua itu tak ada hubungannya denganku, tetapi mengapa aku merasa tak tenang?

Aku menatap sarapan yang kini siap untuk dihidangkan. Apa daya diriku ini yang sedang tak ingin menyantap apapun. Aku putuskan untuk membawa makanan ini ke tempat kerja, memakannya saat keinginan makanku kembali muncul.

.........

Klek.

Aku meletakkan kunci rumah ini di kantung kecil di tas yang aku bawa sekarang. Perasaan tak tenang ini terus menerus menyantol di pikiranku. Semoga saja ini hanyalah orang iseng belaka yang mencari sensasi. Pengangan di tas aku eratkan mencoba membuyarkan segala pikiran negatif dengan langkah yang terus berjalan ke arah tangga.

"Revia?"

"Wuah!"

"Aah!"

"Huh.. oh... Dona?" tanyaku bingung.

Dona mengelus dadanya perlahan. "Ada apa denganmu? Mengapa pagi sekali? Lalu mengapa kau kaget?"

Aku menggeleng cepat. "Hanya ada beberapa yang aku pikirkan."

"Mengenai penyerangan mendadak itu?"

Aku mengangguk lemah lalu menunduk. Padahal bunda Elly menyuruhku untuk tetap kuat dan tegar.

Usapan pelan aku rasakan di bahuku, saat mengangkat wajahku dapat terlihat Dona tersenyum lembut. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."

Aku tertegun, serasa seperti semua beban mengenai berita tadi terhempas begitu saja. Senyumku mengembang, aku mengangguk kepalaku ceria.

Senyum Dona terlihat lebih lebar. "Mengapa kau tak memakai sayapmu untuk cepat menuju tempat kerjamu?"

Aku menggeleng. "Tidak perlu, hanya dengan lari sudah sampai dengan cepat. Aku pergi dulu, sebelum terlambat. Ngomong-ngomong terima kasih banyak," ucapku kembali tersenyum tetapi kini lebih lebar.

"Senang bisa membantu, hati-hati di jalan. Jangan sampai kau tersandung," kata Dona sambil menepuk pundakku pelan.

"Baik," seruku dan mulai berlari.

Di sepanjang perjalanan aku menyapa beberapa dari mereka yang mulai beraktifitas. Melihat senyum mereka dan betapa semangatnya mereka menyapaku membuat semangatku kembali naik.

Terima kasih semuanya.

.........

Aku mengganti bajuku dengan seragam yang ada di loker. Sempat aku terdiam melihat jaket yang terdapat logo tempat ini.

"Revia, ada apa?"

Aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Cindy melihatku bingung da khawatir.

"Tidak, mungkin aku masih sedikit mengantuk," kataku dengan tawa pelan sembari memakai jaket.

"Begitukah? Jarang sekali aku melihatmu melamun. Kau yakin sedang baik-baik saja?" tanya Cindy sambil menghampiri loker yang memang bersampingan denganku.

"Siapa yang dapat baik-baik saja mendengar berita yang diberitakan dua hari berturut-turut?" tanya Jeni yang tiba-tiba saja muncul.

Aku tertawa pelan.

"Begitu ya...? Tenang saja Revia! Aku akan melindungimu!" seru Cindy dengan gaya yang imut sukses membuatku tertawa.

"Hei, bagaimana denganku Cindy? Aku juga memerlukan perisai anginmu~"

"Petirmu jelas-jelas lebihlah hebat Jeni," kata Cindy dengan wajah datar.

"Wah jahatnya." Kami bertiga tertawa bersama sekaligus saling tunggu menunggu, karena tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.

Setelah itu kami bertiga bersiap untuk membuka tempat pariwisata ini. Menata barang-barang di tempat oleh-oleh yang memang handmade oleh sang pemilik, mendata ulang para hewan-hewan dan tumbuhan yang ada di sana, mengecek kamera pengawas di setiap sudut yang paling penting adalah di tempat uji nyali diadakan, membersihkan sekitar tempat itu sampai akhirnya waktu buka tiba.

Pengunjung memang tak seramai biasanya, tetapi kini kami kedatangan rombongan dari sekolah dari kota Shamny. Para murid menengah pertama itu terlihat kagum saat sampai di tempat ini. Semoga mereka menikmati tempat ini. Terlihat salah satu siswa menunjukkan wajah jeleknya sambil melihat sekeliling dengan bosan.

"Revia, sepertinya kita perlu mengeluarkan Ethan," bisik Airen sambil menyikutku pelan.

"Aku rasa begitu."

Tak berapa lama terbanglah seekor naga berukuran burung rajawali—ia telah mengecilkan dirinya sendiri, sampai yang terkecil—berwarna kuning kecoklatan. Kedatangannya—naga itu—membuat mata para murid terlihat berbinar-binar. Naga tersebut mendarat di lenganku yang telah terbungkus kain pelindung. Sebenarnya aku tak memerlukan kain ini, tetapi ini perintah sang manajer.

"Wah! Keren!"

"Cantiknya!"

"Salam kenal semuanya, namanya adalah Ethan." Kini yang merasa disebut langsung bersuara dengan bahasanya.

"Namanya keren!" seru seorang siswi.

"Benar, nama kakak saja tidak sekeren dia," aku mencolek Ethan yang berhasil ia elakkan.

Suara tawa datang dari anak-anak di depanku membuatku juga tertawa pelan. Aku mendekati anak yang tadi menampakkan wajah bosan—yang kini terlihat tertarik—dan mendekatkan Ethan padanya.

"Ingin memegangnya?"

"Boleh?" tatapannya yang girang itu mengarah padaku.

Dengan sekali anggukan dariku ia mengulurkan tangannya untuk mengelus Ethan. Karena sudah terbiasa dipegang oleh orang-orang asing, Ethan memberi reaksi positif yang membuat anak di depannya kegirangan.

"Dia dekat sekali dengan kakak." Aku menoleh ke salah satu siswa yang mengatakan hal itu.

Senyumku mengembang. "Iya, dari sekian banyaknya yang bekerja di sini, kakak yang paling dekat dengan Ethan."

"Mengapa?" tanyanya kembali.

"Hm... mungkin karena saat itu kakak yang menolongnya saat terluka. Tetapi tetap saja, untuk saling dekat memerlukan waktu." Aku tertawa dengan apa yang aku katakan.

Seperti mengiyakan, Ethan mengeluarkan suaranya.

Setelah cukup bermain dengan Ethan, mereka kembali melanjutkan kegiatan mereka di tempat ini. Sampai di wahana terakhir, yaitu uji nyali. Mereka akan naik di atas kereta sampai di tempat uji nyali itu berada. Jadi mereka tidak akan tersesat.

"Revia, tolong lihatkan mereka sampai di gua ya. Jeni, kau ikutlah bersama Revia," kata Mei yang menjadi pembimbing mereka selama di tempat pariwisata ini.

"Baik." Aku dan Jeni mengangguk mengerti, mengingat kembali berita yang terus tersiar dua hari ini.

Aku mengembangkan sayapku di depan para siswa—mau bagaimana lagi?—yang membuat suara terkesima dari masing-masing mulut mereka.

"Sayap kakak bagus."

Aku tertawa pelan. "Terima kasih, tetapi kekuatan kak Jeni lebih hebat," kataku sambil menepuk pundak Jeni yang hanya diam tak peduli.

"Baiklah anak-anak, kalian sudah mengetahui siapa yang akan masuk terlebih dulu bukan?"

"Iya." Jawaban serempak yang beberapa di sertai anggukan antusias.

"Bagus, nah siapa yang paling pertama ayo masuk." Pintu kereta kecil yang dapat diisi sampai enam orang itu terbuka, dengan tertib para siswa masuk dan sisanya berbaris rapi dibelakangnya.

Saat kereta itu berjalan, aku menggendong Jeni di punggungku dan mulai terbang mengikuti jalannya kereta itu. Aku terbang secara horizontal dengan Jeni yang duduk di atas punggungku.

"Aku merasa tak enak duduk di sini."

"Huh? Bukankah ini bukan pertama kalinya?" tanyaku tanpa melihatnya.

"Tetap saja..." Terdengar gerutuan kecil yang entah apa dikatakannya membuatku tertawa pelan.

Setelah kereta itu masuk ke dalam gua yang menandakan mereka telah masuk ke dalam ruang uji nyali, aku berbalik untuk kembali mengawasi kereta selanjutnya. Tiba-tiba saja angin kencang datang dan membuatku menubruk dinding di sebelahku.

"Maaf, apa kau tidak apa-apa?" tanyaku pada Jeni.

"Aku tidak apa-apa tetapi apa itu tadi?"

"Entahlah, ak-" Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, terlihat dua sosok bayangan mendekati kami.

"Siapa?" tanya Jeni, sedangkan aku hanya menatap kedua sosok itu.

Tak lama terlihatlah laki-laki dan perempuan yang saling menutup mulut mereka dengan kain. Perasaan takut langsung menjalar di setiap sendiku, untung saja aku tidak sedang berdiri dengan kedua kaki. Jika tidak dipastikan aku akan terjatuh sekarang juga.

.
.
.
.
.

Maapkan sayaaaa
Saya nggak biasa harus up tiap minggu. Karena kalo udah jadi pasti saya langsung up dan itu membuat saya upnya bener2 nggak tentu.

Maunya bikin terjadwal, eh malah lupa. Udah pergantian hari lagi... Maafkan saya :"v

Saya usahakan up tiap minggunya. Terima kasih sudah mampir~

-(21/05/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro