06. Out Place

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi karena inilah alasannya..." Igvin melihat sekelilingnya yang penuh dengan kios dan orang-orang yang berlalu-lalang.

Aku tertawa pelan. "Dengan begini pertanyaanmu beberapa hari yang lalu terjawab bukan?" tanyaku kembali menyusun barang dagangan.

Karena tidak ada balasan yang aku terima, aku meliriknya yang berada di tempat tas-tas di letakkan. Matanya terlihat berbinar-binar walau dengan wujud tringgiling itu. Hal itu membuatku kembali tertawa pelan.

"Apakah sudah selesai? Kita akan membuka kios sekarang," kata Melia dengan kedua tangan di pinggangnya puas.

"Di sini siap," kata Aulia.

"Di sini juga siap," kataku.

Setelah itu Melia berteriak untuk menarik perhatian pembeli. Bukan hanya barang saja yang kami tawarkan, tetapi juga brosur tempat pariwisata kami. Cukup banyak orang yang tertarik dengan boneka handmade ibu Nia, istri pemilik pariwisata tempat aku bekerja.

"Revia, Revia," panggil Felen dengan berbisik.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Lihat deh ke sana deh." Aku melihat arah yang ditunjuk oleh matanya. Terdapat beberapa siswi sekolah kota Centrum yang berjalan dengan membawa tas di tangannya. "Roknya pendek sekali bukan?" Pandanganku kini mengarah ke Felen yang terlihat tertarik.

"Walau berkata seperti itu kau ingin memakai rok sekolah itu bukan?" godaku.

Felen dengan cepat mengarahkan kepalanya kearahku lalu ia tersipu malu. Yah mau bagaimana lagi? Ia gadis 15 tahun yang sangat feminim. Berbeda denganku yang lebih tua setahun dari padanya.

"Eh! Dia!" Aku menatap Igvin bingung, ia menatap ke satu arah dengan ekpresi kaget. Pandanganku mengarah pada fokusnya dan terlihatlah dua siswa sekolah Centrum, salah satunya membiarkan seekor burung biru bertengger di bahunya. Satunya lagi... bukankah itu Virgilio?

"Ada apa?" bisik Felen bingung.

"Ah, ti-"

"Revia! Felen! Bisakah kalian membantu kesini?" tanya Aulia yang terlihat cukup kerepotan.

"Iya!" seruku dan Felen bersamaan, kami sama-sama berlari kecil ke arahnya.

......

Beberapa jam telah berlalu. Udara yang tadi terasa dingin sekarang mulai terasa panas. Bahkan Igvin yang tidak ada rencana membantu kini terpaksa harus membantu kami.

"Dia benar-benar multifungsi ya," kata Melia sembari menepuk pundak Igvin.

"Aku bukan benda!" seru Igvin kesal.

"Ayolah-ayolah, jangan malu-malu seperti itu," kata Melia jail dan tetap menepuk-nepuk pundak Igvin yang semakin keras.

"Siapa juga yang malu?!" tanya Igvin yang semakin kesal.

"Ngomong-ngomong karena kita telah di sini bagaimana jika kalian pergi ke tugu batu yang terkenal itu? Kalian berempat belum pernah kesana bukan? Aku yakin yang lainnya sedang berada di sana."

Aku, Aulia dan Felen saling menatap bingung. "Lainnya? Bukankah hanya kita berempat-lima dengannya-yang diminta berjualan?" tanya Aulia bingung.

Melia tersenyum manis. "Lihat saja ke sana." Perkataannya membuat kami bertiga kembali bertatapan bingung.

Dengan berbekal mulut dan pengetahuan seadanya, kami berjalan menuju tugu batu yang katanya untuk menghormati para pahlawan yang gugur belasan tahun yang lalu. Saat kami sudah mendekati tempat tujuan, terdengar suara isakan yang tertangkap oleh telinga kami. Kami saling bertatap untuk memastikan bukan hanya aku sendiri yang mendengarnya, lalu berjalan cepat menuju tujuan atau lebih tepatnya berlari kecil.

Terlihat beberapa anak yang menangis tersedu-sedu, ada juga yang saling berpelukan erat.

"Mole?" Seorang gadis menoleh dan menunjukan wajah merahnya karena menangis. "Mengapa kau ada di sini? Lalu... mengapa kalian menangis?" tanyaku menatap satu per satu wajah yang sangat aku kenal. Anak-anak dari panti asuhan, kami masuk di saat yang sama.

"Ayah... ibu... ada di sana..." ucap Miaca yang terisak-isak dengan sebelah tangannya menunjuk tugu batu yang tertulis banyak kata di sana.

Mole mengusap kepalanya lembut, matanya kembali mengeluarkan air mata. Aku ikut mengusap punggung Mole untuk menghiburnya barang sejenak. Pandanganku melihat Felen dan Aulia yang juga mencoba menghibur yang lainnya. Tak sengaja kedua mataku melihat Virgilio bersama temannya sedang menatap kemari.

"Maaf, apakah aku terlalu lama?" Aku menoleh dan mendapati bu Crystal berlari kecil kemari. Ia adalah pengurus panti asuhan yang sekarang.

"Sebenarnya ada apa?" tanya Aulia.

Bu Crystal menunjukkan ekspresi sedih. "Aku hanya ingin menunjukan tugu batu itu sebelum mereka menahannya lebih lama lagi. Begitu pula dengan kalian. Awalnya ibu berencana mengajak mereka ke tempat kalian tetapi kami melewati jalan ini terlebih dahulu akhirnya mereka tertarik dan seperti inilah sekarang."

Aku menatap Aulia dan Felen, begitu juga mereka. "Bu, lebih baik ibu membawa mereka kembali pulang saja. Mereka perlu menenangkan diri," kata Felen sedih.

Bu Crystal mengangguk lalu ia mengajak mereka pergi, begitu juga Mole. Kami melihat mereka pergi dengan perasaan sedih.

"Sebenarnya ada apa?" bisik Igvin bingung.

Aku menggeleng dengan tatapan masih kepada mereka. "Belum pernah aku kemari."

"Walaupun sering mengunjungi bukit itu?" Aku membalas perkataan Igvin dengan anggukan pelan.

"Bukankah itu Igvin?" Perhatianku kini teralih ke arah teman Virgilio. Terlihat asap kembali muncul dan lama-lama terlihat lelaki dengan rambut biru terang. Rambutnya panjang yang diikat satu. Gayanya seperti butler jika harus aku jelaskan.

"Hoh, Aquory. Lama tak berjumpa," kata Igvin dengan salah sebelah tangannya yang diangkat untuk menyapa.

"Siapa? Vibirus lagi?" tanyaku menatap Igvin dan Aquory bergantian.

"Yup!"

"Senang bertemu dengan anda," kata Aquory sambil menunduk hormat.

"O-oh, senang bertemu denganmu juga..." Aku ikut menunduk karena kaget.

"Re-Revia... kemari dan lihatlah ini..." kata Aulia tanpa melihat kearahku tetapi tangannya menunjuk ke tugu batu itu.

Aku berjalan mendekatinya dan dapat aku rasakan juga Igvin mengikutiku dari belakang. Saat mendekat dapat terlihat tulisan itu ternyata adalah nama yang di susun sedemikian rupa. Aku menatap Felen yang telah menutup wajahnya, kedua mata Aulia yang kini memerah menahan sesuatu yang ingin meledak. Felen terduduk lemas sembari terus terisak.

"Kau kenapa Felen?" tanyaku pelan sembari mengusap punggungnya.

Ia menggeleng. "Jangan pikirkan aku, coba cari di sana."

Perkataannya membuatku bingung, sangat bingung. Akhirnya aku melihat deretan nama itu. Lama-lama aku merasa deretan nama itu sangat tidak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Kini mataku berhenti bergerak saat menemukan kedua nama yang saling bertumpukan. Seketika mataku terasa panas, sesuatu ingin keluar, mulutku ingin berteriak tidak menerima hal ini tetapi aku merasakan kebahagiaan di saat yang sama.

"O-oi...! Ada apa?" tanya Igvin yang terdengar panik.

Aku menolehkan kepalaku dan terlihat ekspresi paniknya. Air mataku kembali keluar, kepalaku aku senderkan di dadanya. Sangat aku rasakan salah tingkahnya.

Author POV

"Begitu..." Igvin terdiam. Walau Revia berbisik, ia dapat mendengarnya dengan jelas. "Mereka... telah... tiada..." terdengar isakan Revia yang mengiringi perkataannya.

Tangan Igvin kini ia letakkan di kepala Revia. "Mereka telah mati secara terhormat." Revia mengangguk dengan kedua tangannya mengepal ujung jaketnya.

Virgilio mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Ia hanya dapat terdiam melihat Revia dan Igvin terlihat sangat akrab.

.
.
.
.
.
.

Sesuai janji, ada dua. Kalau ada yang mau spam saya silahkan atuh :v

Nggak biasa dengan sesuatu yang sesuai jadwal. Ditambah lagi libur, leha2 dah maunya v:

-(11/06/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro