16. Lost Pieces

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang anak laki-laki menatap kosong sungai di depannya. Tiba-tiba suara semak-semak membuatnya menoleh dan muncul seorang gadis sekitar umurnya.

Mereka saling bertatapan selama beberapa detik tanpa bergerak.

"Siapa kau?" tanya gadis itu.

Anak laki-laki itu hanya diam sambil melihatnya.

"Namamu siapa?" tanya gadis itu lagi.

Anak laki-laki itu tetap diam, bahkan tidak berkutik.

"Aku Revia."

"Virgilio," kata anak laki-laki itu pada akhirnya.

.....

Kedua tangan mungil itu saling bergandengan dengan Revia yang menarik Virgilio. Tak lama sampailah mereka berdua di sebuah rumah sederhana dengan balkon di bagian belakang ruah, sekaligus menghubungkan dengan hutan di dekat sana.

Seorang wanita yang merupakan ibu Revia, Latice menyadari kembalinya Revia dengan seorang anak laki-laki di belakangnya.

"Revia, siapa itu?" tanya Latice sambil mendekati Revia.

"Virgilio!" kata Revia yang mendekati seruan.

"Salam kenal Virgilio," sapa Latice sambil tersenyum yang di balas anggukan dari Virgilio. "Kalian bertemu di dalam hutan?" tanya Laice lagi kepada anaknya.

"Iya. Dia berdiri di dekat sungai," kata Revia sambil menunjuk ke belakangnya.

Latice melihat ke arah Virgilio. "Mengapa kau bisa sampai di hutan?" tanya Latice tetapi Virgilio mengalihkan wajahnya dari Latice. Hal itu membuat Latice menghembuskan nafasnya pasrah.

"Wah, ada apa ini?" tanya ayah Revia, Kurtez yang baru saja pulang.

Revia menunjukkan senyum lebarnya dan langsung berlari menghampiri ayahnya. Kurtez langsung bersiap mengangkap Revia dan mengendong purtrinya itu.

"Ini Virgilio dan Revia bertemu dengannya di hutan," kata Latice yang memegang kedua pundak Virgilio yang langsung kaku di tempatnya.

Kurtez melihat Virgilio bingung lalu melihat putrinya. "Revia bertemu dengannya lalu langsung menarik ke sini huh?"

"Iya! Revia yang menarik Virgilio ke sini!" seru Revia semangat.

"Wah kecil-kecil sudah nyulik anak orang aja, sini ayah kasih hukuman ya," kata Kurtez yang langsung menggelitiki Revia yang membuat Revia menjerit geli.

Latice melihat Virgilio yang menyaksikan kegiatan anak-ayah itu dalam diam. "Ayo masuklah, di luar semakin dingin," kata Latice dengan senyuman.

Virgilio melihat Latice sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkan wanita itu mendorongnya pelan masuk ke dalam rumah.

Di dalam Revia mengajak Virgilio bermain permainan sederhana yang di lakukan di dalam rumah (anggep aja kayak bekel, congklak, dll). Bahkan Revia tanpa malu menunjukkan buku cerita kesukaannya dan bergaya ala putri di depan Virgilio.

Revia menunjukkan aksi memanjatnya di dalam rumah yang berhasil membuat amarah datang dari Latice. Tanpa sadar senyum tipis di tunjukkan oleh Virgilio. Kurtez juga ikut bermain dengan kedua anak itu sampai makan malam.

Mereka berempat akhirnya menikmati makan malam yang dimasak oleh Latice. Kurtez mulai menceritakan pengalaman saat bekerja yang membuat Revia terlihat sangat menghayati cerita Kurtez.

Bahkan Virgilio terlihat kagum dengan apa yang di ceritakan Kurtez. Latice yang melihat hal itu tertawa pelan, anak yang sedari tadi cuek kini menampakkan sisi anak seumurannya.

"Ngomong-ngomong Virgilio," panggil Latice yang membuat ketiga orang itu menoleh kepadanya sekaligus. "Dimana rumahmu?"

Virgilio kembali menunduk. Latice dan Kurtez saling bertatapan sedih.

"Bagaimana jika orang rumahmu khawatir jika sampai selarut ini kau tidak kembali?" tanya Kurtez sendu.

"Tidak akan ada yang peduli," kata Virgilio yang membuat Kurtez dan Latice tersentak kaget.

Pikiran mereka mulai memikirkan apa yang membuat anak yang seharusnya tidak memikirkan beban dapat berkata seperti itu.

"Revia peduli!" seru Revia yang memecahkan keheningan di tempat itu.

Baik Virgilio atau pun Latice dan Kurtez melihat Revia kaget. Wajah Revia yang seperti ingin menangis.

"Revia sangat, sangat peduli sama Virgilio!" seru Revia dengan air mata yang terbendung di matanya. "Kalau Virgilio hilang, Revia cari! Kalau Virgilio luka, Revia obati! Kalau Virgilio kesepian, Revia temenin!" seru Revia yang sudah berurai air mata.

Virgilio yang melihat itu merasa mulutnya kaku tetapi satu pertanyaan lolos dari bibirnya. "Kenapa?"

"Karena Virgilio adalah teman Revia!" seru Revia yang sukses membuat air mata juga keluar dari mata Virgilio.

Perasaan bangga Latice dan Kurtez melihat putri kecilnya kini bisa mengatakan hal yang tidak bisa di pikirkannya.

"Aku boleh ikut nangis?" bisik Kurtez jail ke telinga Latice.

Latice langsung menyikut Kurtez tanpa melihat bagian yang terkena sikutannya. "Cengeng," bisik Latice yang di balas tawa kecil.

Kedua anak di depan mereka kini sudah mulai tenang. Tangan mungil mereka mulai mengusap wajah mereka. Latice dan Kurtez mulai berdiri dan mengambil sapu tangan untuk mengelap wajah kedua anak itu.

"Virgilio," panggil Revia yang membuat semua aktivitas selain terisak berhenti. "Boleh Revia panggil Leo?" tanya Revia yang membuat kedua orang tuanya kaget.

"Tu-tunggu Revia bukankah itu jauh dari nama--"

"Iya." Senyuman tulus Virgilio membuat Kurtez dan Latice terdiam.

Revia menunjukkan senyum lebarnya. Saat itulah Latice dan Kurtez tertawa pasrah lalu membersihkan wajah kedua anak itu. Setelah makan mereka tertidur pulas dengan tangan yang bergandengan.

Kurtez menutup pintu kamar Revia dengan senyuman. "Damai sekali mereka. Jadi ingin kembali kecil."

"Asal bicara aja, kalau kamu kembali kecil bagaimana Revia bisa ada?" tanya Latice kesal.

"Baik, baik, aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong kamu masih mau bekerja Latice?" tanya Kurtez.

"Iya, masih ada obat yang ingin aku periksa lebih dalam," kata Latice sambil menutup matanya lelah.

"Baiklah kalau sudah lelah jangan di paksa ya," kata Kurtez yang memeluk Latice.

"Iya, selamat tidur untukmu," kata Latice yang membalas pelukan Kurtez.

....

Tangan kecil itu menyibak daun yang cukup besar untuknya. Saat melihat sebuah punggung kecil ia menghembuskan nafasnya lega.

"Ketemu, Revia."

Yang di panggil kini menoleh dan memperlihatkan wajahnya yang menangis. "Leo," panggilnya sedih.

Leo atau Virgilio duduk di sebelahnya. "Apa kau tidak apa-apa?" tanya Virgilio.

"Kaki Revia nggak bisa gerak," kata Revia dengan berurai air mata sambil memukul-mukul kakinya.

tangan Virgilio menahan tangan Revia. "Memukul tidak akan membuat kaki bergerak."

"Bisa kok. Kayak di filem-filem," kata Revia dengan wajah polos.

"Apa yang kau tonton Revia?" tanya Virgilio dengan alis yang menurun ke bawah.

"Nggak tau," kata Revia sambil berpikir.

Keheningan terjadi diantara mereka tetapi di usik oleh suara semak-semak. Air mata Revia semakin turun dengan deras.

Virgilio menggenggam tangan Revia. "Tenanglah, aku ada di sini," kata Virgilio.

Revia menatap Virgilio sejenak sebelum akhirnya tersenyum lebar. Karena langit semakin gelap Virgilio menggendong Revia agar lebih cepat sampai di rumah Revia.

Revia tertidur di punggung Virgilio saat di jalan. Sesampai mereka sampai di rumah Revia, kedua orang tua Revia menyambut dengan perasaan panik.

....

"Leo akan pergi?" tanya Revia dengan wajah ingin menangis melihat kedua orang tua Virgilio yang sudah ada di depan rumah mereka.

"Revia, kau tidak boleh menahan Virgilio lebih lama lagi. Kedua orang tuanya sudah datang menjemputnya," kata Kurtez sambil mengusap perlahan bahu putrinya.

Revia menundukkan kepalanya sambil mengangguk perlahan. Kedua tangannya terkepal menahan keinginan untuk memberontak.

"Kenapa kau seperti itu Revia? Bukankah kalian masih bisa bermain lagi nantinya?" tanya Latice dengan senyum jail.

"Benarkah?" tanya Revia sambil melihat ibunya. Matanya kini berganti melihat Virgilio yang masih berdiri di depannya. "Leo akan berkunjung?" tanya Revia penuh harap.

Virgilio menatap Revia sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. Revia kegirangan dan langsung memeluk Virgilio erat.

"Revia akan menantikan Leo sampai kapanpun!" seru Revia senang setelah melepaskan pelukan mereka.

Virgilio tersenyum lalu mengangguk tanpa mengetahui bahwa kedua orang tua Virgilio kaget melihat anaknya tersenyum.

Mereka saling melambai sampai mereka berdua tak bisa lagi melihat sosok satu sama lain. Sebuah harapan kecil itu membutuhkan kesabaran yang sangat besar agar dapat bertemu kembali.

....
..
....

Virgilio POV

Kedua mataku terbuka, memperlihatkan kamar di asrama sekolah. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh di dekat mataku yang ternyata adalah air mata.

Sudah berapa lama aku tidak menangis?

Terakhir kali aku menangis saat... kapan?

Aku pernah menangis untuk seseorang tetapi siapa?

Mengapa ada perasaan bahwa aku telah kehilangan seseorang untuk yang kedua kalinya?

"Master~ loh, kau menangis?"

Aku langsung menghapus air mataku dengan cepat lalu melihat lelaki berambut api. "Apa?"

"Aku hanya meminta sarapan. Kenapa kau menangis?" tanyanya bingung, sepertinya ia sedikit khawatir.

"Buatlah sendiri." Aku beranjak dari kasur dan melewatinya yang kebingungan.

"Apa?! Kok bisa sih aku punya master seperti ini?! Dan juga kau mengabaikan pertanyaanku!" seru lelaki api yang diiringi suara hentakan.

Setelah selesai bersiap, aku dan si bocah api ini berjalan menuju gerbang sekolah. Hari ini di liburkan karena serangan kemarin.

Di kota sekarang sedikit lebih sepi karena banyak yang pergi mengungsi ke tempat lain. Aku hanya melangkah melihat si bocah api terlihat kegirangan.

"Leo."

Langkahku seketika terhenti.

"Master? Ada apa?" tanya si bocah api.

"Tidak." Itu bukanlah aku. Namaku bukanlah--

"Leo!" Tanganku digenggam seseorang yang membuatku kembali berhenti melangkah.

Aku berbalik dan menemukan seorang gadis yang sepertinya mencoba menenangkan nafas yang menggebu-gebu. Mengapa wajah ini tidak asing?

"Leo! Aku minta maaf!"

Untuk apa?

"Maaf nona, namanya bukanlah Leo."

"Aku tahu tapi... tunggu kau tidak ingat denganku?" tanya gadis ini dengan raut wajah sedih. "Igvin juga?"

Aku menatapnya kaget. Bahkan si bocah api ini?

"Kenapa nona mengetahui namaku?" tanya bocah api sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Kalian... kalian benar-benar tidak ingat?" Di matanya mulai membendung air. "Ini aku Revia! Kalian tidak mengingatku?!"

"Revia?" Entah mengapa nama itu sama sekali tidaklah asing.

"Iya Leo! Ini aku Revia! Maaf aku malah melupakanmu." Ia melihatku sebelum akhirnya air matanya turun menuju pipinya. "Begitu..."

Apa?

"Begitu rupanya." Ia menundukkan kepala dan terlihat dengan jelas air matanya turun mengenai tanah.

Perasaan sakit apa ini?

Tiba-tiba saja ia berputar dan berlari dengan cepat. Sebagian diriku ingin mengejarnya tetapi entah mengapa kakiku tak ingin bergerak.

Sebenarnya ada apa ini?

.
.
.
.
.

SEDIIIIIH!!!

Yang masih tidak mengerti, tulisan yang saya cetak miring adalah masa lalu Revia dan Virgilio yang seakan-akan di kirim kembali lewat mimpi. Untuk kasus Virgilio, masa lalunya itu seakan-akan hanya bunga tidur yang hilang saat membuka mata.

Ya saya tau saya kejam :")

Tapi kalau nggak gini cerita nggak bisa berjalan!!!? ><

Terima kasih ya yang udah nungguin ehehehe.... Untuk selanjutnya adalah point of view dari Revia.

Doakan tugas saya nggak banyak :v

-(30/11/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro