31. Memories

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Info: Karena malas menyebutnya "makhluk ini", makhluk itu", "sang makhluk", dsb, jadi saya sebut aja Minotaur.

Bagi yang tidak tahu, Minotaur adalah makhluk dalam mitologi yunani yang mempunyai kepala banteng dengan badan manusia. Walau pun begitu, dalam illustrasinya ada juga yang memakai kaki hewan herbivora. Yang masih kepo boleh buka gugel.

Baik saat menikmati cerita yang mulai nyelekit-nyelekit ini~

........

Beberapa menit sebelumnya.

Virgilio menatap meja yang sedang ia bersihkan dengan kain, entah yang keberapa kalinya. Pikirannya terus melayang mengenai Revia, siapa sebenarnya gadis itu yang berhasil mengacak-acak pikiran dan perhatiannya? Bahkan saat ia berusaha mencari lebih jauh mengenai Revia di dalam pikirannya sendiri, seakan-akan ada yang menahannya. Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul, apa lagi ia merasa khawatir yang sangat mendalam mendengar bahwa Revia akan hadapan dengan kehancuran.

Revia terlihat asing tetapi membuatnya rindu akan sesuatu yang lalu.

"Hei master!" panggil Igvin malas. Akhirnya Virgilio menoleh ke arah Igvin. "Apa sih yang ada di pikiranmu? Mejanya sampai hampir terkikis sempurna karena sudah kamu lap beribu-ribu kali," kata Igvin yang kini ekspresinya berubah menjadi kesal.

Virgilio mengalihkan pandangannya ke meja yang ia lap dan membenarkan perkataan Igvin dalam hati.

"Cih, dicuekin lagi nih?" tanya Igvin kesal.

"Hei," panggil Virgilio saat Igvin baru saja mau beranjak. "Apa pemikiranmu mengenai Revia?" tanya Virgilio yang kembali melihat Igvin yang menatapnya bingung.

"Hm, hm. Dia gadis yang aneh, tetapi entah kenapa aku merasakan ada sesuatu mengenai gadis itu. Seperti aku pernah mengenalnya dan instingku selalu merasa harus menghormatinya, seakan-akan dia adalah partner yang aku pilih," kata Igvin yang terus menggerakkan kepalanya setiap 3-4 detik. "Apa itu yang dari tadi kamu pikirkan?" tanya Igvin dengan ekspresi horor. Selama ini ia selalu mengira bahwa Virgilio penyuka diri sendiri karena tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun pada wanita yang paling cantik sampai imut, dari lelaki yang paling imut sampai yang paling kekar sekali pun.

"Iya, pikiranku selalu mengatakan ada yang lain mengenai Revia," kata Virgilio yang menatap meja di bawahnya dengan sedih.

Igvin terbatu di tempatnya. Bahkan ini pertama kalinya mereka bisa berbicara nyambung ditambah Virgilio yang meng-iya-kan perkataannya. Igvin hanya bisa mengganti ekspresinya menjadi seperti melihat hantu.

"Kau itu kenapa sih?" tanya Virgilio yang menahan tidak merajam Igvin dengan berjuta-juta jarum es.

"Tidak, habisnya--"

Perkataan Igvin terhenti karena goncangan besar dari pijakan mereka. Bahkan para pelanggan yang awalnya menikmati hidangan kini melihat sekeliling mereka panik. Banyak yang keluar dari tempat itu, bersamaan dengan Taka, Virgilio, Igvin, dan Ethan.

"Apa itu?!" tunjuk seseorang ke arah langit. Ada siluet makhluk yang tidak dapat mereka jelaskan berwarna coklat.

"Kak Revia?!" seru Taka yang membuat mereka semua kaget.

Ethan langsung saja berlari dan berubah menjadi Naga setelah beberapa langkah. Kedua sayap ia kepakkan keras-keras, sembari menghindari bangunan-bangunan. Baru beberapa detik setelah goncangan, siluet itu langsung meluncur ke tanah hingga menghasilkan debuman keras hingga membuat tanah kembali bergoncang.

"Tidak, tidak, REVIA!!" Virgilio langsung berlari menyusul Ethan yang telah terbang begitu jauh. Virgilio mengubah pijakannya menjadi es dan dataran yang merendah itu membuatnya bisa bergerak lebih cepat.

"Eh?! Anu, Taka, lebih baik kau meminta prajurit menggiring masyarakat ke daerah aman. Aku akan menyusul mereka, sisanya laksanakan sesuai perintah Raja," kata Igvin yang berusaha setenang mungkin. "Dasar master tidak berperasaan!" gerutu Igvin sebelum ia merubah wujudnya menjadi tringgiling dan berputar, menyusul Ethan dan Virgilio.

Taka melakukan apa yang dikatakan Igvin, segera ia meminta masyarakat tidak panik dan berkumpul di suatu tempat sampai ia menemukan prajurit istana yang akan menuntun mereka ke tempat yang dirasa lebih aman. Myron yang ingin berlari dan menolong Revia ditahan oleh ayahnya agar Myron lebih aman, jika bergerak bersama-sama dengan pasukan istana.

Di sisi lain Virgilio hanya memikirkan keselamatan Revia hingga akhirnya sebuah rantai yang dikunci rapat dengan gembok itu hancur. Virgilio mengingat semuanya. Ekspresinya yang tegang kini terdiam mengingat segala ingatan yang sebelumnya terkunci dengan sengaja. Rahangnya mengeras, air matanya sudah keluar dengan deras. Senyuman yang seharusnya ia lindungi, tangan yang seharusnya ia genggam kini terlepas tanpa ia mengeratkan pegangannya.

Kekesalan, kemarahan, kepanikan, kini berkumpul menjadi satu hingga akhirnya membuat dirinya mendorong agar bisa sampai lebih cepat ke tempat Revia. Igvin yang berada di belakangnya merasa hampir mencapai Virgilio yang sempat memelan tiba-tiba, kini menggerutu karena Virgilio langsung melaju semakin cepat.

....

Minotaur mengeluarkan genggaman tangannya dari tanah, tetapi tiba-tiba saja ada api yang membakar tangannya. Dengan cepat ia menggerak-gerakkan tangannya itu dan tidak sengaja membuka kepalan tangannya. Revia terjatuh tetapi ia bisa mendarat dengan sempurna. Kedua sayapnya tidak bisa lagi ia sembunyikan karena terdapat luka yang cukup berat di punggungnya.

Revia berhasil menggunakan kartu sihir yang bisa membuatnya menjadi batu sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah. Kedua sisi lengannya menunjukkan memar karena genggaman minotaur. Bahkan Revia tidak lagi bisa berdiri dengan sempurna dengan nafas yang tersenggal-senggal.

Di lingkungan terbuka ini ia bisa melihat minotaur tingginya sampai empat kali lipat dari tinggi Revia sendiri. Melihat hal itu membuat Revia tertawa miris, seharusnya ia sudah membekali diri jika memang musuhnya akan sebesar itu.

"Menarik, kamu masih bisa bertahan ya gadis mungil," kata Elizar yang muncul, menembus badan minotaur dengan wajah mengejek. "Mari kita lihat apakah kau bisa menghindari selanjutnya," kata Elizar yang kembali bersembunyi di dalam minotaur.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Revia menggeram pelan. Pikirannya terus bergerak mencari cara untuk mengalahkan makhluk di depannya dengan batasan kartu yang ia punya dan sayap yang sedikit cedera tetapi memberikan dampak yang luar biasa. Tak lama terlihatlah sebuah kapak di tangan minotaur membuat Revia ingin mengumpat.

Hal yang pertama kali bisa di pikirkan Revia adalah terbang ke atas untuk mencoba menyerang kepala minotaur, setidaknya ia bisa membuat makhluk itu buta? Tetapi baru tengah jalan kapak itu melayang ke arah Revia.

"CLYPEUS!!"

Kapak itu seakan-akan menabrak sesuatu yang tidak bisa dilihat, sedangkan Revia seperti menahan sesuatu diantara dirinya dan kapak besar. Di sisi lain, Revia masih menahan kesakitan yang berada di punggungnya. Revia mendorong dengan cepat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata itu hingga membuat kapak besar itu terdorong.

"Soundwave!!" Sebuah gelombang-gelombang suara yang terlihat berbentuk lingkaran keluar dari mulut Revia.

Gelombang suara itu langsung mengenai kepala makhluk besar itu dan membuatnya sedikit pusing karena terkena serangan bertubi-tubi. Elizar yang berada di dalam minotaur merasa kesal dan memukul-mukul tubuh makhluk itu untuk membuatnya sadar. Revia memakai waktu itu untuk membalas kembali.

"Ignis loquitur." Revia menarik nafasnya lalu menghembuskannya kencang hingga mengenai kepala makhluk itu.

Tentu saja sebagian dirinya berharap itu menjadi akhir, tetapi semua tidak akan selalu berjalan dengan baik. Revia terbang merendah, berpikir untuk menghindari suara amukan tetapi itu pilihan yang salah. Sebuah kapak langsung melayang ke arah Revia dengan tiba-tiba.

"Defensionem lapis!!" Sebelah kiri tubuh Revia berubah menjadi batu tetapi tubuh Revia tetap terpental ke arah kanan.

Tubuh Revia terkena beberapa pohon karena saat terkena serangan, Revia hanya berpikir melindungi bagian tubuh yang akan terkena serangan agar tidak terbelah menjadi dua. Tetapi ia tidak berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat sudah mendarat di tanah dengan posisi yang tidak bagus, Revia langsung berdiri tetapi saat itu juga ia merasakan ngilu yang hebat di sisi kiri tubuh.

Saat menoleh ke belakang, sayap kirinya kini patah menjadi dua bagian, dengan bagian atas yang kini terkulai lemah. Terlihat pula bercak-bercak kemerahan menghiasi sayap putihnya. Dengan susah payah Revia berdiri dengan sebelah tubuh yang merasakan ngilu luar biasa sampai ke dalam tulangnya. Ia hanya berpikir untuk menyelesaikan ini, sebelum semuanya menjadi lebih parah.

Semua luka-luka dan memarnya ia abaikan dengan memikirkan cara untuk mengalahkan minotaur yang kini sudah bisa melihat dengan baik, hanya menanggalkan beberapa bulu-bulu gosong yang tidak rapi. Kedua mata merah itu berhasil menemukan Revia yang berdiri dengan susah payah. Baru saja tangan besar itu bergerak ke arah Revia, sesuatu menggigitnya.

"Ethan!" panggil Revia tidak percaya.

Besar Ethan kira-kira setengah dari makhluk itu. Makhluk itu langsung menggoyangkan tangan yang digigit dengan kuat dan melayangkan kapaknya. Ethan dengan cepat menghindar dan menjadi penengah diantara Revia dan makhluk itu.

"GRAAAAA!" seru Ethan seakan-akan memarahi makhluk itu.

Ethan menggerakan ekornya mengelilingi Revia, seakan-akan melindungi Revia jika ada makhluk lain ingin menyerang orang yang ia sayangi. Revia ingin melemaskan semua tubuhnya tetapi itu tidak boleh terjadi, Revia mengelus ekor Ethan di sampingnya.

"Terima kasih Ethan," bisik Revia dengan senyuman. Tidak peduli didengar atau pun tidak, Revia merasa aman jika ada seseorang disampingnya, atau di depannya.

Makhluk itu kembali menyerang, kini ia menunduk, ingin menyerang menggunakan tanduknya. Ethan kembali menggeram dengan suara keras,  sebelum makhluk itu terjatuh dan tertekan di atas tanah. Ini pertama kalinya Revia melihat kekuatan Ethan yang selama ini bertingkah imut di depannya. Karena ini pertama kalinya Ethan merasa marah dan tidak terima dengan apa yang ia lihat di depan matanya.

Tidak ada ekspresi apa pun dari minotaur yang tertekan hingga membuat tanah retak, tetapi tidak lama ia kembali bangkit dengan bantuan kapaknya. Ethan menggeram, ia melangkah mendekati minotaur lalu menggigit bahu besar itu dengan kuku-kukunya yang menancap kuat ke tubuh makhluk itu. Sepertinya sihir Ethan juga menghilang bersamaan saat gigi Ethan sudah mencengkram kuat bahu besar.

Minotaur langsung memukul Ethan berkali-kali, ingin melepaskan diri dari Ethan yang memeluknya kuat. Karena merasa tangan kosong tidak membuat Ethan bergeser, minotaur mulai melayangkan kapaknya. Awalnya tidak terkena apa pun hingga akhirnya mengenai sayap Ethan yang sekaligus meloloskan gigitan di bahunya karena Ethan berteriak kesakitan. Sayap Ethan terjatuh di depan Revia yang berlutut menahan sakit dari sayapnya.

Mata Revia meyaksikan Ethan yang masih bertarung dengan minotaur itu walau tempat patahan sayapnya mengeluarkan darah yang terus mengalir. Revia merasa malu pada dirinya sendiri karena memilih untuk diam di tempatnya. Tangannya mengambil kartu secara acak dari tas pinggangnya. Ia membuang dua kartu serangan yang tidak bisa lagi ia pakai dan menyusun rencana dengan melihat kartu-kartu di depannya.

"GRAAA!!"

Revia menikan kepalanya dan melihat minotaur memegang sebelah sayap Ethan yang masih tersambung di tubuh dan membanting Ethan dengan cepat ke atas tanah. Akibatnya guncangan kembali terjadi di tanah yang ia pijak. Akal sehat Revia seakan-akan terputus detik itu juga.

"Punctum metallum!!" seru Revia yang memegang tanah di bawahnya.

Seketika muncullah logam-logam dari dalam tanah menusuk minotaur sampai menembus tubuhnya. Revia terbatuk dan mengeluarkan darah di waktu yang sama. Tubuhnya hampir tidak kuat. Sihir yang berkurang dan perasaan ngilu karena sayapnya patah menjadi beban untuk tubuhnya yang belum siap menghadapi hal itu. Dalam beberapa detik minotaur itu tidak bergerak tetapi detik berikutnya minotaur berhasil menggerakkan badannya dan mematahkan logam-logam yang ada di tubuhnya, ada juga logam-logam yang berhasil lepas dari tubuhnya.

Revia membelalakkan kedua matanya tidak percaya. Pikirannya berkata makhluk besar di depannya bukanlah makhluk hidup, melainkan makhluk buatan hingga luka fisik tidak berarti apa pun baginya walau cairan merah keluar setiap ia terluka. Biar pun begitu, Revia tidak tahu kata menyerah.

"Tribulis ficus!"

Tanaman berduri melingkari kaki minotaur yang langsung menggerakan kedua kakinya tetapi tanaman itu sudah mengikat kuat sampai ke bawah tanah. Revia bersyukur ia sempatkan diri untuk membaca dan menghafal beberapa kartu sebelum berangkat sebelumnya. Tanaman itu bukan hanya berduri, tetapi juga beracun walau tidak mematikan minotaur, setidaknya bisa menahan sedikit pergerakan.

Revia mengunakan kartu transparantnya dan berlari mengelilingi minotaur yang masih sibuk membebaskan kakinya. Sembari berlari, ia merapalkan sihir peledak yang terus-terusan ia lempar beberapa kali ke arah minotaur. Walau tidak mematikan, itu cukup menganggu hingga akhirnya minotaur memilih untuk mengayunkan kapaknya ke sembarang tanah. Untung saja Revia telah melewati tanah yang dihancurkan oleh minotaur, hingga ia lolos dari maut.

"Insulsus venti." Angin-angin muncul dari arah Revia menuju minotaur yang mengakibatkan beberapa luka yang menggores tubuh minotaur.

Angin itu juga berhasil membuat minotaur bergerak undur beberapa langkah. Tetapi Revia sudah kehabisan akal apa saja yang harus ia lakukan, sedari tadi ia hanya menggerakan tubuhnya sesuai pemikirannya saat itu juga.

"Hebat sekali kau gadis kecil, tetapi ini akhir untukmu," kata Elizar yang kembali menampakkan dirinya dari dalam minotaur yang sudah berdiri dengan baik.

Revia hanya bisa terdiam saat tangan besar itu langsung mencengkram tubuhnya dan beberapa daun dan ranting ikut terbawa. Revia berusaha meronta, kepalanya kosong, tubuhnya berteriak kesakitan, tidak ada yang terpikirkan saat ini.

"Dulu, aku pernah bertemu dengan seseorang yang mirip dengamu," kata Elizar yang mendekati Revia. "Kalian mempunyai sihir yang sama." Revia langsung menatap Elizar yang masih menempel di tubuh minotaur. "Kalau saja ia tidak terus-terusan cerewet pasti ia masih bisa melihat anaknya yang katanya baru lahir. Coba saja ia menutup mulutnya itu, pasti aku tidak akan mengetahui kelemahan kalian bukan?" tanya Elizar yang memasang senyum sinis yang lebar.

Revia membelalakkan kedua matanya, belum ada kata yang keluar, sebelah tangan kembali meraih Revia.

Kretek!

Tak!

"A-AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKK!!!" suara Revia melengking tajam setelah sebelah sayapnya diremas dan lepas dari tubuhnya.

Perasaan sakit yang menjalar ujung kaki sampai ke ubun-ubun, perasaan mati rasa di sebelah tubuhnya karena perasaan ngilu yang lebih menggila dibandingkan sebelumnya. Air mata yang terus mengalir dan tenggorokan yang perih tidak menenangkan apa pun. Datang perasaan ingin mengakhiri segalanya saat itu juga.

"REVIA!!"

Dengan pandangan mata yang mulai memburam dan gelap, Revia menolehkan kepalanya perlahan. Melihat seseorang yang menatapnya dengan tatapan hohor.

"Leo," panggil Revia serak.

"GRAAAAAA!!!!"

.
.
.
.
.
.

Ayo kita teriak bareng-bareng.

REVIAAAA!!!!! TIDAAAAAAAAK!!!!!

Hue hu!! *ngusap air mata* Saya nggak nangis. *ngusap lagi* Saya nggak nangis!!! Saya kuat! Saya kuat kok ngetiknya!!! Saya kuat kok!! HUEEEEE!!!

Ini dendam saya kepada kalian, jadi kalian akan merasakan kesakitan saya dengan membuat chap ini nanggung :"""v

Oh iya, bagi yang penasaran kenapa Revia bisa pakai beberapa sihir? Kan sebelumnya Lora udh kasih tau, kalau mau aktipin ntu kartu cuman perlu sebut nama. Jadi kalau kartunya di ambil itu artinya Revia lupa ntu kartu apa.

Saya akan mempercepat kesakitan ini, jadi mohon tunggu ya :"""))

-(30/03/2020)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro