33) Test Subject

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Langit masih gelap, tapi tidak menghalangi sang pemilik sepatu hak tinggi lancip dalam melangkah ke sebuah pub kumuh bernama Palm Trio. Senyum kejamnya terbit ketika si penjaga pintu menyodorkan tangan. Dia mengeluarkan kartu dari dompetnya lalu meletakkannya di telapak tangan penjaga berbadan besar dengan otot ala binaragawan. Dari balik kacamata hitam, si penjaga mengamati identitas kemudian memberi jalan seraya menyerahkan kembali bedan persegi empat pipih itu.

Kepulan asap dan teriakan bahagia orang-orang memenuhi ruangan sempit itu. Tidak seperti Dansi yang lebih ditujukan untuk kalangan menengah ke atas, Palm Trio lebih cocok oleh kelas menengah ke bawah. Walau diremehkan, tetap saja masuknya Palm Trio tidak kalah ketat. Penjaga saja bisa tahu mana KTP asli mau pun KTP palsu. Palm Trio lebih kumuh, bahkan orang mabuk sembarangan dan hubungan terlarang pun terlihat di beberapa tempat duduk. Makanya tak heran, transaksi illegal di sini berjalan lancar.

Pandangan gadis itu menyebar, dia tadi sudah janjian dengan seseorang. Lambaian tangan dari meja bar adalah pertanda. Gadis itu mendekatinya sembari menarik kursi tinggi.

"Pak Sanjaya?" Suara sensual si gadis bertanya, untuk memastikan.

Pak Sanjaya mengangguk pelan.

Gadis itu mengeluarkan amplop coklat dari tasnya. Pak Sanjaya menerimanya sambil mengintip sedikit isinya. Sepuluh lembar foto berukuran 4R, berlatar koridor apartment, tampak seorang gadis berjalan menuju salah satu pintu. Wajah Pak Sanjaya makin berbinar kala dua lembar terakhir menunjukkan sosok pria dari balik pintu.

Pak Sanjaya menyeringai, "Ini akan jadi berita terheboh tahun ini."

"Benar sekali." Gadis dengan nama samaran Mawar Merah menimpali. "Dia yang biasanya bertingkah ramah dan menyenangkan akan jungkir balik ketika fansnya tahu foto ini."

"Dari mana kamu dapat foto ini?" Pak Sanjaya penasaran.

"Sumberku banyak," jawab Mawar Merah pendek. "Paling penting adalah bisa disebarkan saat acara fanmeeting-nya. Biar mereka tahu, siapa Reno sebenarnya?"

"Beres. Bayarannya?" Pak Sanjaya berkata sambil memasukkan kembali isi foto ke amplop.

Mawar Merah memutar gelas kristal dengan jari lentiknya. "Sesuai seperti yang Bapak minta. Uang mukanya sudah masuk ke rekening Bapak kemarin. Jika tidak percaya silakan buka rekeningnya."

Tidak salah Mawar Merah memercayakan lembar-lembar foto itu pada Pak Sanjaya. Beliau adalah wartawan tabloid Matahari yang selalu berusaha mengorek kehidupan pribadi Reno. Bertahun-tahun selalu mengupayakan segala cara untuk mendapatkan berita pribadi si artis, mulai dari pacar sampai keluarganya. Tapi, hasilnya selalu nihil. Reno benar-benar menutup rapat semua kehidupan pribadinya. Terbukti dari isi media sosialnya hanya kegiatan sehari-hari tentang bernyanyi dan promosi lagu-lagunya. Pak Sanjaya pikir, saat berita Reno dekat dengan Renita terkuar di Lambe Tempe, maka akses kehidupan pribadinya jauh lebih mudah. Nyatanya tidak, maka dari sinilah dia bekerja sama dengan gadis seksi berkacamata hitam ini tiga hari yang lalu.

"Bagaimana dengan kehidupan keluarganya?" tanya Pak Sanjaya seperti mendesak.

"Saya akan susul kirim setelah fotonya tersebar. Tenang saja, Bos saya siap bersedia membayar dua kali lipat."

Pak Sanjaya mengangguk puas, tidak menyangka bahwa semua akan dipermudah seperti ini. Akhirnya dia bisa membiayai anaknya yang akan masuk sekolah dasar tahun ini. Dia sudah membayangkan pundi-pundi yang akan mengubah kehidupannya seratus delapan puluh derajat. Uangnya bisa digunakan untuk modal bisnis. Sayonara tabloid Matahari.

***

Malam yang sama dengan pertemuan di Palm Trio.

"Halo, Chamomile."

Indah tidak menjawab, satu tangannya masih menahan tengkuknya yang nyeri. Paru-paru yang melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida berjalan tidak terlalu lancar. Setruman pada tengkuknya makin menyengat. Dari semua musuh lama, mengapa harus tersambung pada predator pedofil ini? Memori buruk Indah tentang pria gila itu kembali terkuak. Dia dan Bapaknya—Sugeng—adalah penjaga bagian makanan dan minuman. Hal tergila yang dilakukan setiap satu bulan sekli, salah satu dari mereka memerkosa gadis kecil pilihannya. Indah memang tidak pernah terpilih, tapi dia sering mengamati pandangan mereka yang kosong.

"Sebuah kejutan besar, padahal kupikir kau tidak akan menghubungi kawan senasibmu satu ini." Suara Agus menyiratkan ketenangan. Tapi tidak dengan bola matanya yang antusias seakan Indah adalah daging termahal di dunia.

Hening.

"Oh, baiklah akan kutunjukkan sahabat tercintamu ini." Agus berjalan mundur, lalu layar berpindah pada Tia yang berdiri kaku seperti robot. Matanya benar-benar kosong, dan tubuhnya berlumuran cairan merah dengan pistol revolver otomatis pada tangan kanannya.

"Apa ... Tia!" seru Indah, teriakannya terasa tidak berguna. Sekali dia teriak, tengkuknya kembali sakit. Padahal nyerinya sudah reda beberapa menit lalu.

Agus kembali menguasai layar. "Sudah lihat, kan, kondisi Sakura? Dia habis membantu pekerjaanku. Inilah yang seharusnya dunia kalian lakukan, memusnahkan parasit yang menghalangi Bos, mengabdi padanya seumur hidup. Bukannya berpihak pada musuh." Agus memijat dahinya beberapa detik. "Tidak heran, Bos kecewa sama kalian berdua. Aku juga, bahkan sampai ingin bunuh kalian. Namun, Beliau terlalu sayang sama kalian, kata-kata yang terakhir kuingat sebelum jadi DPO adalah tetap optimis, masih ada jalan dalam program senjata manusia. Tidak kusangka prediksinya benar, alat itu tidak benar-benar mati selama bertahun-tahun."

"Chip yang ada ditanam telah bersatu pada batang otak kalian, perlahan akan memakan kalian hidup-hidup. Mungkin belum terlihat, tapi akan terasa seiring waktu." Agus terus mengoceh, tapi jarinya menari di atas kibor.

"Chip ... Jadi, chip itu ...."

"Ah, Chamomile yang naif. Kamu pikir setelah kekasihmu dan gengnya dulu berhasil menangkapku, kalian bisa hidup tenang? Tentu tidak, perbuatan kalian itu ada harganya."

Rasa sakit pada tengkuknya yang baru reda segera Indah manfaatkan untuk melakukan kontak darurat. Ponsel gadis itu bisa menghubungi lebih dari tiga orang sekaligus, jari tangan kanannya beraksi pada benda pipih yang posisinya berada di kolong meja. Bias cahaya biru di layar ponsel menunjuk Renita, Gama, Reno, dan detektif sewaannya. Jika tidak ada satu pun yang menjawab, gadis itu mengirimkan kode tolong dalam kata berbeda. Khusus untuk detektif swasta, Indah menyuruhnya berhenti mencari. Tangan kirinya sengaja masih bertahan di tempat semula, sebagai pengelabuhan.

"Ada takdir yang bisa diubah dan tidak bisa diubah." Gadis itu mulai bicara walau masih tertatih-tatih. Perhatian Agus yang tadinya sedang memindahkan Tia ke tempat tidur di kamar flat-nya sekarang kembali ke layar. "Takdir yang tidak bisa diubah tuh asalnya dari Tuhan. Sedangkan, takdir yang bisa diubah berasal dari pilihan-pilihan yang ada di depan mata. Aku ... dan Tia sudah memilih tepat pada titik Reno menyelamatkanku dan Tia."

Pendar di mata Agus yang tadinya seperti badut jahat, berubah jadi hitam pekat. Indah tahu artinya, itu adalah pertanda Agus lagi marah. Di antara penghuni neraka buatan—alias laboratorium illegal milik Cakra Pharmaeuticals yang terletak di pegunungan daerah Malang sebelum pindah ke sebuah kompleks perumahan di daerah Surabaya—kompleks perumahan itu menguatkan tekad Indah untuk menyelamatkan diri, hanya Tia yang mendukungnya. Sementara, teman-temannya hanya bisa pasrah dan entah bagaimana nasibnya.

Satu kedutan di bibir Indah terangkat kala mengingat kenangan manis itu. Kemunculannya tiba-tiba di area ayunan dengan gaun putih kumalnya yang tidak dicuci berhari-hari, Dengan Reno yang sedang menatap bulan purnama, Indah tidak akan melupakan betapa baik keluarga Reno—terutama Neneknya—yang memandikan sekaligus memberinya pakaian bagus walau kebesaran. Indah pikir—setelah kejadian kebakaran laboratorium illegal dan salam perpisahan bersama Reno di panti asuhan—dia tidak akan bertemu pria itu lagi.

Semesta memang baik padanya, sepertinya Indah harus berterima kasih pada teman kuliahnya yang mengajaknya bolos kuliah ke café Pop Jazz. Tempat di mana Reno masih pakai kemeja kusut dan celana jin pudar lalu bernyanyi penuh khidmat. Tidak butuh waktu lama pertemuan itu berubah jadi rasa cinta yang mendalam. Jadiannya pun tepat saat Reno menandatangani kontrak rekaman untuk album perdananya. Sampai sekarang, Indah masih sering mendengarkan lagu Elok jika rindu dengan kekasihnya itu.

Indah tahu, ada harga yang harus dibayar dalam setiap perbuatannya. Kalau bisa memilih, bisakah Indah bayar dengan memenggal leher Agus?

"Kamu sepertinya lebih cocok jadi biarawati, daripada mengurus tokomu yang nggak guna itu," ejek Agus, "Ah, itu tidak penting. Bertahun-tahun jadi target interpol dapat hikmahnya, sunyi adalah waktu yang tepat untuk eksekusi. Dendamku bertahun-tahun sudah terlaksana, lihat benda mematikan itu aktif lagi di tubuh kalian." Tawa mengerikan Agus kembali muncul, sampai punggungnya melengkung.

"Kamu terlalu banyak buang waktu, Gus. Bunuh aku, jika itu bikin kalian bahagia," ancam Indah.

Ancaman itu dianggap angin lalu oleh tawa gila si lawan bicara. "Bunuh kamu? Sudah kubilang Bos yang akan mutilasi aku kalau kulakukan. Ah, mungkin rekaman ini bisa bikin kamu berpikir seratus ribu lagi dalam menentukan takdir. Selamat menikmati." Panggilan video itu terputus begitu saja.

Teriakan Indah menguar di udara, bersamaan dengan partikel debu sekitarnya. Buku-buku jarinya menghantam karpet bulu warna abu-abu hingga rambut ikal hitamnya mencuat kemana-mana dan menutupi sebagian wajahnya. Bunyi dari laptopnya menghentikan aksi lanjutan gadis itu.

Matanya tidak memercayai isi pesan Agus disertai attachment kode nama video.

Aku juga punya hak untuk memilih takdirku, yaitu mempersatukan Chamomile dan Sakura. Karena kamu menolak, jadinya kukasih video ini pada seseorang yang kupercaya. Tenang saja, akan kujemput kau dari penjara, di mana pun.

NB: Polisi mungkin sudah lihat videonya.

Xoxo.

Satu klik pada kiriman video itu mengubah raut Indah. Rekaman pembunuhan dokter Yunus dari sudut pandang rak buku paling atas. Indah membekap mulutnya, setetes air keluar dari pelupuk matanya.

***

Renita tahu, Gama bukan ahli dalam melakukan hubungan intim. Terbukti dari cara dia menyentuh pinggang, kulit punggung, pundak, dan leher, ada keraguan sekaligus keinginan tertera di situ. Dia yakin pasti Gama sempat menonton video porno atau pun novel romansa erotica, tapi bingung mengaplikasikannya. Sentuhan lembut dan panas itu benar-benar tak bisa dilupakan sama sekali, sampai senyum Renita tidak luntur beberapa hari ini.

Setelah Reno datang mengganggu, mereka memang tidak melanjutkan hal itu. Tetapi, senyum malu-malu dan pipi pria itu yang merah muda bikin Renita tersenyum geli.Teringat dia langsung buru-buru mengancingkan kemejanya sampai lupa kancing nomor tiga dari atas lupa terpasang. Renita sengaja tidak mengingatkan, sikap kikuk itu ingin Renita simpan selamanya dalam hati.

Oh bagus, sekarang sudah mulai main hati. Bagus, Renita, kobarin terus apinya.

Dengan Gama, semua luka dan bimbangnya perlahan sirna. Tapi, dia sendiri masih menerka-nerka, apakah ini beneran? Atau hanya hal semu saja? Tapi, tidak ada salahnya menemukan teman yang bernasib sama. Saling berbagi beban dan luka itu tidak buruk, selama dengan orang yang tepat. Renita mengingatkan diri sendiri untuk tidak menurunkan kadar waspadanya.

"Nona Renita."

Panggilan suster membuyarkan angannya. Dokter Isha menyambut dengan senyum khas dokter tatkala Renita menutup pintu. Pada mejanya sudah tersedia botol kaca kecil dan bungkusan jarum suntik. "Silakan, Renita." Tangan dokter Isha terjulur pada salah satu kursi.

Satu minggu sebelum vaksin, Renita dan Papanya sudah menemui dokter Isha untuk menandatangani perjanjian. Dokter Isha sebagai perwakilan dari almarhum dokter Yunus menjadi pihak pertama, sementara Renita sebagai pihak kedua dengan Ardhi Arsa dan salah satu perawat sebagai saksi. Prosesnya tidak panjang, tapi tetap saja menimbulkan kewaspadaan karena perjanjian apa pun harus dibaca dengan teliti agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kemudian hari.

"Kita mulai sekarang," ajak dokter Isha pada pinggir brankar dengan alat pemindai tubuh. Tidak ada masalah dengan tubuh Renita.

Dokter Isha merobek bungkus dan menusukkan ujung jarum suntik pada botol kecil berisi cairan. Satu tetes cairan yang keluar dari ujung jarum itu bikin mata Renita otomatis terpejam erat. Dokter Isha mendengkus geli sambil menggosokkan alcohol swab pada lipatan lengan gadis itu. Ada sengatan semut merayap beberapa detik. Kata tahan dari bu dokter menggeranyangi telinga walau sekadar gumaman.

"Buka aja matanya, Reni. Lebay banget deh."

Salah satu mata Renita terbuka, tampak plester berbentuk lingkaran tertempel sempurna. Efek nyerinya masih terasa, sehingga tangan kirinya sulit digerakkan.

"Tekuk pelan-pelan nggak apa kali, Ren. Toh juga bukan ambil darah yang bikin tangan lo kayak kayu." Dokter Isha berkata melalui lirikan sekilas sambil membereskan peralatan vaksin. Renita yakin pasti dokter Isha ingin sekali memotret ekspresi mengernyitnya macam anak SD lagi suntik massal di sekolahan yang pakai antri-antri. Padahal, zaman-zaman itu dia masih balita. Gadis itu tahu karena sering dapat cerita dari Ronald.

"Ini apaan sih, Dok?" Renita mengangkat salah satu botol kaca mini bertuliskan vaksin Hepatitis C dengan satu kandungan utama vaksin. Mulut gadis itu miring kesana kemari mengikuti bacaannya yang terlampau aneh. Sementara dokter Isha hanya menggeleng-geleng sembari memindai botol serupa kosong---milik subyek sebelum Renita—dengan ponsel pintar berisi aplikasi khusus. Gaya Renita miring-miring seperti lagi encok adalah pertanda dalam mode bercanda, dokter Isha tidak mau angkat bicara.

Namun, Renita menangkap satu bahan tulisan kecil di bawah bahan utama vaksin. Itu seperti tulisan yang diberi spidol merah dalam gulungan rahasia milik Mama dan dokter Yunus. Tangannya meletakkan kembali benda mini itu di meja, kemudian mengetikkan sesuatu di aplikasi percakapan dengan satu tangan pada Gama. Diam-diam, dia memotret botol tersebut dengan perbesaran yang pas sebagai bukti.

"Oh, ya, hampir lupa." Dokter Isha kembali bicara pada Renita setelah melaporkan berita acara dari aplikasi. "Jangan lupa, efek samping apa pun yang kamu rasakan, catat di buku laporan ini. Tujuh bulan dari sekarang harus terisi penuh. Kalau nggak bisa ditahan, langsung hubungi aku." Jemari dokter Isha mengetuk bagian sampul buku laporan.

"Emangnya gue anak SD gitu." Renita menggerutu, tapi tangannya mengambil buku laporan sambil mencemplungkannya di tas tangan. Dia beranjak dari kursi, ruangan poli bikin keringatnya meluncur deras, padahal udara pendinginnya sejuk sekali.

"Bahkan kamu jauh lebih ceroboh dari anak SD, Reni," balas dokter Isha tidak mau kalah. "Harus banget hobi pingsan dulu baru ke sini lagi." Tentu saja ocehan itu tidak sampai di kuping Renita. Derit pintu kaca dorong adalah jawaban mutlak.

Pemandangan yang tak Renita sangka benar-benar terjadi. Tangan bekas suntikan yang tadinya sudah baikan, kembali nyeri. Renita berusaha menetralkan wajahnya yang masih terkejut.

"Sejak kapan Papa sama Gama ada di ruang tunggu?"

Dear BSWClub. Day 124, 125, 126, 127, 128, and 129.
2100++ kata.
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro