34) Efek Domino

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Renita Arsa.

Nama yang bikin Gama selalu mendadak hilang fokus, sekaligus penyegar pikiran di kala tumpuknya pekerjaan. Dengan Renita, Gama memiliki sosok yang paham akan dirinya—selain keluarga dan sahabatnya—di saat semua orang mendekatinya karena menyandang nama Mahendra. Gama tidak munafik, nama keluarga itu mempermudah dirinya dalam menjalin relasi dan mendatangkan investor untuk usaha rintisannya bareng Vano di bidang perangkat lunak komputer, hal yang patut dia syukuri. Itu hanya berlaku di Indonesia saja, beda saat dia masih jadi karyawan perusahaan robot di Jerman.

Jerman membawa Gama pada kemandirian haqiqi yang selalu dia impikan. Bebas dari sorotan publik, bebas dari puluhan pesta dan basa-basi antar kolega, dan bebas jadi dirinya sendiri. Sudah lama dia tidak merasakan hal ini, bahkan bersama Ayu dulu Gama tidak begini. Ayu memang wanita baik, tapi Gama merasa dunia mereka berbeda. Sudah tidak terhitung Gama tidak sengaja mencuri dengar obrolan keluarga besar Ayu, inti obrolannya adalah Gama belum punya kualifikasi jadi kepala keluarga yang baik. Mereka juga merendahkan Gama yang tidak mampu berdandan dan bergaul pada kalangan hedon.

Saat itu, Gama mampu menahan semua cacian dan hinaan halus dari keluarga besar Ayu. Mereka berdua mampu bekerjasama dengan baik hingga mengikatkan hubungan dalam bentuk pertunangan. Namun, hasil tes kesehatan menghancurkan semuanya bagaikan efek domino.

Akibat stress dengan ritme pekerjaan di Jerman dan kurang menjaga tubuhnya dengan baik, serta terpapar radiasi berlebihan setiap inspeksi pabrik, tulisan teratozoospermia terpampang dari kertas hasil tes dibarengi penjelasan dokter. Penyakit di mana sperma berbentuk abnormal.

Gama ingat, semua orang membencinya, bahkan dia sampai berpikiran negative terhadap keluarga intinya sendiri. Hanya Indah dan Kak Cindy yang berusaha ada untuknya, termasuk berobat dan bicara pada terapis handal kepercayaan keluarga. Butuh waktu satu tahun, dia bisa masuk fase penerimaan diri. Tuhan memberi hadiah melalui sosok Renita di pertemuan pertama.

Renita dan keberaniannya menginspirasi Gama untuk terus lebih baik, untuk dirinya sendiri. Renita tidak sungkan berbicara apa adanya, tentang pria-pria yang Ia dekati—tahan cemburu—sampai diskusi misteri Mamanya dan mimpi-mimpi yang mau Ia gapai dan galau akan bertahan di kantor Papanya atau fokus mengurus Yayasan Perempuan Hebat. Saat itu, Gama hanya berkata pilih mana yang selalu membuatnya nyaman. Sepengamatan Gama, Renita lebih nyaman bersama anak-anak Yayasan.

Interaksi-interaksi hangat itu berubah jadi cinta. Sayangnya Renita tidak (belum) berpikir demikian, Gama mengerti itu. Anehnya, Bahasa tubuh Renita selalu berkata sebaliknya. Atraksi fisik minggu lalu pun menjadi memori terindah dalam benaknya—walau tidak sampai klimaks akibat penyakit ini.

Biarkanlah hubungan ini berjalan, sampai Renita membalas cintanya dengan tegas. Gama sudah siap dengan semua jawaban. Andai kata gadis itu menjawab tidak, hatinya bisa menerima tanpa beban.

"Lho, Mas Gama sejak kapan sudah di sini?"

Suara dari samping bikin Gama menoleh, "Oh, Om Ardhi. Silakan." Gama menggeser tubuh ke samping agar Bapaknya Renita bisa duduk.

"Panggil Papa saja, Nak," ralat Om Ardhi ramah sambil memangku tas jinjingnya. Gama makin kikuk dibuatnya, ini pertama kali bertemu orang tua satu-satunya Renita dalam ranah non resmi. Biasanya, mereka saling berinteraksi untuk membahas beberapa aspek hukum bisnis, dan kacaunya teknologi sambil menyantap jamuan mewah di hotel Indonesia bersama kolega keluarga konglomerat lainnya.

"Baik, Om—eh, Papa." Lidah Gama kaku, mengubah panggilan tidak segampang yang Ia kira.

"Sudah berapa lama sama Renita?" Om Ardhi membuka pembicaraan, tanpa basa-basi. Ini di luar dugaan Gama.

"Empat bulan ini, kalau nggak salah, Om—eh, Papa."

Ardhi Arsa yang sering Gama lihat di televisi dan pertemuan sangatlah berbeda. Di sini, dia lebih banyak senyum, lebih terlihat lepas, dan tidak seperti Papa pada umumnya yang protektif. Mungkin, Renita sudah terbiasa menjaga diri sehingga Ardhi bisa lebih tenang. Gama seratus persen yakin, jika Renita terlahir laki-laki, maka bersanding dengan Papanya seperti anak kembar. Ardhi Arsa lebih cocok jadi model daripada pengacara kondang.

"Renita tuh jarang banget bawa gebetannya ke rumah, baik ada saya mau pun enggak. Katanya dia nggak mau kena interogasi saya. Padahal, saya hanya bertanya saja untuk memuaskan rasa penasaran akan latar belakang mereka. Sudah saya duga, pria yang dia bawa ke rumah adalah kamu." Ardhi Arsa menyodorkan gelas plastik air mineral yang diterima Gama layaknya menjaga cangkir porselen."Itu tandanya dia percaya sama kamu seutuhnya, mungkin hatinya sudah terbuka walau masih gengsi."

"Bagaimana Papa bisa tahu?"

"Tidak ada rahasia di antara kami. Renita itu terbuka sama saya, walau ngomongnya pakai kode-kode begitu. Dulu, waktu dia suka sama si siapa itu? Reno, ya? Atau siapalah. Dia tidak pernah cerita secara implisit siapa sosoknya."

Membayangkan Renita yang bicara blak-blakan dengan Papanya bikin Gama merasa menang telak. Apalagi dari seorang Reno, ah andai dia tidak diancam Indah tutup mulut. Pasti sudah jujur dari awal bahwa Reno lebih mencintai Adiknya. Waktu kemarin main Reno seenaknya main ke rumah, rasanya ingin pria itu bicara pada tangannya agar jangan mengganggu.

"Sabar saja sama Renita," pesan Ardhi Arsa setelah menyesap air mineralnya. "Dia masih butuh waktu untuk buka hati lebih lebar."

Gama mengangguk pelan, sambil mulutnya mengisap sedotan air mineral gelas. Baru mau bicara lagi, derit pintu berbunyi. "Sejak kapan Papa sama Gama di sini?" sambut Renita yang suaranya galak tapi merdu menurut telinga Gama.

"Tadi katanya kamu minta jemput," jawab Ardhi Arsa santai, bikin Renita bertanya-tanya.

"Sejak kapan? Renita aja belum telepon." Matanya melirik Gama yang mulutnya masih menghisap sedotan disertai binar polos. "Terus Gama juga kenapa bisa di sini? Kan bahasan kita di chat bisa dilakuin nanti malam."

"Oh gitu, ya." Gama menguatkan ekspresi polosnya.

"Haduh." Renita memijat dahi, tali tas Chanel Flap Bag hitamnya yang melorot Ia sampirkan lagi ke bahu. "Kenapa pria di sekitarku nggak pernah normal gini tingkahnya?"

Pasien-pasien yang sedang menunggu giliran masuk hanya menggeleng maklum. Ada juga anak kecil yang berada dalam pangkuan Ibunya mengamati tiga orang dewasa layaknya adegan serial kartun yang ditontonnya setiap hari Minggu pagi.

"Papa, kan, mumpung pertemuan sama klien selesai lebih cepat. Papa pikir kamu ke sini nggak bawa mobil. Nah, bisa sekalian balik ke kantor sama-sama selepas jam makan siang." Ardhi Arsa mengungkapkan alasan sebenarnya, diakhiri dengan endikan bahu.

Giliran Gama yang ngomong. "Aku nyusul ke sini karena Indah nyariin. Dia telepon kamu nggak pernah diangkat ..."

"Aku mana paham kode-kode yang dia kirim. Kupikir dia ngigau beberapa hari yang lalu." Renita mengambil posisi duduk di samping Gama.

Wajah Renita berubah jadi bersalah. Mungkin sepulang kantor nanti bisa jenguk sahabatnya. Sudah lama juga nggak bercengkrama bareng, bikin otak Renita berputar tentang menu masakan. Jika sakit, sahabatnya tersebut lebih milih makan cepat saji daripada bubur. Cream Soup-nya KFC adalah ide awalnya, tapi logika gadis itu menolak, bisa-bisa Indah jadi minta ayam goreng sama kentang goreng ukuran besar punya McDonalds.

Ardhi Arsa mengamati Bahasa tubuh dua orang ini selama saling bercakap, sepertinya mereka benar-benar lebih dari sekadar akrab. Beliau tahu bahwa keluarga inti Gama tidak seperti keluarga Mahendra lainnya, tapi dia ingin mengenal lebih dekat seperti apa sosok Gama yang berhasil mencuri hati putri tunggalnya diam-diam ini. Saatnya melancarkan serangan pertama.

"Nak Gama mau ikut makan siang bareng kami?" tawar Ardhi Arsa.

Renita melemparkan pelototan sebagai isyarat jangan-aneh-aneh, disertai dengan tebasan lurus pakai tangan. Gadis itu hafal tabiat Papanya jika penasaran dengan teman kencan Renita, Gama memang pria yang mudah disukai siapa saja. Tapi, permasalahannya adalah pikiran Beliau susah ditebak.

Untung Gama tidak menyadari kode ini, sementara Papanya tetap melempar senyum penuh arti, seakan tidak memedulikan kondisi anak gadisnya yang mulai gelisah. Gama tampak seperti pria yang baru menang undian mobil di acara Super Deal. Dia menatap Renita tanpa kata, meminta persetujuan. "Kalau Renita setuju, saya juga setuju kok."

"Gimana Ren?" Ardhi Arsa melempar seringai puas dengan kerlingan jahil.

Papa tetaplah Papa—walau persekongkolan itu masih tidak bisa dilupakan—Beliau tetaplah Papa terunik dan terjahil. Gadis itu melempar senyum pasrah dan berkata ya dengan mimic pura-pura tidak niat. Mau bagaimana lagi? Api sudah berkobar semakin dalam, tidak ada pilihan selain terbakar.

***

Reno tidak bisa lebih bahagia dari ini. Satu tahun pengerjaan albumnya ditambah dengan dukungan para fans, mampu mengatasi amarahnya terhadap drama-drama yang menghadang. Reno tidak sabar untuk segera putus kontrak dengan N Entertainment setelah launching dan masa promonya selesai. Lagu-lagu di album barunya sudah sembilan puluh tujuh persen rampung, tinggal dua lagu terakhir belum dia dengarkan karena terhalang oleh diskusi dengan produser tentang fanmeeting di lima kota besar Indonesia dan pertemuan dengan spotify terkait fotonya yang akan masuk dalam tracklist mingguan jika pendengarnya mencapai delapan ratus ribu nanti.

Album kali ini berisi sepuluh track, sudah delapan lagu dia dengarkan di ruang editor lagu bersama asisten sound engginering. Reno selalu melakukan mastering minimal dua kali, memastikan tidak ada kesalahan nada atau pun suaranya yang mulai sumbang selama proses sunting.

Tablet berlayar sepuluh inchi melayang di meja kendali, tepat pada wajah Reno.

Reno menekan tombol tunda pada detik kesepuluh di track terakhir, melepas headset seraya membaca tulisan dan gambar. Dia memelotot pada Gugun yang berada di sebelah kursi goyangnya dengan seringai licik serta lipatan tangan di dada.

"Apa maksudnya ini?"

"Cih," Gugun mendengkus, menatap muak Reno yang masih sok bingung, "Katanya musisi idealis yang bisa misahin keartisan dan kehidupan pribadi. Ternyata lo menyerah sama keadaan. Masih pengen bertahan sama gue dan Bos rupanya."

"Apa lo bilang?" Reno tidak terima, genggamannya pada benda elektronik seukuran buku terasa seperti mencengkram bagian tajam pisau. "Gue nggak tahu sama sekali. Berita ini aja gue tahunya dari lo, bangsat."

Bagaimana bisa, potret Indah mengunjunginya di apartment ada di artikel tabloid Matahari? Bahkan, Sanjaya sendiri yang mengirimnya ke surel Gugun. Reno tidak tahan mengumpat pada paparazzi kurang ajar satu itu. Tidak, bagaimana pun media tidak boleh tahu akan Indah? Dia tidak mau Indah terlalu banyak mendapat ekspos, gadis itu sangat mengutamakan privasi. Tidak boleh ada kamera di sekitarnya,

Reno tidak bisa membayangkan wajah tenang dan mata murkanya. Mana kondisinya masih lemah ketika dia jenguk kemarin, Reno sampai menemaninya seharian serta kembali bekerja pada detik Indah masuk alam mimpi. Kekasihnya mendadak manja jika sakit begitu, tapi justru menaikkan hormon bahagia Reno. Laki-laki mana pun pasti bahagia bila merasa dibutuhkan.

Gigi belakang Reno bergemeletuk, dia kembali memerhatikan. Ini diambil dari kamera pengawas koridor, jadi hanya terlihat rambut panjang sepunggung nan lembut dan punggung indahnya yang dilapisi cardigan polos. Sesaat, Reno bersyukur akan hal ini. Namun, tidak menghilangkan kewaspadaan, bisa jadi tabloid Matahari bakal melakukan hal lebih ekstrim, memotret Indah lagi ganti baju. Reno tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Turunin berita ini sekarang!" perintah Reno.

"Mana bisa?" Gugun pura-pura sedih, "Beritanya sudah tersebar beberapa menit yang lalu. Akuilah, Reno, kamu butuh sensasi untuk mena—"

"Gue. Nggak. Butuh. Sensasi." Reno kembali mendorong keras Gugun ke dinding berlapis kayu, dengan lengannya menekan leher pria itu, tanpa ampun. "Gue hanya butuh fans loyal, nggak butuh fans yang munafik. Sudah cukup gue berhadapan dengan kalian semua dan manajemen yang nganggap gue mesin uang." Suara Reno makin dalam, dilanjutkan dengan bisikan yang deru napasnya seakan bisa ular. "Gue yang akan turunin sendiri."

Gugun melepas cekalan Reno dengan susah payah. Dia memijit pelan jakunnya yang nyeri, Reno benar-benar mengerikan jika terancam. "Memangnya kamu bisa?"

Reno terkesiap. Bagaimana caranya? Semua masalah-masalah yang dialami Reno empat tahun belakangan selalu diselesaikan pihak agensi. Dia hanya disuruh fokus jadi publik figure dan memproduksi album. Teriakan Reno mengisi ruang editing yang sunyi, karena sejak tadi asisten sound engginering lebih memilih tidak ikut campur, mungkin sedang cari angin di atap.

"Nggak bisa, kan?" Gugun tersenyum mengejek, senang akhirnya bisa mengalahkan Reno. "Makanya nggak usah sombong kalau memang nggak mampu." Pintu ruang rekaman tertutup keras, samar-sama tawa bahagia Gugun mengudara.

Tubuh Reno benar-benar tak berdaya, kehilangan minat untuk memeriksa lagu lagi. Benaknya berputar-putar bagaimana caranya? Lagi-lagi dia menyesal selalu menganggap remeh beberapa hal yang bisa jadi tombak beracun pada waktunya. Saat kemarahannya reda, dia menghubungi Kekasihnya. Reno pasrah dengan semua kemarahan yang dilontarkan Indah nanti.

Lebih baik begini dari pada berbohong.

***

Renita masih tidak bisa melupakan perbuatan Papanya terhadap Gama di acara makan siang. Untung saja, saat ke sana restoran Nusantara Herritage sudah masih ramai pada lima menit sebelum jam makan siang berakhir. Jadi, Renita bisa mencubit dan mencengkram paha atas Papa sepuasnya. Ardhi Arsa sangat tidak tanggung-tanggung pada perbuatannya kali ini.

"Hei nggak apa kali, Reni." Gama menepuk pelan bahu gadisnya setelah menghempaskan diri di sofa empuk ruang televisi rumah Renita.

"Nggak apa gimana, Gama?" Renita menatapnya sewot. "Bokap ngerjain lo keterlaluan banget emang."

"Ren ..."

"Mau-mau aja kamu ngebayarin makannya sama Bokap gue?" Pertanyaan Renita terasa seperti pisau berujung tajam. Gadis itu memberi satu telunjuk tepat di wajah pria itu, menghentikan apa pun yang ada di pikiran Gama. "Terus nanya-nanya sampai mendetail tentang keluargamu kayak interogasi polisi, padahal apa gunanya mesin pencari? sampai sebar aibku yang paling jelek, ugh." Renita bersungut-sungut kesal seraya menjauhkan diri dari Gama karena meluruskan kaki, tepat mendarat di paha Gama seenaknya pada bagian telapaknya.

Cat kuku warna merah marun itu mengkilap sekaligus menimbulkan sensasi geli pada saraf-saraf paha Gama. Namun, dia membiarkannya daripada kena semprot lagi.

Gama menutup tawanya seperti orang batuk terkait kalimat terakhir. Papa Renita memang menceritakan tentang aib terjeleknya, yaitu berendam terlalu lama yang berakibat ketiduran dengan mulut terbuka. Pertanyaan yang dilontarkan Ardhi Arsa terbilang sederhana untuk ukuran interogasi polisi, Papa mana yang nggak ingin mengenal lawan jenis yang dianggap serius oleh anak gadisnya?

"Mungkin saja, Papa kamu pengen tahu dari mulutku sendiri." Gama mengendikkan bahu.

"Tapi sama saja, nggak usah pakai nanyain berita tabloid Matahari terkait julukan Mahendra miskin juga kali." Gerutuan Renita masih belum berhenti, bahkan saat merebahkan kepala dan punggung pada pegangan sofa. Kelopak mata Renita terpejam, menggumamkan sesuatu seraya mengatur napasnya. Kesal ternyata menguras energi. Sepertinya besok pagi Renita harus melatih Tai Chi-nya lebih intens.

Mahendra miskin.

Julukan buatan tabloid sekelas Lambe Tempe itu menggemparkan keluarga besar Mahendra. Gara-gara saham mayoritas yang dipegang Papanya tergolong rendah dari Om Hartono. Itu karena Papa memang ingin mengembangkan Mahendra Biomedics dengan tangannya sendiri, Kakek hanya jadi pengawas dan sesekali turun tangan bila dibutuhkan. Proses pengembangannya lebih lambat dari anak perusahaan keluarga Mahendra lainnya.

Ada satu pesan dari Papa yang terus jadi pegangan hidup. "Kerja keras membuat diri sendiri jauh lebih menghargai apa pun rezeki yang kita dapatkan."

Ternyata benar.

Gama tidak menyia-nyiakan apa pun rezeki yang didapat. Dia jauh lebih percaya diri bila ditanya tentang kualitas diri oleh Ardhi Arsa.

Ketika Renita menyalurkan kekesalannya di toilet, Papa Renita justru terlihat makin bersahabat. "Saya tidak salah memercayai kamu sebagai pendamping Renita, itu kalau beneran milih kamu. Santai saja sama Renita, jika sedang emosi beri dia waktu. Setelah itu, bicarakan baik-baik. Saya salut sama jawabanmu tentang Mahendra miskin tadi." Senyum Beliau makin lebar, mengukuhkan bahwa Papa Renita sudah memberi jalan.

"Gama sudah baca pesanku tadi siang?"

Gama kembali pada momen masa kini. Dilihatnya Renita sedang menutup matanya dengan lengan kiri. Berarti dia belum benar-benar tidur. "Sudah kok, tapi sudah aku terusin ke temenku yang dokter, Renita. Dia yang punya kapasitas lebih dalam menjelaskan, mungkin seharusnya sudah selesai."

"Ya sudah tunggu sini. Aku mau mandi dulu, rambutku lepek." Renita bangkit dan meninggalkan Gama begitu saja ke kamarnya di lantai dua.

Gama mengeluarkan laptopnya dari tas kerja. Jarinya langsung menggeser tetikus ke laman surel. Sambil menunggu laman terbuka sempurna, Gama kembali membuka pesan dari Renita terutama pada gambar. Tulisannya benar-benar terlalu kecil untuk pembesaran sepuluh kali. Ternyata, pesan baru dari temannya yang dokter sudah muncul sekitar satu jam lalu. Isi surelnya bikin Gama mengerutkan dahi.

"Apa maksudnya belum terdaftar?"

Tahu-tahu Renita sudah ada disampingnya, dengan jarak sedekat itu. Dagunya sudah menempel ke bahu Gama. Aroma citrus samar-samar bikin hidung Gama kembang kempis.

"Ini." Gama menunjuk pada tulisan dari foto kiriman Renita yang sudah dilingkari spidol kuning. "Bahan dari bakteri ini tidak terdaftar dalam vaksin resmi mana pun."

"Tapi ini ada dalam gulungan punya Mama." Renita tetap pada bersikukuh. Dia beranjak sebentar ke ruang kerja Papanya untuk mengambil gulungan sebelumnya sebagai bukti.

Gama membaca ulang kertas manila lusuh itu.

Benar, bakteri yang jadi bahan vaksin Renita tertulis dalam gulungan.

"Reni, coba kamu ingat-ingat semua kejadian yang kamu lalui bertahun-tahun lalu sampai kematian Mamamu. Pakai ini." Gama menyodorkan laptop dengan perangkat lunak yang tidak lazim. Sepertinya ini buatan Gama sendiri atau temannya untuk dipakainya.

Renita tidak menghentikan rasa takjubnya, perangkat lunak ini sangat mirip dengan mesin pencari. Tapi dengan tingkat akurasi tinggi. Kronologi yang Renita tulis di atas kibor, terhubung pada peristiwa-peristiwa terkait orang tuanya hingga membentuk peta pikiran. Sampai pada penculikannya dengan Reno dan kematian Mamanya tiga tahun kemudian. Renita juga menambahkan kronologi sesudahnya, Gama hanya melengkapi beberapa bagian.

"Tunggu." Renita mengerutkan kening, seperti ilmuwan yang buntu akan menyampaikan hipotesa. "Ini kenapa jadi efek domino sih?"

Gama ikut-ikutan mengamati. Hasilnya memang berbentuk permainan ular tangga, tapi bentuknya bukan kotak melainkan tubuh ular yang melengkung lebar.

"Dari kasus program penghidupan kembali yang ditentang kalangan agama, sampai saat ini. Satu kesalahan besar, berefek pada kesalahan lainnya. Ambisi Anggodo Ismail tentang menghidupkan kembali manusia berujung pada kesengsaraan dokter Yunus dan Mamaku. Terus berujung pada berita nama Cakra Pharmaeuticals yang dua kali kena skandal—satu tentang perdagangan manusia, dua tentang hak cipta yang berujung Mahendra dapat hak paten secepat mungkin—belum lagi mereka—"

Ocehan Renita terinterupsi oleh dua jendela kecil yang sama-sama terbuka. Jendela pertama, menampilkan rekaman tentang proses perdagangan manusia milik Anggodo Ismail dari tahun dua ribu delapan hingga saat ini.

Hal ini bikin tangan Renita terkepal, "Keparat emang. Ternyata bisnis illegalnya masih jalan. Pantes aja selama Anggodo di penjara, Cakra nggak bangkrut. Justru semena-mena sama perusahaanmu, Gama."

"Tenang, Reni, tenang. Kita belum selesai lihat. Tunggu, kayaknya aku kenal." Gama mempercepat bagian sebelumnya, tahun dua ribu tiga belas dengan sosok gadis kecil mengenakan gaun putih lusuh. Ekspresi keras Renita berganti terkejut, mulutnya seperti kayu yang dipaksa mengatup. Begitu juga dengan Gama. "Ini beneran Indah ..."

"Kenapa dia nggak bilang?" lirih Gama, wajahnya sedih sekaligus bersalah. Tangannya mengacak rambut frustasi--yang sudah tersugar sejak siang tadi. "Aku ini Kakak macam apa sih? Sampai nggak tahu masa lalu kelam Adik angkatku, ternyata dia bagian dari Anggodo Ismail."

Jendela kedua menunjukkan proses penyiksaan para subyek yang ternyata dipakai untuk program senjata manusianya Cakra Pharmaeuticals berbentuk cyborg. Keduanya menahan napas saat melihat Indah dan Tia kecil disiksa dan mengalami gizi buruk sampai baju mereka lusuh seperti tidak mandi berbulan-bulan, siksaan itu mereka dapatkan akibat DNA-nya tidak cocok.

Akhirnya, Anggodo Ismail menciptakan nano chip pengontrol yang ditanam pada batang otak Indah dan Tia sebagai percobaan pertama, dia tidak mau menyia-nyiakan dagangannya. Renita fokus pada tiga orang algojo itu, terutama pada salah satunya yang sangat Renita kenal. "Dia ..."

"Dia kenapa, Renita?"

"Agus ... Dia ... membunuh Mamaku. Bejat dia emang." Renita berseru dengan kepalan tangan. Darahnya mendidih. "Mana tangannya nggak mau kotor lagi."

Gadis itu teringat sesuatu, "Dia—ASTAGA. Pria gila ini ternyata yang menghancurkan markas lama Yayasan Perempuan Hebat. Mana statusnya DPO pula sampai sekarang. Gama, perangkat lunak ini bisa melacak posisi, nggak?"

"Ehm, bisa aja sih. Cuma belum tersetel banget. Masih beta, tapi kucoba." Gama tidak membuang waktu lagi. Tangannya kembali asyik menari di atas kibor, sesekali membenarkan kaca matanya yang longgar.

Dia hampir saja tidak fokus tatkala Renita mendaratkan kepalanya di bahu. Namun, api semangatnya berkobar. Layar laptop Gama berganti peta negara Belanda dengan titik merah. "Ketemu, dia sekarang ada di Amsterdam. Pemukimannya tidak jauh dari Red Light District."

"Cepat hubungi penegak hukum, siapa pun. Interpol boleh. Jangan sampai dia lolos, usahakan kita jadi anonim," perinta Renita, terlalu nyaman bersandar hingga tidak ingin bangun. Gama kembali menekuri laptop.

Renita kembali membaca, mencari sumber efek domino lain dari tahun-tahun awal program. Saat mengangkat buku dokumen kesehatan, sesuatu mendarat di kaki. Renita memungut benda itu, sebuah CD ROM.

Setelah memastikan Gama sudah melapor penegak hukum mana pun dengan bukti kuat, Renita mengajaknya menonton rekaman CD. Dia pikir itu rekam medisnya, ternyata bukan sama sekali. Renita hapal, itu adalah lab dokter Yunus tempat dirinya dikasih obat antivirus Hepatitis, laboratorium yang pengap. Rekaman yang tidak terlihat di media mana pun.

"Cukup. Bertengkar tidak akan menyelesaikan masalah."

Anggodo menatap Liana mematikan. "Kamu enak betul, Lia. Ingat posisimu di sini, kamu membantu proyek ini agar berjalan lancar. Lewat Ayahmu."

"Terus ini tuh gagal. Vaksin buat program antibodi terkuat pun punya efek samping, bahkan untuk manusia kloning. Bayangkan, sembilan dari sepuluh subjek kamu tuh kena efek samping. Kemarin ada yang meninggal pula. Bila masih nekat. IDI bisa mencabut STR-nya Yunus dan mencekal perusahaan Ayahmu, Anggodo." Liana tidak gentar.

"Dengarkan Lia, Anggodo. Dia saksinya." Dokter Yunus angkat bicara,.

"Kurang ajar kamu ..." Anggodo dan dokter Yunus kembali adu mulut. Kali ini sudah bawa-bawa fisik dan kematian orang tersayangnya Anggodo yang masih belum dia terima. Lia yang biasanya jadi penengah, kali ini tidak mampu. Energinya terkuras habis.

"Kemarikan formula rekayasa genetika itu Anggodo."

"Nggak akan, aku paham akan frustasimu, Anggodo. Tapi memakai formula rekayasa genetikaku untuk ambisimu menciptakan senjata manusia lewat manusia kloning. Itu gila, nggak, nggak akan."

"Aku nggak peduli—"

"DIAM!"

Keduanya menoleh, Liana dengan napas terengah-engah dengan jarum suntik di lipatan lengan. "Sekali lagi kalian berisik, aku nggak tahu obat ini berefek padaku." Ancamannya berhasil membungkam dua pria yang jadi sahabat Lia sejak kecil.

"Li, jangan—"

"Jangan bergerak, Yunus. Kamu juga, Anggodo."

Mereka berdua kembali saling menyalahkan dengan bisikan. Namun, tatapan Liana bagaikan Medusa sudah cukup menaikkan bulu kuduk. Namun, Anggodo melanggar aturan lebih dulu, "Liana, tolong ..."

Jarum itu masuk dalam pembuluh nadi Liana, mendorong obat vaksin hasil rekayasa genetika.

Tayangannya mati. Gama merasa janggal pada botol di meja, dia memperbesar video, sistem rstorasi otomatis mampu memperjelas gambar. "Ini, vaksin yang dipakai Mamamu, sama dengan vaksin yang kamu kirim, Renita. Tapi ini sudah disempurnakan sama dokter Yunus. Bahan ini yang diincar Anggodo ternyata."

"Namanya—"

"Culla.E."

Renita kembali pada gulungan dan tulisan Mamanya pada dokumen kesehatan. Semuanya tercerahkan, satu persatu. "Bakteri ini murni ciptaan dokter Yunus, bertahun-tahun dia menyempurnakannya melalui vaksin agar pasien-pasiennya bisa hidup tanpa rasa sakit. Versi pertama memang gagal, hingga semuanya dibakar. Tapi, obat terakhirnya disuntikkan pada tubuh Mama. Tidak berefek pada Beliau, melainkan aku. Dokter Yunus mampu membuatnya lagi, tapi bahannya tidak lengkap, jadinya hanya bikin versi obat antivirus Hepatitis C yang kuminum bertahun-tahun itu. Mama bilang ke Papa itu hanya vaksin antibodi saja."

Renita membaca lagi tulisan Mamanya di surel dan gulungan itu seraya menyatukan hal-hal pasti. "Ketika mau vaksin tahap dua. Dokter Yunus berniat mendaftarkan ke badan pengawas obat, tapi gagal karena dibunuh. Vaksin tahap dua tetap berjalan karena sudah diproduksi sesuai jumlah subjek. Bakteri Culla.E dalam vaksin untuk menguatkan antibodi agar pasukan senjata manusia setengah robot Anggodo tidak terkalahkan. Anggodo memang berhasil modifikasi vaksin dan rekayasa genetika pakai bahan ini, tapi caranya asal-asalan sehingga tidak semua subyek cocok, termasuk Indah dan Tia."

"Reni aku dapat info lagi." Renita langsung fokus pada laptop Gama ketika laki-laki itu menjelaskan. Perangkat lunaknya sungguh ajaib, kira-kira Gama menjualnya pada klien mana? Apa BIN?

"Ada maksud dan tujuannya Anggodo menciptakan chip pengontrol pada batang otak Indah dan Tia. Benda kecil itu bagaikan pembunuh dalam selimut, pelan-pelan akan menggerogoti tubuh keduanya. Jika sudah lama tidak diaktifkan, efeknya akan seperti gejala kanker otak stadium tiga, tergantung kondisi. Tinggal menunggu waktu kematian. Benda ini tidak bisa dicabut, bahkan pakai alat bedah canggih, alternatif terburuk hanya bisa ditembakkan pada batang otak."

"Anggodo sialan, beraninya pasang bom bunuh diri selama ini pada tubuh Adikku." Renita sangsi, baru kali ini Gama memperlihatkan kemarahannya.

Renita melingkarkan tangannya pada tubuh Gama, telapaknya mengelus lengan pria itu. Keduanya saling berbagi rasa, tanpa kata.

Dear BSWClub. Day 130, 131, 132, and 133.
3800++ kata.
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro