3. First Order

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Karena satu ditambah satu jadi dua, maka kamu ditambah aku jadi kita."
(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

"Anye!"

Anyelir langsung membalikkan badannya ke arah si pemanggil. Ia mengerutkan keningnya karena tidak mengenal lelaki yang memanggilnya itu. Lelaki itu terlihat keren dengan kaos abu-abu dan celana jeans hitam. Di bahu sebelah kirinya tersampir jaket denim. Melangkah bak pangeran menuju ke arahnya. Siapa lelaki itu?

Anyelir merasa tangannya gemetaran. Bagaimana tidak? Lelaki yang memanggilnya itu adalah lelaki ganteng. Anyelir selalu lemah dengan yang satu ini. Jantungnya berdebar untuk setiap lelaki yang memiliki wajah di atas rata-rata. Katakanlah ia pecinta cogan garis keras.

"Ada ap-"

Lelaki itu melewatinya. Melewati dirinya?

Anyelir memutar kepalanya 180 derajat memandangi ke mana lelaki ganteng itu pergi hingga melewati pesonanya yang luar biasa ini. Dari yang ditangkap oleh indra penglihatannya, lelaki itu menghampiri seorang gadis dengan terusan floral yang membawa beberapa buku tebal di tangannya. Ia memutar bola matanya begitu mengetahui apa yang sedang terjadi. Dirinya telah salah sangka.

Anyelir melupakan sebuah fakta bahwa ada Anye lain di sekitarnya. Stefanye Devinka. Si putri kerajaan dari fakultas Desain dan Seni Kreatif jurusan Seni Pertunjukan. Gadis cantik yang selalu mendapat pujian dari kaum Adam, tetapi mendapat hujatan dari kaum Hawa. Si gadis yang sering menjadi target para lelaki. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang memakai jasa Anyelir untuk mendapatkan Stefanye. Karena khusus untuk Stefanye, Anyelir menawarkan harga khusus. Lima juta!

"Raib lima juta gue, deh. Si gula ting-ting udah duluan punya pacar," gumam Anyelir dengan nada kecewa. Gula ting-ting adalah nama panggilan khusus dari Anyelir untuk Stefanye. Karena saking populernya Stefanye, nama Anyelir bahkan tidak pernah tersebut lagi untuk dirinya melainkan hanya tertuju pada Stefanye. Karena Stefanyelah, ia rela nama Anye dialihkan pada gadis itu. Sebagai gantinya, ia lebih sering dipanggil "Lovata".

Anyelir menghela napas panjang lalu membalikkan badannya. Namun, seketika ia tersentak kaget hingga tubuhnya hampir limbung ke lantai akibat kemunculan seorang gadis yang entah dari mana datangnya.

"Ya ampun! Jantungan gue!" decak Anyelir dengan kesal.

Bukannya merasa bersalah, gadis yang rambutnya warna-warni seperti anak ayam itu malah bersedekap. Anyelir sadar, sekarang ia sedang menghadapi nenek lampir revolusi 4.0. Para gadis zaman milenial yang melupakan warna rambut khas pribumi. Berharap dirinya berwajah licin bak porselen, dengan rambut bak Barbie. Sungguh lucu gadis-gadis masa kini.

"Lovata?" tanya gadis itu. Anyelir berdeham dan memasang senyum manisnya. Pelanggan, pikirnya.

"Iya. Lovata si Dewi Venus yang akan membantu permasalahan cinta Anda. Silakan dilihat-lihat paket dan tarifnya," ucap Anyelir lalu mengeluarkan sebuah buku daftar menu cinta miliknya.

Di luar dugaan, gadis berambut pelangi itu menepis buku itu hingga terjatuh di lantai. Anyelir sedikit kaget dengan perlakuan kasar dari gadis di depannya. Buru-buru ia mengambil buku daftar menu cinta itu dan mendekapnya erat. Awas aja kalau lo enggak mesan jasa gue, gue timpuk pake tas, batin Anyelir dengan emosi yang sengaja ia pendam. Sedangkan yang terlihat di wajahnya adalah senyuman ramah yang sebenarnya dipaksakan.

"Ups, maaf. Kesenggol." Anyelir berdecih di dalam hati. Kesenggol apanya? Jelas-jelas dia buang buku menu gue.

"Enggak apa-apa, kok." Senyuman terbit, padahal kepalanya sudah mendidih.

"Mau sambil makan di kantin?" tawar Anyelir masih dengan nada seramah mungkin. Ugh, semoga gadis berambut anak ayam itu tidak meminta untuk ditraktir. Anyelir sedang dalam keadaan kanker alias kantong kering.

"Enggak. Gue mau cepet. Jadi, gue udah denger tentang jasa lo itu. Gue mau jasa 'Spy' lo untuk bantuin gue. Namanya adalah Cakra. Dia anak dari jurusan fotografi. Tempat nongkrongnya sering di café Gardenia. Dia aneh beberapa minggu ini. Kemarin, gue lihat dia jalan sama cewek lain di mall. Gue kesel, dia izin sama gue mau ke studio, eh tahunya malah selingkuh. Gue mau lo bantu gue buat mutusin dia," ucap gadis itu dengan menggebu-gebu. Ia terlihat marah dan kesal. Anyelir sampai kewalahan mencatat poin-poin penting yang disebutkan oleh gadis itu.

"Putus?" tanya Anyelir mengerutkan keningnya.

"Iya, putus. Gue enggak suka cara dia protektif ke gue secara berlebihan sementara dia sendiri selingkuh."

"Kenapa enggak putusin sendiri aja?"

Menurut Anyelir, putus adalah hal yang masih bisa dilakukan sendiri. Karena memutuskan hubungan tidak sesulit mempertahankan hubungan. Yah, mungkin sebagian orang memutuskan hubungan adalah hal yang sulit. Namun, melihat sosok gadis bar-bar di depannya, rasanya tidak mungkin jika ia kesulitan memutuskan hubungannya.

Gadis itu sempat terdiam sejenak lalu menarik napas panjang. "Susah, Cakra emang kelihatannya baik sama gue, tapi dia adalah orang yang nekad. Dia enggak akan lepasin apapun yang jadi milik dia. Dia akan tersinggung kalau gue mutusin dia dan kalau itu udah terjadi, maka dia bakal ngejar gue sampai ujung dunia kayak dulu." Anyelir mulai paham. Cakra bukanlah orang sembarangan.

"Dia psikopat?" Anyelir bertanya dengan nada berhati-hati. Gadis itu mengembuskan napasnya. Tidak salah lagi, raut wajahnya sudah menunjukkan bahwa pacarnya memang seorang psikopat.

"Eum ... oke, mungkin maksud lo adalah gue harus nyari bukti dia selingkuh, kan?" tebak Anyelir.

"Gue bisa aja mutusin dia kemarin tanpa bantuan lo," sinis gadis itu.

"Terus?"

"Lo cukup ikut aturan main gue. Dan gue rasa cuma lo yang bisa bantuin gue," ucap gadis itu cukup yakin. Namun, menjadi meragukan bagi Anyelir.

"Gue enggak sekedar bantu, tapi-"

"Iya, gue tahu," potong gadis itu dengan ketus.

"Ehm, nama lo siapa?" tanya Anyelir dengan hati-hati. Melihat wajah garangnya, Anyelir merasa perlu berhati-hati dengan gadis berambut pelangi itu.

"Nama gue Baleria. Pelanggan baru yang udah berulangkali nelpon lo tapi enggak diangkat," sindir Baleria-gadis berambut pelangi membuat Anyelir buru-buru memeriksa teleponnya yang ternyata ia silent.

Anyelir menyengir bak kuda. "Maaf, tadi HP-nya gue silent," ucap Anyelir masih menyengir. Setelah keluar dari ruangan kuliah tadi, Anyelir lupa untuk memeriksa kembali handphone-nya.

"Oke. Lo save aja nomor gue. Berhubung gue lagi buru-buru, nanti gue kasih informasi lagi ke elo," ucap Baleria dengan cepat.

Tanpa babibu, Baleria langsung meninggalkan Anyelir. Merasa belum selesai, Anyelir mengejar langkah Baleria dan menghadang jalan gadis itu.

"Woi, Baleria! Kita harus ngomongin harga sekarang juga. Gue enggak mau kesepakatan harga lewat handphone, banyak yang nipu soalnya," ujar Anyelir setengah menyindir. Tidak peduli jika teriakannya didengar oleh orang lain. Jangan terlalu munafik dengan uang. Biar saja terlihat gila dengan uang, bukankah uang adalah lambing hidup makmur?

Baleria memutar bola matanya dengan malas.

"Gue bisa bayar mahal. Bayaran paling mahal."

Oke. Deal!

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro