4. First Order 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Katanya, cinta tidak bisa dibeli dengan uang. Namun, yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Di dunia yang serba teknologi saat ini, uang adalah segalanya. Siapa bilang cinta tidak bisa dibeli dengan uang? Jika tidak percaya, maka datanglah menemui Anyelir dan saksikan bagaimana Anyelir menyatukan dua insan dengan lembaran uang di tangannya.

Bagi Anyelir, uang adalah sumber kebahagiaan. Munafik jika ada yang bilang tidak butuh uang untuk bahagia. Di zaman sekarang, baik keluarga, teman, dan pasangan bisa didapatkan asal memiliki kekayaan. Menikah saja butuh mahar, yang pada dasarnya membutuhkan uang. Dalam kehidupan rumah tangga pun, tak cukup hanya dengan makan cinta.

Anyelir pecinta uang. Apapun itu. Sebutan 'matre' tersemat di tengah-tengah namanya. Bahkan Restika sering menggunakan sebutan itu. Anyerlir tidak marah dengan sebutannya, karena ia sadar bahwa dirinya memang sangat mencintai uang. Ia bahkan sudah bertekad untuk menikahi lelaki kaya suatu saat nanti dengan syarat dan ketentuan berlaku. Walaupun menginginkan suami kaya, Anyelir juga tidak sembarang memilih suami. Ia tidak segila itu dengan menikahi lelaki tua ataupun duda beranak sepuluh demi mendapat gelar 'nyonya'.

Selain mengumpulkan uang, Anyelir tetap memiliki hobi yang normal yaitu melukis. Itulah alasannya masuk ke jurusan Seni Murni. Ia ingin menyalurkan hobi yang merangkap menjadi bakatnya. Oleh karena sangat mencintai seni lukis, Anyelir rela keluar dari rumah sendiri. Ia lebih suka mengenang sang ayah lewat goresan kuasnya ketimbang menyembuhkan orang lain seperti keinginan ibunya.

Ketimbang menikmati hasil kekayaan ayah tirinya yang melimpah ruah, Anyelir memilih menyewa jasa konyol untuk kehidupannya. Ia mencintai uang, tetapi uang yang ia hasilkan sendiri, bukan diberi secara Cuma-Cuma oleh ibunya sendiri. Bukan gengsi, tetapi ada sebuah titik kebencian yang tertanam di hati Anyelir. Ia benci pada wanita yang telah melahirkannya dan juga membunuh ayahnya.

Mengingat ayah, hati Anyelir kembali terluka. Konsentrasinya dalam melukis buyar seketika. Kuas yang ada di tangannnya digenggam kuat-kuat hingga akhirnya patah. Tidak berhenti menggenggam, telapak tangan Anyelir sampai mengeluarkan darah karena tusukan tajam patahan kuas yang runcing.

"Lovata!"

Anyelir tersentak kaget saat namaya dipanggil oleh dosen killer yang kini berada di depannya dengan tatapan tajam. Ia baru menyadari luka di telapak tangannya dan langsung mengelapnya dengan tisu.

Anyelir meneguk saliva dengan sukar tatkala dosennya itu masih menatapnya tajam. Apa ia berbuat sebuah kesalahan?

"Saya menyuruh kamu melukis guci di depan, Lovata! Bukan awan mendungmu itu!" sinis dosen yang bernama Karin itu. Anyelir langsung mengalihkan pandangannya pada lukisan yang ia buat. Benar, ia melukis awan mendung yang bahkan terlihat tidak beraturan.

Anyelir menundukkan kepalanya. Lewat ekor matanya, ia bisa melihat langkah sang dosen yang perlahan menjauh darinya.

"Melukis itu adalah cara kamu mengekspresikan apa yang kamu rasakan. Melukis itu adalah seni. Seni yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Saat kemampuanmu terbatas dan hanya bisa mengandalkan satu kelebihan, kamu harusnya sadar bahwa kamu tidak ditakdirkan untuk menjadi seniman. Kamu tidak punya bakat di bidang itu, tetapi kamu mencoba untuk menjadi ahli. Bukankah itu lucu? Jangan menjadi orang yang menyedihkan dengan berpura-pura kuat. Kamu harus sadari tempatmu berpijak. Mungkin kamu sedang tersesat, maka carilah jalan yang sesuai denganmu. Jangan coba-coba untuk menyerobot jalan orang lain. Karena hidup bukan milikmu saja," jelas Karin yang terdengar seperti motivasi oleh mahasiswa di ruangan itu, tetapi tidak dengan Anyelir.

Itu sindiran. Sindiran keras Karin untuk Anyelir. Tatapan tidak bersahabat Karin yang selalu ditujukan padanya, membuat Anyelir sadar diri. Ia membereskan peralatan lukisannya. Sebelum diusir dengan cara terhormat dan halus ala Karin, maka Anyelir akan lebih dahulu keluar dari sana.

Saat selangkah lagi mencapai pintu keluar, suara Karin kembali terdengar, "Saat jalanmu salah, maka kamu harus segera keluar dari sana dan cari jalan yang sesuai denganmu."

Anyelir menggeletukkan giginya. Ingatkan Anyelir untuk tidak mengumpat pada dosen muda bernama Karin itu. Ingatkan pula bahwa wanita bernama Karin itu adalah kakak tirinya.

***

Anyelir menggeram frustrasi. Untuk pertama kalinya ia tidak bisa mendapatkan informasi seseorang. Ya, dia adalah stalker. Dan orang yang sedang ia cari informasinya adalah si fotografer yang ditemuinya di Festoon. Sekalipun ia pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bertemu lelaki itu lagi, justru rasa penasarannya semakin menjadi. Rasanya sangat menyesal karena tidak mengetahui nama lelaki yang belakangan ini menganggu pikirannya.

Anyelir mengaduk es telernya tanpa berminat untuk menghabiskannya. Ia sedang tidak mood untuk saat ini. Padahal harusnya ia bahagia karena mendapat order dari pelanggan baru dengan tarif yang sangat mahal. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan langsung mengiyakan tanpa peduli misi rahasia nantinya. Hanya karena diiming-imingi dengan benda bernama uang itu, Anyelir melupakan resiko yang mungkin ia dapatkan. Lagipula ini hanya masalah percintaan sehingga tidak ada yang perlu diragukan, pikirnya.

"Ei! Minum kaga, melamun iya."

Anyelir tersentak kaget saat Restika muncul secara tiba-tiba. Anyelir mencibir karena Restika tidak hanya mengagetkannya, tetapi juga menghabiskan es telernya hingga ludes.

"Lo minta disembelih, ya?" sindir Anyelir. Restika menyengir kuda.

"Abisnya lo ngelamun aja. Mikirin siapa? Ah, anak fotografi itu, ya? Udah nemu identitasnya?" Pertanyaan yang diajukan Restika membuat Anyelir mendengus.

"Bener, kan?" tanya Restika lagi. Anyelir tidak menyahut dan meletakkan kepalanya di atas meja kantin. Mood-nya benar-benar berantakan hanya karena lelaki itu.

"Lo kalau suka sama orang enggak pernah nanggung-nanggung ya? Belum kenalan aja bisa bikin lo uring-uringan gini. Kalau gini terus, lo bisa bisa jadi jomlo tahunan. Dari pada patah hati sama anak fotografi itu, mendingan lo mau gue kenalin sama sahabat gue," lanjut Restika makin membuat Anyelir kesal.

"Sahabat lo yang pake kawat gigi itu? Sahabat lo yang suka ingusan dan cengeng itu?" sindir Anyelir.

"Bah! Jangan salah, Nye. Itu cuma masa lalu si Dino. Sekarang dia udah kece, dong," bela Restika tidak terima sahabatnya dijelekkan.

"Lah, bukannya lo yang sering cerita tentang si Dino-Dino itu ke gue? Lo yang ngata-ngatain dia ke gue loh. Jangan salahin gue kalau gue bilang gitu. Lagian kenapa enggak lo aja yang jadian sama dia? Cocok tuh, mana ada persahabatan antara cowok-cewek yang gak ada apa-apanya," sindir anyelir.

"Enggak mungkin. Lagian kita deketnya pas masih kecil, sekarang udah sama-sama canggung. Andai gue enggak jatuh hati sama orang lain, mungkin dia jadi gebetan gue."

"Nah, gue juga udah jatuh hati sama orang lain. Berhenti buat jodoh-jodohin gue sama sahabat lo itu," kesal Anyelir lalu bangkit dari kursinya.

"Bayar tuh es telernya!" teriak Anyelir seraya terkekeh-kekeh dan berlari keluar dari kantin. Restika menggerutu karena Anyelir meninggalkannya. Ah, niat mendapat gratisan jadinya dia yang membayar.

"Kayak yang lo bilang, Nye. Enggak mungkin kalau salah satu dari kami enggak jatuh cinta. Sayangnya, dia suka sama orang lain. Dan orang itu elo."

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Note:

Aaaaa maaf guys, kemarin lupa update. Kirain udh terjadwal, ternyata belum😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro