[1] : Lee Haechan dan Buku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

•~~•

"Twinkle-twinkle little star
Ku tak doyan makan kue nastar"

HaechanPutriSaljuStan

Bahagia itu apa sih? Sampai dicari-cari

LeeHaechan

•~~•

Ada sebuah frasa cantik yang pernah Haechan dapatkan dari sebuah buku yang ajaibnya bisa membuat seorang Lee Haechan kembali bertandang ke sebuah pertokoan buku untuk yang kedua kalinya.

Andaikata semua kehidupan ini menyakitkan, maka di luar sana pasti masih ada sepotong bagian yang menyenangkan.

Begitu katanya, sebuah kutipan yang ia garis bawahi ketika membaca buku berjudul rembulan tenggelam di wajahmu karya Tere Liye, pertama kali ia pergi ke pertokoan buku kala anak itu kekeuh minta ikut Taeyong sewaktu ia akan pergi membeli peralatan lukis untuk Renjun tempo hari.

Karena bosan menunggu dan Haechan tidak begitu mengerti dengan warna-warni alat menggambar yang berjejer rapih di etalase, anak itu beralih untuk pergi kebagian sisi lain dari toko, ada banyak buku yang berderet rapih disana, Jaemin bilang wangi buku baru itu harum banget, tapi kalau kata Haechan baunya aneh.

"BAUNYA KEK TAIK AYAM!"

"SERAMBANGAN MONCONG LO!"

"Jaem—Sembarangan"

Haechan bukan pecinta buku, tapi dia dapat yakini sebuah cover bisa begitu menarik perhatian seseorang yang tidak terlalu menyukai buku seperti Haechan, matanya melirik pada sebuah buku yang berada di hadapannya, karena penasaran sama cover bukunya, Haechan sampai merobek plastik segel yang langsung dipelototi oleh Taeyong kala itu, berujung dengan Taeyong yang harus membayar buku yang telah Haechan lepas segelnya.

"Saya baru tau anak kaya kamu suka baca buku" pikiran Haechan seketika buyar ketika seseorang menghampirinya, seorang laki-laki semampai dengan kemeja kotak-kotak yang kancingnya dibirkan terbuka memperlihatkan sebuah kaos putih dengan sablon yang bertuliskan 'Jl. Aja dulu - nanti kita jadian' yang sempat di komentari Haechan.

"Sebenernya baru suka sih om"

"Heh! Abang!"

"Apaan?! Lagian umur saya sama om tuh beda jauh!"

"Tapi saya belum nikah!"

"Saya gak mau dinikahin sama om!"

"Siapa juga yang mau nikahin kamu budak bahlul!" Lengan atas Haechan seketika di tepak mantap oleh seseorang yang ada di sampingnya saat ini, anak itu hanya meringis kesakitan, padahal di dalam hatinya ia sedang tertawa terbahak-bahak.

"Abang Ten?"

"Bagus"

"Kalau dipuji ngelunjak ya"

"Kamu minta saya sumpel pake ketek?!"

"Ewh...gak mau, bauk!"

"Makanya kalau nanya yang betul!"

"Orang belum nanya juga dih"

Ten memelototi Haechan membuat anak itu seketika menyengir dengan lebar.

"Nanya apaan?"

"Om Ten kapan nikah?"

"Emang sialan!"

"Hwhwhwhw"

"Yang bener!"

"Iya itu—"

"—dada kamu mau saya gebug sampe bunyi suling ya?!"

"Jangan marah-marah dong, keliatan udah tuanya"

"Nah kan minta di gampar"

"Mau nanya"

"Iya apaan?!!!!"

"Pa Taeyong suka baca buku fiksi gini gak sih?"

Laki-laki itu nampak terhenyak, ini bukan sekali atau dua kali Haechan bertanya tentang Taeyong, tapi yang Ten tau, anak itu masih berusaha untuk mencari-cari sosok Taeyong untuk ia jadikan sebagai patokan.

"Suka"

"Oh iya? Saya gak pernah tau"

"Kamu gak pernah nanya"

"Selain ini?"

"Taeyong punya sederet lemari buku di kamarnya, berbagai macam jenis juga"

"Kenapa?"

"Kenapa Taeyong suka baca buku?"

Haechan mengangguk.

"Saya gak pernah tau alasan sebenernya kenapa dia suka baca buku—tapi yang pasti Haechan, kamu bisa jadi pinter kalau baca buku"

"Emang udah pinter"

"Anak pinter mana yang kalau nyebat pake teh sisri?"

"Itu nyebat halal om!"

"Abang!"

Haechan nampak tidak perduli, anak itu kembali menatap ke arah deretan buku disana sebelum akhirnya mengulurkan tangannya untuk memilih salah satu buku yang menarik perhatiannya.

"Abang Ten yang bayarin kan?"

"Ok mulai sekarang saya paham"

"Iya pinter"

"Heh!"

"..."

"Nanya kek! Saya tuh paham apa?!"

"Oh ok—paham apa bang?"

"Paham—"

"—paham liberalisme—"

"—BUKAN!"

"Santeee dong!!"

"Kamu bikin saya emosi mulu!"

Haechan hanya cekikikan nggak jelas, sumpah bikin orang kesel tuh seru juga ya?

"Paham apa bang?"

"Paham kalau kamu manggil Abang berarti ada maunya"

"Wahhh...Ten pinter banget" Haechan tersenyum seraya mengelus-elus kepala Ten, membuat laki-laki itu justru membulatkan matanya yang cuman segaris.

"BUDAK BAHLUL!!!"

"Orang jaman dulu bilang kalau yang tukang ngegas itu pembalap"

"Ya orang jaman sekarang juga tau kalau yang tukang ngegas itu pembalap!!"

"Aduh Bang, kuping saya perih nih denger Abang Ten marah-marah mulu dari tadi"

"Kamu pikir tenggorokan saya gak perih dari tadi marah-marah sama kamu?!"

"Ya makanya jangan marah-marah!—eh tapi cocok sih"

"Apanya?!"

"Gini ceritanya, Abang Ten sama dengan Bang Ten sama dengan Banteng iya kan? Serupa gitu namanya"

"NGATAIN SAYA KAMU?!"

"Yang bener 'Kamu ngatain saya?'"

Ten hanya dapat menarik nafasnya panjang, merutuki kenapa harus anak ini yang Taeyong titipkan padanya?!

"Bang"

"Mau saya bacok kamu?!"

"Astaghfirullah Brader! Saya baru manggil!"

"Kalau gak bener saya jotos kamu"

"Iya sumpah ini mah beneran!"

"Hm!"

"Dulu Sungchan suka banget baca komik, kayanya sekarang dia masih suka—saya mau pilih satu lagi buat Sungchan boleh?"

•~~•

Haechan melangkahkan kakinya kembali menuju kamarnya, setelah beberapa saat yang lalu bergelud dengan dua bocah laknat yang sedang bermain pistol air, kedua tangan usil mereka dengan sengaja menembakkan air ke arah Haechan yang membuat anak itu disulut dengan dendam kesumat, sehingga terjadilah adegan Jisung yang Haechan kunciin didalam lemari, berujung dengan suara tangisan melengking dari Chenle yang membuat ibu mengomel panjang lebar.

Anak itu kembali merebahkan tubuhnya, merasakan punggungnya yang tiba-tiba saja terasa lebih berat, netranya bergerak menatap ke arah sebuah foto berbingkai putih yang terletak di atas meja belajar, disana ada Haechan, Renjun, Jeno, dan Jaemin yang sedang mengambil selca, di hiasi dengan Taeyong yang sedang tertidur dengan mulut terbuka.

Foto yang cukup jenaka namun mampu membuat Haechan kembali diserbu dengan beribu duka.

"Pintar bukan berarti bijaksana Haechan, tapi kalau kamu bisa jadi seseorang yang bijaksana, kamu udah pasti pintar—orang yang seperti itu yang bisa disebut pintar"

Haechan mengangguk paham.

"Gak semua orang bisa kaya gitu, orang yang ahli matematika aja kalau dia gak bisa bijaksana, dia bukan orang pintar Chan"

"Terus, kenapa Payong suka baca buku?"

"Coba kamu pikir"

"Biar pintar?"

"Denger, kamu telaah kata-kata saya tadi, sebenernya jawaban kamu tadi nggak salah—yang pasti Haechan, kamu bisa mengambil banyak pandangan dari sisi yang berbeda hanya dengan membaca buku, kamu bisa menempatkan diri pada posisi yang tak pernah kamu lalui, bisa jadi lebih sulit dari apa yang kamu rasakan sekarang, dengan begitu kamu bisa tau bahwa nggak selamanya kamu akan ada di titik terendah, kamu juga bisa memahami kenapa orang-orang yang kamu temui bersikap seperti itu atau lebih menghargai kehidupan orang-orang diluar sana"

Haechan kembali termenung menatap jalanan temaram yang begitu tenang, entah sejak kapan ini dimulai tapi Haechan selalu merasa senyaman itu ketika berbicara dengan Taeyong.

"Tapi saya gak akan maksa kamu buat baca buku"

"Emang kenapa?"

"Kamu punya cara tersendiri untuk menyikapi apa yang terjadi di sekeliling kamu—kamu menjadi sangat istimewa karena kamu memiliki hal itu"

Haechan tak pernah tau, kenapa hari-harinya terasa begitu hampa, ada sesuatu yang kian memudar sebelum akhirnya lenyap begitu saja untuk setiap harinya.

Semuanya masih terlihat sama, pagi yang sibuk dengan celoteh anak-anak panti, candaan di siang hari bersama sahabat karibnya, sore melelahkan yang nampak segar untuk dinikmati bersama aroma manis di dapur tempat ia bekerja, dan malam tenang untuk ia memejamkan mata.

Tak ada yang berubah, kecuali kehadiran Taeyong yang terlalu menyisakan sebuah luka yang begitu dalam.

Ia sudah berjanji untuk menjalani hidup dengan baik, berusaha untuk mencoba melakukan segala aktivitas seperti biasanya, namun anak itu tetap merasa kosong, ada yang direnggut begitu saja darinya.

Haechan sangat menyadari bahwa dirinya, Jeno, Jaemin, dan Renjun sedang sama-sama berusaha untuk menutupi semua rasa sesak dengan wajah ceria yang terbuang begitu saja saat langit berubah menjadi lebih gelap, seakan mengingatkan bahwa inilah saatnya bagi mereka untuk mengeluh dan menangis sesuka yang mereka inginkan.

Haechan kembali merindukan Taeyong untuk malam ini, anak itu menelungkupkan wajahnya di bawah bantal setelah menyalakan sebuah lagu rock yang ia putar dari ponselnya, yang semoga dapat menghilangkan awan mendung dalam hatinya saat ini.

Selama beberapa saat Haechan tak berkutik sama sekali, anak itu kembali untuk mendudukkan dirinya sebelumnya akhirnya menatap kembali bingkai foto di atas meja belajar itu.

Disampingnya ada sebuah bingkai lain yang memiliki kenangan tersendiri, didalam foto tersebut memperlihatkan senyum cerah Haechan dengan lengan yang merangkul tubuh mungil Sungchan yang saat itu masih setia dengan botol dotnya, di belakangnya ada seorang pria yang ikut tersenyum menghadap kamera dengan jempol kanan yang mengacung ke depan, laki-laki yang Haechan kenal sebagai ayahnya itu selalu merasa bangga ketika menceritakan betapa sulitnya hidup ia dulu.

"Ayah dulu waktu sebesar kamu sering bawa 3 drum minyak tanah buat nenek masak" Katanya yang entah kenapa Haechan percayai, padahal umurnya belum genap delapan tahun saat itu.

Seketika anak itu mengalihkan pikirannya, untuk saat ini, ia hanya akan terfokus pada Sungchan, ia akan mencoba untuk menjadi kakak yang lebih baik lagi, Haechan harus melakukannya dengan benar kali ini.

•~~•

—Jaehyun mendelikkan matanya beberapa kali kepada Yuta yang terlihat begitu senang untuk bersaing bersamanya, kedua laki-laki itu berjabat tangan sebentar sebelum akhirnya saling menatap satu sama lain.

"Hitungan ketiga"

"Ok"

"Satu—"

"—Dua"

"—Tiga!"

"Batu kertas gunnnnn—ting!!!!"

Hasil dari persaingan tersebut membuat Jaehyun terdiam tak berkutik, matanya menatap nanar ke arah tangannya yang mengepal, disisi lain Yuta nampak begitu bahagia dan dengan segera memakai jaket kulitnya.

"Good luck"

"Yut!, Please...ini gue udah 4 hari ngajar tu deretan anak setan, gak kasian sama gue?"

"Kaga" Dengan wajah polos Yuta menepuk pundak Jaehyun "Selamat belajar kalian" Yuta beralih untuk menatap ke arah Haechan, Jeno, Jaemin dan Renjun yang sedang memperhatikan perkelahian mereka berdua.

"Hari ini belajar lagi sama Jaehyun" tanpa berbicara lain lagi Yuta segera berlari meninggalkan Jaehyun yang sudah hampir frustasi menangani keempat bocah di hadapannya sekarang.

"Hello Bitch" sapa Haechan yang langsung ditimbuk pake sepatu Jaehyun.

"Pa Jepri"

"JAEHYUN—ASTAGA NAMA GUE JAEHYUN!"

"Maunya Jepri!"

"Ya saya gak mau!"

"Yaudah ganti bre" Jaemin menyikut Renjun yang nggak kalah nyolotnya sama Jaehyun. "Ganti jadi Jamal"

"Ide bagus!—Pa Jamal!!!!" Ucapan Renjun tadi langsung mendapatkan pelototan tajam dari Jaehyun yang sedang melipat kedua lengannya di atas dada.

"APA LAGI ITU GUSTI?!"

"Jamal bagus kan pa?"

"Gak! Gak ada Jamal-Jepri nama gue Jaehyun—JAEHYUN!"

"Denger dulu dong pa"

"Kan Bapa Ganteng"

"Kek sugar Daddy"

"Sial!"

"Berwibawa"

"Cakep pisun asli"

"Punya suara baritonnya yang—beuh sedep!!!!"

"Persis banget duda anak dua"

"A-su" Baru saja Jaehyun ingin melepas kembali sepatunya, tapi Haechan sudah berlari pergi meninggalkan kelas, takut-takut kalau Jaehyun nimbuk dia lagi pake sepatu.

"Lambemu Chan!"

"Sehari aja nurut sama saya bisa gak ?!"

"Nggak pa, soalnya kita punya akal dan pikiran"

"Terus saya nggak punya gitu?!"

"Ya itu sih bisa bercermin sendiri kayanya"

"Intinya kita bisa nolak karena punya akal dan pikiran"

"AKAL SAMA PIKIRAN KALIAN TUH SALAH PEMAKAIANNYA!!!"

"LOH KOK NGEGAS SIH?!"

"Ok—Perhatian semua, sanak saudaraku dan Bapa hajat yang terhormat—"

"Bapa hajat?"

"Itu Mang Jamal"

Emak gue namain Jaehyun biar gak bisa dibully, gue kira terkabul eh ternyata cuman tertunda, Jaehyun membatin.

"Sesuai perjanjian yang sudah di tetapkan dua hari yang lalu kami akan menyantumkan tanda bukti ini kepada Bapa hajat—" Jaemin kini memilih untuk bangkit dan berjalan menghampiri Jaehyun, membuat laki-laki itu ingin sekali noyor kepala Jaemin biar gak deket-deket.

"—Maju Jen!"

Jeno segera berdiri seraya merogoh ponsel yang berada di kantung celananya, memperlihatkan sebuah roomchat yang kian membuat Jaehyun naik darah.

"Ka Yeeun ngebales DM Jeno"

"Yoi" Jeno menaikkan sebelah alisnya, sumpah kalau bunuh orang itu halal, udah Jaehyun tabrakin palanya Jeno ke tembok.

"Sesuai perjanjian Pa Jamal"

"Paket McD"

"Ini namanya pemerasan!!" Jaehyun menukas keras yang justru semakin membuat anak-anak itu berapi-api untuk kembali menyerang Jaehyun.

"Laki-laki sejati harus menepati janjinya Pa!!!!!!!!"

"Tapi kalian yang bikin perjanjiannya!"

"Tapi kan bapa juga setuju!!"

"WAH NI SI PA JAMAL EMANG BUKAN LELAKI SEJATI!" Haechan yang barusan lari keluar ruangan kini kembali masuk dengan jalan yang sangat hati-hati, diikuti dengan teriakan Renjun dan Jaemin kemudian.

"MASA JANJI GINI DOANG GAK DITEPATI!!"

"PANTESAN GAK PUNYA PASANGAN!!"

"BISANYA CUMAN MEMBERI HARAPAN TANPA KEPASTIAN!!!"

"TERBUKTI SI TEH YEEUN OGAH SEHIDUP SEMATI SAMA SI JAMAL!"

"ARGGHHH!!!! IYA! PULANG INI! OK?!" Jaehyun menyerah, hatinya mengumpati keberuntungan ajaib Yuta untuk beberapa hari belakangan ini.

Jeno yang dari tadi tak bersuara cuman mengangguk-angguk penuh rasa bangga.

Jaehyun lebih memilih untuk menuruti kemauan empat anak itu daripada harus dikata-katain 'bukan lelaki sejati' karena Harga diri Jaehyun lebih tinggi dari apapun, betul tidak?

"Tenang Pa, orang sabar katanya banyak pahala"

"Kurang sabar apa saya ngadepin kalian hah?!"

"Kurang McD pa"

"Bahas aja teros sampe gak jadi!"

"Jadinya mau di panggil apa nich slur?"

"Jamal bae lah"

"Jepri lebih kane kayanya"

"Bisa gak kalian ngapalin nama saya tuh yang bener!"

"Nggak ah pa, gak wajib"

"Yang wajib mah ngapalin 10 nama malaikat"

"Lama-lama cape juga saya hidup"

"Niat ganti profesi gak pa?"

"Jadi dukun aja gimana pa? Kan mayan tuh jadi reseller tuyul"

"Jadi tumbal proyek aja Pa! biar beban hidup bapa ilang"

"Kebetulan katanya mau ada jalan tol baru"

"HEH!!!"

Rasanya Jaehyun ingin menangis saja.

•~~•

• From Home •

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro